Dengan kesal Soraya berdiri menghampiri si sekertaris. "Miss! Kenapa lama sekali? Sudah satu jam lebih aku menunggu di sini. Apa selama itukah waktu untuk peserta wawancara di perusahaan ini?" ketusnya.
Sekertaris ikut berdiri. "Maaf, Miss, tapi Anda harus menunggu. Biasanya Pak Bernar akan memberikan evaluasi langsung bagi calon karyawan baru di perusahaan ini."
Soraya terdiam. "E-evaluasi?" tanyanya pelan.
"Iya, Miss, Pak Bernar akan memberikan beberapa pertanyaan pada setiap calon pegawai baru. Dan jika berhasil menjawab, saat itu juga beliau akan menerima peserta hari itu juga. Saya rasa Nona Kensky sedang dievaluasi."
"Oh, begitu." Soraya tampak gelisah. "Hmm, apa bisa Anda memberikan bocoran tentang soal yang akan diberikan Bernar nanti?"
Sekertaris itu menatap aneh. "Siapa dia? Kenapa dia menyebutkan nama kecil Pak Bernar?" katanya dalam hati. Selama dua tahun ia bekerja di Kitten Group tidak ada seorang pun yang berani menyebut nama Sang Pemimpin sekaligus pemilik perusahaan seperti itu. "Maaf, Miss, tapi hal itu bersifat pribadi, hanya beliau yang tahu soal itu. Beda divisi beda pertanyaan. Silahkan Anda duduk kambali dan menunggu giliran," balasnya tak kalah ketus.
Dengan kesal Soraya kembali ke tempat duduknya lalu menatap tajam ke arah sekertaris yang sudah duduk kembali sambil menatap layar komputer. "Lihat saja nanti, begitu aku diterima di perusahan ini, aku akan menyuruh Bernar untuk memecatmu," katanya dalam hati.
Bunyi handle pintu membuat Soraya dan sekertaris menoleh. Dengan cepat Si Sekertaris berdiri dan menyapa Kensky yang baru saja keluar. "Bagaimana, Miss, apa kata Pak Bernar?" Ia tampak penasaran dan antusias.
"Oh, jadi panggilannya Pak Bernar?" kata Kensky dalam hati, "Aku diterima, Bu Sekertaris." Ia tersenyum lebar.
"Benarkah? Selamat, ya, Miss Oxley."
Soraya mendekati mereka berdua. Ia berdiri tepat di depan meja sekertaris yang tak jauh dari ruangan CEO. "Jangan senang dulu, Sky, pasti juga kau tidak akan bertahan lama di perusahaan ini."
Kensky tidak menggubris. Ia hanya melirik Soraya dan kembali menatap sekertaris itu. "Terima kasih banyak, ya. Aku permisi dulu. Besok aku akan memulai hari baru di kantor ini."
"Iya. Semangat, ya? Sampai ketemu besok."
"Terima kasih. Bye."
Sekertaris itu menatap Kensky berjalan menuju lift. Setelah tubuh seksi gadis itu menghilang di baliknya, ia menatap Soraya yang juga sedang menatap Kensky dengan tatapan iri. Ia pun sangat yakin kalau wanita yang wajahnya dipenuhi makeup tebal itu adalah suadara tiri Kensky. Meski belum tahu kebenarannya, tapi ketidaksukaan Soraya pada Kensky membuatnya sangat yakin.
Soraya balas menatapnya. "Sekarang giliranku, kan, Ibu Sekertaris yang terhormat?" katanya penuh penekanan. Wajahnya datar.
Sekertaris itu tak kalah tegas. "Iya, Miss, tapi tunggu sebentar, aku harus mengkonfirmasinya dulu dengan Pak Bernar." Ia merasa menang dan meninggalkan Soraya, yang ia yakin semakin kesal akibat kata-katanya.
Soraya menatap tajam. Rasanya ia ingin menarik rambut wanita itu untuk mengajaknya berkelahi. Tapi demi menjaga nama baik, Soraya membiarkan sekertaris itu berjalan memasuki ruangan CEO. "Sombong sekali dia!" ketusnya. "Kita lihat saja nanti, akan kubuat kau dan Kensky tidak akan betah kerja di sini."
Sejurus kemudian sekertaris itu keluar. "Anda sudah diperbolehkan masuk."
Soraya tak menjawab. Ia malah menatap sekertaris itu dengan tatapan meremehkan dari atas ke bawah dengan alis mengerut lalu masuk ke dalam ruangan CEO.
Wanita itu menggeleng kepala. "Sangat disayangkan, cantik-cantik, tapi sombong," kata si sekertaris saat Soraya menghilang di balik pintu.
***
"Selamat pagi, Bernar," sapa Soraya begitu melihat pria berjas hitam yang sedang duduk menatap dokumen di atas meja.
Dean terkejut dan menatapnya. "Berani-beraninya Anda memanggilku seperti itu, Nona! Siapa kau?"
Soraya tersenyum samar. "Maaf, tapi aku rasa kau sudah tahu siapa aku, kan?" Ia melangkah pelan mendekati meja Dean. "Atau jangan-jangan kau memang tidak mengenaliku?" Soraya tersenyum licik.
Dean menatap tajam pada Soraya lalu melirik ke arah berkas yang ada di atas meja. "Jadi kau Soraya Oxley?"
"Ya, aku Soraya Oxley, Bernar. Aku rasa Anda tidak usah berpura-pura lagi, bukannya Anda sangat mengenal ibuku? Kata beliau Anda punya perjanjian khusus dengannya. Dan karena perjanjian itu maka Anda menyuruhku hadir di kantor ini untuk wawancara. Apa benar begitu, Pak Bernar?"
Ekpresi Dean biasa-biasa saja. "Oke, baiklah. Tapi sebelum itu, apa boleh aku mengajukan satu pertanyaan untukmu, Nona Oxley?"
"Tentu saja, calon suamiku. Apa pun yang ingin kau tanyakan, aku pasti akan menjawabnya."
Dean menyeringai samar. "Apa hubunganmu dengan wanita yang bernama Kensky Oxley?"
Ekpresi Soraya langsung berubah begitu mendengar nama itu. Ia berdecak. "Oh, dia?" katanya dengan nada mengejek. Ia berjalan pelan mendekati jendela. "Dia saudara tiriku. Ayahnya menikah dengan ibuku saat aku berusia delapan tahun. Tapi sejak menjadi ayah sambungku, lelaki itu menyuruhku menggunakan nama belakangnya." Ia membelakangi Dean. "Aku rasa dia melakukan itu, karena merasa bertanggung jawab setelah menikah dengan ibuku."
Dean tersenyum samar. Dan tanpa basa-basi ia berkata, "Baiklah, Soraya, kalau begitu kau diterima."
Soraya terkejut. Dengan cepat ia berbalik menatap Dean. "Aku diterima? Tanpa wawancara?"
"Benar. Hari ini juga kau sudah bisa bekerja di sini sebagai asisten sekertaris."
"Sekertaris? Kau serius, Bernar?"
Dean berdiri dari kursinya dengan kedua tangan di dalam saku celana. "Asisten sekertaris, Soraya, bukan sekertaris"
"Ya, seperti itu. Oh Tuhan, aku senang sekali. Terima kasih banyak, Sayang."
"Tapi dengan satu syarat," kata Dean dengan nada mengancam.
"Apa? Katakanlah." Soraya menatapnya.
"Kau harus menjaga sikap. Di perusahan ini ada aturannya; sesama karyawan dilarang berpacaran. Kau mengerti maksudku, bukan? Jadi kau jangan pernah memanggilku lagi dengan sebutan seperti tadi. Dan ingat ..." Dean berjalan mengintari meja dan berdiri di depannya. "Jika kau tidak berhasil menjaga sikap, aku akan memecatmu."
Soraya menelan ludah. "Apa kau setega itu pada calon istrimu, Bernar?"
Dean mendorong tubuhnya dari meja lalu kembali ke kursi. "Aku bahkan tak akan segan-segan membatalkan perjodohan kita kalau kau membuat masalah."
Soraya semakin takut. Dilihatnya Dean meraih gagang interkom sambil menekan tombol.
"Masuklah, Kim," titahnya lalu meletakan kembali gagang interkom itu. Ia menatap Soraya.
Soraya yang berdiri agak jauh darinya tampak berpikir dan bertanya-tanya dalam hati siapa itu Kim? Ia bahkan tidak menyadari bahwa Dean masih menatapnya.
Sejurus kemudian sosok gadis yang merupakan sekertarisnya muncul dari balik pintu. "Oh, jadi namanya Kim," kata Soraya dalam hati.
"Kim, hari ini kau bisa langsung mengajarkan Soraya. Dia akan menjadi asistenmu," kata Dean dengan nada tegas.
"Kenapa harus dia, sih? Kenapa bukan Kensky saja?" katanya dalam hati, "Baik, Pak!"
"Oh, iya, Kim! Tolong setelah ini, kau hubungi bagian inventaris untuk menyiapkan ruangan yang full fasilitas untuk Mr. Hans dan asisten barunya. Suruh mereka kerjakan hari ini, karena besok pagi ruangan itu harus segera ditempati."
"Baik, Pak!" Ia menunduk paham.
Soraya menatap tajam ke arah dinding. "Full fasilitas? Asisten baru? Besok? Apa jangan-jangan itu Kensky?" katanya dalam hati, "Bodoh amat, yang penting dia tidak seruangan dengan calon suamiku."
"Soraya?"
Suara berat Dean mengagetkannya. "Eh! Ya, Sa ..." Dengan cepat ia mengoreksi perkataannya, "Eh, maksudku ada apa, Pak Bernar?"
"Sekarang kau boleh keluar dan ikuti setiap tugas yang diperintahkan Kimberly. Jangan membantah, paham?"
"Ba-baik, Pak."
"Mari ikut saya." Sekertaris itu menunduk pamit pada Dean lalu mengajak Soraya keluar.
Karena Soraya berdiri di belakang Kim, ia menatap Dean dan mengedipkan mata dengan nakal. Dean balas tersenyum. Meski hanya senyum datar, tapi hal itu membuat hati Soraya rasanya ingin meloncat keluar. Ia berbung-bunga.
***
Saat makan malam Kensky duduk di samping kanan Eduardus. Dengan ragu-ragu ia melirik sang ayah yang sedang menyantap makan malamnya dengan lahap.
Eduardus adalah pria berambut hitam. Matanya hijau seperti Kensky. Tubuhnya gemuk dan kulitnya yang seputih susu diwariskan pada putri semata wayangnya, Kensky Revina Oxley.
Di sisi kiri Soraya justru tampak bahagia. Setiap kali selesai menyuapi sendok ke dalam mulutnya lalu tersenyum samar. Senyuman Dean tadi pagi selalu terbayang dan membuat jantungnya berdebar-debar.
"Bagaimana hasil wawancara tadi?" tanya Eduardus sambil menatap piring yang berisi menu ayam kecap dan sayur capcay.
"Sangat lancar." Kensky dan Soraya menjawab serentak dan hal itu membuat Eduardus juga istri kedua-nya itu menatap bingung.
"Kau juga ikut wawancara bersama Soraya, Sky?" tanya Rebecca yang tak lain adalah ibu tirinya.
"Iya. Aku dan Soraya punya jadwal yang sama."
"Wow, benar-benar sebuah kebetulan, bukan?" jawab Rebecca dengan nada mengejek, "Pasti kau diterima, karena pergi bersama Soraya."
Kensky hendak menjawab, tapi Eduardus langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Kensky harus menelan kembali cemoohannya. "Kau dapat posisi di bagian apa?"
Kensky merasa senang. Ini pertama kalinya Eduardus berbicara dengan nada pelan. "Aku jadi asisten kepala keuangan, Dad."
"Kau Soraya?" tanya Eduardus tanpa menatapnya.
Soraya dengan pelan meletakkan sendok dan garpunya. Disekanya bibir dengan serbet linen sebelum menjawab, "Aku asisten sekertaris, Pa."
"Asisten sekertaris?" pekik Rebecca.
Soraya tersenyum meremehkan ke arah Kensky. "Iya, Ma, aku asisten sekertarisnya Pak Dean Bernardus Stewart."
"Wah! Selamat, Sayang. Kalau begitu kau harus bekerja dengan baik agar nanti kau bisa naik jabatan menjadi sekertaris Pak Bernar langsung."
"Tentu saja, Ma. Itu memang yang akan kulakukan," katanya sambil menatap Kensky.
Kensky mencerna sikap Rebecca dan Soraya yang tiba-tiba aneh. Sejak Soraya muncul di kantor tadi pagi ia memang sudah curiga, karena hal yang tidak mungkin di saat yang bersamaan Soraya tiba-tiba diwawancara. Kensky tahu wanita itu tidak mengajukan permohonan, tapi gadis itu mendapatkan jabatan yang lebih tinggi darinya. "Apa jangan-jangan yang dijodohkan dengan Dean adalah Soraya?" katanya dalam hati.
"Ayah hanya bisa mendukung dan memberi selamat pada kalian berdua," kata Eduardus yang membuat Kensky terkejut dari pikirannya. "Tapi ingat ...," Eduardus berdiri seakan menyudahi makanannya, "siapa di antara kalian yang lebih dulu menikah, dialah pewaris tunggal Kapleng Group milik ayah."
Kensky tidak terima. Ia segera berdiri dan menghadapi sang ayah. "Itu tidak adil, Daddy!"
"Sky!" pekik Rebecca, "Jangan membantah."
Kensky tidak menggubris. "Itu perusahan warisan mommy, Daddy! Harusnya Daddy mewariskannya padaku. Aku adalah anak Daddy dan Mommy, bukan dia!"
Plak!
Bunyi tamparan membuat Kensky terkejut. Soraya yang juga melihatnya langsung ternganga menatap saudara tirinya yang ditampar, sedangkan Rebecca tersenyum puas dengan tontonan tersebut.
"Jangan pernah kau berkata begitu, Sky! Kau dan Soraya adalah anakku. Karena aku sudah menikahi ibunya, itu berarti dia adalah tanggung jawabku." Dada Eduardus naik turun. "Dengar, sekali lagi kau berkata begitu, akan kugaris namamu dari daftar warisanku. Ingat itu!" Eduardus meninggalkan ruang makan.
Mata Kensky nanar menahan perih di pipinya. Wajahnya memerah karena amarah yang hendak meledak.
"Kensky, Kensky," kata Rebecca sambil berdiri. "Sudah Mama bilang bukan? Jangan membantah. Coba saja tadi kau mendengarkan perkataan Mama, begini ayahmu___"
Ting-Tong!
Bunyi bel rumah menghentikan perkataan Rebecca. Kensky pun mengambil kesempatan untuk bergerak lalu meninggalkan meja menuju tangga ke lantai dua.
Ting-Tong!
"Biar aku saja, Ma." Soraya beranjak pergi, sementara Rebecca kembali duduk dan merasa senang karena ternyata putrinya akan mendapat warisan. Ia pun membayangkan bagaimana hidupnya nanti jika Soraya mendapatkan warisan dari Eduardus dan menikah dengan Dean. "Oh, Rebecca, hidupmu pasti akan bahagia."
"Ma!"
Teriakan Soraya membuat Rebecca terkejut. Tanpa menyahut, ia langsung bangkit dari kursi dan berjalan ke ruang depan. "Siapa, Soraya?" Ia menatap lelaki berjas hitam yang berdiri di depan pintu.
"Lelaki ini ingin mencari Kensky."
"Kensky? Untuk apa kau mencarinya?" tanya Rebecca pada lelaki yang sama sekali tidak terlihat seperti kurir. Ia berdiri di samping Soraya lalu memborong tubuh lelaki itu dari atas ke bawah.
Lelaki itu memperlihatkan kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna pink. "Begini, Bu, saya ingin mengantarkan kiriman ini untuk Nona Kensky."
"Kiriman? Kiriman apa itu?" tanya Soraya. "Berikan saja padaku."
"Tidak bisa, Nona, saya ditugaskan untuk memberikan barang ini secara langsung pada Nona Kensky."
"Dia se___" Rebecca mencubit lengan Soraya agar gadis itu diam dan menatapnya.
"Panggil dia," katanya pelan. Setelah Soraya pergi dengan kesal, Rebecca menatap lelaki itu. "Tunggu sebentar, ya?"
"Baik, Nyonya."
Rebecca menyandarkan punggung di kusen pintu dengan tangan yang bertaut di depan tubuh. "Kalau boleh tahu, siapa pengirimnya?"
Lelaki itu memperlihatkan kotak yang tanpa nama dan alamat itu. "Maaf, Bu, tapi saya juga tidak tahu. Saya hanya diperintahkan untuk membawa kiriman ini langsung kepada Nona Kensky."
Rebecca kesal. "Tidak perlu diulang. Kau tadi sudah mengatakannya."
Sejurus kemudian Kensky muncul dengan mata yang bengkak. "Maaf, apa Anda mencari saya?"
"Apa benar Anda yang bernama Kensky Oxley?"
"Benar."
"Anda pikir kami ini penipu, ya?" ketus Soraya.
"Maaf, Nona, saya hanya memastikan," balasnya sambil menatap Kensky, "Ini ada kiriman untuk Anda, Nona." Lelaki itu memberikan kotak yang bentuknya persegi panjang kecil dengan kertas dan bolpoin. "Boleh Anda tanda tangan di sini."
Kensky mengangguk dan mulai mencoret kertas itu dengan tanda tangannya. "Ada lagi?"
"Hanya itu, Nona. Terima kasih, saya permisi dulu." Ia menunduk pamit.
"Kembali kasih," kata Kensky. Ia membolak-balikkan kotak yang tanpa nama itu. "Kok tidak ada nama pengirim, ya?"
Soraya dan Rebecca yang masih berdiri di sana ikut penasaran. "Dari siapa, Sky?" tanya Soraya.
Kensky menoleh lalu menatapnya. "Dasar kepo." Ditinggalkannya kedua orang itu yang kesal akibat ucapannya.
"Mama jadi penasaran," kata Rebecca. "Kiriman apa itu, ya? Kenapa tidak ada nama pengirimnya?"
"Aku juga, Ma."
***
Tibanya di kamar Kensky langsung mengunci pintu dan membuka bungkusan kotak yang terbungkus dengan kertas berwarna pink. Gambar beruang di kertas itu membuat Kensky tersenyum. "Kira-kira siapa pengirimnya, ya? Kok dia bisa tahu kalau aku suka beruang?" Kensky menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Kensky melepaskan semua bungkusan kado itu hingga kotaknya terlihat. Matanya terbelelak. "Handphone? Ini kan .... "
Senyumnya berubah cemerlang begitu melihat tipe handphone yang selama ini menjadi incarannya. Kensky memang berkeinginan untuk memiliki handphone ios canggih yang keluaran baru itu. Tapi apa daya, semenjak ibunya meninggal, ia harus menabung dulu untuk menadapatkan barang-barang yang ia inginkan.
Tapi sekarang, entah apa yang menimpanya hari ini, tanpa harus menabung bertahu-tahun lagi, ia sudah memiliki benda itu saat ini. Handphone itu merupakan benda portable yang baru keluar bulan lalu dan rasanya ia ingin berteriak saking senangnya memiliki benda itu.
Dibukanya kardus ponsel dengan jari hingga layarnya terlihat. "Ya ampun, siapa pun kamu yang mengirimnya, aku doakan kau akan mendapatkan balasan yang setimpal."
Kensky tiba-tiba terdiam dan berpikir. "Tapi kenapa dia bisa tahu aku butuh handphone, ya?" Kensky mengotak-atik kotak handphone itu untuk diperiksa. Ia berharap semoga bisa menemukan petujuk dari si pengirim.
Karena tidak menemukan petunjuk apa pun, ia langsung meraih benda berwarna hijau gelap itu kemudian menghidupkannya. "Semoga saja pengirim itu meninggalkan jejak di dalam ponsel ini."
Setelah ponselnya hidup, Kensky terkejut. Ia menatap layar yang ternyata adalah foto mendiang ibunya. "Mom?" Mata Kensky yang bengkak itu berubah nanar. "Apakah Mom yang mengirimnya?" Ia menangis. "Oh, Mommy." Dipeluknya handphone itu dengan erat.
Ting!
Bunyi notifikasi membuat Kensky kembali menatap layar ponsel yang ternyata ada satu pesan masuk dari kontak yang bernama CEO. Saking penasaran Kensky segera membuka pesan itu yang lagi-lagi membuatnya terkejut.
"Apa kau suka ponselnya? Jika kau suka aku sangat senang. Tapi kumohon padamu, Sky, cintailah ponsel ini seperti kau mencintai ibumu."
Kensky ternganga. "Mommy? Dia mengenal Mommy? Ya Tuhan, siapa pun dirimu, aku sangat berterima kasih. Kau telah mengingatkanku pada ibuku." Ia memeluk kembali benda itu. Dalam hati ia sangat yakin, sosok yang bernama CEO di kontak itu pasti adalah orang yang mengelan ibunya. "Tapi siapa? Apakah dia keluarga Mommy?"
Continued___
Nah, kira-kira siapa CEO itu, ya? Jangan lupa untuk masukan ke perpustakaan ya, Readers. Jangan lupa juga untuk kasih komentar di kolom review ya, Sobat.
Setelah lelah akibat menangis, Kensky tertidur dengan tubuh tanpa selimut. Pakaian yang minim membuatnya terasa dingin saat hamparan suhu udara mengenai pahanya yang putih mulus.Aktivitas hari pertamanya di kantor juga cukup melelahkan, sehingga Kensky terlalap tanpa mendengar bunyi notifikasi berkali-kali yang masuk di ponsel barunya itu.Karena ponsel itu sudah ada nomor kontak untuk digunakan yang diberikan si pengirim, Kensky menghargai dan membiarkan nomor itu di dalam ponsel. Nomor kontaknya yang lama terpaksa tidak digunakan lagi dan disimpan.Perlahan tubuhnya mulai menggigil karena dingin. Tak tahan dengan suhu udara yang menusuk hingga ke bagian tubuhnya yang terbuka, Kensky langsung membuka mata. Setelah matanya benar-benar terbuka, gadis itu melirik suhu ruangan yang ternyata angkanya di bawah normal. "Tapi kenapa dingin sekali, ya?" Ia melirik ke arah jendela kamar yang ternyata masih terbuka.
Dalam perjalanan menuju kantor, Dean duduk di bangku belakang sambil menatap indahnya kota New York. Melihat para pejalan kaki membuat Dean kembali teringat pada kejadian kemarin pagi saat supir pribadinya melindas air dan membasahi tubuh Kensky. Tawanya lepas saat mengingat kembali tubuh gadis itu basah akibat percikan air kotor.Sang supir yang mendengar tawanya pun dengan cepat menatap Dean dari kaca spion. "Apa Anda baik-baik saja, Pak?"Dean terkejut dan merasa malu. Dengan cepat ia mengubah raut wajahnya kembali datar. "Tidak apa-apa, Matt. Sungguh aku tidak apa-apa." Ia mengarahkan pandangan ke arah jendela. Pikiran yang tadinya diselimuti oleh wajah cantik Kensky, kini tenggantikan dengan masa lalunya yang kelam akibat perbuatan ayah Kensky. Ia menatap tajam. "Kau harus menyaksikannya, Sky! Kau harus menyaksikan bagaimana ayahmu menderita. Kau juga harus menyaksikan bagaimana caranya meyebabkan dua wanita yang paling kucintai
Dengan langkah cepat Mr. Hans keluar dari lift yang berhenti di lantai enam. Ia menghampiri seluruh staf keuangan di ruangan itu lalu menyuruh mereka semua agar berkumpul di lantai tujuh. "Semuanya naik ke atas sekarang. Ada penyampaian penting dan saya tidak mau mengulangnya."Mimik wajah Mr. Hans yang datar membuat semua Staf Accounting di lantai enam itu bertanya-tanya. Bahkan ada yang saling bisik-bisik karena penasaran."Kira-kira ada masalah apa, ya?" tanya salah satu wanita muda kepada seniornya.Setelah tiba di lantai tujuh Mr. Hans langsung mengambil posisi berdiri di depan ruangannya yang baru. Setelah semuanya sudah terkumpul, ia pun memulai. "Mohon perhatian, aku minta waktu kalian lima belas menit saja untuk menyampaikan hal ini.""Ada apa, ya? Apa ada masalah?" bisik salah satu gadis pada temannya."Sepertinya iya," balasnya begitu melihat wajah Mr. Hans yang datar.
Setelah selesai mandi, Kensky kembali ke kamar atas untuk melihat kondisi ayahnya. Dengan tubuh yang mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana jins biru pendek, gadis itu sedikit berlari dengan rambut yang digulung sedikit acak."Sky?" panggil Rebecca dari lantai bawah. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di anak tangga pertama lantai dua. "Ayo makan dulu. Makan malamnya sudah siap."Di saat yang bersamaan Soraya menuruni tangga dari lantai tiga."Soraya!" panggil Rebecca, "Ayo makan. Kalian makan malam saja dulu, biar Mama yang akan menjaga Ayah."Soraya memasang wajah sedih. "Ayah baru saja tidur, Ma. Jadi sebaiknya Mama jangan mengganggu Ayah dulu."Kensky bernapas lega mendengar itu. Tapi ia tak mengeluarkan suara atau merespon perkataan Soraya. Ia pun melangkah menuruni tangga, menuju ruang makan."Ma, memangnya Ayah sakit apa?" tanya Soraya u
Sesorang di balik telepon diam tak menjawab. "Halo, CEO?" panggil Kensky dengan nada pelan."Halo, Cantik." Suara laki-laki dari balik telepon akhirnya menyapa. "Selamat ulang tahun, Ratuku."Kensky terkejut, yang pertama karena sosok CEO itu ternyata bersuara laki-laki, yang kedua karena lelaki itu tahu kalau hari ini adalah ulang tahunnya. "Siapa kau? Kenapa kau tahu tanggal lahirku?" Kensky merasa senang, karena ada orang yang memberikannya selamat untuk pertama kali, tapi di satu sisi ia penasaran."Kau pasti akan tahu siapa aku. Percayalah, aku ini orang baik, Sky. Aku orang yang akan selalu menjaga dan melindungimu. Ngomong-ngomong kau ingin merayakan ulang tahun di mana? Katakan saja, biar aku yang akan menyiapkan tempat dan segala keperluannya. Kau juga ingin hadiah apa? Aku pasti akan memberikan apa pun yang .... ""Dari mana kau mengenal Mommy?" sergah Kensky yang dipenuhi rasa penarasan ol
Para tamu undangan sudah banyak berdatangan. Ada yang dari Kitten Group, ada juga dari instansi yang lain. Mereka terbentuk seperti kelompok. Ada yang berdiri sambil berbincang-bincang bersama kolega, ada juga yang sedang duduk menikmati makanan pembuka. Di sisi lain Dean sedang berdiri di dekat pagar, tepatnya di mana meja minuman berada. Ia menatap wajah-wajah yang hadir di pesta malam ini. Kitten Group bukanlah perusahan biasa, perusahan yang bergerak di bidang properti itu memiliki cabang yang banyak di berbagai daerah dan itu berkat kerja sama antara para karyawan-karyawan itu bersama Dean. Ia sangat bersyukur memiliki karyawan seperti mereka. Karena biar bagaimana pun, tanpa kerja keras mereka Kitten Group tidak akan menjadi perusahan besar dan terkenal di seluruh Amerika dan Eropa. Lelaki yang sering di sapa Dean atau Bernar itu melirik jam tangan. "Matt, suru mereka menutup gerbangnya." Saat ini jam sudah menunjukkan pukul sembil
Ia menatap wajah Kensky yang kelihatannya tertidur pulas. Dengan langkah pelan Dean mendekati bathup dan duduk di pinggirannya. "Sky?" panggilnya pelan seraya mengelus pipi gadis itu. Ia tersenyum saat melihat Kensky tak merespon.Karena tidak ingin gadis itu kedinginan, Dean membopong tubuh Kensky dan membawanya ke atas ranjang. Saat itulah Matt muncul sambil membawa nampan berisi botol anggur yang tadi mereka minum dan dua gelas kristal berbentuk kotak."Matt, pastikan jangan ada yang menganggu. Jika ada yang mencariku, katakan saja aku sedang ada urusan." Dean sengaja tidak mengundang para petinggi-petinggi dari perusahan lain, karena memang niatnya malam ini ingin bersama Kensky."Baik, Pak."Setelah Matt pergi, Dean segera mengunci pintu kamarnya. Perlahan ia mulai membuka jas kemudian kancing kemeja. Rasa panas akibat minuman anggur membuatnya gerah, apalagi saat melihat tubuh Kensky di bagian
Karena saling menginginkan, Dean menuruti semua yang diperintahkan oleh pikirannya. Tubuh mereka hangat oleh gairah yang meluap-luap ingin segera meledak. Perlahan Dean menyusuri tubuh Kensky dengan bibirnya. Mulai dari dada, perut, hingga ke bagian lembut di antara perut dan ... "Kau ingin aku menghentikannya?" tanya Dean. Kensky yang juga sudah diliputi gairah justru tak ingin Dean berhenti. Ia menggeleng pelan. Matanya yang masih terpejam hanya terbuka sedikit seakan mengintip. "Jangan. Jangan berhenti. Kumohon." Dean tak tahan lagi. Perkataan yang keluar dari mulut Kensky justru terdengar seperti desahan yang semakin membuatnya bergairah. Dengan lembut ia membuka kedua kaki gadis itu hingga terkangkang. Balutan kain hitam transparan yang menutupi bagian mulus berwarna kemerahan itu membuat bara dalam diri Dean semakin membara. Tangannya yang kokoh perlahan menyentuh dan membuka kain itu h
Kensky bergairah. Dari awalnya hanya iseng saat mulutnya yang kecil mengulum pucuk buah dadanya Dean, kini sambil memejamkan mata ia memindah posisi dan berlutut di hadapan lelaki itu. Tangannya yang halus dengan lembut bergerak ke arah handuk dan melepaskannya. Dean terkejut. Dengan mata sayu ia menatap Kenksy yang sedang menyerang perutnya dengan kecupan-kecupan kecil hingga membuatnya terasa nikmat. Kensky yang semakin lama dilanda gairah ketika merasakan elusan lembut dari tangan Dean, kini menunduk dan melihat bagian yang mengeras dan tegas. Ia terkejut melihat bagian itu untuk pertama kalinya yang ternyata lumayan panjang dan berisi. Sambil menatap Dean ia tersenyum dan berkata, "Ini ukuran yang sangat menakjubkan, Dean." Lelaki itu mencondongkan badan dan melumat bibir Kensky. Setelah puas saling melumat, mereka melepaskan bibir dan saling bertatap. "Kau tidak perlu melakukannya, Sayang."
Di dalam kamar vila mewah dan terbesar di Amerika, Dean sedang berdiri sambil menghadap jendela kaca dengan tubuh yang hanya mengenakan celana pendek. Tubuh bagian atasnya terbuka, sedangkan sebelah tangannya menahan ponsel yang menempel di telinga."Maafkan aku, Dean. Padahal aku dan istriku ingin sekali menghadiri pernikahanmu, tapi kakak iparku mendadak menyuruh kami ke Rusia pagi tadi. Mertuaku meninggal, karena kecelakaan.""Aku turut berduka cita. Kapan pemakamannya?""Terima kasih, Dean. Pemakamannya besok. Anak-anaknya ingin mempercepat pemakaman, karena bagian tubuhnya hancur. Jadi mereka tidak mau menahan jenazah-nya lebih lama lagi.""Maafkan aku, Mister. Aku ingin sekali hadir ke pemakaman itu, tapi Anda sendiri tahukan?""Aku mengerti, Dean. Tapi ngomong-ngomong soal vila, kau suka kan tempat itu, kan? Aku sengaja memberikan kamu vila di atas puncak biar kau bisa men
"Enam sembilan?""Iya," balas Tanisa, "Tunggu di sini. Aku akan mengambil laptop dulu."Kensky menatap bingung ke arah Tanisa yang kini berjalan memasuki kamarnya."Kau harus melihat ini, Sky," kata Tanisa yang tiba-tiba muncul sambil membawa laptop. Ia duduk di sebelah Kenksy kemudian mengotak-atik benda itu, "Ini adalah situs terbaik yang pernah aku lihat."Zet!Kensky terkejut. "Kau sering melihatnya di situs ini, ya?"Tanisa tertawa. "Memangnya kenapa? Kan mencari pengalaman bukan harus mempraktekkannya saja. Sama seperti sekolah, kita akan mendapat materi dulu, baru dipraktekkan. Bukan begitu?"Kensky terdiam karena apa yang dikatakan Tanisa ada benarnya. Ia tidak perlu bercinta dulu baru mendapatkan pengalaman, tapi hanya dengan berbagi pengalaman bersama Tanisa dan melihat video di situs itu sudah cukup bagi Kensky untuk mempraktek
Mata Dean berubah sayu. Perlahan ia mulai membuka kancing kemeja Kensky hingga semuanya terlepas. Setelah semua kancing terlepas, ia membuka lebar kemeja itu hingga terlihat bagian suburnya yang tegas. Perlahan Dean membenamkan wajah di sana untuk menghirup aroma di balik pelindung tipis yang masih melekat di tubuh Kensky.Gadis itu mendesah saat Dean menyentuh bagian itu dengan lidahnya. "Dean ...."Lelaki itu mendongak menatap wajah Kensky. Tangannya perlahan menyusup ke balik punggung untuk membuka pengait yang menghalanginya.Kensky pasrah dan sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari wajah Dean. "Aku ingin sesuatu yang beda di malam pengantin kita nanti."Tepat di saat itu pengait bra gadis itu terlepas. Sambil mengangkat pelindung itu dengan pelan ia berkata, "Kau ingin apa?" Dean menunduk dan mencium pucuknya yang berwarna cokelat.Kensky memejamkan mata sambil mengusap
Dengan perasaan sedih dan bahagia Eduardus mengangguk. Ia bahkan tak bisa mengeluarkan suara, akibat air mata yang kini membasahi pipinya.Mata Kensky ikut berkaca-kaca. "Apa itu artinya Papi menerima lamaran ini?"Eduardus menarik cairan hidungnya. "Tentu saja. Tentu saja, Sayang. Papi menerima lamaran Dean merestui hubungan kalian."Dengan cepat Kensky beranjak dari sofa dan mendekati ayahnya. Mereka saling berpelukan dan menangis bersama. "Terima kasih, Pi. Terima kasih karena Papi telah mengijinkan Dean menjadi suamiku."Mrs. Stewart ikut menangis. Dalam hati ia bertanya-tanya, "Jika Eduardus tahu kalau Kensky adalah cucu kandungnya, apakah dia akan menerima Dean sebagai suami Kensky?"Dean yang duduk sambil menatap mereka pun sama pemikiran. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Seandainya Eduardus tahu aku punya hubungan dengan keluarga Barbara, apakah dia akan menerima lamaranku
Seminggu pun berlalu. Kensky yang seharusnya sudah kembali ke Eropa akhirnya tertunda akibat permintaan Dean."Aku terlalu lama di sini. Kalau aku lebih lama lagi, yang ada pekerjaanku semakin tertunda. Aku tidak mau meskipun kau pacarku, tapi melalaikan tugas sebagai karyawanmu."Dean tersenyum sayang. Saat ini mereka sedang berada di restoran langganan sambil menikmati makan siang. "Kau tidak perlu khawatir, aku sudah menghubingi Mr. Bon dan menyuruhnya untuk menangani semuanya. Kau tenang saja.""Aku tidak ingin mereka menganggap aku dispesialkan olehmu, Dean. Aku tidak ingin mereka menilai bahwa kau membeda-bedakan karyawan."Lelaki itu menyudahi makannya. "Kenapa kau harus khawatir? Kau kan memang orang yang spesial bagiku dan Kitten Group. Hanya saja mereka tidak tahu bahwa kaulah pemilik Kitten Group yang sebenarnya, bukan aku."Kensky menatap haru. Perlahan ia meraih sebe
Ekspresi Dean langsung berubah. "Saat malam ulangtahunmu yang ketujuh tahun, ibumu menemuiku waktu itu."Kensky tampak berpikir. "Kalau itu aku ingat, tapi mami tidak bilang kalau mau ke mana.""Malam itu dia datang untuk meramaikan acara yang aku, kakek da nenekmu laksanakan demi memperingati hari ulangtahunmu. Jadi setiap tanggal lima belas juni, kami merayakan ulangtahunmu tanpa kau ketahui."Mata Kensky kembali berkaca-kacaa. "Benarkah?"Dean tersenyum. "Iya. Dan saat itulah kami sepakat membuat ulang tahun Kitten Group tepat di tanggal yang sama dengan tanggal kelahiranmu.""Ya, Tuhan. Jadi barusan peringatan itu bukan karena ulang tahun kantor?""Iya, tapi peringatan untuk tanggal kelahiranmu. Dan itu tidak ada yang tahu kecuali aku dan semua keluargamu."Kensky kembali menangis. "Aku tak menyangka, ternyata keluarga mami tidak pernah melupakanku
"Dean, kumohon kabulkanlah permintaanku ini . Mungkin bagimu ini sangat tidak mungkin, tapi hanya kamulah orang yang kupercaya. Kumohon, Dean. Berjanjilah padaku bahwa kau akan menikah dengan Kensky. Hanya kau laki-laki yang kupercaya untuk menjaganya. Aku tak peduli kau mau atau tidak, pokoknya yang aku tahu Kensky harus menikah denganmu. Aku tak peduli bagaimapun caramu mendapatkannya, pokoknya kau harus menikahinya. Dan aku harap setelah membaca surat ini, kau mau berjanji dan melakukan apa yang sudah aku minta. Bertanda tangan, Barbara Stewart."Zet!Lagi-lagi Kensky terkejut. "Nama belakang mami Stewart?""Iya.""Sumpah, selama ini aku tidak tahu nama belakang mami. Yang aku tahu nama mami hanyalah Barbara Oxley."Dean mengusap pipi Kensky. "Kau ingat wanita yang kuceritkan padamu tempo hari ... wanita yang telah menolongku di depan tokonya?""Iya."
Tanpa berkata apa-apa lagi Kensky pun langsung berdiri dan memeluk Dean. "Aku juga sangat merindukanmu.""Cium aku," kata Dean.Kensky melepaskan pelukannya dan menatap Dean. "Cium?""Iya."Kensky mendunduk dan mencium dahi Dean. "Sudah.""Bibir."Wajah Kensky berubah merah. "Ini rumah sakit, Dean. Kalau perawat datang dan memperkogi kita, bagaimana?""Ini sudah larut, mereka tidak akan datang.""Tapi___""Sudah, cepat. Jangan membantah."Dengan malu-malu Kensky pun mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Perlahan ia menunduk kemudian mencium Dean.Lelaki itu tak hanya diam. Tangan sebelahnya terulur dan menehan kepala Kensky lalu membalas ciuman Kensky. Ciuman yang awalnya hanya sebuah kecupan lembut, berubah menjadi lumatan yang penuh perasaan.&nbs