Tanpa sepengetahuan Amilie, rupanya dari jauh Theo pun memperhatikan. Ingin mendekat, tetapi perasaannya mengatakan padanya agar tetap menunggu di sana.Melihat sikap Dokter Lusi tadi, itu membuatnya kesal. Nyaris saja ia menggagalkan rencana Dokter itu untuk menyelamatkan Amilie.Namun, tiba-tiba dari belakang Stephen datang padanya dan langsung menyapa. "Kak Theo? Kenapa di sini? Siapa yang sedang Kakak tunggu?" tanya Stephen.Jika dilihat dari sana, Amilie memang tidak terlalu terlihat. Terlebih lagi ketika kepalanya disembunyikan pada jubah Dokter Lusi. Itu semakin memperkuat persembunyian Amilie.Karena, bagi Dokter Lusi, yang lainnya bisa saja ia berikan alasan. Tapi tidak dengan rambut Amilie, nampak sedikit saja, pasti akan ketahuan."Sekarang aku tahu, kenapa Dokter itu menyembunyikan Amilie," batin Theo sembari mengangguk paham."Kak! Kenapa?""Tidak apa-apa. Omong-omong, kamu kenapa ada di sini? Siapa yang sakit?" tanya balik Theo.Stephen terdiam sejenak, ..."Itu, Kak, k
Dokter Lusi melihat Stephen yang sudah pergi. Setelah memastikannya, ia pun merapikan kembali jubah putih yang dipakainya tersebut."Sudah tidak ada. Sekarang kamu bebas!" katanya.Amilie mencoba mengambil nafas, ia menghirup udara sore itu setelah beberapa saat hidungnya agak tertahan oleh jubah tersebut."Dokter, sebenarnya aku penasaran denganmu. Memangnya, seberapa lama Anda mengenal dia? Dan kenapa mencoba menyembunyikan aku dari dirinya, apa yang terjadi?" tanya Amilie penasaran.Alih-alih menjawab, Dokter Lusi bangkit dari duduknya. Lalu, pergi meninggalkan Amilie tanpa memberikan jawaban. Membuat Amilie digantung dengan rasa penasaran yang seakan membeku.Amilie bangkit dari duduknya, ia mencoba mengikuti Dokter Lusi yang terus berjalan tanpa mempedulikan pertanyaannya."Jangan pedulikan saya! Lebih baik kamu kembali istirahat di kamarmu!"Theo yang melihat Amilie mencoba mengikuti Dokter Lusi pun, itu membuatnya sengaja memperlihatkan diri dan menghentikan Amilie."Sudah. L
"Mana berkas laporannya! Papa sudah tidak sabar ingin melihatnya!" ujar Sanjaya begitu melihat Stephen datang dan masuk ke ruangan itu.Tagihan mengenai deadline pekerjaannya pun dipertanyakan. Tetapi ...."Pa, bukannya tadi aku sudah bilang. Aku sudah izin sama Papa kalau aku ada urusan diluar.""Jadi, Papa harus bagaimana? Membebaskan kamu terus dengan kebebasan tanpa tanggung jawab! Kamu sudah dewasa, kamu tidak bisa terus melakukan sesuatu sesuka hati tanpa aturan!"Stephen semakin kesal, tetapi Sanjaya jauh lebih kesal diatas Anaknya. Dirinya sungguh kecewa dengan anaknya yang pergi ke sana kemari tetapi tanpa tujuan yang jelas.Sebelumnya, ia sempat membanggakan Anak itu. Daripadanya Theo, Stephen jauh lebih dimanjakan. Bukan hanya karena ucapan manis dan rayuan Rosalina, tetapi juga karena ia melihat Theo lebih buruk dan pembangkang."Pa! Kenapa Papa terlalu ketat seperti ini?!" bantah Stephen.Namun, setelah Theo tidak lagi bekerja dengan Sanjaya. Ia yang melanjutkan usahanya
Ting! Satu pesan masuk.Theo pun membuka ponselnya.[Minggu ini, apa kamu ada waktu luang untuk menemui Papa?] Satu pertanyaan lewat sebuah pesan yang kini terkirim pada ponsel Theo. Ia langsung mengerutkan kening penuh tanya. "Ada apa Papa meminta bertemu lagi? Apa ada sesuatu hal yang penting, yang mau dia bicarakan?" gumamnya.Amilie hanya melihat sekilas, lalu pandangannya kembali mengarah pada jendela seraya melihat senja yang tampak begitu cerah dengan warna orange-nya."Mas, senjanya sangat indah, ya. Warnanya begitu terang dan tidak bisa melihatnya," ucap Amilie terkagum-kagum pada cahaya senja yang nyaris menghilang itu."Iya," sahut Theo.Dirinya belum fokus pada ucapan Amilie, ia hanya terus fokus pada isi pesan teks yang masuk ke ponselnya itu. Berada dalam kebimbangan yang entah harus bagaimana menjawabnya.Theo tidak langsung membalas, ia menaruh ponselnya kembali sembari memikirkan ... Entah balasan apa yang harus ia ketik di ponselnya itu."Minggu ini Amilie pasti b
"Mas, cerita saja tidak apa-apa."Lantas, Theo pun menceritakannya perlahan. Walau sebenarnya ia tidak ingin bersinggung paham dengan Amilie. Tetapi, di sisi lain dirinya pun merasa harus terbuka."Tapi, sebenarnya ini tidak terlalu penting untuk dibahas.""Memangnya apa, Mas? Ayolah, aku sudah tidak sabar ingin mendengarnya langsung!""Aku akan cerita kalau setelah ini kamu juga cerita soal tadi bersama dokter itu!" balas Theo. Ia malah menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang ia ingin ketahui sejak tadi. Tetapi, saat itu Amilie belum menceritakannya.Amilie terdiam sejenak, lalu ...."Baiklah, nanti aku cerita. Tapi, sekarang kamu dulu cerita sama aku apa yang sedang kamu pikirkan itu. Supaya kamu tidak mati penasaran.""Ya sudah, jadi ... Sebenarnya tadi Papa kirim pesan teks. Dia mau ngajak bertemu minggu ini, tapi ....""Kalau begitu, kenapa kamu terlihat bingung? Kamu bisa langsung datang saja menemui Papa mertua."Theo menatap kedua mata Amilie
Sore ini, Amilie menyaksikan betul-betul pembicaraan mereka. Ia tahu sedikit demi sedikit dibalik semua sikap Theo kepada Santoso.Theo terdiam sembari terus bernafas dengan cepat. Dadanya tampak sesak dan seakan ada sesuatu yang menghalangi."Mas, ini minumlah!" kata Amilie seraya menyodorkan air minum.Theo menoleh ke arah air itu dan menerimanya. Ia meneguknya perlahan, lalu kembali menaruh gelas itu di atas meja."Tenangkan dulu, lalu setelah itu Mas boleh cerita sama aku. Atau ... Mas mending istirahat saja, ini sudah memasuki waktu malam juga, kan?" Theo terdiam. Ia masih belum bicara dengan baik, matanya seolah memperlihatkan isi kepalanya yang terus berpikir memikirkan sesuatu.Sementara itu, di kantor tersebut, Santoso ikut merasa kesal. Ia kesal sekaligus kecewa dengan keadaannya saat ini. "Harusnya dulu aku mempertimbangkan apa yang seharusnya aku lakukan. Sekarang, rasanya sudah terlambat. Dia mungkin kecewa dan belum menerima semuanya."Santoso memandang lurus ke depan
"Kenapa Papa selalu memikirkan anak itu, padahal sudah jelas sekali kalau dia sangat tidak bertanggung jawab dengan Ayahnya dan juga perusahaan!"Sanjaya menoleh ke arah Rosalina. Ia membantah tuduhan yang merujuk pada anak pertamanya itu."Tidak, Ma! Itu tidak benar! Justru anakmu yang membuat semuanya berantakan! Dia tidak bertanggung jawab dan malah pergi berkeliaran pada saat jam kerja, padahal saat itu pekerjaan masih numpuk!" balasnya."Anak itu membuatku pusing, sekarang aku tidak punya kata-kata untuk membelanya lagi! Membuatku harus berpura-pura dan berbohong demi keamanan dirinya dalam posisi itu!" umpat Rosalina di dalam hatinya.Rosalina hanya bisa menunduk sembari sesekali melirik ke arah Sanjaya. Lalu, ia pun kemudian mendekat kembali setelah memikirkan sesuatu."Bukankah dia juga anakmu, Pa? Kenapa kamu tidak mau mengakuinya sama sekali?!""Bukan karena tidak mau mengakui, hanya saja dia itu sangat memalukan!" umpatnya. Kemudian, Sanjaya bergegas pergi menuju kamar man
"Mas, seharian kamu menemani aku di sini. Seharusnya, sekarang kamu istirahat saja, Mas," kata Amilie.Matanya sudah agak menyipit, bahkan beberapa kali Amilie melihat suaminya yang menguap."Aku belum mengantuk, Amilie. Nanti saja kalau sudah benar-benar mau tidur," jawabnya.Namun, Amilie tidak percaya dengan perkataan Theo. Sebab, ia tahu jika suaminya pasti menunggu dirinya tidur terlebih dahulu baru bisa tidur."Mas, kamu tidur saja. Jangan menunggu aku tertidur.""Sebenarnya aku memang mengantuk, tapi tapi entah kenapa tidak bisa tidur," ucapnya, jujur.Amilie mengangguk samar. "Oh, jadi karena itu."Ting! Ponsel berdenting. Ia mengambil ponselnya untuk melihat sebuah pesan yang masuk tersebut.[Nak, tolong kamu jangan abai begini. Apa kamu tidak bisa memikirkannya lagi?]Kalimat itu Theo baca dalam hati. Ia hendak mengabaikan pesan tersebut dan tidak terlalu mempedulikannya lagi.Sanjaya terus memandangi ponsel itu, tetapi kemudian ia menaruhnya. Namun, meskipun begitu ia tet