1 Maret
04:48 a.m. Seorang gadis mengerjap, silau akan cahaya di hadapannya. Kepala yang seakan semakin berat, tubuh sakit, dan pedih pada bagian pundak secara bersamaan muncul. Tepat saat mendapati dirinya berada di atas pembaringan. Di kamar? "Aww!!" Rasa pedih membakar pundak kanannya saat mencoba bangun. "Sudahlah, jangan banyak bergerak. Lukamu cukup parah." Sebuah suara datang dari arah dapur, mungkin pamannya sedang menikmati kopi atau teh. Terdengar kesan aneh dalam kalimat itu, sesuatu yang tak pernah diperlihatkan sosok tegap itu. Keputus-asaan tersirat di getar suaranya. "Paman, bisakah kau masuk? Ada hal yang ingin kutanyakan padamu," ujar gadis di kamar, coba menyamankan diri. Sementara di dapur, sosok lelaki berusaha meredam rasa sesal yang menghantui. "Baiklah, tunggu sebentar." Tak berselang lama, lelaki yang selama ini merawatnya melangkah masuk. Saat melihat plester dan perban ada di tubuh sang paman, ia seketika tersadar jika tubuhnya juga berbalut benda sama. "Ada apa, Malaikat kecilku?" Ditariknya sebuah kursi, duduk di samping tempat tidur. Senyum di wajah tegas itu tampak semu, kesenangan yang dibuat-buat. "Pertama, bukankah tadi malam kita melompat ke jurang? bagaimana aku bisa bangun di sini? Dan lagi, itu sangat jauh dari rumah." Ini hal yang paling mengundang rasa ingin tahu gadis itu. "Oh, itu jalan darurat yang sebelumnya sudah kurencanakan. Beberapa hari lalu aku datang untuk membersihkan bebatuan dan apa pun yang dapat membunuhmu jika jatuh di jalur itu. Kau tahu ‘kan, jurangnya tidak seterjal itu, hanya terlalu miring untuk didaki, jadi aku menggunakannya untuk meluncur. Itulah kenapa kita memarkirkan mobil di dekat jembatan dan bukan di dekat rumah target. Yah, itu hanya alternatif, memang sangat berbahaya dan penuh risiko, tapi setidaknya lebih baik daripada menghadapi sekelompok banteng yang membawa pistol," jelasnya panjang lebar. Gadis itu pun teringat saat menggelinding dan pingsan. "Dan ... Yeah, mari rayakan keberhasilan kita. High five!" Ia mengangkat tangan kirinya ke udara. Pria di samping ranjang mengernyit, wajah tampannya tampak heran. "High five? Merayakan? Louis tidak mati, aku melihatnya sendiri. Kau hanya menggores tangannya, mana mungkin dia ... tunggu-" ragu ia menyelidik, menyadari sesuatu yang mungkin saja dilakukan keponakannya. "Yup, kau benar ... 'SEVEN' style, Tetrodotoxin. Aku mengoleskannya pada pisau semalam. Yah, juga rencana sepihak." gadis manis itu tersenyum, merasa bangga. Sebuah kalimat yang sungguh mengubah mimik wajah paman, membuat senyum mengembang di bibirnya. Kali ini Tulus. "Kau hebat, Nina! Hebat!” Pria itu ber-yeah senang, “malaikat maut kecil ini memang dapat diandalkan. Lupakan tradisi ‘The Number’ tentang alfabet, terbunuhnya target jelas lebih penting." Ia tertawa gembira, lalu mengecup dahi iblis kesayangannya, tidak sia-sia latihan yang diberikan sejak dini. "Untung kau tadi memakai topeng, jadi wajah cantikmu tidak tergores." goda pamannya disambut tawa. Gadis itu menyisir anak rambut yang terurai di dahi, tersenyum manis sekali. "Nah, pagi ini tinggal menunggunya terkapar tak bernyawa." -=9=- Rey dan Anthony berangkat ke sekolah bersama, arah rumah mereka memang sejalur walau milik si detektif kecil sedikit lebih dekat. Anak itu pernah bertanya pada ketua kelompoknya mengapa tidak minta di antar jemput, padahal ia anak seorang pejabat. "Jalan pagi itu sehat, juga saat siang kita jadi biasa jalan bersama sekelompok, itulah mengapa aku lebih memilih pulang berjalan kaki. Sebelumnya sih jemputan datang setiap pulang sekolah," jawabnya. Pagi itu ada yang aneh dari Anthony, wajahnya terlihat agak pucat seperti kelelahan. Bibir putih, mata kemerahan. Perawakannya tampak seperti orang yang habis begadang. "Hey, kau tak apa?" "Tak apa, mungkin hanya kurang tidur. Ada insiden pembunuhan di rumahku dini hari tadi, jadi aku tidak bisa tidur lelap. Ini saja aku ke sekolah menentang perintah ayah. Aku bosan di rumah." Rey tersentak mendengarnya. Pembunuhan? Jelas ini bukan hal yang bisa dia abaikan. "Pembunuhan? Bagaimana kejadiannya?!" "Aduh ... aku malas jika harus cerita dua kali, nanti saja pas di sekolah. Aku malas cerita dua kali." Anak baru itu hanya dapat menahan rasa penasaran dibuatnya. Setibanya di sekolah, Deary dan Riri sudah menunggu. Semenjak kerja kelompok, keempatnya semakin dekat. Waktu menunjukkan pukul tujuh, masih ada setengah jam untuk berbincang-bincang. Mereka memilih sebuah kursi bekas panjang di dekat gerbang sebagai tempat berkumpul. "Anthony, kau tak apa? wajahmu kelihatan pucat." Deary membuka percakapan. "Benar, lebih baik kau ke bagian kesehatan jika memang tidak enak badan." timpal Riri. Siswa jangkung berambut panjang menggeleng, ruang kesehatan bukan kebiasaannya. Kemudian ia mulai bercerita tentang insiden pembunuhan yang dini hari terjadi di rumah. "Nina!!" Panggil Rey ke seorang gadis yang melangkah masuk melewati pintu gerbang, cerita Anthony baru berjalan beberapa saat. Nina langsung mendatangi mereka, ikut duduk bersama. Namun gelagat gadis itu aneh, matanya awas, memperhatikan sekitar seakan lingkungan sekolah penuh dengan ancaman. Ia duduk sedikit jauh dari yang lain, tampak sengaja memisahkan diri. Rey yang pertama kali menyadari keanehan gelagat Nina, perhatiannya selalu diambil alih dengan keberadaan gadis ini. "Kenapa, Na? Kau sepertinya sedikit menjaga jarak." ucap Rey. Tiba-tiba ia tak tertarik mendengarkan cerita sang ketua, gadis itu rasanya lebih layak dinomor satukan. Tapi pertanyaannya hanya berbalas gelengan singkat. Kemudian pemuda itu memperhatikan adanya plester di dahi Nina, juga tangan, jemari dan lututnya. Apa yang terjadi? "Na, luka-luka itu … ada apa?" "Tak apa." Singkat, jelas, padat. Keringat sebutir jagung meleleh di dahinya, air wajah gadis itu tampak menutupi sesuatu. "Coba aku lihat." "Jangan!" Nina mendesis tertahan, tidak ingin membuat keributan. Ia menepis tangan yang ingin menyentuh dahinya, tampak gugup dan ketakutan. Deary melirik sekilas, namun enggan ikut campur, senang jika kedua muda-mudi itu dekat. Ia menganggap yang barusan sebagai pertengkaran kecil kekasih. Pun Riri, dia tipikal gadis bebas dan maunya sendiri, tidak berminat ikut campur dalam urusan orang. Sementara Anthony, terlalu lelah untuk peduli, memilih untuk meneruskan cerita, menguras sisa-sisa tenaga demi patah kata. Rey mengurungkan niat, dahinya sedikit berkerut. Gadis ini sungguh pendiam, bahkan disentuh pun gugup. 'Hmmm … apa mungkin ini yang membuat semua laki-laki yang pernah mendekatinya pergi? jika hanya itu, aku tidak akan menyerah.' Sedikit lega, jika dugaannya benar maka kisah cintanya akan berjalan lancar. Bel sekolah berbunyi nyaring, tanda jam pelajaran segera dimulai. Mereka berdiri, beranjak menuju kelas. Di jalan, barulah Deary coba menanyakan perihal luka-luka di tubuh sahabatnya, namun tetap tak mendapat apa-apa. Dua kali pertanyaannya tidak dibalas, Deary menyerah. Mereka berjalan beriringan, sang ketua masih menceritakan kejadian di rumahnya, kali ini dengan ritme lebih lamban. Diselingi napas berat dan ringisan menahan sakit. Nina berjalan sendirian dua meter di belakang, menjaga jarak. Sesekali Riri menyuruh Anthony pergi ke UKS, yang langsung dibalas dengan lambaian tangan. Tidak mau. Keadaan pemuda itu tampak buruk, tidak memungkinkan ikut kelas. Tiba-tiba Anthony memegang kepala, tubuhnya limbung lalu terkapar, dadanya sesak seakan seluruh oksigen ditarik keluar. Sekian mili detik berlalu, tubuh tinggi itu kejang singkat, lalu terengah. Kejadiannya begitu singkat, seruan dan teriakan histeris bersahutan seakan diundang. Riri memekik, Deary sigap berusaha menyadarkan temannya. "Hey! Kau kenapa?!" Tak ada jawaban, ketua kelompok mereka tengah coba menarik udara ke paru-parunya sebisa mungkin. Hanya dalam sekejap, seluruh tubuhnya melemah, bahkan ia hampir tak dapat merasakan lengan dan kaki. "Bawa dia ke ruang kesehatan. Cepat! Seseorang, panggil ambulans!" Rey mengambil inisiatif, memerintah seorang murid entah siapa untuk bergegas meminta pertolongan ahli. Rey meraih tubuh tak berdaya tersebut, membopongnya bersama beberapa siswa ke ruang kesehatan. Ia jeli menatap garis-garis pembuluh darah di pergelangan tangan yang tidak normal. Gejala yang timbul di tubuh Anthony jelas tanda keracunan bahan kimia fatal. Saat menggotong tubuh temannya, ia melirik ke arah Nina yang sedari tadi diam, malah terkesan menjauhi keributan. Sebegitu gugupnya kah, Sampai-sampai gadis itu tetap bergeming meski temannya seperti ini? -=9=-Kabar duka menyelimuti pagi. Langit yang sedari pagi cerah mulai berawan bertemankan sepi, seakan ikut sedih atas kejadian ini. Tangis kesedihan menggema di kelas-kelas, menghinggapi hati siswa-siswi. Pukulan teramat bagi para guru yang kehilangan murid berprestasi. Louis Anthony, pemain basket andalan kelas 9, meninggal dunia. Polisi dan dokter datang setelahnya, mengatakan bahwa anak itu keracunan. Mungkin disebabkan oleh zat berbahaya yang tidak sengaja masuk melalui goresan di tangan. Namun setelah hasil autopsi tiba, racun yang menyebabkan korban meninggal sungguh tak terduga. Tetrodotoxin. Racun mematikan yang umumnya hanya ditemukan pada tubuh ikan buntal. Entah bagaimana zat semematikan itu dapat sampai di tubuh Anthony. Di saat kegemparan sekolah sedang berlangsung, seseorang menghilang. ‘Ke mana Dia?’ Rey berlari ke bangunan sebelah, meski hampir tak ada kemungkinan sosok yang sedang dicarinya ada di gedung SMA. Namun sekecil apa pun kemungkinan, berarti masih ada k
Seminggu sudah sejak kepergian Anthony. Meski awan duka masih membumbung di mata teman-temannya, mereka mencoba beraktivitas seperti biasa. Memendam kesedihan tak akan membuat ia yang kau tangisi bahagia, malahan itu membuatnya sedih. Semua kembali normal, terutama teman satu kelompok tugas biologi. Hey! Bukankah seharusnya mereka sudah berpisah? Tugas Biologi sudah usai, bukan? Sejak kepergian Anthony, persahabatan Rey, Nina dan Deary semakin dekat. Bermula dari tugas kelompok, sampai ikatan tak tertulis yang ada di hati. Tak dapat dipungkiri, merekalah yang menjadi saksi utama kepergian pemuda jangkung itu. Riri? Gadis mungil itu tetaplah menjadi teman dekat. Namun jika untuk predikat sahabat, sepertinya belum cukup dekat. Ia sudah memiliki sahabat sendiri, toh di kelompok, hanya Deary yang sangat dekat padanya. Pagi ini kegiatan belajar berjalan lancar, Pak guru gan
Jam menunjukkan pukul 07:00 p.m.Seorang pria dengan setelan hitam sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tas, terlihat begitu konsentrasi dan penuh perhitungan."Hey, kau sudah siap?" Ia bertanya tanpa menoleh."Siap 100%. Paman tahu? Kau begitu lama mempersiapkan hal semacam ini." gadis di samping si pria duduk santai sementara dua buah pisau asyik berputar-putar di jemarinya."Terserah kau saja, paman lebih memilih persiapan lengkap ketimbang harus gagal di pertandingan."Tawa satir membahana sebagai tanggapan."Baiklah, omong-omong, bagaimana targetnya?" Pisau berhenti berputar ditangannya, lalu melesat menusuk papan Dart di tembok. Double bull!"Aku sudah dapat alamat rumahnya. Tempatnya terpencil, tidak begitu jauh dari rumah Louis Anthony, target pertama bulan ini. Kemungkinan besar jika pergi, mak
Awal bulan, awal yang baru.Pagi ini, pagi kedua di bulan baru. Kabut menyelimuti, lengkap sudah dengan dingin yang menusuk tulang, suatu hal yang cukup jarang terjadi di kota kecil itu. Suasana beku memang selalu ada, namun tak pasti dengan kabut tebal yang mendampingi. Mungkin akibat hujan deras semalam.Seorang lelaki menatap kejauhan meski tetap tertumpu beberapa kaki oleh kabut. Seulas senyum mengembang saat mengingat masa-masa indah bersama gadis yang ia sukai, atau lebih tepatnya ia cintai. Sekarang tak diragukan lagi bahwa rasa itu memang cinta.Matahari belum sempurna meninggi, masih malu-malu mengintip kehidupan yang merangkak menjumpa pagi. Cahayanya deras menimpa alam, namun terhalang gumpalan kabut. Tak terlihat memang, tapi bagi seorang anak detektif, pengetahuan tentang detail seperti itu pun penting dan harus diimbangi ketepatan waktu."42 detik yang menawan .... tak terasa, hari kelu
Angin senja menderu kencang, awan kelam menyelimuti angkasa, siap menumpahkan isinya kapan pun suratan setuju. Seorang gadis duduk malas di kamarnya, berpikir lama. Akhir-akhir ini request tak lagi bermunculan, nama-nama baru di situs 'The Number' seakan tersendat, hal yang sungguh mengundang penat.“Jika seperti ini terus, aku bisa mati bosan!”Kematian tetap untuk 9 orang tiap bulan, namun yang menghasilkan uang hanya sedikit. Hari pertama bulan ini, list target di situs mereka sama sekali kosong. Mereka tidak ingin melalui 30 hari seperti sebelumnya, sedikit target yang berarti sedikit uang.Ia dan pamannya juga manusia, hidup dari hasil membunuh. Maka bisa dibilang finansial mereka sedang dalam bahaya. Bangkrut? Tidak juga, manusia tak akan pernah lepas dari dendam dan kebencian, juga populasi mereka seakan abadi. Tiada kata punah. Sayang akhir-akhir ini sedikit sekali klien.
Gadis itu terbangun, mendapati dirinya berbaring di rerumputan hijau, menjulang di puncak bukit rendah. Ia tersenyum, rembulan tampak begitu indah mengangkasa, ditemani gemintang tanpa terbiaskan cahaya lampu perkotaan. Suasana yang sungguh berbeda dengan kediamannya di kota besar.Tiba-tiba sesuatu menggenang di lengan yang menumpu badan, kental dan pekat. Saat menoleh, telapak telah penuh dengan darah. Sementara di bawahnya, cairan merah mendanau entah seluas apa."-" mulutnya terbuka, namun tanpa suara.Berkali coba berteriak, namun tetap tak ada getaran yang terasa di tenggorokan. Sesaat kemudian barulah sadar bahwa lehernya telah tersayat, tepat merobek tenggorokan. Ia kehilangan suara."Tidak!!!"Hampir sebulan penuh gadis itu tinggal sendiri, tak ada lagi lelaki tinggi dengan rambut rapi yang selalu membangunkan di kala pagi. Tidak akan pernah
"Pria itu mati di sana!" Entah siapa ‘pria’ itu, yang jelas adalah anggota ‘The Number’, Bahkan mungkin 'EIGHT' yang sedang bersama anggota baru, 'NINE'. 'Apakah itu alasan Nina mengatakan pamannya dibunuh 'The Number'? Untuk mengalihkan kecurigaan, padahal merekalah organisasi itu?' Rey bertanya dalam hati. "Kalian! Serius sekali pembicaraannya, ini kopi, minumlah dulu." seorang wanita muncul dari dapur membawa dua gelas kopi. "Terima kasih, Sayang." ujar suaminya mengambil segelas. "Rey, akhir-akhir ini kamu tidak pernah bercerita tentangnya. Siapa? Nina?" Anak itu tersedak saat ibunya membahas hal yang tak ia bicarakan seminggu terakhir. Begitu pula sang ayah. "Nina? Siapa itu, Nak?" "Eumm … teman, Yah. Sungguh, dia bukan siapa-siapa." detektif itu melarangnya pacaran, ia berkata perasa
16:28Rey duduk di balik kemudi, mobil yang dikendarainya sudah 10 menit berhenti di depan rumah besar bertingkat. Untuk suatu alasan, lebih baik menunggu di mobil ketimbang masuk.Jika kupaksakan masuk, ada kemungkinan kalau Nina memang pembunuh, persiapannya akan ketahuan. Daripada ia curiga dan merasa terancam, lebih baik aku membiarkan semua berjalan sesuai rencananya.Meski berpikir demikian, hati anak cerdas itu tetap tidak menaruh curiga berlebih, mungkin ia hanya sedang berdandan. Dan aktivitas tersebut pasti memakan waktu bagi wanita, bahkan untuk gadis pendiam seperti Nina."Nina! Sudah belum?!""Sebentar, Rey! Sebentar lagi kok!" teriakan dari lantai dua terdengar.Anak laki-laki di bawah tersenyum, tidak yakin akan 'sebentar' yang dimaksud.Tadi sebelum menjemput Nina, ia menyempatkan diri mampir
Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak
Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  
Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori
Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n
Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  
Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja