Jarot dan Wahyudi bersamaan menatap ke arah dompet coklat itu. Wajah Wahyudi memucat. "Astaga, dompet saya terjatuh," ujar Wahyudi. Dia melihat sejenak ke layar ponselnya untuk mengetahui siapa yang sedang menelepon. Wajah Wahyudi sedikit terperanjat saat melihat ternyata Wina yang meneleponnya. Wahyudi segera menggeser layar untuk menolak panggilan telepon dari Wina. Lalu cepat-cepat mengambil dompet itu dan memasukkannya ke dalam saki celananya. Dengan secepat kilat juga, dia membalikkan badannya menjauhi Jarot. "Tunggu! Pak Wahyudi! Saya ingin bicara sebentar!" seru Jarot seraya mengejar Wahyudi yang nyaris berlari di p pabrik yang menghubungkan toilet dengan ruang kerja utama. Dengan jantung berdebar lebih kencang, Wahyudi menoleh dan menyunggingkan senyum pada Jarot. "Ya Pak? Ada apa? Waktu istirahat hampir berakhir. Kita harus segera bekerja lagi bukan?" tanya Wahyudi. Jarot menatap ke arah Wahyudi dengan tatapan curiga. "Dompet siapa yang jatuh tadi?" tanya Jarot dengan
"Bu, siap-siap masuk penjara atas tuduhan penganiayaan pada Adelia. Saya sedang menelepon kakak saya yang bekerja sebagai pengacara sekarang!" seru Roni membuat Wahyudi, Wawan, dan Ambar memucat! "Halo, ada apa, Ron?!" tanya Rosa dari seberang telepon. Rupanya Roni telah mengaktifkan pengeras suara dari ponsel nya sehingga suara Rosa bisa didengar oleh Wahyudi dan keluarganya. Ambar gemetar menatap dengan takut ke arah Roni. Dia cemas, panik, dan juga gengsi untuk meminta maaf pada mantan menantunya itu. "Mbak, bisa kemari sebentar? Ada tindak kekerasan di rumahku!""Lho, langsung lapor kan saja pada polisi!" ujar Rosa. Roni lalu mengalihkan panggilan telepon menjadi panggilan video lalu mengarah kan ponselnya ke arah Wahyudi dan keluarga nya. "Astaga, kenapa pipi Adelia bengkak? Ujung bibirnya juga berdarah. Ada apa ini?" tanya Rosa kaget. Dia mengawasi dari layar ponsel nya dengan serius. "Yah, Adelia baru saja digampar dengan mertuanya. Menurut mbak Rosa, gimana nih? Hal ini
Adelia dengan ditemani Rosa dan Roni duduk dalam satu ruangan di kantor polisi dengan menatap tajam ke arah Ambar yang ditemani oleh Wawan. Wahyudi yang bekerja di luar kabupaten, tidak bisa menemani ibunya untuk proses mediasi dengan Adelia. Rosa melirik pada Adelia, seolah menanyakan kembali tentang keputusan Adelia untuk berdamai dengan keluarga Ambar. Memang kasus penganiayaan yang dilakukan Ambar tidak menyebabkan cacat dan Ambar hanya dikenakan dakwaan penjara selama 3,5 bulan dan pembayaran denda sebesar 5 juta untuk korban. Tapi Adelia lebih memilih agar Ambar tidak masuk penjara dan memberikan kemungkinan jalan damai dengan membayar denda lebih banyak. "Kenapa kamu tidak membiarkan bu Ambar masuk masuk penjara saja, Del?" tanya Rosa saat mereka dalam perjalanan menuju ke kantor polisi. Adelia tersenyum. "Hm, bagaimana pun juga dia adalah mantan ibu mertuaku. Aku merasa kasihan jika dia sampai masuk penjara, walaupun hal itu gara-gara kelakuan nya sendiri."Adelia menjed
Wahyudi menjeda kalimat nya saat mendadak dia merasakan organ intimnya mengeras dan rasa bercinta yang mendadak muncul dari dalam dirinya. Lelaki itu menatap Wina dengan penuh n4ps*.Entah siapa yang memulai lebih dulu, kedua insan itu mulai mendekat dan saling memeluk. Saat Wahyudi akan membuka baju Wina, perempuan itu menahan tangan Wahyudi, lalu berbisik lirih. "Mas, kita lakukan di kamar saja. Aku tutup pintu," bisik Wina, lalu bangkit dan menutup pintu kontrakannya. "Aaawww!"Baru saja menutup pintu, Wina sudah berada dalam gendongan Wahyudi. "Kamu nggak sabaran banget, Mas!" desis Wina dengan senyum dikulum. "Hm, entahlah. Mungkin karena aku sudah terlalu lama tidak melakukan hubungan ini. Jadi dimana kamar kamu?" tanya Wahyudi. Wina menunjuk ke arah sebuah kamar dengan dagunya. Wahyudi segera membawa Wina ke kamar yang ditunjukkan oleh Wina. Lelaki itu merebahkan Wina ke atas ranjang dan melepaskan baju keduanya secara tak sabar. Wina dengan tersenyum hanya terdiam dan
"Ini untuk belanja seharian. Kamu juga harus masak, nyuci, setrikain bajuku, nyapu dan ngepel. Biar aku yang memberikan kamu uang, Mas. Tapi kamu tetap harus bekerja di pabrik dan mengerjakan pekerjaan rumah karena aku tidak akan pernah mau melakukan nya," ujar Wina sambil memberikan uang lima puluh ribu rupiah kepada Wahyudi. Wahyudi hanya bisa tercengang menatap ke arah istrinya itu. Tapi tak lama kemudian, kesadaran nya sudah kembali. "Apa? Tidak mungkin lah, Win! Kan aku yang kepala rumah tangga di sini? Masa aku yang nyuci nyapu pel?" tanya Wahyudi dengan nada memprotes. Wina mendelik. "Lah, Mas. Coba kamu pikirkan baik-baik. Mana ada jaman sekarang suami yang memberikan nafkah hanya lima ribu rupiah saja pada istrinya?Coba kamu tanya pada teman-teman kamu yang lain. Wajar apa enggak sih nafkah lima ribu rupiah per hari?"Wahyudi tercekat melihat perlawanan Wina pertama kali. "Tapi, kamu bilang kamu setuju kan dengan nafkah lima ribu dari ku?" Wina mengangguk. "Betul. Aku
Sebuah suara dari arah belakang Jarot membuat Jarot dan Wina menoleh. "Mas Wahyudi?" desis Wina panik. Wahyudi berjalan dengan rasa penasaran ke arah Jarot dan Wina. "Kamu kan minta dijemput di depan gerbang kantor kamu, kenapa sekarang di warung? Apa kamu lapar, Sayang?" tanya Wahyudi setelah berada di samping Wina. Wina membalas tatapan Wahyudi dengan rasa canggung. "A-aku memang lapar. Di rumah sedang tidak ada makanan kan?" tanya Wina lagi. "Yah, kalau memang tidak ada makanan di rumah, lebih baik kamu beli saja. Kenapa malah ngobrol dengan laki-laki lain?" tanya Wahyudi melirik tajam ke arah Jarot. Seketika Jarot langsung salah tingkah. "Hei, Yud, ini urusan ku dengan Wina. Bukan dengan kamu!" seru Jarot menatap tajam ke arah Wahyudi. Wahyudi langsung maju merengsek ke arah Jarot. "Heh! Sekarang Wina sudah menjadi istriku! Apapun yang menjadi urusannya adalah urusan ku."Wahyudi menjeda kalimatnya, menatap lekat-lekat ke arah Jarot. "Tunggu dulu, dari tadi pak Jarot kok
"Mama nggak terima ya kalau kamu menjadi babu dan melayani keluarga istri kamu. Broto! Kamu ini apa-apaan sih? Kok tega banget menyuruh-nyuruh anakku melayani kalian! Meskipun kamu adalah teman ku, tapi anakku bukan pelayan!" sambung Ambar dengan nada marah. Pak Broto selaku ayah dari Wina segera berdiri dan berkacak pinggang pada teman SMAnya itu. "Eh apa kamu bilang? Anak kamu itu memang harus melayani mertuanya dong! Masa menjadi menantu yang tidak berbakti!" sembur Pak Broto dengan nada tidak suka. Ambar berjalan ke arah sofa dan duduk dengan membanting pantat. Dia merasa sangat emosi melihat anak lelakinya membawakan teh dan snack untuk mertuanya. "Heh, Broto! Denger ya, dimana-mana itu yang namanya melayani orang tua atau mertua pasti pihak istri atau perempuan. Anakku sudah mencari nafkah, dia tidak pantas untuk memegang pekerjaan rumah! Harusnya Wina tahu diri lah untuk langsung mengambilkan makanan dan minuman bagi kita! Aku tidak mau anakku yang berharga menjadi babu saa
Beberapa saat sebelumnya, Wahyudi dengan mengendarai avanza hitam pemberian mertuanya, mengantar Wina ke kantornya lalu menuju ke kantor. Mata Jarot mendelik saat melihat Wahyudi turun dari mobil. "Mobil baru, Pak Yud? Saya kira kamu kemarin nggak punya duit? Tapi kok sekarang bisa beli mobil?" tegur Jarot sambil melirik ke arah mobil yang baru sama diparkir oleh Wahyudi. Wahyudi menatap ke arah Jarot. "Enak saja bapak bilang saya nggak punya duit! Saya punya duit tapi tidak pernah saya pamerkan karena saya tidak mau semua teman-teman utang pada saya!" ujar Wahyudi sewot. Dia lalu berjalan dengan cepat masuk ke dalam pabrik nya, meninggalkan Jarot yang terheran-heran. 'Hah? Punya duit katanya? Tapi kenapa dulu saat dompetku jatuh, dia nggak mau mengembalikan nya?' batin Jarot dengan heran. Dia perlahan mengamati mobil milik Wahyudi. 'Ah, sudah lah. Masa bodo! Bisa saja mobil ini milik Wina. Tapi kok bisa sih Wahyudi tidak curiga kalau Wina mengandung? Hah, yang penting Wina ngg