Dalam perjalanan menuju kantor, Dean mengarahkan pandangannya ke jendela mobil. Bias kaca gelap membuat Dean seakan kembali merangsang pikirannya pada masa lalu yang muram. "Jangan kau pikir bisa lolos dariku, Eduardus. Aku akan membalas semua perbuatanmu," geramnya dalam hati. Ia mengepalkan tangan, "Kau sudah membuat dua wanita yang paling kucintai meninggal. Jadi kau harus___"
Drttt.... Drtt....
Getaran ponsel membuat Dean menghentikan pikirannya. Diambilnya ponsel dari saku jas hitam yang sangat mahal. Mata Dean yang tadinya tajam kini berubah cemerlang saat melihat nama si penelepon. "Halo, Mom?" sapanya pelan.
"Dean!" pekik wanita di balik telepon, "Apa benar kau sudah bertemu dengannya? Bagaimana keadaannya, Dean? Apa dia baik-baik saja? Apa dia kurus, gemuk atau___"
"Mom?" sergah Dean yang membuat wanita itu menghentikan perkataannya. Ia tersenyum lalu berkata, "Aku belum bertemu dengannya, Mom. Tapi kemungkinan hari ini aku akan bertatap muka dengannya secara langsung."
"Oh, Dean, Mom ingin sekali bertemu dengannya. Mom sangat merindukannya."
Dean terkekeh, "Sabar, Mom. Pasti akan ada waktunya Mommy bertemu dan bertatap muka dengannya secara langsung. Mom masih ingat pesan ibunya, bukan?"
"Iya, Sayang, Mommy masih ingat. Itu sebabnya Mommy rela menahan rindu sampai waktunya tiba, tapi___"
"Tapi apa, Mom?"
"Tapi kau harus janji dulu pada mommy."
"Janji apa, Mom?"
"Kau harus janji pada Mom, seandainya dia sudah bersamamu nanti, jangan siksa dia, Dean. Jangan kejam-kejam padanya."
Dean tertawa, "Aku janji, Mom. Lagi pula aku tidak mungkin setega itu padanya. Kalau aku berani melakukannya, bisa-bisa ibunya akan datang dan menggangguku setiap malam."
Wanita di balik telepon tertawa. "Baiklah, kalau begitu. Jaga dirimu, Dean. Jaga dia juga, ya?"
"Tanpa Mommy suruh pun aku pasti akan menjaganya. Mom tenang saja."
"Kau benar-benar putra andalan Mommy. Ya sudah, kalau begitu sampai nanti. Bye."
Tut... Tut...
Di sisi lain.
Kensky berjalan di atas trotoar. Indahnya kota New York membuat wanita pemilik warna rambut hijau keabu-abuan yang tergerai panjang itu senang berjalan kaki setiap hari. Di samping tidak punya kendaraan, ia memang lebih senang berjalan kaki di waktu pagi. Wajahnya yang cantik dan lembut begitu berseri-seri saat terkena angin.
Drtt... Drtt...
Bunyi getaran ponsel membuat Kensky meraih benda portable itu dari dalam tas salempangnya. Sambil terus berjalan tanpa melihat air yang tergenang di sepanjang jalan, Kensky terus melangkah lalu menyambungkan panggilannya. "Halo, Tan?"
"Kau di mana, Sky? Kau jadi kan ke apartemenku pagi ini?"
Kensky menepuk jidat, kemudian menghentikan langkahnya sesaat, lalu melanjutkannya lagi. "Ya ampun, aku lupa. Maafkan aku, Tanisa, aku belum sempat menceritakannya padamu, ya? Permohonanku sudah diterima oleh instansi yang kau referensikan padaku tempo hari."
"Benarkah? Aku ikut senang, Sky. Sekarang kau di mana?"
"Aku di jalan menuju kantor. Jam sembilan nanti aku akan ikut wawancara di sana."
"Jam sembilan? Ini kan masih jam tujuh, Sky."
"Memang. Tapi aku sengaja datang sekarang, karena aku ingin mampir di Bebbi Cafe dulu untuk sarapan. Mungkin nanti selesai wawancara baru aku akan___"
Byur!
Cipratan air kotor membasahi seluruh tubuh, rambut dan ponselnya. Air yang berwarna cokelat itu bahkan berhasil masuk ke dalam mulut Kensky.
"Uwek." Kensky memuntahkannya. "Dasar brengsek!" pekiknya keras. Dilihatnya mobil sedan berwarna hitam baru saja melewatinya. Ia teringat pada Tanisa lalu dengan cepat menempelkan ponselnya ke telinga tanpa memperdulikan mobil itu lagi. "Halo, Tan? Halo!" Ia menatap layar ponselnya yang kini berwarna hitam. "Kenapa tidak bersuara, ya?" Ditekannya tombol kunci untuk menyalakan layar, tapi ternyata handphone-nya mati total.
Kensky mengingat-ingat lagi, apakah daya batreinya tadi habis atau tidak? Seingatnya handphone itu semalam di-charge full dan tadi pagi hanya berkurang dua persen. Ia menekan lagi tombol on-off untuk menghidupkannya, tapi hasilnya sama. Mati. "Aggrrhh!" pekiknya keras, "Jangan sampai handphone-ku rusak."
Kensky menatap dirinya sendiri. Rok hitam ketat, licin yang panjangnya sampai paha itu sudah basah. Kemejanya yang putih, berlengan panjang kini berubah menjadi cokelat. Ia bahkan bisa merasakan kalau underwarenya juga ikut basah.
Kensky ingin menangis. Dengan kesal ia berkata, "Ya ampun, bagaimana ini? Mana aku belum sarapan, lagi." Ia berteriak, "Dasar mobil brengsek!"
Zet!
Tanpa Kensky sadari ternyata mobil itu sudah berhenti sejak tadi. Karena tatapan dan pikirannya baru terfokus pada mobil itu, ia pun terdiam saat menatap sosok dari balik kemudi yang keluar dan membukakan pintu di bagian belakang. Ditatapnya seorang pria bertubuh tinggi dan kekar keluar dari mobil. Rambutnya yang berwarna kecokelatan dan acak terlihat mempesona saat terkena paparan sinar matahari.
"Oh, my God!" pekiknya dalam hati. Lutut Kensky langsung lemas saat pria itu berbalik. Dia sangat tampan dengan rahang tegas dan kokoh yang berjambang.
Mata abu-abu lelaki itu menatap tajam. Dengan langkah gontai ia mendekati Kensky. "Kau bilang apa tadi?" tanyanya pelan.
"Ya ampun, suaranya," batin Kensky. Ia ingin pingsan saja karena tak tahan melihat ketampanan pria itu. Tapi perlakuan yang baru saja ia terima membuat sikap galak Kensky akhirnya muncul. Tatapannya berubah garang. "Kataku brengsek. Kenapa? Supirmu telah membuat diriku basah. Bukan hanya itu juga, ponselku rusak."
"Supirku?" Pria itu berbalik menatap lelaki berjas hitam yang berdiri di belakangnya. "Apa benar kau yang melakukannya?" tanyanya basa-basi.
Supir itu menunduk untuk minta maaf, tapi si pria pemilik mobil mencegahnya dan kembali menghadapi Kensky. "Dia tidak melihat air itu, Nona! Sama sepertimu yang berjalan tidak pakai mata," ketusnya.
Mata Kensky melotot sambil berkacak pinggang. "Jalan itu pake kaki, Tuan, bukan mata! Supirmu yang harusnya menyetir pakai mata! Masa dia tidak bisa melihat air yang tergenang dan para pejalan kaki yang lewat. Untung hanya aku, kalau banyak orang yang lewat, bagaimana? Lihat!" Kensky menunjuk tubuhnya yang kotor. "Dia sudah membuatku berantakan pagi ini."
Si Supir itu mendadak maju untuk meminta maaf, tapi lagi-lagi si pemilik mobil mencegahnya. "Apa yang kau inginkan sekarang, Nona?" tanyanya pada Kensky.
"Minta maaf dan ganti rugi! Sudahlah soal pakaian, tapi ponselku." Kensky memperlihatkan ponselnya yang berlayar hitam. "Lihat, ponselku tidak bisa hidup lagi," katanya sambil menekan tombol on-off untuk menghidupkan layar yang memang sudah tidak bisa.
"Ganti rugi! Memangnya kamu siapa?"
"Kensky. Aku Kensky Revina."
Mata sang pria terbelalak. "Kensky Revina? Kenapa namamu bisa sama dengan calon istriku, ya? Atau jangan-jangan kau adalah calon istriku?" Tatapannya tajam seakan menusuk.
Tapi Kensky tidak terintimindasi. Ia berdecak dan balas menatap pria itu. "Nama boleh sama, tapi orangnya berbeda, Tuan."
"Aku tidak tahu. Lagi pula aku sendiri belum pernah bertatap muka dengan wanita itu. Dari ciri-cirinya memang kalian sama persis."
Kensky mulai kesal. "Tuan, namaku adalah Kensky Revina Oxley. Apa calon istri Anda nama belakangnya seperti itu?"
Pria itu semakin mendekati Kensky. Nadanya bahkan tidak mau kalah. "Tapi kenyataan namanya memang sama. Nama lengkapnya juga Kensky Revina Oxley." Pria itu menyeringai.
Kensky terkejut. "Itu tidak mungkin!"
"Tapi itu mungkin, Nona. Nama ayahmu Eduardus Oxley, kan?"
Lagi Kensky ternganga. "Dari mana kau tahu nama Daddy?" bentaknya.
Lelaki itu menyeringai. "Kalau begitu tebakanku benar. Perkenalkan, namaku Dean Bernardus Stewart," katanya seraya mengulurkan tangan untuk berjabat. "Aku calon suamimu, Sky."
"Itu tidak mungkin. Aku tidak mengenalmu!" pekiknya.
Didekatinya Kensky lalu berbisik, "Ayahmu sudah menjodohkan kita sejak kecil, Sky. Itu artinya kau sudah ditakdirkan milikku untuk selamanya." Dean mundur berapa langkah menjauhi Kensky lalu memborong wajah dan tubuh gadis itu dengan tatapannya yang membuat hati wanita sekeras apa pun pasti meleleh. "Aku tak menyangka, ternyata calon istriku sangat cantik dan ...," Ia kembali mendekati Kensky lalu berbisik, "sangat menggairahkan."
Mata indah Kensky melolot. "Apa katamu?!" Ia meraih sepatu flat-nya kemudian memukuli tubuh Dean. "Dasar pria brengsek! Aku bukan calon istrimu! Aku tidak mengenalmu dan ayahku tidak pernah menjodohkan aku!"
Teriakan Kensky mengundang orang-orang untuk menatap mereka. Dean yang memanfaatkan kesempatan itu, dengan sigap merebut sepatu Kensky dan semakin membuat gadis itu kesal.
"Kembalikan sepatuku!"
"Kau ini ternyata berisik juga, ya?" Dean menjauhkan sepatu itu dari Kensky lalu melemparkannya ke tengah jalan. "Ambil sana kalau mau."
Dengan kesal Kensky pun berlari ke tengah jalan dan mengambil sepatunya. Ketika sudah berhasil mengambil sepatunya, ia berbalik dan melihat mobil Dean sudah tidak ada. "Dasar laki-laki, gila! Berani-benarinya dia mengaku calon suamiku!"
Kensky terpaksa memutar balik ke arah jalan. Karena waktunya tak cukup lagi untuk kembali ke rumahnya, ia akhirnya berjalan kaki menuju apartemen Tanisa yang kebetulan tak jauh dari situ.
Ting! Tong!
Tak membuang waktu lama ia pun sampai di sebuah apartemen sederhana yang ada di pusat Kota. Dipencetnya bel dan sosok tuan rumah pun muncul.
Ting! Tong!
"Sky!" Tanisa terkejut saat melihat sahabatnya dalam keadaan kotor dan basah. "Apa yang terjadi padamu?" Ia menahan tawa.
"Maukah kau meminjamkan pakaian untukku?"
Tawa Tanisa tak bisa ditahan lagi. Ia terbahak-bahak. Setelah puas, ia kemudian mempersilahkan Kensky masuk. "Kau habis tercebur, ya?" Ia berjalan lebih dulu, mengambil handuk bersih untuk sahabatnya itu. "Mandilah, aku akan menyiapkan pakaiannya."
Kensky menurut. Gadis bertubuh mungil dan berkulit putih itu berjalan menuju kamar mandi. Sementara Tanisa yang berambut gelap dengan kulit eksotis hanya bisa menahan tawa melihat tubuh dan rambut panjang sahabatnya itu yang biasanya rapi, kini menjadi lepek dan kotor.
Sejurus kemudian Kensky keluar dari kamar mandi. Sebagian tubuhnya yang tidak tertutup handuk terlihat bercahaya. Rambutnya yang panjang dibungkus dengan handuk putih."
"Memangnya yang terjadi sampai kau seperti ini? Apa saking seriusnya mengobrol di telepon tadi, kau tidak melihat jalan dan jatuh ke selokan, begitu?" ledek Tanisa. Ia menahan tawa karena merasa lucu setiap kali mengingat penampilan Kensky saat datang tadi.
Sambil mengeringkan tubuh dan mulai memakai pakaian dalam yang sudah disediakan Tanisa, Kensky mulai bercerita, "Tadi saat asik bicara denganmu di telepon, tiba-tiba sedan hitam lewat dan melindas air yang tergenang di sepanjang jalan. Air itu mengenai tubuh dan merusak ponselku."
Tanisa tertawa. "Ya ampun, kau pasti sangat malu." Ekpresinya berubah. "Tapi kenapa ponselmu bisa rusak? Memangnya ponselmu kena air?"
Kensky mulai mengancingkan kemeja putih yang berlengan panjang. "Kurasa begitu. Aku meletakan ponsel itu di telinga kiri, sementara pancaran airnya dari sebelah kanan." Ia menghentikan jari-jari lentiknya tepat di kancing terakhir. " Kau tahu, air kotor itu bahkan sempat masuk ke mulutku dan untung saja pejalan kaki yang lain tidak ada."
Tanisa terbahak lagi. "Ya ampun, Sky, sial sekali harimu ini." Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal.
"Sial? Enak saja kau bilang sial. Kalau aku sial, hari ini tidak akan ada jadwal wawancara untukku di perusahan itu."
Tawa Tanisa perlahan terhenti. Ditatapnya Kensky yang sudah mengenakan kemeja putih polos juga rok hitam ketat yang panjangnya di atas lutut. Mereka memiliki tubuh yang sama. Ukuran underware bahkan sama, hanya saja Tanisa sering mengenakan bra yang ukurannya lebih besar dari aslinya, agar dadanya terlihat berisi.
Tanisa menahan tawa. "Pasang silikon di mana, Miss?" ledeknya lalu tertawa.
Dilemparkannya handuk setengah basah itu di wajah Tanisa. "Suntik silikon, enak saja kau bicara." Ia berjalan menuju meja rias yang posisinya dekat pintu.
Tanisa menatapnya dengan tawa yang masih terdengar. "Lalu bagiamana selanjutnya, apa mobil itu tidak berhenti? Apa pemilik mobil itu tidak bertanggung jawab?"
Kensky menceritakan perdebatan yang terjadi di antara dirinya dan Dean sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Calon suami?" tanya Tanisa dengan nada terkejut. "Kenapa dia berkata begitu, ya?"
Kensky mengangkat bahu. "Ya, tapi katanya seperti itu. Dia bahkan menyebutkan nama Daddy dengan lengkap. Aneh, bukan?"
Tanisa berdiri mendekati Kensky. "Aneh memang, tapi kenapa tebakkannya bisa benar, ya? Atau jangan-jangan benar yang dia katakan kalau ayahmu telah menjodohkan kalian?"
Kensky meraih sikat rambut dan mulai menyisir rambutnya yang setengah basah. "Entalah, tapi aku rasa dia hanya mengada-ngada. Kalau memang demikian, Daddy pasti sudah mengatakan hal itu sejak dulu dan sudah mempertemukan kami. Daddy juga pasti akan melarangku begini-begitu dan lain-lain demi menjaga perasaan pria itu, tapi faktanya tidak, kan? Daddy bahkan tidak membahas soal perjodohan itu selama ini."
"Iya, sih, tapi coba kamu pikir, hal yang tidak mungkin dia bisa menebak namamu dengan lengkap dan benar. Begitu juga nama ayahmu yang disebutkannya dengan lengkap."
"Sudahlah, Tan, aku tidak mau memikirkan hal itu. Biarlah ayahku yang menjalaninya jika itu benar. Aku tidak ingin pacaran atau pun menikah muda. Lelaki itu memang sangat tampan, bahkan siapa saja wanita yang melihatnya pasti akan bertekuk lutut. Jujur, aku bahkan sempat terpesona saat melihatnya." Ia menatap Tanisa dari cermin "Tapi aku tidak mau memikirkan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah bekerja agar mendapat gaji untuk membayar sewa apartemen dan keluar dari rumah itu. Rumah yang dulunya seperti surga bagiku, tapi sekarang seperti neraka buatku."
Continue__
Bagaimana, Sobat? Suka gak dengan MC? Kalau suka, masukin rak buku, ya ^^
Dengan wajah cantik dan make-up tipis yang natural, wanita yang usinya dua puluh tiga tahun itu duduk di ruang tunggu, tepatnya di lantai sepuluh Kitten Group. Rambutnya sudah disanggul sedemikian rupa agar terlihat mempesona. Lehernya yang putih dan panjang membuat Kensky terlihat semakin anggun. Tapi pikiran yang selalu menghantui membuat dirinya terlihat tampak gelisah. "Ya Tuhan, bagaimana aku bisa mendapatkan handphone baru? Semoga saja aku akan diterima di kantor ini agar bisa membeli handphone baru." Sejak ibunya masih hidup, Kensky tidak pernah meminta uang pada ayahnya untuk membeli segala keperluan, karena ibunya selalu menyediakan semua kebutuhan dan keperluannya. Sejak kecil Kensky memang berbeda dari anak-anak gadis pada umumnya yang lebih dekat dengan orang tua laki-laki daripada orang tua perempuan. Kensky sejak lahir lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya. Namun sejak ibunya meninggal, mau tidak
Dengan kesal Soraya berdiri menghampiri si sekertaris. "Miss! Kenapa lama sekali? Sudah satu jam lebih aku menunggu di sini. Apa selama itukah waktu untuk peserta wawancara di perusahaan ini?" ketusnya. Sekertaris ikut berdiri. "Maaf, Miss, tapi Anda harus menunggu. Biasanya Pak Bernar akan memberikan evaluasi langsung bagi calon karyawan baru di perusahaan ini." Soraya terdiam. "E-evaluasi?" tanyanya pelan. "Iya, Miss, Pak Bernar akan memberikan beberapa pertanyaan pada setiap calon pegawai baru. Dan jika berhasil menjawab, saat itu juga beliau akan menerima peserta hari itu juga. Saya rasa Nona Kensky sedang dievaluasi." "Oh, begitu." Soraya tampak gelisah. "Hmm, apa bisa Anda memberikan bocoran tentang soal yang akan diberikan Bernar nanti?" Sekertaris itu menatap aneh. "Siapa dia? Kenapa dia menyebutkan nama kecil Pak Bernar?" katanya dalam hati. Selama dua tahun ia
Setelah lelah akibat menangis, Kensky tertidur dengan tubuh tanpa selimut. Pakaian yang minim membuatnya terasa dingin saat hamparan suhu udara mengenai pahanya yang putih mulus.Aktivitas hari pertamanya di kantor juga cukup melelahkan, sehingga Kensky terlalap tanpa mendengar bunyi notifikasi berkali-kali yang masuk di ponsel barunya itu.Karena ponsel itu sudah ada nomor kontak untuk digunakan yang diberikan si pengirim, Kensky menghargai dan membiarkan nomor itu di dalam ponsel. Nomor kontaknya yang lama terpaksa tidak digunakan lagi dan disimpan.Perlahan tubuhnya mulai menggigil karena dingin. Tak tahan dengan suhu udara yang menusuk hingga ke bagian tubuhnya yang terbuka, Kensky langsung membuka mata. Setelah matanya benar-benar terbuka, gadis itu melirik suhu ruangan yang ternyata angkanya di bawah normal. "Tapi kenapa dingin sekali, ya?" Ia melirik ke arah jendela kamar yang ternyata masih terbuka.
Dalam perjalanan menuju kantor, Dean duduk di bangku belakang sambil menatap indahnya kota New York. Melihat para pejalan kaki membuat Dean kembali teringat pada kejadian kemarin pagi saat supir pribadinya melindas air dan membasahi tubuh Kensky. Tawanya lepas saat mengingat kembali tubuh gadis itu basah akibat percikan air kotor.Sang supir yang mendengar tawanya pun dengan cepat menatap Dean dari kaca spion. "Apa Anda baik-baik saja, Pak?"Dean terkejut dan merasa malu. Dengan cepat ia mengubah raut wajahnya kembali datar. "Tidak apa-apa, Matt. Sungguh aku tidak apa-apa." Ia mengarahkan pandangan ke arah jendela. Pikiran yang tadinya diselimuti oleh wajah cantik Kensky, kini tenggantikan dengan masa lalunya yang kelam akibat perbuatan ayah Kensky. Ia menatap tajam. "Kau harus menyaksikannya, Sky! Kau harus menyaksikan bagaimana ayahmu menderita. Kau juga harus menyaksikan bagaimana caranya meyebabkan dua wanita yang paling kucintai
Dengan langkah cepat Mr. Hans keluar dari lift yang berhenti di lantai enam. Ia menghampiri seluruh staf keuangan di ruangan itu lalu menyuruh mereka semua agar berkumpul di lantai tujuh. "Semuanya naik ke atas sekarang. Ada penyampaian penting dan saya tidak mau mengulangnya."Mimik wajah Mr. Hans yang datar membuat semua Staf Accounting di lantai enam itu bertanya-tanya. Bahkan ada yang saling bisik-bisik karena penasaran."Kira-kira ada masalah apa, ya?" tanya salah satu wanita muda kepada seniornya.Setelah tiba di lantai tujuh Mr. Hans langsung mengambil posisi berdiri di depan ruangannya yang baru. Setelah semuanya sudah terkumpul, ia pun memulai. "Mohon perhatian, aku minta waktu kalian lima belas menit saja untuk menyampaikan hal ini.""Ada apa, ya? Apa ada masalah?" bisik salah satu gadis pada temannya."Sepertinya iya," balasnya begitu melihat wajah Mr. Hans yang datar.
Setelah selesai mandi, Kensky kembali ke kamar atas untuk melihat kondisi ayahnya. Dengan tubuh yang mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana jins biru pendek, gadis itu sedikit berlari dengan rambut yang digulung sedikit acak."Sky?" panggil Rebecca dari lantai bawah. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di anak tangga pertama lantai dua. "Ayo makan dulu. Makan malamnya sudah siap."Di saat yang bersamaan Soraya menuruni tangga dari lantai tiga."Soraya!" panggil Rebecca, "Ayo makan. Kalian makan malam saja dulu, biar Mama yang akan menjaga Ayah."Soraya memasang wajah sedih. "Ayah baru saja tidur, Ma. Jadi sebaiknya Mama jangan mengganggu Ayah dulu."Kensky bernapas lega mendengar itu. Tapi ia tak mengeluarkan suara atau merespon perkataan Soraya. Ia pun melangkah menuruni tangga, menuju ruang makan."Ma, memangnya Ayah sakit apa?" tanya Soraya u
Sesorang di balik telepon diam tak menjawab. "Halo, CEO?" panggil Kensky dengan nada pelan."Halo, Cantik." Suara laki-laki dari balik telepon akhirnya menyapa. "Selamat ulang tahun, Ratuku."Kensky terkejut, yang pertama karena sosok CEO itu ternyata bersuara laki-laki, yang kedua karena lelaki itu tahu kalau hari ini adalah ulang tahunnya. "Siapa kau? Kenapa kau tahu tanggal lahirku?" Kensky merasa senang, karena ada orang yang memberikannya selamat untuk pertama kali, tapi di satu sisi ia penasaran."Kau pasti akan tahu siapa aku. Percayalah, aku ini orang baik, Sky. Aku orang yang akan selalu menjaga dan melindungimu. Ngomong-ngomong kau ingin merayakan ulang tahun di mana? Katakan saja, biar aku yang akan menyiapkan tempat dan segala keperluannya. Kau juga ingin hadiah apa? Aku pasti akan memberikan apa pun yang .... ""Dari mana kau mengenal Mommy?" sergah Kensky yang dipenuhi rasa penarasan ol
Para tamu undangan sudah banyak berdatangan. Ada yang dari Kitten Group, ada juga dari instansi yang lain. Mereka terbentuk seperti kelompok. Ada yang berdiri sambil berbincang-bincang bersama kolega, ada juga yang sedang duduk menikmati makanan pembuka. Di sisi lain Dean sedang berdiri di dekat pagar, tepatnya di mana meja minuman berada. Ia menatap wajah-wajah yang hadir di pesta malam ini. Kitten Group bukanlah perusahan biasa, perusahan yang bergerak di bidang properti itu memiliki cabang yang banyak di berbagai daerah dan itu berkat kerja sama antara para karyawan-karyawan itu bersama Dean. Ia sangat bersyukur memiliki karyawan seperti mereka. Karena biar bagaimana pun, tanpa kerja keras mereka Kitten Group tidak akan menjadi perusahan besar dan terkenal di seluruh Amerika dan Eropa. Lelaki yang sering di sapa Dean atau Bernar itu melirik jam tangan. "Matt, suru mereka menutup gerbangnya." Saat ini jam sudah menunjukkan pukul sembil
Kensky bergairah. Dari awalnya hanya iseng saat mulutnya yang kecil mengulum pucuk buah dadanya Dean, kini sambil memejamkan mata ia memindah posisi dan berlutut di hadapan lelaki itu. Tangannya yang halus dengan lembut bergerak ke arah handuk dan melepaskannya. Dean terkejut. Dengan mata sayu ia menatap Kenksy yang sedang menyerang perutnya dengan kecupan-kecupan kecil hingga membuatnya terasa nikmat. Kensky yang semakin lama dilanda gairah ketika merasakan elusan lembut dari tangan Dean, kini menunduk dan melihat bagian yang mengeras dan tegas. Ia terkejut melihat bagian itu untuk pertama kalinya yang ternyata lumayan panjang dan berisi. Sambil menatap Dean ia tersenyum dan berkata, "Ini ukuran yang sangat menakjubkan, Dean." Lelaki itu mencondongkan badan dan melumat bibir Kensky. Setelah puas saling melumat, mereka melepaskan bibir dan saling bertatap. "Kau tidak perlu melakukannya, Sayang."
Di dalam kamar vila mewah dan terbesar di Amerika, Dean sedang berdiri sambil menghadap jendela kaca dengan tubuh yang hanya mengenakan celana pendek. Tubuh bagian atasnya terbuka, sedangkan sebelah tangannya menahan ponsel yang menempel di telinga."Maafkan aku, Dean. Padahal aku dan istriku ingin sekali menghadiri pernikahanmu, tapi kakak iparku mendadak menyuruh kami ke Rusia pagi tadi. Mertuaku meninggal, karena kecelakaan.""Aku turut berduka cita. Kapan pemakamannya?""Terima kasih, Dean. Pemakamannya besok. Anak-anaknya ingin mempercepat pemakaman, karena bagian tubuhnya hancur. Jadi mereka tidak mau menahan jenazah-nya lebih lama lagi.""Maafkan aku, Mister. Aku ingin sekali hadir ke pemakaman itu, tapi Anda sendiri tahukan?""Aku mengerti, Dean. Tapi ngomong-ngomong soal vila, kau suka kan tempat itu, kan? Aku sengaja memberikan kamu vila di atas puncak biar kau bisa men
"Enam sembilan?""Iya," balas Tanisa, "Tunggu di sini. Aku akan mengambil laptop dulu."Kensky menatap bingung ke arah Tanisa yang kini berjalan memasuki kamarnya."Kau harus melihat ini, Sky," kata Tanisa yang tiba-tiba muncul sambil membawa laptop. Ia duduk di sebelah Kenksy kemudian mengotak-atik benda itu, "Ini adalah situs terbaik yang pernah aku lihat."Zet!Kensky terkejut. "Kau sering melihatnya di situs ini, ya?"Tanisa tertawa. "Memangnya kenapa? Kan mencari pengalaman bukan harus mempraktekkannya saja. Sama seperti sekolah, kita akan mendapat materi dulu, baru dipraktekkan. Bukan begitu?"Kensky terdiam karena apa yang dikatakan Tanisa ada benarnya. Ia tidak perlu bercinta dulu baru mendapatkan pengalaman, tapi hanya dengan berbagi pengalaman bersama Tanisa dan melihat video di situs itu sudah cukup bagi Kensky untuk mempraktek
Mata Dean berubah sayu. Perlahan ia mulai membuka kancing kemeja Kensky hingga semuanya terlepas. Setelah semua kancing terlepas, ia membuka lebar kemeja itu hingga terlihat bagian suburnya yang tegas. Perlahan Dean membenamkan wajah di sana untuk menghirup aroma di balik pelindung tipis yang masih melekat di tubuh Kensky.Gadis itu mendesah saat Dean menyentuh bagian itu dengan lidahnya. "Dean ...."Lelaki itu mendongak menatap wajah Kensky. Tangannya perlahan menyusup ke balik punggung untuk membuka pengait yang menghalanginya.Kensky pasrah dan sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari wajah Dean. "Aku ingin sesuatu yang beda di malam pengantin kita nanti."Tepat di saat itu pengait bra gadis itu terlepas. Sambil mengangkat pelindung itu dengan pelan ia berkata, "Kau ingin apa?" Dean menunduk dan mencium pucuknya yang berwarna cokelat.Kensky memejamkan mata sambil mengusap
Dengan perasaan sedih dan bahagia Eduardus mengangguk. Ia bahkan tak bisa mengeluarkan suara, akibat air mata yang kini membasahi pipinya.Mata Kensky ikut berkaca-kaca. "Apa itu artinya Papi menerima lamaran ini?"Eduardus menarik cairan hidungnya. "Tentu saja. Tentu saja, Sayang. Papi menerima lamaran Dean merestui hubungan kalian."Dengan cepat Kensky beranjak dari sofa dan mendekati ayahnya. Mereka saling berpelukan dan menangis bersama. "Terima kasih, Pi. Terima kasih karena Papi telah mengijinkan Dean menjadi suamiku."Mrs. Stewart ikut menangis. Dalam hati ia bertanya-tanya, "Jika Eduardus tahu kalau Kensky adalah cucu kandungnya, apakah dia akan menerima Dean sebagai suami Kensky?"Dean yang duduk sambil menatap mereka pun sama pemikiran. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Seandainya Eduardus tahu aku punya hubungan dengan keluarga Barbara, apakah dia akan menerima lamaranku
Seminggu pun berlalu. Kensky yang seharusnya sudah kembali ke Eropa akhirnya tertunda akibat permintaan Dean."Aku terlalu lama di sini. Kalau aku lebih lama lagi, yang ada pekerjaanku semakin tertunda. Aku tidak mau meskipun kau pacarku, tapi melalaikan tugas sebagai karyawanmu."Dean tersenyum sayang. Saat ini mereka sedang berada di restoran langganan sambil menikmati makan siang. "Kau tidak perlu khawatir, aku sudah menghubingi Mr. Bon dan menyuruhnya untuk menangani semuanya. Kau tenang saja.""Aku tidak ingin mereka menganggap aku dispesialkan olehmu, Dean. Aku tidak ingin mereka menilai bahwa kau membeda-bedakan karyawan."Lelaki itu menyudahi makannya. "Kenapa kau harus khawatir? Kau kan memang orang yang spesial bagiku dan Kitten Group. Hanya saja mereka tidak tahu bahwa kaulah pemilik Kitten Group yang sebenarnya, bukan aku."Kensky menatap haru. Perlahan ia meraih sebe
Ekspresi Dean langsung berubah. "Saat malam ulangtahunmu yang ketujuh tahun, ibumu menemuiku waktu itu."Kensky tampak berpikir. "Kalau itu aku ingat, tapi mami tidak bilang kalau mau ke mana.""Malam itu dia datang untuk meramaikan acara yang aku, kakek da nenekmu laksanakan demi memperingati hari ulangtahunmu. Jadi setiap tanggal lima belas juni, kami merayakan ulangtahunmu tanpa kau ketahui."Mata Kensky kembali berkaca-kacaa. "Benarkah?"Dean tersenyum. "Iya. Dan saat itulah kami sepakat membuat ulang tahun Kitten Group tepat di tanggal yang sama dengan tanggal kelahiranmu.""Ya, Tuhan. Jadi barusan peringatan itu bukan karena ulang tahun kantor?""Iya, tapi peringatan untuk tanggal kelahiranmu. Dan itu tidak ada yang tahu kecuali aku dan semua keluargamu."Kensky kembali menangis. "Aku tak menyangka, ternyata keluarga mami tidak pernah melupakanku
"Dean, kumohon kabulkanlah permintaanku ini . Mungkin bagimu ini sangat tidak mungkin, tapi hanya kamulah orang yang kupercaya. Kumohon, Dean. Berjanjilah padaku bahwa kau akan menikah dengan Kensky. Hanya kau laki-laki yang kupercaya untuk menjaganya. Aku tak peduli kau mau atau tidak, pokoknya yang aku tahu Kensky harus menikah denganmu. Aku tak peduli bagaimapun caramu mendapatkannya, pokoknya kau harus menikahinya. Dan aku harap setelah membaca surat ini, kau mau berjanji dan melakukan apa yang sudah aku minta. Bertanda tangan, Barbara Stewart."Zet!Lagi-lagi Kensky terkejut. "Nama belakang mami Stewart?""Iya.""Sumpah, selama ini aku tidak tahu nama belakang mami. Yang aku tahu nama mami hanyalah Barbara Oxley."Dean mengusap pipi Kensky. "Kau ingat wanita yang kuceritkan padamu tempo hari ... wanita yang telah menolongku di depan tokonya?""Iya."
Tanpa berkata apa-apa lagi Kensky pun langsung berdiri dan memeluk Dean. "Aku juga sangat merindukanmu.""Cium aku," kata Dean.Kensky melepaskan pelukannya dan menatap Dean. "Cium?""Iya."Kensky mendunduk dan mencium dahi Dean. "Sudah.""Bibir."Wajah Kensky berubah merah. "Ini rumah sakit, Dean. Kalau perawat datang dan memperkogi kita, bagaimana?""Ini sudah larut, mereka tidak akan datang.""Tapi___""Sudah, cepat. Jangan membantah."Dengan malu-malu Kensky pun mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Perlahan ia menunduk kemudian mencium Dean.Lelaki itu tak hanya diam. Tangan sebelahnya terulur dan menehan kepala Kensky lalu membalas ciuman Kensky. Ciuman yang awalnya hanya sebuah kecupan lembut, berubah menjadi lumatan yang penuh perasaan.&nbs