Dengan langkah cepat Mr. Hans keluar dari lift yang berhenti di lantai enam. Ia menghampiri seluruh staf keuangan di ruangan itu lalu menyuruh mereka semua agar berkumpul di lantai tujuh. "Semuanya naik ke atas sekarang. Ada penyampaian penting dan saya tidak mau mengulangnya."
Mimik wajah Mr. Hans yang datar membuat semua Staf Accounting di lantai enam itu bertanya-tanya. Bahkan ada yang saling bisik-bisik karena penasaran.
"Kira-kira ada masalah apa, ya?" tanya salah satu wanita muda kepada seniornya.
Setelah tiba di lantai tujuh Mr. Hans langsung mengambil posisi berdiri di depan ruangannya yang baru. Setelah semuanya sudah terkumpul, ia pun memulai. "Mohon perhatian, aku minta waktu kalian lima belas menit saja untuk menyampaikan hal ini."
"Ada apa, ya? Apa ada masalah?" bisik salah satu gadis pada temannya.
"Sepertinya iya," balasnya begitu melihat wajah Mr. Hans yang datar.
Pria yang usianya hampir mendekati kepala lima itu dengan pelan mengetuk kaca ruangan. Setelah Kensky menoleh, ia segera mengodekan pada gadis itu untuk segera keluar.
Kensky menurut. Dengan segera ia meninggalkan pekerjaannya yang kebetulan sudah selesai dan berbaur bersama karyawan-karyawan senior.
Sebagaian di antara mereka ada yang mentapnya heran. Maklum, Kensky kan pendatang baru di Kitten Group. Sebagian karyawan laki-laki juga ada yang menatapnya ingin, karena penampilan Kenksy yang sangat seksi dengan rok merah ketat, pendek dan kemeja putih berlengan panjang yang cukup transparan memperlihatkan bagian dalamannya yang berwarna gelap. Sementara sebagian karyawan perempuan menatapnya iri karena rambut Kensky yang dikuncir kuda, sehingga memperlihatkan lehernya yang panjang dan menggoda.
Apalagi dengan statusnya yang masih sangat baru, tapi langsung menduduki jabatan yang lebih tinggi dari mereka.
"Selamat pagi, semua," sapa Mr. Hans begitu melihat para bawahannya sudah berkumpul. Ia menatap wajah-wajah mereka yang kini penuh tanda tanya dengan berita yang akan ia sampaikan ini. "Aku menyuruh kalian semua berkumpul di sini karena ada satu informasi penting yang harus di sampaikan."
Saat itulah bisik-bisik pun terdengar. Kensky yang berdiri tepat di belakang Mr. Hans pun bisa mendengar beberapa karyawan senior yang mengeluarkan suara saat kepala divisi mereka itu memulai penyampaian.
"Jadi begini," katanya tegas, "Karena besok adalah ulang tahun kantor, jadi Pak Bernar mengundang kita semua di acara yang akan di adakan di salah satu Mensionnya pukul delapan malam besok."
"Ulang tahun kantor? Wah, kok aku bisa lupa, ya," kata salah satu karyawan wanita, "Aku pikir berita apa, ternyata ulang tahun kantor."
"Iya! Tapi kalau selarut itu sepertinya aku tidak bisa. Anakku ada ujian besok," balas si wanita pada teman sebelahnya.
Mr. Hans bisa melihat respon bahagia yang dipancarkan oleh sebagian besar wajah-wajah cantik dan tampan itu. "Tapi dengan catatan ..." Mendengar itu semua karyawan langsung terdiam dan kembali menatapnya. "Bagi siapa yang tidak hadir, Pak Bernar akan memberi sanksi bagi karyawan tersebut, siapa pun itu."
"Huuuu!" Teriakan semua karyawan membuat Kensky dan Mr. Hans terkejut. "Sanksi apa, Mr. Hans?" tanya salah satu karyawan wanita tua.
"Kata Pak Bernar, bagi siapa yang tidak hadir besok malam akan diskors selama dua minggu. Undangan resminya akan dipajang besok pagi di pintu masuk. Jadi untuk selengkapnya, kalian bisa membacanya di sana nanti."
"Huuu!" Lagi-lagi sorakan mereka membuat Mr. Hans menggeleng kepala. "Aku harap kalian semua hadir dan tidak membuat malu divisi kita. Paham?"
"Paham!"
"Baiklah, cukup sekian dan terima kasih."
"Huuu!"
Sorakan yang terakhir membuat Kensky tertawa. Mr. Hans berbalik tepat di hadapannya. "Oh iya, kau juga besok harus hadir. Kata Pak Bernar kalau kau tidak ikut hadir di acara besok, lusanya kau tidak usah masuk kantor lagi."
Kensky menelan ludah. "Kejam sekali dia itu," katanya dalam hati. "Iya, Pak, saya akan hadir."
Mr. Hans tersenyum lalu berjalan memasuki ruangan diikuti Kensky dari belakang. "Apa kau sudah menyelesaikan tugas yang kuberikan tadi, Miss Oxley?"
Kensky berlari kecil mendekati mejanya. "Sudah, Pak." Ia mengumpulkan lembar-lembar kertas itu lalu memberikannya pada Mr. Hans. "Ini, Pak."
Mr. Hans memeriksanya lembaran itu satu persatu. "Kerjamu ternyata sangat rapi. Terima kasih, Miss Oxley. Dan kalau boleh, jangan panggil saya dengan sebutan Pak, karena saya belum menikah."
Kensky terkejut. "Saya minta maaf. Baiklah. Terima kasih, Mr. Hans."
Mr. Hans kembali ke kursinya. "Saya senang Pak Bernak menempatkanmu di sini bersamaku. Oh iya, tapi ngomong-ngomong, siapa wanita yang bersama Kim? Katanya dia saudara tirimu, ya?"
Kenksy tahu siapa yang dimaksud Mr. Hans, tapi mendengar nama yang satunya lagi membuatnya bingung. "Kim? Maaf, Pak, maksud Anda Kim siapa, ya?"
"Kimberly, sekertarisnya Pak Bernar. Tadi aku lihat ada wanita bersamanya, kata Kim dia saudara tirimu, benar begitu?"
"Oh, Soraya. Iya, Mr. Hans, dia saudara tiriku."
Mr. Hans terdiam sesaat. "Kalau begitu lanjutkan saja pekerjaanmu."
"Baik, Mr. Hans. Tapi apa yang harus saya lakukan?"
Kau kembali saja duduk, nanti saya akan menyebutkan tugas apa yang harus kau lakukan."
"Baik."
Mr. Hans menatap Kensky berjalan menuju kursinya yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan wajah datar ia tampak berpikir. "Aneh, kenapa Pak Bernar mempekerjakan kakak-beradik di kantor ini, ya?" tanyanya dalam hati.
***
Saat jam makan siang tiba, Kensky memilih kantin kantor sebagai tempatnya istirahat. Sambil duduk memikirkan menu apa yang ingin disantap, ia memilih meja kosong paling pojok untuk didudukinya.
"Halo?" Sosok dari arah belakang menyapa Kensky.
Gadis itu menoleh dan terkejut. "Eh, Ibu Sekertaris."
"Boleh aku duduk di sini?"
Kensky tersenyum. "Oh, silahkan."
Gadis itu pun duduk di hadapan Kensky sambil menghadap pintu masuk kantin. Sementara Kensky duduk di hadapanya seraya menatap para pegawai kantin yang sedang sibuk menyiapkan pesanan.
"Jangan panggil aku Ibu, panggil aku Kim," katanya pelan, "Kau pesan makan apa, Miss Oxley?"
Kensky menyebutkan menu makanan yang hendak ia pesan. Karena menu yang diucapkan Kensky adalah makanan favorit-nya juga, Kim ikut memesan menu yang sama.
Tepat di saat itu seorang pelayan wanita datang menyapa mereka. "Mau pesan apa-apa, Ibu-Ibu cantik?"
Kensky tersenyum malu. Ia mempersilahkan Kim untuk memesan menu makan siang mereka.
"Baik, apa ada tambahan?"
"Tidak, itu saja," kata Kim.
"Baik, terima kasih. Ngomong-ngomong ini karyawan baru ya, Bu Kim?"
"Iya, namanya Kensky."
Setelah memperkenalkan diri, pelayan itu akhirnya undur diri sambil membawa catatan menu untuk Kensky dan Kim.
"Oh iya, bagaimana hari pertamamu, Sky?" tanya Kim memulai.
"Sangat menyenangkan, Kim. Mr. Hans langsung memberiku tugas saat datang tadi dan syukurlah aku berhasil mengerjakannya tepat waktu."
"Mr. Hans? Kamu asistennya Mr. Hans?" Kim mengangguk. "Hebat! Kau sangat beruntung mendapatkan posisi itu. Banyak para staf lain yang mengajukan permohonan untuk menjadi asistennya, tapi gagal."
"Gagal? Kenapa?" tanya Sky dengan mimik wajah penasaran.
"Aku tidak tahu, yang jelas setiap kali pengajuan itu diberikan kepada Pak Bernar, tidak pernah ada data karyawan yang lolos secara lisan. Mungkin prosedurnya terlalu berat sehingga mereka tidak mampu untuk menempati posisi itu."
Kensky tampak berpikir. "Secara lisan? Tapi kenapa aku tidak dites seperti itu? Bahkan aku tidak diwawancara sama sekali," katanya dalam hati, "Apa mungkin Dean sengaja mengosongkan posisi itu demi aku?"
"Kau memikirkan apa, Sky?"
Gadis itu terkejut. "Ah, tidak! Aku tidak memikirkan apa-apa."
Kim tampak muram. "Seandainya Pak Bernar menempatkanmu bersamaku, aku pasti akan senang. Aku sebenarnya senang, karena Pak Bernat mau memberikan aku asisten, tapi asisten yang ini membuatku ...." Ucapan Kim terhenti begitu menyadari bahwa Kensky dan Soraya adalah saudara. "Oh iya, apa Soraya adalah saudara tirimu?"
"Iya. Apa dia yang mengatakannya?" tanyanya pelan. Ekpresinya biasa saja.
Kim menggeleng. "Tidak, aku hanya berasumsi. Tapi kalau dilihat dari caranya menatapmu, sepertinya dia tidak menyukaimu."
"Sikapnya memang seperti itu. Kami memang tidak saling cocok sejak dulu."
Karena tak ingin membahas soal Soraya lagi, Kim mengalihkan pembicaraan dengan membahas ulang tahun kantor. "Kau akan datang di acara ulang tahun kantor, kan?" Kensky tampak murung dan Kim menyadarinya. "Ada apa? Kau pasti punya kencan dengan pacarmu, ya? Besok kan malam minggu," ledek Kim.
Merasa Kim adalah orang yang dapat dipercaya, ia pun mengungkapkan perasaan yang sedari tadi membuatnya gelisah. "Sebebarnya bukan karena itu, tapi besok adalah ulang tahunku yang ke-dua puluh tiga. Setiap ulang tahun aku hanya ingin berada di rumah dan merayakannya di kamar bersama foto Mommy. Itulah yang kulakukan di setiap tanggal ulang tahunku; menghabiskan waktu di dalam kamar."
"Jadi kau besok ulang tahun juga? Wah, sungguh kebetulan, ya. Tapi kenapa kau bilang merayakannya dengan foto .... Maaf, bukannya ingin ikut campur, apa ibumu sudah meninggal?" Kim meraih tangan Kensky dan mengusap punggung tangannya.
Kensky tersenyum. "Tidak apa-apa. Ibuku sudah meninggal saat ulang tahunku yang ketujuh. Itu sebabnya setiap tanggal itu aku merayakan dua perayaan; mengenang kematian Mommy dan memperingati hari ulang tahunku. Aku ...."
"Jangan! Jangan diteruskan," sergah Kim. Matanya mulai nanar. "Aku minta maaf karena sudah membahas soal ulang tahunmu."
Kensky tertawa. "Ya ampun, kau kenapa? Aku tidak apa-apa, Kim. Santai saja."
Kim menghapus bulir kristal yang menumpuk di ujung mata. "Sebenarnya aku juga tidak ingin hadir. Besok adalah anniversary aku dan pacarku yang kesatu tahun. Kami berencana akan merayakannya di sebuah restoran, tapi karena Pak Bernar sudah mengumumkan undangan, mau tidak mau aku dan pacarku membatalkan rencana kami."
"Ya ampun, pasti dia sangat kecewa," kata Kensky dengan wajah sedih.
"Tidak juga. Meski rencana kami batal, tapi kami akan tetap bertemu." Kim melirik kiri dan kanan lalu mencondongkan wajah seakan berbisik. "Sebenarnya pacarku karyawan Kitten Group juga, tapi kau jangan bilang siapa-siapa, ya? Kau tahu, perusahan ini punya aturan khusus untuk itu."
"Aturan khusus?" tanya Kim, "Aturan apa?"
"Iya, Pak Bernar melarang semua karyawan Kitten Group untuk menjalin hubungan spesial dengan sesama kolega. Jadi, bagi siapa yang saling jatuh cinta, mau tidak mau harus menjalin hubungan secara diam-diam. Termasuk saya," bisiknya.
Mata Kensky terbelalak. "Oh, iya?" tanyanya dengan nada terkejut.
"Sstt! Jangan keras-keras."
"Ops! Maaf." Kensky tertawa.
"Tidak apa-apa, tapi kau harus janji dulu bahwa kau tidak akan membeberkan berita ini pada siapa pun, karena kalau hal itu bisa sampai di telinga Pak Bernar, maka habislah riwayat kami."
"Ya, ampun, kejam sekali."
Kim melirik ke kiri dan kanan untuk memeriksa keadaan. Merasa aman karena posisi mereka jauh dari jangkauan orang lain, ia pun hendak berbisik saat Soraya muncul di hadapannya, tepatnya di belakang Kensky. Ia pun kembali menelan kata-katanya yang hendak terucap dan membetulkan duduknya. Padahal ia baru saja ingin mengatakan pada Kensky siapa pacarnya itu.
"Ternyata kau di sini?! Aku sudah lelah mencarimu ke mana-mana, tapi ternyata kau malah asik duduk manis di sini," ketus Soraya.
Kensky terkejut dan langsung menoleh ke samping, di mana Soraya saat ini berdiri. "Untuk apa kau mencariku? Bukannya sekarang waktunya jam makan siang?" balas Kensky tak kalah ketus.
"Kenapa ponselmu tidak aktif? Ibu menghubungi, tapi nomormu katanya tidak aktif."
Kensky nyaris saja menyebutkan kontak barunya, tapi mengingat ponsel itu adalah tipe keluaran baru dan hanya beberapa orang yang memilikinya, ia lebih baik menyimpan rahasia tentang ponsel itu untuk sementara demi keingintahuan Soraya dari mana datangnya benda itu. "Handphone-ku mati total. Kemungkinan juga sudah rusak."
"Kalau sudah mati dikubur saja," kata Soraya enteng, "Kata Ibu, tadi Ayah pingsan di kantor dan sekarang sudah pulang ke rumah. Jadi, kata Ibu kau jangan keluyuran saat pulang kantor nanti. Begitu selesai jam kerja, kau disuru cepat pulang untuk menjaga Ayah." Selepas mengatakan itu Soraya langsung pergi.
Kim yang dari tadi sudah jengkel dan penasaran dengan cepat melontarkan pernyataan pada Kensky. "Maaf, Sky, tapi jujur aku sangat tidak suka padanya. Dari sikap maupun cara bicaranya aku tidak suka."
"Tidak usah digubris, dia memang seperti itu. Aku saja kadang tidak terlalu menghiraukannya."
Di saat itu juga sang pelayan muncul membawa pesanan mereka. Tak ingin membahas tentang Soraya lagi, Kensky melontarkan beberapa pertanyaan mengenai aturan dan tata tertib di Kitten Group.
Kim yang juga sudah menganggap Kensky seperti sahabatnya, dengan sabar ia menjawab semua pertanyaan gadis itu. Saat itulah mereka pun jadi akrab.
***
Sesuai pesan Rebecca pada Soraya tadi saat makan siang, Kensky segera menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat lalu pulang. Karena sedikit terlambat akibat berjalan kaki, Kensky langsung mencari Eduardus untuk memastikan kondisinya tanpa melepas atribut kantor.
"Daddy! Aku pulang." Ia menaiki tangga menuju lantai tiga dan masuk ke kamar yang dulunya di tempati mendiang ibunya bersama Eduardus.
Meski hubungannya dan Sang Ayah tidak pernah akrab sejak Rebecca hadir di rumah itu, tapi mendengar pria itu sakit, sudah pasti hati kecil seorang anak akan tergerak. Sejahat-jahatnya Eduardus pada Kensky, lelaki itu tetap Ayah kandungnya.
"Daddy!" pekiknya di depan pintu. Ia berlari mendekati ranjang. "Apa yang terjadi, Daddy?" Dilihatnya Eduardus terbaring dengan tubuh yang tertutup selimut. "Apa yang terjadi pada Daddy?!"
Rebecca yang sedang duduk di kursi samping ranjang terlihat sedang menangis. "Entahlah, Sky, saat jam makan siang tadi mereka mengantar ayahmu pulang ke rumah. Kata mereka ayahmu jatuh pingsan di ruangan rapat. Tadi ayahmu sudah sadar, tapi tidak tahu kenapa pas dia bangun, tiba-tiba kondisinya sudah seperti ini." Rebecca kembali menangis.
"Daddy? Daddy bangun, Daddy!" Matanya nanar. "Daddy sakit apa? Apa yang Daddy rasakan?"
Eduardus menggeleng. Matanya yang tadi terpejam kini perlahan terbuka. Ia mencoba untuk meraih tangan Kensky, tapi tidak bisa.
"Daddy, kenapa? Tangan Daddy kenapa?" Kensky memegang tangan Eduardus. "Daddy lemas? Kita ke dokter, ya?"
Lagi-lagi Eduardus menggeleng lemah. Jika tadi matanya cemerlang, kini matanya berubah nanar. Ia terus mencoba mengangkat tangannya untuk meraih pipi Kensky, tapi tidak bisa. Setiap kali hendak mendekati wajah, tangannya langsung terjatuh dan kembali terkulai.
Zet!
"Daddy!" pekik Kensky, "Apa yang terjadi, Dad?" Ia menatap Rebecca dan Soraya. "Kenapa kalian diam saja! Ayo kita bawa Daddy ke rumah sakit!" bentak Kensky. Air matanya merebak. "Daddy, kumohon bertahanlah, Daddy pasti akan sembuh. Tunggu sebentar, aku akan menghubungi dokter dulu." Ia berlari meninggalkan kamar.
Soraya yang sedari tadi berdiri hanya terus menatap ibunya yang dia tahu hanya berpura-pura. Sedangkan Rebecca yang tadinya ikut menangis, kini menghapus air matanya lalu menunduk menatap Eduardus. "Dasar laki-laki sialan! Kau harus menolak untuk diperiksa. Paham?!"
Mata Eduardus melotot menatap Rebecca. Ia tak menyangka, bahwa wanita yang dicintainya ternyata sangat jahat.
"Kau dengar, tidak? Kau harus menolak kalau dokter memeriksamu. Kalau kau membiarkan dirimu diperiksa, akan kupastikan besok kau tak akan bernapas lagi. Mengerti?" Rebecca kembali berakting saat dentuman hak tinggi Kensky kembali terdengar.
"Daddy! Dokter tidak bisa ke sini. Sebaiknya kita saja yang ke dokter." Kensky menepiskan selimut yang menutupi sebagian tubuh Sang Ayah. Eduardus menggeleng kuat, membuat Kensky terdiam. "Kenapa, Daddy? Kita ke dokter, ya?"
Kensky membantunya untuk bangun, tapi Eduardus menolaknya. "Hnnng! Hnnng!"
"Daddy?" Kensky terkejut. "Kenapa Daddy tak bersuara?"
Eduardus menggeleng terus. "Hnnnng! Hnnnng!" Air matanya mulai menetes.
"Apa yang terjadi padamu, Daddy? Apa yang terjadi?" Kensky ikut menangis.
"Hnnnng! Hnnnng!"
"Daddy ayo bicara, Daddy! Kumohon bicaralah! Hikss."
"Hnnng! Hnnnng!" Edurdus menggelengkan kepalanya.
"Dia tidak mau ke dokter, Sky," kata Rebecca.
Kensky tersentak. "Apa itu benar? Apa benar Daddy tidak mau ke dokter?" Eduardus tidak mengeluarkan suara.
"Tadi juga ayahmu bereaksi sama seperti itu," kata Rebecca lagi, "Aku sudah berusaha membujuknya untuk ke dokter, tapi dia tidak mau. Dia hanya menggeleng dengan raungan seperti barusan dan aku sendiri tidak tahu apa artinya."
Kensky menatap ayahnya. Air mata Eduardus kembali menetes. Dengan hati sedih ia berlutut di samping ranjang. "Ada apa, Daddy? Kenapa Daddy menangis?"
Eduardus tak menjawab. Soraya yang sedari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. "Sky, sebaiknya kau mandi dulu. Kau pasti capek, kan? Biar ayah aku yang jaga."
"Iya, Sky, Soraya benar. Biar Soraya yang menjaganya. Ibu akan menyiapkan makan malam dulu untuk kalian."
Kensky menolak. "Tidak, aku ingin bersama Daddy."
Rebecca mengambil alih. Ia berdiri dan berlutut di samping Kensky. "Cukup ayahmu yang sakit. Kalau kau sakit, siapa yang akan meneruskan perusahan ayahmu?"
Perkataan Rebecca membuat Kensky luluh. Dilihatnya mata wanita itu yang bengkak akibat menangis. Dalam hati ia berpikir kalau perasaan Rebecca pasti sama sepertinya; sedih dan juga khawatir.
"Ayolah, Nak. Hari semakin gelap. Nanti kamu sakit kalau mandinya terlalu malam."
Kensky hendak berdiri. Sebelum itu ia membungkuk dan menatap Eduardus. "Sekarang Daddy istirahat, ya? Aku akan kembali setelah mandi."
"Ayo," Ajak Rebecca saat dirinya hendak keluar.
Kensky yang tidak berpikir macam-macam hanya bisa menurut apa yang dikatakan Soraya dan Rebecca. Ia melirik Eduardus yang sedang menatapnya. Tatapan dan raut wajahnya membuat hati kecil Kensky menolak untuk meninggalkan. Ia hendak berbalik, tapi Rebecca mencegahnya.
"Ayo, biarkan Daddy istirahat dulu. Sejak tadi Daddy belum tidur." Rebecca mengajak Kensky keluar kamar lalu menutup pintunya. Di depan pintu ia berkata, "Kalau Daddy tidak mau ke dokter, biar Mama yang akan suru dokter ke sini untuk memeriksa Daddy." Kensky menatap ragu. "Sekarang mandilah dan ganti baju. Mama akan membuat makan malam untukmu dan Soraya."
Kensky menatap tubuh Rebecca saat wanita itu menuruni tangga. Karena merasa gerah dengan kemeja kantor yang masih dikenakannya, Kensky pun menuruni tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Sedangkan Rebecca menuruni tangga menuju lantai satu.
Tibanya di dapur Rebecca melirik kiri dan kanan. Ia memastikan bahwa dirinya benar-benar sendirian. Merasa tidak ada yang mengikutinya, Rebecca segera merogoh ponsel dari saku untuk menghubungi seseorang. Takut kalau-kalau ada yang mendengar pembicaraannya, Rebecca sesekali melirik ke arah pintu dapur.
"Halo?" sapa Rebecca begitu panggilan terhubung, "Bernar! Kenapa kau tidak merespon panggilanku dari tadi?"
"Aku sedang sibuk. Ada apa?"
"Obatnya, Bernar! Obatnya sudah membuat tubuhnya lemas dan suaranya hilang."
"Bagus! Lakukan seterusnya sampai semua saraf dalam tubuhnya tak berfungsi lagi."
"Baik, Bernar. Ngomong-ngomong kapan kau akan menikahi Soraya," tanya Rebecca.
"Sesuai perjanjian kita, Rebecca. Kau masih ingat kan perjanjian itu?"
"Tentu, Bernar, tapi jangan lama-lama, ya? Aku ingin segera menggendong cucu."
Continued__
Hayo, siapa Readers yang mau punya menantu kek Dean Bernardus? Hehehe.
Bagaimana, Kakak-kakak? Bagus tidak ceritanya? Brengsek sekali kan Si Bernar! Jangan lupa untuk masukin ke rak, ya. ^^
Setelah selesai mandi, Kensky kembali ke kamar atas untuk melihat kondisi ayahnya. Dengan tubuh yang mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana jins biru pendek, gadis itu sedikit berlari dengan rambut yang digulung sedikit acak."Sky?" panggil Rebecca dari lantai bawah. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di anak tangga pertama lantai dua. "Ayo makan dulu. Makan malamnya sudah siap."Di saat yang bersamaan Soraya menuruni tangga dari lantai tiga."Soraya!" panggil Rebecca, "Ayo makan. Kalian makan malam saja dulu, biar Mama yang akan menjaga Ayah."Soraya memasang wajah sedih. "Ayah baru saja tidur, Ma. Jadi sebaiknya Mama jangan mengganggu Ayah dulu."Kensky bernapas lega mendengar itu. Tapi ia tak mengeluarkan suara atau merespon perkataan Soraya. Ia pun melangkah menuruni tangga, menuju ruang makan."Ma, memangnya Ayah sakit apa?" tanya Soraya u
Sesorang di balik telepon diam tak menjawab. "Halo, CEO?" panggil Kensky dengan nada pelan."Halo, Cantik." Suara laki-laki dari balik telepon akhirnya menyapa. "Selamat ulang tahun, Ratuku."Kensky terkejut, yang pertama karena sosok CEO itu ternyata bersuara laki-laki, yang kedua karena lelaki itu tahu kalau hari ini adalah ulang tahunnya. "Siapa kau? Kenapa kau tahu tanggal lahirku?" Kensky merasa senang, karena ada orang yang memberikannya selamat untuk pertama kali, tapi di satu sisi ia penasaran."Kau pasti akan tahu siapa aku. Percayalah, aku ini orang baik, Sky. Aku orang yang akan selalu menjaga dan melindungimu. Ngomong-ngomong kau ingin merayakan ulang tahun di mana? Katakan saja, biar aku yang akan menyiapkan tempat dan segala keperluannya. Kau juga ingin hadiah apa? Aku pasti akan memberikan apa pun yang .... ""Dari mana kau mengenal Mommy?" sergah Kensky yang dipenuhi rasa penarasan ol
Para tamu undangan sudah banyak berdatangan. Ada yang dari Kitten Group, ada juga dari instansi yang lain. Mereka terbentuk seperti kelompok. Ada yang berdiri sambil berbincang-bincang bersama kolega, ada juga yang sedang duduk menikmati makanan pembuka. Di sisi lain Dean sedang berdiri di dekat pagar, tepatnya di mana meja minuman berada. Ia menatap wajah-wajah yang hadir di pesta malam ini. Kitten Group bukanlah perusahan biasa, perusahan yang bergerak di bidang properti itu memiliki cabang yang banyak di berbagai daerah dan itu berkat kerja sama antara para karyawan-karyawan itu bersama Dean. Ia sangat bersyukur memiliki karyawan seperti mereka. Karena biar bagaimana pun, tanpa kerja keras mereka Kitten Group tidak akan menjadi perusahan besar dan terkenal di seluruh Amerika dan Eropa. Lelaki yang sering di sapa Dean atau Bernar itu melirik jam tangan. "Matt, suru mereka menutup gerbangnya." Saat ini jam sudah menunjukkan pukul sembil
Ia menatap wajah Kensky yang kelihatannya tertidur pulas. Dengan langkah pelan Dean mendekati bathup dan duduk di pinggirannya. "Sky?" panggilnya pelan seraya mengelus pipi gadis itu. Ia tersenyum saat melihat Kensky tak merespon.Karena tidak ingin gadis itu kedinginan, Dean membopong tubuh Kensky dan membawanya ke atas ranjang. Saat itulah Matt muncul sambil membawa nampan berisi botol anggur yang tadi mereka minum dan dua gelas kristal berbentuk kotak."Matt, pastikan jangan ada yang menganggu. Jika ada yang mencariku, katakan saja aku sedang ada urusan." Dean sengaja tidak mengundang para petinggi-petinggi dari perusahan lain, karena memang niatnya malam ini ingin bersama Kensky."Baik, Pak."Setelah Matt pergi, Dean segera mengunci pintu kamarnya. Perlahan ia mulai membuka jas kemudian kancing kemeja. Rasa panas akibat minuman anggur membuatnya gerah, apalagi saat melihat tubuh Kensky di bagian
Karena saling menginginkan, Dean menuruti semua yang diperintahkan oleh pikirannya. Tubuh mereka hangat oleh gairah yang meluap-luap ingin segera meledak. Perlahan Dean menyusuri tubuh Kensky dengan bibirnya. Mulai dari dada, perut, hingga ke bagian lembut di antara perut dan ... "Kau ingin aku menghentikannya?" tanya Dean. Kensky yang juga sudah diliputi gairah justru tak ingin Dean berhenti. Ia menggeleng pelan. Matanya yang masih terpejam hanya terbuka sedikit seakan mengintip. "Jangan. Jangan berhenti. Kumohon." Dean tak tahan lagi. Perkataan yang keluar dari mulut Kensky justru terdengar seperti desahan yang semakin membuatnya bergairah. Dengan lembut ia membuka kedua kaki gadis itu hingga terkangkang. Balutan kain hitam transparan yang menutupi bagian mulus berwarna kemerahan itu membuat bara dalam diri Dean semakin membara. Tangannya yang kokoh perlahan menyentuh dan membuka kain itu h
Tok! Tok! "Soraya!" teriak Rebecca, "Soraya, buka pintunya!" Tok! Tok! "Soraya?!" "Hmmm," gumamnya dari dalam kamar. Ia menggeliat di atas ranjang. Suara ibunya membuat gadis itu terbangun dari tidurnya yang nyanyak. "Soraya, ayo cepat buka pintunya!" "Iya, iya!" balasnya sambil bergerak dari kasur. Ia menepiskan selimutnya, kemudian berjalan menuju pintu. Clek! "Ada apa? Kenapa___" "Di mana Kensky? Kenapa Mama periksa kamarnya tidak ada. Kasurnya bahkan masih rapi. Kalian sama-sama ke pesta tadi malam, bukan?" Soraya mengucek matanya dengan punggung tangan. "Aku tidak tahu, Ma," balasnya malas lalu kembali ke atas kasur. Rebecca mengekor. "Bukannya tadi malam kalian berdua pergi ke acaranya Bernar?" Soraya meng
Dalam perjalanan Kensky terus memikirkan Dean. Perlakuan pria itu terhadapnya sangat membuat Kensky penasaran. "Jika dia benar-benar menginginkanku, kenapa dia tidak melakukannya seperti di film-film; sengaja membuatku mabuk, kemudian meniduriku?" pikirnya, "Padahal kan aku juga ingin diperlakukan begitu." "Miss Oxley, kita sudah tiba." Suara Matt mengejutkan Kensky. "Oh, iya! Maaf." Ia melihat pria itu keluar dari pintu kemudi, kemudian mengintari mobil untuk membukakan pintu untuknya. "Oh iya, nama kamu siapa?" tanyanya pelan sambil keluar dari mobil. "Namaku Matthew, Miss." "Oke, Matt, terima kasih banyak, ya." Pria itu menunduk hormat. "Anda akan dijemput jam berapa, Miss?" Kensky terkejut. "Dijemput?" "Iya, tadi Tuan Dean menyuruhku untuk menjemput Anda kembali jika urusan Anda sudah selesai." Ken
"Memangnya berapa total hutang Daddy, Mr. Lamber?" Pria itu menggeleng. "Maaf, Miss Oxley, tapi saya kurang tahu. Sebulan lalu saat menyerahkan lembaran ini, beliau hanya bilang bahwa jika beliau sudah jatuh sakit, tolong berikan surat ini pada Anda selaku ahli waris untuk diminta tanda tangan. Tapi saat saya bertanya soal hutang di dalam surat ini, beliau hanya bilang bahwa beliau sudah ada perjanjian dengan yang bersangkutan bila mana Kapleng Group sebagai jaminan dari hutangnya." Rebecca tersentak. "Jika perusahaannya sebagai jaminan, berarti utang Eduardus sangat banyak, dong? Lalu," ia menatap Kensky, "uang sebanyak itu dilakukannya untuk apa? Sementara dia tidak pernah membangun atau memberikan apa-apa pada kami. Iya kan, Sky?" Mr. Lamber menatap Rebecca saat tatapan wanita itu tertuju padanya. "Aku minta maaf, Nyonya, meskipun aku pengacara Mr. Oxley, tapi semuanya masalah pribadi beliau diberitahukan kepada
Kensky bergairah. Dari awalnya hanya iseng saat mulutnya yang kecil mengulum pucuk buah dadanya Dean, kini sambil memejamkan mata ia memindah posisi dan berlutut di hadapan lelaki itu. Tangannya yang halus dengan lembut bergerak ke arah handuk dan melepaskannya. Dean terkejut. Dengan mata sayu ia menatap Kenksy yang sedang menyerang perutnya dengan kecupan-kecupan kecil hingga membuatnya terasa nikmat. Kensky yang semakin lama dilanda gairah ketika merasakan elusan lembut dari tangan Dean, kini menunduk dan melihat bagian yang mengeras dan tegas. Ia terkejut melihat bagian itu untuk pertama kalinya yang ternyata lumayan panjang dan berisi. Sambil menatap Dean ia tersenyum dan berkata, "Ini ukuran yang sangat menakjubkan, Dean." Lelaki itu mencondongkan badan dan melumat bibir Kensky. Setelah puas saling melumat, mereka melepaskan bibir dan saling bertatap. "Kau tidak perlu melakukannya, Sayang."
Di dalam kamar vila mewah dan terbesar di Amerika, Dean sedang berdiri sambil menghadap jendela kaca dengan tubuh yang hanya mengenakan celana pendek. Tubuh bagian atasnya terbuka, sedangkan sebelah tangannya menahan ponsel yang menempel di telinga."Maafkan aku, Dean. Padahal aku dan istriku ingin sekali menghadiri pernikahanmu, tapi kakak iparku mendadak menyuruh kami ke Rusia pagi tadi. Mertuaku meninggal, karena kecelakaan.""Aku turut berduka cita. Kapan pemakamannya?""Terima kasih, Dean. Pemakamannya besok. Anak-anaknya ingin mempercepat pemakaman, karena bagian tubuhnya hancur. Jadi mereka tidak mau menahan jenazah-nya lebih lama lagi.""Maafkan aku, Mister. Aku ingin sekali hadir ke pemakaman itu, tapi Anda sendiri tahukan?""Aku mengerti, Dean. Tapi ngomong-ngomong soal vila, kau suka kan tempat itu, kan? Aku sengaja memberikan kamu vila di atas puncak biar kau bisa men
"Enam sembilan?""Iya," balas Tanisa, "Tunggu di sini. Aku akan mengambil laptop dulu."Kensky menatap bingung ke arah Tanisa yang kini berjalan memasuki kamarnya."Kau harus melihat ini, Sky," kata Tanisa yang tiba-tiba muncul sambil membawa laptop. Ia duduk di sebelah Kenksy kemudian mengotak-atik benda itu, "Ini adalah situs terbaik yang pernah aku lihat."Zet!Kensky terkejut. "Kau sering melihatnya di situs ini, ya?"Tanisa tertawa. "Memangnya kenapa? Kan mencari pengalaman bukan harus mempraktekkannya saja. Sama seperti sekolah, kita akan mendapat materi dulu, baru dipraktekkan. Bukan begitu?"Kensky terdiam karena apa yang dikatakan Tanisa ada benarnya. Ia tidak perlu bercinta dulu baru mendapatkan pengalaman, tapi hanya dengan berbagi pengalaman bersama Tanisa dan melihat video di situs itu sudah cukup bagi Kensky untuk mempraktek
Mata Dean berubah sayu. Perlahan ia mulai membuka kancing kemeja Kensky hingga semuanya terlepas. Setelah semua kancing terlepas, ia membuka lebar kemeja itu hingga terlihat bagian suburnya yang tegas. Perlahan Dean membenamkan wajah di sana untuk menghirup aroma di balik pelindung tipis yang masih melekat di tubuh Kensky.Gadis itu mendesah saat Dean menyentuh bagian itu dengan lidahnya. "Dean ...."Lelaki itu mendongak menatap wajah Kensky. Tangannya perlahan menyusup ke balik punggung untuk membuka pengait yang menghalanginya.Kensky pasrah dan sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari wajah Dean. "Aku ingin sesuatu yang beda di malam pengantin kita nanti."Tepat di saat itu pengait bra gadis itu terlepas. Sambil mengangkat pelindung itu dengan pelan ia berkata, "Kau ingin apa?" Dean menunduk dan mencium pucuknya yang berwarna cokelat.Kensky memejamkan mata sambil mengusap
Dengan perasaan sedih dan bahagia Eduardus mengangguk. Ia bahkan tak bisa mengeluarkan suara, akibat air mata yang kini membasahi pipinya.Mata Kensky ikut berkaca-kaca. "Apa itu artinya Papi menerima lamaran ini?"Eduardus menarik cairan hidungnya. "Tentu saja. Tentu saja, Sayang. Papi menerima lamaran Dean merestui hubungan kalian."Dengan cepat Kensky beranjak dari sofa dan mendekati ayahnya. Mereka saling berpelukan dan menangis bersama. "Terima kasih, Pi. Terima kasih karena Papi telah mengijinkan Dean menjadi suamiku."Mrs. Stewart ikut menangis. Dalam hati ia bertanya-tanya, "Jika Eduardus tahu kalau Kensky adalah cucu kandungnya, apakah dia akan menerima Dean sebagai suami Kensky?"Dean yang duduk sambil menatap mereka pun sama pemikiran. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Seandainya Eduardus tahu aku punya hubungan dengan keluarga Barbara, apakah dia akan menerima lamaranku
Seminggu pun berlalu. Kensky yang seharusnya sudah kembali ke Eropa akhirnya tertunda akibat permintaan Dean."Aku terlalu lama di sini. Kalau aku lebih lama lagi, yang ada pekerjaanku semakin tertunda. Aku tidak mau meskipun kau pacarku, tapi melalaikan tugas sebagai karyawanmu."Dean tersenyum sayang. Saat ini mereka sedang berada di restoran langganan sambil menikmati makan siang. "Kau tidak perlu khawatir, aku sudah menghubingi Mr. Bon dan menyuruhnya untuk menangani semuanya. Kau tenang saja.""Aku tidak ingin mereka menganggap aku dispesialkan olehmu, Dean. Aku tidak ingin mereka menilai bahwa kau membeda-bedakan karyawan."Lelaki itu menyudahi makannya. "Kenapa kau harus khawatir? Kau kan memang orang yang spesial bagiku dan Kitten Group. Hanya saja mereka tidak tahu bahwa kaulah pemilik Kitten Group yang sebenarnya, bukan aku."Kensky menatap haru. Perlahan ia meraih sebe
Ekspresi Dean langsung berubah. "Saat malam ulangtahunmu yang ketujuh tahun, ibumu menemuiku waktu itu."Kensky tampak berpikir. "Kalau itu aku ingat, tapi mami tidak bilang kalau mau ke mana.""Malam itu dia datang untuk meramaikan acara yang aku, kakek da nenekmu laksanakan demi memperingati hari ulangtahunmu. Jadi setiap tanggal lima belas juni, kami merayakan ulangtahunmu tanpa kau ketahui."Mata Kensky kembali berkaca-kacaa. "Benarkah?"Dean tersenyum. "Iya. Dan saat itulah kami sepakat membuat ulang tahun Kitten Group tepat di tanggal yang sama dengan tanggal kelahiranmu.""Ya, Tuhan. Jadi barusan peringatan itu bukan karena ulang tahun kantor?""Iya, tapi peringatan untuk tanggal kelahiranmu. Dan itu tidak ada yang tahu kecuali aku dan semua keluargamu."Kensky kembali menangis. "Aku tak menyangka, ternyata keluarga mami tidak pernah melupakanku
"Dean, kumohon kabulkanlah permintaanku ini . Mungkin bagimu ini sangat tidak mungkin, tapi hanya kamulah orang yang kupercaya. Kumohon, Dean. Berjanjilah padaku bahwa kau akan menikah dengan Kensky. Hanya kau laki-laki yang kupercaya untuk menjaganya. Aku tak peduli kau mau atau tidak, pokoknya yang aku tahu Kensky harus menikah denganmu. Aku tak peduli bagaimapun caramu mendapatkannya, pokoknya kau harus menikahinya. Dan aku harap setelah membaca surat ini, kau mau berjanji dan melakukan apa yang sudah aku minta. Bertanda tangan, Barbara Stewart."Zet!Lagi-lagi Kensky terkejut. "Nama belakang mami Stewart?""Iya.""Sumpah, selama ini aku tidak tahu nama belakang mami. Yang aku tahu nama mami hanyalah Barbara Oxley."Dean mengusap pipi Kensky. "Kau ingat wanita yang kuceritkan padamu tempo hari ... wanita yang telah menolongku di depan tokonya?""Iya."
Tanpa berkata apa-apa lagi Kensky pun langsung berdiri dan memeluk Dean. "Aku juga sangat merindukanmu.""Cium aku," kata Dean.Kensky melepaskan pelukannya dan menatap Dean. "Cium?""Iya."Kensky mendunduk dan mencium dahi Dean. "Sudah.""Bibir."Wajah Kensky berubah merah. "Ini rumah sakit, Dean. Kalau perawat datang dan memperkogi kita, bagaimana?""Ini sudah larut, mereka tidak akan datang.""Tapi___""Sudah, cepat. Jangan membantah."Dengan malu-malu Kensky pun mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Perlahan ia menunduk kemudian mencium Dean.Lelaki itu tak hanya diam. Tangan sebelahnya terulur dan menehan kepala Kensky lalu membalas ciuman Kensky. Ciuman yang awalnya hanya sebuah kecupan lembut, berubah menjadi lumatan yang penuh perasaan.&nbs