"Selamat datang!" Nina membukakan pintu gerbang untuk yang lain.
Terpukau. Mereka takjub melihat rumah Nina, akhirnya gadis misterius yang sudah lama dikenal memberi tahukan kediamannya. Jelas terlihat bahwa ia adalah anak dari keluarga kaya, rumah tingkat 2 dengan halaman luas dan pagar kokoh nan elegan.
Bangunan bertingkat dengan gaya khas Eropa, lengkap dengan ornamen-ornamen indah. Pagar tinggi menjadi pembatas antara halaman dan jalan, memiliki arsitektur yang tak jauh berbeda. Warna krem dan cokelat mendominasi dinding luar, balkon luas dibangun tepat di atas teras.
Di sisi kanan dari arah masuk, ada satu jendela besar pada masing-masing lantai, menghadap langsung ke halaman. Tak lupa balkon kecil di jendela lantai dua. Sedangkan di lain sisi, tebing buatan setinggi tiga meter menyatu dengan dinding, menumpahkan air terjun langsung ke kolam ikan di bawahnya.
Desain yang begitu memukau. Wajar saja, karena tanpa ada yang tahu, itu adalah rumah orang terkaya di kota.
Semua berjalan pelan menuju pintu masuk, masing-masing mata belum bisa diam, memandang sudut-sudut memukau rumah temannya. Apalagi saat pintu kokoh tinggi dibuka, terbukalah mulut mereka takjub.
"Wow! Benar ini rumahmu, Na?" komentar Deary yang telah lama penasaran dengan rumah sahabat kecilnya. Gadis berambut gelombang itu mencoba duduk di sofa mewah ruang tamu, kagum betapa nyamannya benda itu.
Yang ditanya cuma membalas dengan tersenyum. Setelah teman-temannya puas mencoba dan memperhatikan ruang tamu, tuan rumah mengajak mereka ke ruang keluarga, ruangan terluas dan paling cocok untuk mengerjakan tugas.
"Na, senapan M110 yang ada di dinding itu … asli?" tanya Rey.
Nina tertegun, lupa jika barang pribadi pamannya banyak yang dipajang di dinding.
"Eee … bukan, itu cuma replika, paman suka mengoleksi barang sejenis itu," dalihnya menjawab setenang mungkin, tak boleh ada kecurigaan merekah di antara mereka.
"Hmmm ... apa pamanmu yang bilang? Kalau iya, berarti dia berbohong, jelas-jelas itu asli." Si anak baru berkata tegas, begitu yakin. Nina tersentak kaget, tapi berusaha tak memperlihatkannya. Bagaimana dia tahu?
"Wahhh. Bagaimana kau bisa mengetahuinya, Rey?" Anthony yang dari tadi diam angkat bicara.
"Ada yang aneh jika memang itu senjata replika. Perhatikan, banyak baret-baret samar di pegangan dan bagian bawah senapan yang menandakan pernah dipakai, jika memang replika seharusnya benda ini sangat mulus dan terawat. Lalu di ujung larasnya tak ada lapisan barel tambahan, yah... yang ini tak bisa dijadikan bukti pasti karna tak semua replika menggunakannya. Lalu coba perhatikan, debu di permukaannya tipis, itu berarti habis digunakan belum lama ini," jelasnya.
“Ta-tapi pamanku memang selalu merawatnya, ia sering membersihkan koleksinya karena benda-benda itu sangat ia sayangi. Pamanku juga sering memperagakan cara menggunakan senapan dengan itu, mungkin itu sebabnya banyak baret dan goresan.” Nina terpatah berdalih, memberi alasan sebisanya.
Rey menggeleng tenang, “Jika memang demikian, pamanmu tidak akan memajangnya hanya dengan besi di dinding. Kalau benar-benar menyayangi replica senapan dengan kualitas tinggi, ia pasti akan membeli kotak kaca khusus. Apalagi memeragakan pengguanaan senapan? Aku tidak yakin itu benar. Karena bagaimanapun goresan ini hasil nyata dari pengalaman. Senapan ini asli, Nina.”
Gadis itu menunduk kaku.
"Cool! Kau belajar dari mana hal semacam itu?" Riri bersemangat, rambut pendeknya menari kecil diterpa angin, ia adalah perempuan paling pendek di kelas. Sahutan pujian lain mengikuti. Hanya gadis pemilik rumah itu yang tetap membisu.
"Tentu bisa karena aku seorang detektif." pengakuan yang membungkam semua orang.
"Hah? sungguh?!" selidik Deary bercampur antara heran dan tak percaya, jelas gila jika anak sepantaran mereka jadi detektif.
"Tentu saja …," Rey sengaja menggantungkan kalimatnya, membuat yang lain semakin penasaran. "bukan. Ayahku yang detektif, jangan terlalu percaya," lanjutnya mengundang tawa teman-teman, menyadari betapa mudahnya mereka percaya. Suasana pun ceria kembali.
"Bah! Aku saja yang anggota tim basket tidak mengerti hal begitu." sahut Anthony menambah tawa lainnya. Memang apa hubungan basket dengan senapan?
Nina, hanya dia yang tersenyum tipis, tak ikut mengumbar tawa. Meski yang lain kelihatannya menganggap tadi itu angin lalu, sepertinya gadis ini tidak.
Melihatnya Rey merasa bersalah, lalu mengusulkan untuk memulai diskusi mereka.
‘Apa yang salah? Kenapa dia terlihat tidak senang? Padahal aku mencoba membuatnya terkesan, apakah ada kata-kataku yang salah?’ Beberapa pertanyaan berkecamuk di benak anak muda itu, tak tega melihat gadis di hadapannya cuma berseri dalam diam.
Setidaknya dengan mengerjakan tugas, dia dapat melihat wajah cantik itu berbicara.
Kerja kelompok mereka tidaklah mudah. Tapi dengan kehadiran anak bernama Rey, semua berjalan secepat mengerjakan soal matematika sekolah dasar. Dia cerdas, brilian, ramah, pribadi yang mudah bergaul dengan teman baru. Mereka merasa tertolong.
Tugas selesai saat mentari mulai tergelincir manja di ujung cakrawala, membuat arakan awan putih bak terbakar, menjadi api membara di langit jingga. Lukisan angkasa berlatarkan semesta kemerahan. Sungguh karya alam yang begitu indah di mata.
Nina mengantar mereka ke jalan raya terdekat, melambai dari tikungan perumahan tempatnya tinggal. Melepas kepergian sahabat dan teman-teman.
Suasana sore itu sungguh tenteram, layaknya sahabat karib yang terkait ikatan hati, senyum tulus bermekaran di wajah mereka. Gadis pendiam itu melempar senyum, memandangi punggung kawannya hingga hilang di belokan.
Tepat punggung kawannya lenyap dari pandangan, diliriknya jam tangan, lalu dengan wajah serius berlari secepat mungkin kembali ke rumah.
“Semuanya harus beres sebelum paman pulang.”
-=9=-
Seorang gadis berlari kencang, membanting pintu rumah hingga berdebam, tak burung-burung beterbangan dari pohon sekitar. Gejolak emosi hampir membuatnya hilang kendali. Ia tersengal, peluh membanjiri dahi dan wajah. Rambut berantakan, seragam sekolah kusut. Belum sempat mengganti pakaian sepulang sekolah tadi.
"Dasar detektif sialan!" umpatnya memukul pintu, membuat suara gaduh.
Ia terdiam lama, sebisa mungkin menenangkan diri dan mengatur nafas, kejadian tadi benar-benar membuat jantungnya berdegup kencang. Jika bukan karena detektif sialan itu, pasti sore ini akan lebih menyenangkan.
Setelah tenang, ia beranjak menuju ruang keluarga, tempat dimana TV diletakkan. Dengan remote di tangan, ia langsung mencari-cari Channel dengan berita terkini. Trending topik tentang 'The Number', pembunuh bayaran kelas kakap yang dilakoni sosok misterius.
"Ini dia!!" Gadis itu bersorak, yang dicarinya sudah ada di depan mata.
"Pagi ini seorang pria tua pemilik saham tertinggi di pusat perbelanjaan kota terbunuh. Diduga 'The Number' adalah dalang di balik semua ini, sebuah tulisan 'EIGHT' dengan angka 9 kecil diujungnya menjadi sebuah petunjuk yang mengatakan bahwa pria itu adalah korban terakhir bulan ini, para...." Pembawa acara di TV menyiarkan topik hangat hari ini.
Ada kilatan aneh yang terpancar di mata gadis berambut panjang saat melihat berita sore itu, perlahan seringai menghias bibir, lalu menjelma senyuman keji. Ia beranjak ke ruang kerja sang paman, menyalakan komputer, lalu membuka beberapa file dan situs ilegal yang diwariskan pendahulu mereka. Mulai membaca.
"Louis Anthony ... nama yang keren. Kau akan menjadi korban pertama untuk bulan depan."
-=9=-
''The Number'.Nama yang telah lama menjadi teror, menghantui kehidupan di negara ini sejak satu setengah abad terakhir. Sekelompok profesional keji, pembunuh bayaran tanpa pandang bulu. Tak ada yang tahu pasti mengenai dia, mereka, atau siapalah orang-orang ini.Segala tentang 'The Number' sungguh masih misteri.Bahkan tidak ada jaminan jika suatu saat nanti mereka akan terekspos.Kau cukup memberi nama dan alamat orang yang kau benci di situs mereka, maka dengan bayaran sepadan, ia kan mati dengan coretan luka di tubuhnya. Bahkan hingga kasus mutilasi atau lebih parah. Memuaskan keinginan klien tentu penting.Tidak ada yang pasti dari pembunuh ini, namun beberapa bocoran mereka publikasikan entah dengan tujuan apa.'The Number' memiliki aturan tersendi
28 Februari22:32 p.m.Seorang remaja belasan tahun termenung di kamar, perkataan temannya tadi sore sungguh menghantui. Ia urung mendengarkan peringatan itu, tapi mengabaikannya juga tak semudah dikata. Sesosok wajah terbayang di pelupuk mata, senyum semanis mawar, mata indah dan caranya berbicara.Anak itu mengacak rambut gemas, merasa aneh dengan pikiran yang tak seperti dirinya. Sial! Aku bisa gila jika terus seperti ini!Suara pintu terbuka menghamburkan lamunan, seorang wanita paruh baya muncul. "Sayang, kau belum tidur? Ada apa?""Tak apa, Bu. Hanya memikirkan tugas sekolah," jawab Rey sekenanya.Wanita yang dipanggil ibu menatap anak tunggalnya lamat-lamat, ia tumbuh menjadi pemuda tampan dan pintar, rambut rapi persis mencerminkan sang ayah. Kemudian terse
1 Maret 04:48 a.m. Seorang gadis mengerjap, silau akan cahaya di hadapannya. Kepala yang seakan semakin berat, tubuh sakit, dan pedih pada bagian pundak secara bersamaan muncul. Tepat saat mendapati dirinya berada di atas pembaringan. Di kamar? "Aww!!" Rasa pedih membakar pundak kanannya saat mencoba bangun. "Sudahlah, jangan banyak bergerak. Lukamu cukup parah." Sebuah suara datang dari arah dapur, mungkin pamannya sedang menikmati kopi atau teh. Terdengar kesan aneh dalam kalimat itu, sesuatu yang tak pernah diperlihatkan sosok tegap itu. Keputus-asaan tersirat di getar suaranya. "Paman, bisakah kau masuk? Ada hal yang ingin kutanyakan padamu," ujar gadis di kamar, coba menyamankan diri. Sementara di dapur, sosok lelaki berusaha meredam rasa sesal yang menghantui. "Baiklah, tunggu sebentar." Tak berselang lama, lelaki yang selama ini merawatnya melangkah masuk. Saat melihat plester dan perban ada di tubuh sang paman, ia seketika tersadar jika tubuhnya juga berbalut
Kabar duka menyelimuti pagi. Langit yang sedari pagi cerah mulai berawan bertemankan sepi, seakan ikut sedih atas kejadian ini. Tangis kesedihan menggema di kelas-kelas, menghinggapi hati siswa-siswi. Pukulan teramat bagi para guru yang kehilangan murid berprestasi. Louis Anthony, pemain basket andalan kelas 9, meninggal dunia. Polisi dan dokter datang setelahnya, mengatakan bahwa anak itu keracunan. Mungkin disebabkan oleh zat berbahaya yang tidak sengaja masuk melalui goresan di tangan. Namun setelah hasil autopsi tiba, racun yang menyebabkan korban meninggal sungguh tak terduga. Tetrodotoxin. Racun mematikan yang umumnya hanya ditemukan pada tubuh ikan buntal. Entah bagaimana zat semematikan itu dapat sampai di tubuh Anthony. Di saat kegemparan sekolah sedang berlangsung, seseorang menghilang. ‘Ke mana Dia?’ Rey berlari ke bangunan sebelah, meski hampir tak ada kemungkinan sosok yang sedang dicarinya ada di gedung SMA. Namun sekecil apa pun kemungkinan, berarti masih ada k
Seminggu sudah sejak kepergian Anthony. Meski awan duka masih membumbung di mata teman-temannya, mereka mencoba beraktivitas seperti biasa. Memendam kesedihan tak akan membuat ia yang kau tangisi bahagia, malahan itu membuatnya sedih. Semua kembali normal, terutama teman satu kelompok tugas biologi. Hey! Bukankah seharusnya mereka sudah berpisah? Tugas Biologi sudah usai, bukan? Sejak kepergian Anthony, persahabatan Rey, Nina dan Deary semakin dekat. Bermula dari tugas kelompok, sampai ikatan tak tertulis yang ada di hati. Tak dapat dipungkiri, merekalah yang menjadi saksi utama kepergian pemuda jangkung itu. Riri? Gadis mungil itu tetaplah menjadi teman dekat. Namun jika untuk predikat sahabat, sepertinya belum cukup dekat. Ia sudah memiliki sahabat sendiri, toh di kelompok, hanya Deary yang sangat dekat padanya. Pagi ini kegiatan belajar berjalan lancar, Pak guru gan
Jam menunjukkan pukul 07:00 p.m.Seorang pria dengan setelan hitam sedang memasukkan beberapa barang ke dalam tas, terlihat begitu konsentrasi dan penuh perhitungan."Hey, kau sudah siap?" Ia bertanya tanpa menoleh."Siap 100%. Paman tahu? Kau begitu lama mempersiapkan hal semacam ini." gadis di samping si pria duduk santai sementara dua buah pisau asyik berputar-putar di jemarinya."Terserah kau saja, paman lebih memilih persiapan lengkap ketimbang harus gagal di pertandingan."Tawa satir membahana sebagai tanggapan."Baiklah, omong-omong, bagaimana targetnya?" Pisau berhenti berputar ditangannya, lalu melesat menusuk papan Dart di tembok. Double bull!"Aku sudah dapat alamat rumahnya. Tempatnya terpencil, tidak begitu jauh dari rumah Louis Anthony, target pertama bulan ini. Kemungkinan besar jika pergi, mak
Awal bulan, awal yang baru.Pagi ini, pagi kedua di bulan baru. Kabut menyelimuti, lengkap sudah dengan dingin yang menusuk tulang, suatu hal yang cukup jarang terjadi di kota kecil itu. Suasana beku memang selalu ada, namun tak pasti dengan kabut tebal yang mendampingi. Mungkin akibat hujan deras semalam.Seorang lelaki menatap kejauhan meski tetap tertumpu beberapa kaki oleh kabut. Seulas senyum mengembang saat mengingat masa-masa indah bersama gadis yang ia sukai, atau lebih tepatnya ia cintai. Sekarang tak diragukan lagi bahwa rasa itu memang cinta.Matahari belum sempurna meninggi, masih malu-malu mengintip kehidupan yang merangkak menjumpa pagi. Cahayanya deras menimpa alam, namun terhalang gumpalan kabut. Tak terlihat memang, tapi bagi seorang anak detektif, pengetahuan tentang detail seperti itu pun penting dan harus diimbangi ketepatan waktu."42 detik yang menawan .... tak terasa, hari kelu
Angin senja menderu kencang, awan kelam menyelimuti angkasa, siap menumpahkan isinya kapan pun suratan setuju. Seorang gadis duduk malas di kamarnya, berpikir lama. Akhir-akhir ini request tak lagi bermunculan, nama-nama baru di situs 'The Number' seakan tersendat, hal yang sungguh mengundang penat.“Jika seperti ini terus, aku bisa mati bosan!”Kematian tetap untuk 9 orang tiap bulan, namun yang menghasilkan uang hanya sedikit. Hari pertama bulan ini, list target di situs mereka sama sekali kosong. Mereka tidak ingin melalui 30 hari seperti sebelumnya, sedikit target yang berarti sedikit uang.Ia dan pamannya juga manusia, hidup dari hasil membunuh. Maka bisa dibilang finansial mereka sedang dalam bahaya. Bangkrut? Tidak juga, manusia tak akan pernah lepas dari dendam dan kebencian, juga populasi mereka seakan abadi. Tiada kata punah. Sayang akhir-akhir ini sedikit sekali klien.
Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak
Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  
Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori
Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n
Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  
Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja