''The Number'.
Nama yang telah lama menjadi teror, menghantui kehidupan di negara ini sejak satu setengah abad terakhir. Sekelompok profesional keji, pembunuh bayaran tanpa pandang bulu. Tak ada yang tahu pasti mengenai dia, mereka, atau siapalah orang-orang ini.
Segala tentang 'The Number' sungguh masih misteri.
Bahkan tidak ada jaminan jika suatu saat nanti mereka akan terekspos.
Kau cukup memberi nama dan alamat orang yang kau benci di situs mereka, maka dengan bayaran sepadan, ia kan mati dengan coretan luka di tubuhnya. Bahkan hingga kasus mutilasi atau lebih parah. Memuaskan keinginan klien tentu penting.
Tidak ada yang pasti dari pembunuh ini, namun beberapa bocoran mereka publikasikan entah dengan tujuan apa.
'The Number' memiliki aturan tersendiri, 9 korban dalam sebulan. Tidak lebih, tidak kurang. Jika permintaan terlampau banyak, maka yang berikutnya akan dijadwalkan bulan selanjutnya. Jika tak ada permintaan, mereka akan membunuh siapa pun, di mana pun dan tanpa alasan, hingga jumlah korban dalam sebulan genap 9 orang.
Mengapa? Hanya mereka yang tahu. Bagi mereka semua itu hanyalah permainan, mencabut nyawa orang lain tidak lebih sekadar untuk kesenangan.
Sejak awal debut pembunuh bayaran 'The Number', mereka telah menentukan akhir aksi mereka, yaitu pada generasi ke-9. Petunjuk tentang hal ini selalu dicantumkan di tubuh korban dalam rangkaian alfabet.
'EIGHT' yang sudah 13 tahun ini muncul menandakan penerus ke-8 dari organisasi tersebut. Diikuti angka kecil diujung alfabet, menunjukkan urutan korban tiap bulannya. Tidak ada yang tahu pasti berapa lama sebuah nomor akan bertahan, namun rata-rata dalam rentang belasan sampai 30 tahun. Sungguh mencekam untuk hari-hari dengan tumpahan darah.
Tiap generasi ‘The Number’ memiliki cara berbeda dalam menghabisi targetnya, seperti ‘EIGHT’ yang menggunakan goresan kecil dengan Arsenik berdosis tinggi, semakin banyak goresan maka korban ‘kan semakin cepat mati. Pembunuhan singkat.
Sedangkan ‘SEVEN’ menggunakan pisau dengan Tetrodotoxin yang lebih dikenal dengan sebutan TTX, dapat membunuh korban dalam hitungan jam. Ia selalu melepaskan korban setelah menggoreskan nama di tubuh target. Sayang sejauh ini obat untuk TTX belum ditemukan.
Selebihnya menggunakan pedang, pisau, atau palu berukuran besar seperti pada kasus ‘FOUR’, yang kemudian menuliskan nomornya dengan ceceran otak di samping pecahan kepala dan tengkorak korban.
'The Number' tidak pernah melakukan kesalahan. Mereka seperti malaikat kematian, mustahil dihentikan.
Jika sudah diputuskan, target tidak akan lolos. Halangan apa pun, mereka bagai hantu yang dapat menembusnya. Orang-orang itu bergerak tanpa suara. Lihai, licik, dan tanpa peringatan. Selalu memiliki persiapan penuh bahkan untuk melewati penjagaan ketat.
Meski kau bersembunyi di kamar mandi pusat perbelanjaan, atau di sebuah pesta megah nan meriah dengan ribuan orang yang berlalu-lalang, 'The Number' akkan tetap datang.
Dan untuk saat ini, 'EIGHT' yang akan membawakanmu sebuah sabit kematian.'
-unknown author-
Seorang gadis tertawa renyah dibalik meja kerja pamannya, bangga akan artikel yang ia tulis. Satu sudut bibir tertarik ke atas, kejam di wajah terlihat jelas, seakan telah menemukan mangsa untuk dilahap.
Klik!
Sekali tekan, perangkat di atas meja memproses artikel tersebut, mempersiapkannya agar terkirim pada setiap perusahaan media dan informan terkemuka dalam satu waktu.
"Haaahh! Besok pagi artikel ini akan memenuhi media dan koran! nama ‘The Number’ akan semakin ditakuti. Biar kulihat reaksi mereka atas kengerian ini!" Ia tertawa lagi, tak sekeras sebelumnya, namun lebih jahat dan tak terkendali.
Suara pintu dibuka terdengar.
Tiba-tiba tawa tadi hilang, bibirnya terkatup rapat, rahang mengeras. Cekatan gadis itu meraih pisau, menyembunyikannya dibalik punggung. Insting membunuh bekerja cepat, berbagai skenario penghabisan singkat terancang sempurna. Setenang mungkin ia menunggu di balik pintu ruang kerja, menunggu siapa pun yang tengah melangkah masuk.
“Tak boleh ada pencuri yang dibiarkan keluar hidup-hidup setelah masuk ke rumah ini,” geramnya.
Gerendel perak bergerak, ia sudah siap menerjang sosok dibaliknya. Perlahan tapi pasti, pintu terbuka.
Denting logam beradu mengambang beberapa saat di udara, diikuti sebilah pisau yang jatuh berkelontang di lantai. Serangan gadis itu tertahan, seorang pria cekatan memelantingkan senjata lawannya dengan sebilah pisau tumpul.
"Paman? Mengapa kau tidak bilang akan pulang larut?! Membuatku panik saja!" teriaknya saat mengenali orang di hadapan mata. Malas gadis itu menarik kembali pisau di tangan, melengos pergi. Jengkel dengan paman yang malah terkekeh.
"Ninaaa, Nina! Kamu ini. Sudah dilatih membunuh, tapi masih panik hanya dengan kedatangan seorang pencuri kelas rendah." Lelaki itu terpingkal sembari menyelipkan pisau ke pinggang, lalu melangkah membuntuti gadis di hadapannya.
Yang diajak bicara malah mendengus kesal, tentu tidak bisa disamakan. "Jelas berbeda! Membunuh target antah-berantah dibanding melawan pencuri yang siaga dan penuh persiapan, kau tahu sendiri itu! Kau kan melatihku untuk membunuh dengan instan, bukan berkelahi dalam jangka panjang."
"Baiklah, Sayang. Aku mengalah." Lelaki itu menyerah, tak mudah melawan gadis remaja yang sedang marah, keponakannya memang keras kepala.
"Hei," Ia menepuk pundak gadis yang sudah dianggap anak sendiri sambil beranjak duduk bersama, "kau harus banyak belajar bertarung juga, ada saatnya kita mendapat target dengan penjagaan ketat."
"Iya, aku tahu!"
"Kau tahu Louis Anthony? Dia bukan target mudah, kediamannya memiliki penjagaan ketat dan kita harus merencanakan misi kali ini dengan matang. Kau mengerti, bukan?" Mendengar itu si gadis tersenyum.
Masih ada satu hari lagi sebelum saatnya tiba, dan gadis dengan gigi gingsul itu sudah sangat amat siap.
"Aku sudah merencanakannya."
-=9=-
"Hey, Nina!" yang dipanggil berhenti, menoleh ke sumber suara. Seorang gadis dengan rambut gelombang berlari menghampiri sambil terengah. Nina mengernyit, bertanya dengan mimik wajah, ‘Ada Apa?’
"Huh! Dasar pendiam! Kenapa langsung melengos pergi? Seharusnya ‘kan kau menungguku!" omel Deary langsung merangkul sahabatnya, melangkah beriringan.
“Hmm, seingatku kita tidak ada janji atau rencana untuk pulang bersama,." Ada sedikit rasa geli mendengar betapa polosnya jawaban anak itu. Tapi mau bagaimana lagi, sejak kecil mereka memang seperti ini.
"Huh! Kita ini sahabat, sudah seharusnya pulang bersama. Bahkan berangkat bersama kalau saja rumah kita searah. Memang aku harus selalu mengingatkanmu? Tentu tidak. Kau ini memang kurang peka!"
Mereka berdua memang terjalin dalam persahabatan dengan individu kontras, satu pendiam dan yang lain cerewet. Tapi Deary memaklumi, menolak tersinggung meski sikap sahabatnya sering kali terkesan tidak peduli. Ia memiliki hati tulus sesosok bidadari.
Tak lama setelah mereka jalan bersandingan, Rey, Riri dan Anthony bergabung—mereka masih satu kelompok sampai pelajaran biologi minggu depan. Namun tidak seperti kelompok lain di kelas yang mengerjakan tugas sampai beberapa pertemuan, adanya anak baru itu membuat tugas mereka selesai hanya pada pertemuan pertama. Yah, meski dengan waktu beberapa jam.
Lalu mengapa mereka berkumpul jika tak ada yang harus dikerjakan bersama?
Lagi-lagi anak cerdas itu yang angkat bicara, memberi usul, "Kalian kan sudah tahu rahasiaku, agar tak ada yang tahu kalau tugas kita sudah selesai, bagaimana kalau kita kumpul bareng setiap habis sekolah? Setidaknya dengan begitu tak akan terjadi cemburu sosial kalau ada kerja kelompok lagi.”
Semua langsung menyetujui, kecuali Nina.
Rey agak kecewa, karena memang gadis itulah yang menjadi alasannya mengutarakan ide. Satu hal yang ia sadari, tak ada kesempatan untuk mendekat tanpa alasan pasti, malah mungkin harus resmi.
"Ayolah, Na. Hitung-hitung membantu Rey, balas budi karena berkatnya tugas kita cepat usai." bujuk Anthony.
"Iya, Na. Lumayan ‘kan, Tuan putri." Deary berbisik, menyikutkan lengan sambil melirik ke arah Rey, senyum menggoda tampak jelas di bibirnya.
Awalnya Nina tak peduli. Namun akhirnya, setelah beberapa saat dibujuk rayu, ia melontar persetujuan. Meski hanya anggukan dan segaris senyum samar, cukup sudah membuat hati pemuda itu bersorak menabuh genderang senang.
'Tak bisa, aku tak bisa menolak permintaan mereka, itu terlalu mencurigakan. Ada Rey di sini, kalau sampai aku membuatnya curiga, dia bisa mengetahui semuanya. Anak baru ini tidak mudah dibodohi. Santai, Nina. Tak apa, kau hanya perlu membicarakan semua ini pada paman dan mendapat persetujuannya. Kau harus yakin, semua akan baik-baik saja,' benak gadis pendiam itu khawatir.
Semua itu berjalan sampai hari ini.
"Nina! Sudah lihat artikel pagi ini di koran? Tentang 'The Number'." Deary memecah keheningan saat mereka sedang menunggu pesanan di sebuah restoran, tahu sekali minat sahabatnya. Hari ini giliran si gadis sunyi yang menanggung biaya makan siang.
Sontak semua menoleh, topik tentang pembunuh satu ini memang menyita perhatian, terutama bagi Nina.
"Iya, aku sudah membacanya. Bagaimana menurutmu artikel itu, Deary?" ucapnya disambut anggukan sok bijak.
"Bagus, memang mengerikan, tapi juga mengesankan. Aku tidak habis pikir orang seprofesional mereka malah menjadi pembunuh, kenapa tak membuat organisasi pahlawan saja? Atau mendirikan padepokan bela diri, pasti banyak peminat," celoteh gadis rewel itu tak karuan, membuat beberapa temannya tertawa geli.
Nina tersenyum, lesung pipit mengembang di kedua sisi bibir tipis, kecantikannya sungguh bertambah sore itu. Akhirnya ada yang sependapat denganku, misteri memang menakjubkan!
Rey memperhatikan, memuji senyum yang membuat darahnya berdesir terpesona. Ah ... Apa aku benar-benar menyukai gadis ini?
"Eh, sekarang tanggal 28 Februari ‘kan?! Itu artinya besok mereka akan memulai hitungan korban baru!" Anthony buka mulut tiba-tiba, mengingat ini adalah akhir bulan.
"Eh? Iya, ya?" sahut Deary.
Sekejap mereka langsung mendiskusikan siapa, kapan dan dimana korban selanjutnya akan jatuh. Dalam hal ini, Nina memiliki frekuensi bicara paling banyak, jelas saja karena topik pembicaraan terkait tentang misteri, hal kesukaannya.
Rey diam, memperhatikan gadis itu dalam sunyi. Sungguh bersyukur melihat ia berbicara sesemangat ini, hal yang menurutnya akan sangat jarang terjadi.
Satu anak yang tidak membuka mulut sejak Deary mengusut artikel pagi ini, Riri. Ia hanya bungkam, seakan bersembunyi di balik bayang-bayang dari kericuhan siang. Sama sekali tak tertarik pada pembicaraan empat kawannya.
"Bisakah kalian diam!" Gadis berambut pendek itu mendadak berteriak dalam satu sentakan, membuat pembicaraan yang lain terhenti, plus menarik perhatian orang-orang di meja lain.
"Bisakah kalian berhenti membicarakan hal itu? Kalian lupa tujuan utama kita ke sini? Ada yang ulang tahun besok!" tunjuknya ke pria jangkung dengan rambut cepak, berusaha tetap memamerkan wajah menggelembung sebal.
Tak ada respon untuk sesaat, seakan kalimat Riri butuh pemahaman lebih.
Tak lama, sorakan-sorakan timbul. Teringat jika ketua kelompok mereka akan merayakan pesta ulang tahun, tawa dan ucapan selamat membuncah pecah, membanjiri ruang di restoran, meredam suara lain.
Hanya Rey yang menggaruk kepala meski tak gatal.
Baru saja dia menyaksikan gadis manis di hadapannya antusias, dan topik pembicaraan sudah berubah. Tidakkah mereka bisa tenang sesaat dalam obrolan misteri?
Dilihatnya Nina tertawa lepas, ikut mendorong Anthony yang menjadi bulan-bulanan. Rambut hitam panjangnya tersibak angin, senyum mengembang memamerkan gigi gingsul manis. Hey! Ia tak membisu seperti biasanya. Apakah gadis itu juga menyukai pesta?
Nina tertawa senang, kebahagiaan tercetak jelas di wajahnya. Sejak dulu gadis manis ini memang menyukai pesta. Karena saat pesta, baik ulang tahun atau bukan, sifat sang paman akan berubah total. Sungguh berbeda dari keseharian yang mengerikan.
“Na, kau menyukai pesta?” Anggukan antusias dengan senyum gembira menyambutnya.
Rey ikut tertawa, satu hal lagi yang menjadi kunci untuk mendekati gadis itu selain misteri: Pesta. ‘Besok-besok jika aku mendapatkannya, aku akan sering membawanya ke pesta besar.’ Benaknya semangat.
Sore itu, sekelompok anak muda bersenang-senang di restoran. Tak peduli meski sejak kedatangan mereka, seantero pengunjung memperhatikan. Tawa berhamburan tanda kebahagiaan, semua orang yang melihatnya tahu bahwa mereka adalah teman dekat dan si jangkung berambut cepak jelas sedang menjadi sumber candaan.
Canda, tawa dan kegembiraan menyelimuti. Biasanya, ketenangan yang berlebihan akan membuat manusia lalai terhadap bahaya yang mengintai. Buta situasi, membawa langkah pada celaka dan petaka, bahkan kematian.
Tanpa ada yang sadar, Louis Anthony telah masuk dalam perangkap. Terkunci dalam bidik mematikan. Tinggal menunggu waktu sebelum pelatuk ditekan, permainan dimulai.
Esok, persis saat pergantian hari, sabit kematian 'The Number' akan diayunkan.
Tepat di leher sang ketua.
-=9=-
28 Februari22:32 p.m.Seorang remaja belasan tahun termenung di kamar, perkataan temannya tadi sore sungguh menghantui. Ia urung mendengarkan peringatan itu, tapi mengabaikannya juga tak semudah dikata. Sesosok wajah terbayang di pelupuk mata, senyum semanis mawar, mata indah dan caranya berbicara.Anak itu mengacak rambut gemas, merasa aneh dengan pikiran yang tak seperti dirinya. Sial! Aku bisa gila jika terus seperti ini!Suara pintu terbuka menghamburkan lamunan, seorang wanita paruh baya muncul. "Sayang, kau belum tidur? Ada apa?""Tak apa, Bu. Hanya memikirkan tugas sekolah," jawab Rey sekenanya.Wanita yang dipanggil ibu menatap anak tunggalnya lamat-lamat, ia tumbuh menjadi pemuda tampan dan pintar, rambut rapi persis mencerminkan sang ayah. Kemudian terse
1 Maret 04:48 a.m. Seorang gadis mengerjap, silau akan cahaya di hadapannya. Kepala yang seakan semakin berat, tubuh sakit, dan pedih pada bagian pundak secara bersamaan muncul. Tepat saat mendapati dirinya berada di atas pembaringan. Di kamar? "Aww!!" Rasa pedih membakar pundak kanannya saat mencoba bangun. "Sudahlah, jangan banyak bergerak. Lukamu cukup parah." Sebuah suara datang dari arah dapur, mungkin pamannya sedang menikmati kopi atau teh. Terdengar kesan aneh dalam kalimat itu, sesuatu yang tak pernah diperlihatkan sosok tegap itu. Keputus-asaan tersirat di getar suaranya. "Paman, bisakah kau masuk? Ada hal yang ingin kutanyakan padamu," ujar gadis di kamar, coba menyamankan diri. Sementara di dapur, sosok lelaki berusaha meredam rasa sesal yang menghantui. "Baiklah, tunggu sebentar." Tak berselang lama, lelaki yang selama ini merawatnya melangkah masuk. Saat melihat plester dan perban ada di tubuh sang paman, ia seketika tersadar jika tubuhnya juga berbalut
Kabar duka menyelimuti pagi. Langit yang sedari pagi cerah mulai berawan bertemankan sepi, seakan ikut sedih atas kejadian ini. Tangis kesedihan menggema di kelas-kelas, menghinggapi hati siswa-siswi. Pukulan teramat bagi para guru yang kehilangan murid berprestasi. Louis Anthony, pemain basket andalan kelas 9, meninggal dunia. Polisi dan dokter datang setelahnya, mengatakan bahwa anak itu keracunan. Mungkin disebabkan oleh zat berbahaya yang tidak sengaja masuk melalui goresan di tangan. Namun setelah hasil autopsi tiba, racun yang menyebabkan korban meninggal sungguh tak terduga. Tetrodotoxin. Racun mematikan yang umumnya hanya ditemukan pada tubuh ikan buntal. Entah bagaimana zat semematikan itu dapat sampai di tubuh Anthony. Di saat kegemparan sekolah sedang berlangsung, seseorang menghilang. ‘Ke mana Dia?’ Rey berlari ke bangunan sebelah, meski hampir tak ada kemungkinan sosok yang sedang dicarinya ada di gedung SMA. Namun sekecil apa pun kemungkinan, berarti masih ada k
Seminggu sudah sejak kepergian Anthony. Meski awan duka masih membumbung di mata teman-temannya, mereka mencoba beraktivitas seperti biasa. Memendam kesedihan tak akan membuat ia yang kau tangisi bahagia, malahan itu membuatnya sedih. Semua kembali normal, terutama teman satu kelompok tugas biologi. Hey! Bukankah seharusnya mereka sudah berpisah? Tugas Biologi sudah usai, bukan? Sejak kepergian Anthony, persahabatan Rey, Nina dan Deary semakin dekat. Bermula dari tugas kelompok, sampai ikatan tak tertulis yang ada di hati. Tak dapat dipungkiri, merekalah yang menjadi saksi utama kepergian pemuda jangkung itu. Riri? Gadis mungil itu tetaplah menjadi teman dekat. Namun jika untuk predikat sahabat, sepertinya belum cukup dekat. Ia sudah memiliki sahabat sendiri, toh di kelompok, hanya Deary yang sangat dekat padanya. Pagi ini kegiatan belajar berjalan lancar, Pak guru gan
Jam menunjukkan pukul 07:00 p.m.Seorang pria dengan setelan hitam sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tas, terlihat begitu konsentrasi dan penuh perhitungan."Hey, kau sudah siap?" Ia bertanya tanpa menoleh."Siap 100%. Paman tahu? Kau begitu lama mempersiapkan hal semacam ini." gadis di samping si pria duduk santai sementara dua buah pisau asyik berputar-putar di jemarinya."Terserah kau saja, paman lebih memilih persiapan lengkap ketimbang harus gagal di pertandingan."Tawa satir membahana sebagai tanggapan."Baiklah, omong-omong, bagaimana targetnya?" Pisau berhenti berputar ditangannya, lalu melesat menusuk papan Dart di tembok. Double bull!"Aku sudah dapat alamat rumahnya. Tempatnya terpencil, tidak begitu jauh dari rumah Louis Anthony, target pertama bulan ini. Kemungkinan besar jika pergi, mak
Awal bulan, awal yang baru.Pagi ini, pagi kedua di bulan baru. Kabut menyelimuti, lengkap sudah dengan dingin yang menusuk tulang, suatu hal yang cukup jarang terjadi di kota kecil itu. Suasana beku memang selalu ada, namun tak pasti dengan kabut tebal yang mendampingi. Mungkin akibat hujan deras semalam.Seorang lelaki menatap kejauhan meski tetap tertumpu beberapa kaki oleh kabut. Seulas senyum mengembang saat mengingat masa-masa indah bersama gadis yang ia sukai, atau lebih tepatnya ia cintai. Sekarang tak diragukan lagi bahwa rasa itu memang cinta.Matahari belum sempurna meninggi, masih malu-malu mengintip kehidupan yang merangkak menjumpa pagi. Cahayanya deras menimpa alam, namun terhalang gumpalan kabut. Tak terlihat memang, tapi bagi seorang anak detektif, pengetahuan tentang detail seperti itu pun penting dan harus diimbangi ketepatan waktu."42 detik yang menawan .... tak terasa, hari kelu
Angin senja menderu kencang, awan kelam menyelimuti angkasa, siap menumpahkan isinya kapan pun suratan setuju. Seorang gadis duduk malas di kamarnya, berpikir lama. Akhir-akhir ini request tak lagi bermunculan, nama-nama baru di situs 'The Number' seakan tersendat, hal yang sungguh mengundang penat.“Jika seperti ini terus, aku bisa mati bosan!”Kematian tetap untuk 9 orang tiap bulan, namun yang menghasilkan uang hanya sedikit. Hari pertama bulan ini, list target di situs mereka sama sekali kosong. Mereka tidak ingin melalui 30 hari seperti sebelumnya, sedikit target yang berarti sedikit uang.Ia dan pamannya juga manusia, hidup dari hasil membunuh. Maka bisa dibilang finansial mereka sedang dalam bahaya. Bangkrut? Tidak juga, manusia tak akan pernah lepas dari dendam dan kebencian, juga populasi mereka seakan abadi. Tiada kata punah. Sayang akhir-akhir ini sedikit sekali klien.
Gadis itu terbangun, mendapati dirinya berbaring di rerumputan hijau, menjulang di puncak bukit rendah. Ia tersenyum, rembulan tampak begitu indah mengangkasa, ditemani gemintang tanpa terbiaskan cahaya lampu perkotaan. Suasana yang sungguh berbeda dengan kediamannya di kota besar.Tiba-tiba sesuatu menggenang di lengan yang menumpu badan, kental dan pekat. Saat menoleh, telapak telah penuh dengan darah. Sementara di bawahnya, cairan merah mendanau entah seluas apa."-" mulutnya terbuka, namun tanpa suara.Berkali coba berteriak, namun tetap tak ada getaran yang terasa di tenggorokan. Sesaat kemudian barulah sadar bahwa lehernya telah tersayat, tepat merobek tenggorokan. Ia kehilangan suara."Tidak!!!"Hampir sebulan penuh gadis itu tinggal sendiri, tak ada lagi lelaki tinggi dengan rambut rapi yang selalu membangunkan di kala pagi. Tidak akan pernah
Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak
Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  
Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori
Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n
Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  
Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja