Kabar duka menyelimuti pagi. Langit yang sedari pagi cerah mulai berawan bertemankan sepi, seakan ikut sedih atas kejadian ini. Tangis kesedihan menggema di kelas-kelas, menghinggapi hati siswa-siswi. Pukulan teramat bagi para guru yang kehilangan murid berprestasi.
Louis Anthony, pemain basket andalan kelas 9, meninggal dunia. Polisi dan dokter datang setelahnya, mengatakan bahwa anak itu keracunan. Mungkin disebabkan oleh zat berbahaya yang tidak sengaja masuk melalui goresan di tangan. Namun setelah hasil autopsi tiba, racun yang menyebabkan korban meninggal sungguh tak terduga. Tetrodotoxin. Racun mematikan yang umumnya hanya ditemukan pada tubuh ikan buntal. Entah bagaimana zat semematikan itu dapat sampai di tubuh Anthony. Di saat kegemparan sekolah sedang berlangsung, seseorang menghilang. ‘Ke mana Dia?’ Rey berlari ke bangunan sebelah, meski hampir tak ada kemungkinan sosok yang sedang dicarinya ada di gedung SMA. Namun sekecil apa pun kemungkinan, berarti masih ada kesempatan. Ia mencari di kamar mandi, taman, belakang sekolah, perpustakaan dan tempat lain di sekolah. Namun tetap nihil, rimbanya bak hilang ditelan bumi. Apa dia pulang? Sesaat kemudian pihak sekolah mengumumkan bahwa kegiatan belajar diliburkan. Langsung saja dikejarnya Nina ke rumah. Entah bagaimana gadis itu tahu kalau sekolah akan diliburkan, maka ia memilih pulang. Atau mungkin hanya kebetulan. Benar saja, di jalan yang masih segar dalam ingatan pemuda itu, perempuan berambut hitam panjang melangkah perlahan. Sendiri, menunduk dalam sunyi, sibuk memperhatikan kerikil-kerikil yang terlewati. "Na!" gadis itu terdiam, menghentikan langkah. Namun tak membalikkan badan. "Kenapa pulang? Memang kau tahu kalau sekolah akan diliburkan?" tersengal, rambut rapi itu kini kusam, tak berbeda jauh dengan wajah tampannya. Sedari tadi ia terus berlari. "Aku mendengar kepala sekolah mengatakannya saat melewati ruang guru" "Na-" tangan kanan Rey terjulur, meraih pundak gadis di depannya. "Aww!!!" Nina memekik tertahan, lalu memegang pundak. Wajah manisnya meringis karena rasa sakit. "Kau kenapa? Apa Aku terlalu keras?” hanya gelengan singkat sebagai jawaban. Bukan Rey jika dengan mudah bisa dibohongi, jelas ada yang tidak beres. Ia mendekat, memperhatikan pundak Nina. Ada lilitan kain putih di balik seragam gadis itu, membalut pundak. Jelas bukan goresan, perban tidak diperuntukkan bagi luka kecil. "Na, sebenarnya ada apa? Bagaimana pundakmu bisa diperban seperti itu?" yang ditanya diam, segaris ketakutan terbersit di manik indahnya. "Nina, lihat aku!" Perlahan Nina menengadahkan wajah, menatap pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya, siswa baru dengan segudang ilmu dan kecerdasan. "Jujur, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Luka-luka ini, sifat menghindar diri, kau seolah memendam kehidupanmu dalam-dalam pada kawah sepi. Mengapa? Sebenarnya ada apa?" Lama gadis itu bergeming, bimbang antara harus jujur atau tidak. Menit selanjutnya isak samar terdengar, perlahan tapi pasti, menjelma menjadi tangis pedih seorang gadis yang telah lama memendam kepedihan. Rey tahu itu, karena adiknya juga pernah menangis sedemikian rupa sebelum bunuh diri. Tangis sepotong hati lemah yang dirundung duka lara bertubi-tubi. Bermuram durja tanpa dapat berhenti. Nina masih memegangi pundak, lalu maju dan menyandarkan diri ke bahu pemuda di hadapan. Merasa telah menemukan tempat kokoh baginya untuk berlindung dan menaruh keluh kesah. Selama ini, hanya perhatian serta kasih yang ia cari. Dengan hati-hati direngkuhnya gadis itu, sebisa mungkin tak menyakiti, mengerti ia butuh seseorang untuk menumpahkan isi hati. Tak butuh waktu lama, semua cerita pun tumpah ruah membanjiri setiap inci relung dalam nurani. "Pamanku memiliki kepribadian mengerikan, beliau jarang di rumah, tapi sekali saja pulang maka aku akan dipukuli. Lima hari dia pergi, tadi malam saat aku sedang menonton TV, paman pulang dalam keadaan kacau dan sebotol bir. Saat aku ingin membantunya, dia malah memukulku. Aku tak bisa melawan, aku terlalu takut. Aku juga tidak bisa pergi, meski tersiksa, dia yang sudah menolongku saat kobaran api merenggut nyawa kedua orang tuaku. Paman yang menyelamatkan hidupku, aku harus membalasnya dengan menjaga dan membersihkan rumah. Tadi malam ia membabi buta, menyeretku ke halaman, melempariku apa saja yang ia temukan. Aku tidak tahu masalahnya, tapi paman terlihat mabuk berat dan melempar pecahan piring yang ia hancurkan ke arahku, lalu mengunciku di luar. Aku cuma bisa menangis, pundakku tertusuk pecahan kaca, kaki dan tanganku luka-luka, tapi aku tak marah. Aku tetap menyayangi paman, ia yang telah membiarkanku hidup dan membiayai sekolah serta segala keperluanku." kisah yang selama ini ia pendam di hati. Tertutur sendu. Rey menitikkan air mata, tak menyangka gadis yang disukainya memiliki kisah hidup teramat berat untuk ukuran remaja. Diliriknya jemari dengan plester dimana-mana, bekas insiden penyiksaan oleh sang paman gila. "Mengapa kau tidak melapor polisi?" "Tidak! Jangan ... jangan libatkan paman dalam pengadilan, aku tak mau menyusahkannya. Aku mohon, aku tahu ayahmu seorang detektif, memiliki pengaruh besar di kepolisian, tapi aku mohon jangan lakukan." Nina terisak di pundak laki-laki itu, memohon sebisa mungkin. 'Aku tak mungkin melakukannya, percuma membebaskan seseorang dari siksaan lahir jika itu malah merusak batinnya' "Baiklah. Kalau begitu, mulai sekarang, ceritakanlah semua perasaan dan keluh kesahmu padaku, aku akan setia mendengarkannya. Semua akan lebih ringan jika kau berbagi pada orang lain." usulnya dibalas anggukan samar. Pagi itu mereka berpisah, dengan perasaan tak terkatakan di masing-masing hati. Rey senang dapat mendengar cerita yang hanya ia yang tahu tentang gadis itu, dan mungkin Nina juga senang mendapat tempat berbagi pertamanya, teman sejati. Tadi sebelum berpisah ia tersenyum begitu bahagia, meski masih terlihat menahan rasa sakit. Sesampainya di rumah, gadis itu langsung mengunci pintu, lalu pergi ke kamarnya di lantai dua. Keadaan di dalam lengang, sang paman pergi entah ke mana dan belum kembali. Hanya ada dirinya dalam kekangan hening. Nina mengunci pintu kamar dan menanggalkan seragam, perban yang melilit pundak sudah berwarna merah. Tadi ia sengaja memegangnya tepat dimana darah menyembul, agar Rey tak melihat bahwa luka itu lebih dari sekedar tertusuk pecahan kaca. Saat ikatan dibuka, darah segar mengalir dari luka yang semakin menganga. Benar kata paman, seharusnya ia tak perlu ke sekolah pagi ini. -=9=-Seminggu sudah sejak kepergian Anthony. Meski awan duka masih membumbung di mata teman-temannya, mereka mencoba beraktivitas seperti biasa. Memendam kesedihan tak akan membuat ia yang kau tangisi bahagia, malahan itu membuatnya sedih. Semua kembali normal, terutama teman satu kelompok tugas biologi. Hey! Bukankah seharusnya mereka sudah berpisah? Tugas Biologi sudah usai, bukan? Sejak kepergian Anthony, persahabatan Rey, Nina dan Deary semakin dekat. Bermula dari tugas kelompok, sampai ikatan tak tertulis yang ada di hati. Tak dapat dipungkiri, merekalah yang menjadi saksi utama kepergian pemuda jangkung itu. Riri? Gadis mungil itu tetaplah menjadi teman dekat. Namun jika untuk predikat sahabat, sepertinya belum cukup dekat. Ia sudah memiliki sahabat sendiri, toh di kelompok, hanya Deary yang sangat dekat padanya. Pagi ini kegiatan belajar berjalan lancar, Pak guru gan
Jam menunjukkan pukul 07:00 p.m.Seorang pria dengan setelan hitam sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tas, terlihat begitu konsentrasi dan penuh perhitungan."Hey, kau sudah siap?" Ia bertanya tanpa menoleh."Siap 100%. Paman tahu? Kau begitu lama mempersiapkan hal semacam ini." gadis di samping si pria duduk santai sementara dua buah pisau asyik berputar-putar di jemarinya."Terserah kau saja, paman lebih memilih persiapan lengkap ketimbang harus gagal di pertandingan."Tawa satir membahana sebagai tanggapan."Baiklah, omong-omong, bagaimana targetnya?" Pisau berhenti berputar ditangannya, lalu melesat menusuk papan Dart di tembok. Double bull!"Aku sudah dapat alamat rumahnya. Tempatnya terpencil, tidak begitu jauh dari rumah Louis Anthony, target pertama bulan ini. Kemungkinan besar jika pergi, mak
Awal bulan, awal yang baru.Pagi ini, pagi kedua di bulan baru. Kabut menyelimuti, lengkap sudah dengan dingin yang menusuk tulang, suatu hal yang cukup jarang terjadi di kota kecil itu. Suasana beku memang selalu ada, namun tak pasti dengan kabut tebal yang mendampingi. Mungkin akibat hujan deras semalam.Seorang lelaki menatap kejauhan meski tetap tertumpu beberapa kaki oleh kabut. Seulas senyum mengembang saat mengingat masa-masa indah bersama gadis yang ia sukai, atau lebih tepatnya ia cintai. Sekarang tak diragukan lagi bahwa rasa itu memang cinta.Matahari belum sempurna meninggi, masih malu-malu mengintip kehidupan yang merangkak menjumpa pagi. Cahayanya deras menimpa alam, namun terhalang gumpalan kabut. Tak terlihat memang, tapi bagi seorang anak detektif, pengetahuan tentang detail seperti itu pun penting dan harus diimbangi ketepatan waktu."42 detik yang menawan .... tak terasa, hari kelu
Angin senja menderu kencang, awan kelam menyelimuti angkasa, siap menumpahkan isinya kapan pun suratan setuju. Seorang gadis duduk malas di kamarnya, berpikir lama. Akhir-akhir ini request tak lagi bermunculan, nama-nama baru di situs 'The Number' seakan tersendat, hal yang sungguh mengundang penat.“Jika seperti ini terus, aku bisa mati bosan!”Kematian tetap untuk 9 orang tiap bulan, namun yang menghasilkan uang hanya sedikit. Hari pertama bulan ini, list target di situs mereka sama sekali kosong. Mereka tidak ingin melalui 30 hari seperti sebelumnya, sedikit target yang berarti sedikit uang.Ia dan pamannya juga manusia, hidup dari hasil membunuh. Maka bisa dibilang finansial mereka sedang dalam bahaya. Bangkrut? Tidak juga, manusia tak akan pernah lepas dari dendam dan kebencian, juga populasi mereka seakan abadi. Tiada kata punah. Sayang akhir-akhir ini sedikit sekali klien.
Gadis itu terbangun, mendapati dirinya berbaring di rerumputan hijau, menjulang di puncak bukit rendah. Ia tersenyum, rembulan tampak begitu indah mengangkasa, ditemani gemintang tanpa terbiaskan cahaya lampu perkotaan. Suasana yang sungguh berbeda dengan kediamannya di kota besar.Tiba-tiba sesuatu menggenang di lengan yang menumpu badan, kental dan pekat. Saat menoleh, telapak telah penuh dengan darah. Sementara di bawahnya, cairan merah mendanau entah seluas apa."-" mulutnya terbuka, namun tanpa suara.Berkali coba berteriak, namun tetap tak ada getaran yang terasa di tenggorokan. Sesaat kemudian barulah sadar bahwa lehernya telah tersayat, tepat merobek tenggorokan. Ia kehilangan suara."Tidak!!!"Hampir sebulan penuh gadis itu tinggal sendiri, tak ada lagi lelaki tinggi dengan rambut rapi yang selalu membangunkan di kala pagi. Tidak akan pernah
"Pria itu mati di sana!" Entah siapa ‘pria’ itu, yang jelas adalah anggota ‘The Number’, Bahkan mungkin 'EIGHT' yang sedang bersama anggota baru, 'NINE'. 'Apakah itu alasan Nina mengatakan pamannya dibunuh 'The Number'? Untuk mengalihkan kecurigaan, padahal merekalah organisasi itu?' Rey bertanya dalam hati. "Kalian! Serius sekali pembicaraannya, ini kopi, minumlah dulu." seorang wanita muncul dari dapur membawa dua gelas kopi. "Terima kasih, Sayang." ujar suaminya mengambil segelas. "Rey, akhir-akhir ini kamu tidak pernah bercerita tentangnya. Siapa? Nina?" Anak itu tersedak saat ibunya membahas hal yang tak ia bicarakan seminggu terakhir. Begitu pula sang ayah. "Nina? Siapa itu, Nak?" "Eumm … teman, Yah. Sungguh, dia bukan siapa-siapa." detektif itu melarangnya pacaran, ia berkata perasa
16:28Rey duduk di balik kemudi, mobil yang dikendarainya sudah 10 menit berhenti di depan rumah besar bertingkat. Untuk suatu alasan, lebih baik menunggu di mobil ketimbang masuk.Jika kupaksakan masuk, ada kemungkinan kalau Nina memang pembunuh, persiapannya akan ketahuan. Daripada ia curiga dan merasa terancam, lebih baik aku membiarkan semua berjalan sesuai rencananya.Meski berpikir demikian, hati anak cerdas itu tetap tidak menaruh curiga berlebih, mungkin ia hanya sedang berdandan. Dan aktivitas tersebut pasti memakan waktu bagi wanita, bahkan untuk gadis pendiam seperti Nina."Nina! Sudah belum?!""Sebentar, Rey! Sebentar lagi kok!" teriakan dari lantai dua terdengar.Anak laki-laki di bawah tersenyum, tidak yakin akan 'sebentar' yang dimaksud.Tadi sebelum menjemput Nina, ia menyempatkan diri mampir
"Tidak." Mata Rey terbelalak, tersadar akan situasi yang tiba-tiba berubah. Berapa pun bisa mati jika menyangkut pembunuh satu ini. "Diam! Semuanya diam!" Teriaknya nyalak di antara jeritan para tamu, menyambut orang-orang yang mulai beranjak pergi karena panik. "Jangan ada yang keluar, semua tetap di tempat masing-masing! Tenang, hotel ini dikelilingi oleh polisi!" Anak itu mengeluarkan lencana detektif milik sang ayah, benda yang sengaja ia bawa kemana pun, tahu bahwa sewaktu-waktu ia akan membutuhkannya. "Carla, bilang pada polisi untuk menjaga pintu keluar, jangan biarkan siapa pun pergi dari hotel!" Perintahnya pada gadis yang terdiam bingung sembari berlari ke arah toilet yang hanya berjarak 30 meter dari meja tempat ia duduk. Di sana hanya ada satu pintu masuk untuk akses ke ar
Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak
Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  
Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori
Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n
Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  
Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja