Amilie yang sudah selesai makan pun tidak ke mana-mana, dirinya tetap dalam ruangan yang sama. Tetapi, ia memandang ke arah luar dibalik jendela rumah sakit yang terbuka.Namun, raut wajahnya berubah. Alisnya terangkat dengan mata terbelalak, seolah tengah melihat sesuatu yang begitu mengagetkan dirinya dibalik sana."Amilie, kamu tidak apa-apa kalau di sini sebentar saja?"Akan tetapi, Amilie tidak menyahut ucapan Theo. Ia terus fokus dan fokus pada objeknya saat ini.Theo mendekat dan melihat wajah Amilie langsung. "Amilie, kamu kenapa? Apa ada sesuatu di luar sana?" tanya Theo. Ia ikut melihat ke luar jendela. Tetapi, ia tidak tahu apa yang tengah istrinya lihat saat ini.Lantas, Theo pun memegang pundak Amilie -- mencoba membangunkannya dari lamunan itu."Amilie, kamu tidak apa-apa, 'kan? Apa yang sedang kamu lihat sampai seperti itu?"Amilie yang sedang melamun pun langsung terhenyak. Barulah ia menoleh ke arah suaminya."Ya, Mas. Kenapa?""Kamu tidak apa-apa? Dari tadi aku liha
Tanpa sepengetahuan Amilie, rupanya dari jauh Theo pun memperhatikan. Ingin mendekat, tetapi perasaannya mengatakan padanya agar tetap menunggu di sana.Melihat sikap Dokter Lusi tadi, itu membuatnya kesal. Nyaris saja ia menggagalkan rencana Dokter itu untuk menyelamatkan Amilie.Namun, tiba-tiba dari belakang Stephen datang padanya dan langsung menyapa. "Kak Theo? Kenapa di sini? Siapa yang sedang Kakak tunggu?" tanya Stephen.Jika dilihat dari sana, Amilie memang tidak terlalu terlihat. Terlebih lagi ketika kepalanya disembunyikan pada jubah Dokter Lusi. Itu semakin memperkuat persembunyian Amilie.Karena, bagi Dokter Lusi, yang lainnya bisa saja ia berikan alasan. Tapi tidak dengan rambut Amilie, nampak sedikit saja, pasti akan ketahuan."Sekarang aku tahu, kenapa Dokter itu menyembunyikan Amilie," batin Theo sembari mengangguk paham."Kak! Kenapa?""Tidak apa-apa. Omong-omong, kamu kenapa ada di sini? Siapa yang sakit?" tanya balik Theo.Stephen terdiam sejenak, ..."Itu, Kak, k
Dokter Lusi melihat Stephen yang sudah pergi. Setelah memastikannya, ia pun merapikan kembali jubah putih yang dipakainya tersebut."Sudah tidak ada. Sekarang kamu bebas!" katanya.Amilie mencoba mengambil nafas, ia menghirup udara sore itu setelah beberapa saat hidungnya agak tertahan oleh jubah tersebut."Dokter, sebenarnya aku penasaran denganmu. Memangnya, seberapa lama Anda mengenal dia? Dan kenapa mencoba menyembunyikan aku dari dirinya, apa yang terjadi?" tanya Amilie penasaran.Alih-alih menjawab, Dokter Lusi bangkit dari duduknya. Lalu, pergi meninggalkan Amilie tanpa memberikan jawaban. Membuat Amilie digantung dengan rasa penasaran yang seakan membeku.Amilie bangkit dari duduknya, ia mencoba mengikuti Dokter Lusi yang terus berjalan tanpa mempedulikan pertanyaannya."Jangan pedulikan saya! Lebih baik kamu kembali istirahat di kamarmu!"Theo yang melihat Amilie mencoba mengikuti Dokter Lusi pun, itu membuatnya sengaja memperlihatkan diri dan menghentikan Amilie."Sudah. L
"Mana berkas laporannya! Papa sudah tidak sabar ingin melihatnya!" ujar Sanjaya begitu melihat Stephen datang dan masuk ke ruangan itu.Tagihan mengenai deadline pekerjaannya pun dipertanyakan. Tetapi ...."Pa, bukannya tadi aku sudah bilang. Aku sudah izin sama Papa kalau aku ada urusan diluar.""Jadi, Papa harus bagaimana? Membebaskan kamu terus dengan kebebasan tanpa tanggung jawab! Kamu sudah dewasa, kamu tidak bisa terus melakukan sesuatu sesuka hati tanpa aturan!"Stephen semakin kesal, tetapi Sanjaya jauh lebih kesal diatas Anaknya. Dirinya sungguh kecewa dengan anaknya yang pergi ke sana kemari tetapi tanpa tujuan yang jelas.Sebelumnya, ia sempat membanggakan Anak itu. Daripadanya Theo, Stephen jauh lebih dimanjakan. Bukan hanya karena ucapan manis dan rayuan Rosalina, tetapi juga karena ia melihat Theo lebih buruk dan pembangkang."Pa! Kenapa Papa terlalu ketat seperti ini?!" bantah Stephen.Namun, setelah Theo tidak lagi bekerja dengan Sanjaya. Ia yang melanjutkan usahanya
Ting! Satu pesan masuk.Theo pun membuka ponselnya.[Minggu ini, apa kamu ada waktu luang untuk menemui Papa?] Satu pertanyaan lewat sebuah pesan yang kini terkirim pada ponsel Theo. Ia langsung mengerutkan kening penuh tanya. "Ada apa Papa meminta bertemu lagi? Apa ada sesuatu hal yang penting, yang mau dia bicarakan?" gumamnya.Amilie hanya melihat sekilas, lalu pandangannya kembali mengarah pada jendela seraya melihat senja yang tampak begitu cerah dengan warna orange-nya."Mas, senjanya sangat indah, ya. Warnanya begitu terang dan tidak bisa melihatnya," ucap Amilie terkagum-kagum pada cahaya senja yang nyaris menghilang itu."Iya," sahut Theo.Dirinya belum fokus pada ucapan Amilie, ia hanya terus fokus pada isi pesan teks yang masuk ke ponselnya itu. Berada dalam kebimbangan yang entah harus bagaimana menjawabnya.Theo tidak langsung membalas, ia menaruh ponselnya kembali sembari memikirkan ... Entah balasan apa yang harus ia ketik di ponselnya itu."Minggu ini Amilie pasti b
"Mas, cerita saja tidak apa-apa."Lantas, Theo pun menceritakannya perlahan. Walau sebenarnya ia tidak ingin bersinggung paham dengan Amilie. Tetapi, di sisi lain dirinya pun merasa harus terbuka."Tapi, sebenarnya ini tidak terlalu penting untuk dibahas.""Memangnya apa, Mas? Ayolah, aku sudah tidak sabar ingin mendengarnya langsung!""Aku akan cerita kalau setelah ini kamu juga cerita soal tadi bersama dokter itu!" balas Theo. Ia malah menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang ia ingin ketahui sejak tadi. Tetapi, saat itu Amilie belum menceritakannya.Amilie terdiam sejenak, lalu ...."Baiklah, nanti aku cerita. Tapi, sekarang kamu dulu cerita sama aku apa yang sedang kamu pikirkan itu. Supaya kamu tidak mati penasaran.""Ya sudah, jadi ... Sebenarnya tadi Papa kirim pesan teks. Dia mau ngajak bertemu minggu ini, tapi ....""Kalau begitu, kenapa kamu terlihat bingung? Kamu bisa langsung datang saja menemui Papa mertua."Theo menatap kedua mata Amilie
Sore ini, Amilie menyaksikan betul-betul pembicaraan mereka. Ia tahu sedikit demi sedikit dibalik semua sikap Theo kepada Santoso.Theo terdiam sembari terus bernafas dengan cepat. Dadanya tampak sesak dan seakan ada sesuatu yang menghalangi."Mas, ini minumlah!" kata Amilie seraya menyodorkan air minum.Theo menoleh ke arah air itu dan menerimanya. Ia meneguknya perlahan, lalu kembali menaruh gelas itu di atas meja."Tenangkan dulu, lalu setelah itu Mas boleh cerita sama aku. Atau ... Mas mending istirahat saja, ini sudah memasuki waktu malam juga, kan?" Theo terdiam. Ia masih belum bicara dengan baik, matanya seolah memperlihatkan isi kepalanya yang terus berpikir memikirkan sesuatu.Sementara itu, di kantor tersebut, Santoso ikut merasa kesal. Ia kesal sekaligus kecewa dengan keadaannya saat ini. "Harusnya dulu aku mempertimbangkan apa yang seharusnya aku lakukan. Sekarang, rasanya sudah terlambat. Dia mungkin kecewa dan belum menerima semuanya."Santoso memandang lurus ke depan
"Kenapa Papa selalu memikirkan anak itu, padahal sudah jelas sekali kalau dia sangat tidak bertanggung jawab dengan Ayahnya dan juga perusahaan!"Sanjaya menoleh ke arah Rosalina. Ia membantah tuduhan yang merujuk pada anak pertamanya itu."Tidak, Ma! Itu tidak benar! Justru anakmu yang membuat semuanya berantakan! Dia tidak bertanggung jawab dan malah pergi berkeliaran pada saat jam kerja, padahal saat itu pekerjaan masih numpuk!" balasnya."Anak itu membuatku pusing, sekarang aku tidak punya kata-kata untuk membelanya lagi! Membuatku harus berpura-pura dan berbohong demi keamanan dirinya dalam posisi itu!" umpat Rosalina di dalam hatinya.Rosalina hanya bisa menunduk sembari sesekali melirik ke arah Sanjaya. Lalu, ia pun kemudian mendekat kembali setelah memikirkan sesuatu."Bukankah dia juga anakmu, Pa? Kenapa kamu tidak mau mengakuinya sama sekali?!""Bukan karena tidak mau mengakui, hanya saja dia itu sangat memalukan!" umpatnya. Kemudian, Sanjaya bergegas pergi menuju kamar man
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,