"Mungkin saja 'kan, Pa. Emm ... Ya sudah, kalau begitu aku permisi," ucap Stephen sembari bergegas pergi.Tetapi, kemudian Sanjaya menahannya. "Kamu mau pergi ke mana lagi? Kerjaan di kantor masih banyak!""M-mmaksudnya mau pergi ke ruangan aku, Pa. Gitu. Boleh 'kan, Pa?" "Tidak boleh. Kamu di sini dulu, Papa belum selesai bicara sama kamu!""Iya, Pa."Stephen pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menemui dokter itu. Tetapi, di samping itu ia juga merasa pusing dengan pekerjaan yang ada di kantor ini.Seeettt! Tap ... Tap ... Tap ..."Sepertinya aku mendengar suara orang lewat," gumam Stephen. Lalu, menoleh ke arah pintu.Sanjaya pun mendengarnya. Ia bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu. Namun, setelah ia membukanya ... Ternyata tidak ada siapapun di sana."Pa, Papa juga dengar suara langkah kaki?" tanya Stephen."Benar. Mungkin karyawan yang lewat," sahutnya.Kemudian, Sanjaya kembali duduk di kursi untuk melanjutkan obrolan yang tadi.*** Di tempat lain, Amanda yang
"Kamu yakin tidak mau memberitahu mereka tentang keadaan kamu sekarang ini?" tanya Theo seraya menatap wajah Amilie.Walaupun sebelumnya sempat marahan, tetapi untungnya hal itu tidak bertahan lagi.Ketika menuju sore harinya, mereka kembali baikan dan berbicara seperti biasa lagi."Tidak usah, Mas. Kalau mereka khawatir dan peduli, mereka pasti bertanya. Aku yakin, tidak sulit bagi mereka untuk mengetahuinya.""Tapi, kalau tidak kamu beritahu, mana mungkin mereka bisa tahu."Amilie menghela nafas dalam-dalam. "Jangan, Mas. Lebih baik mereka tidak usah tahu saja. Aku juga tidak mau mengundang Stephen yang malah datang tiba-tiba dan modus ingin menjengukku. Padahal ..."Mendengar ucapan Amilie, itu membuat Theo pasrah. Dirinya tidak mau memaksakan kehendak lagi, ia juga tidak akan menyarankan lagi. Sebab, ia sudah tahu bagaimana jawabannya."Baiklah, kalau begitu sekarang kamu istirahat saja.""Tapi, bagaimana dengan kamu, Mas?" tanya Amilie. Theo yang baru mengingat sesuatu pun lan
"Omong-omong, bagaimana keadaan Papa, Ma?" tanya Amilie.Obrolan itu masih berlanjut. Tetapi, perasaannya sudah tidak lagi sama."Papa, baik. Sesekali kamu jangan sungkan untuk berkunjung ke sini, biar kamu bisa melihat sendiri kondisi Papa kamu sekarang.""Iya, Ma. Lain kali aku akan datang ke sana. Ya sudah, kalau begitu aku sudahi dulu teleponnya," kata Amilie. Panggilan suara pun berakhir. Amilie menaruh ponselnya kembali, tetapi pandangannya terus mengarah kepada Theo."Amilie, kamu kenapa? Apa aku telah melakukan kesalahan padamu? Atau, ada ucapan yang menyakiti hatimu?" "Mas, pintu rumah tidak dikunci? Sebelum ke sini kamu tidak menguncinya sama sekali?" tanya Amilie dengan serius."Aku mengunci--...."Theo tidak langsung menyelesaikan kalimatnya, begitu dirinya teringat pada David. "Yang terakhir keluar dari rumah itu David."Mas, bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk ke sana! Kita bahkan tidak tahu, apa yang akan orang jahat itu lakukan. Aku khawatir sekali, karena di
Kriiieeet! Pintu terbuka.Amilie dan Theo menoleh berbarengan ke arah pintu."Bro, benar-benar ya ... Tapi aku ikut senang kalau istrimu sudah ketemu!" ujar David tiba-tiba."Duduk sini! Ada yang mau aku tanyakan!"David berjalan ke arah Theo. Ia heran, baru datang ke ruangan itu malah seperti akan diinterogasi. Tidak menyadari kesalahannya apa, ia hanya menurut menghadap Theo."Sebelum pergi ke sini, kamu mengunci pintunya, tidak?" tanya Theo kepada David.David terdiam sejenak, matanya melihat ke atas. Tampaknya sedang mengingat-ingat saat sebelum pergi untuk memenuhi permintaan Theo.Perlahan, ia duduk di samping Theo dengan wajah dan perasaan bersalah. "Maaf banget, Bro. Tadi kelupaan. Niatnya memang mau mengunci pintu, tapi karena buru-buru akhirnya lupa."Sontak, Theo menepuk jidat. Tetapi, pada saat yang sama ia tidak bisa menyalahkan. Karena, dirinya sudah merasa bersyukur memiliki teman yang mau membantu dirinya. "Ya sudah, tidak masalah."Amilie pun sama. Ia yang tahu bah
Perbincangan diantara keduanya semakin menghangat. Amilie pun mulai merasa nyaman, begitu juga dengan Theo. Keduanya tetap dalam posisi yang sama, saling dekat dengan hati yang seakan hendak menyatu.Ini berbeda dengan Stephen yang berkebalikan dari keadaan mereka. Hatinya menjadi bimbang dan tidak tenang. "Kamu sedang apa, sih? Papa lihat dari tadi pegang ponsel terus. Siapa yang sedang kamu hubungi itu? Apa itu tunangan kamu?" tanya Sanjaya yang merasa penasaran dengan rahasia dibalik ketikan itu. Sontak, Stephen pun menghentikan jarinya sejenak. "Pembicaraan kita ini sudah selesai, 'kan? Kalau sudah, aku pamit pergi, Pa. Masih ada urusan di luar sana," katanya."Tunggu dulu! Memangnya sepenting apa sampai kamu rela meninggalkan kantor demi itu?"Stephen tidak langsung menjawab. Ia tertegun dibuatnya. Pertanyaan itu sungguh membuat dirinya harus berpikir keras. Karena, ia tidak mau salah bicara yang nantinya malah berakibat fatal."Ini sangat penting, Pa. Sangat mendesak. Nanti a
Tok Tok Tok!"Masuk!"Seorang perawat masuk ke dalam ruangan itu, ketika pemiliknya telah mengizinkan. "Maaf, Dok, kalau saya mengganggu waktunya."Dokter Lusi mengangkat kepalanya. "Ya, ada apa?""Di luar ada yang ingin bertemu dengan Anda. Apa boleh dia masuk? Katanya ingin bicara ..."Dokter Lusi menoleh, lalu mengerutkan dahi. Dirinya menduga sesuatu, tetapi masih penasaran karena belum melihatnya sendiri. Perawat itu pun tidak menyebutkan namanya."Ajak saja dia masuk!"Sembari duduk di kursi, Dokter Lusi terus melihat ke arah pintu. Ia menunggu kedatangan orang yang ingin sekali bertemu dengannya.Krriiieett! Perlahan, pintu terbuka.Kepala mulai terlihat, lalu diikuti kaki dan seluruh anggota badan yang lain. Dokter Lusi langsung syok. Kedua bola matanya terbelalak. Sedangkan, perawat itu melihat Dokter dan Stephen secara bergantian. Ia tidak paham apa yang sedang terjadi."Kalau begitu, saya permisi, Dok," kata perawat itu, lalu melangkah pergi begitu saja dari sana.Perawa
Amilie yang sudah selesai makan pun tidak ke mana-mana, dirinya tetap dalam ruangan yang sama. Tetapi, ia memandang ke arah luar dibalik jendela rumah sakit yang terbuka.Namun, raut wajahnya berubah. Alisnya terangkat dengan mata terbelalak, seolah tengah melihat sesuatu yang begitu mengagetkan dirinya dibalik sana."Amilie, kamu tidak apa-apa kalau di sini sebentar saja?"Akan tetapi, Amilie tidak menyahut ucapan Theo. Ia terus fokus dan fokus pada objeknya saat ini.Theo mendekat dan melihat wajah Amilie langsung. "Amilie, kamu kenapa? Apa ada sesuatu di luar sana?" tanya Theo. Ia ikut melihat ke luar jendela. Tetapi, ia tidak tahu apa yang tengah istrinya lihat saat ini.Lantas, Theo pun memegang pundak Amilie -- mencoba membangunkannya dari lamunan itu."Amilie, kamu tidak apa-apa, 'kan? Apa yang sedang kamu lihat sampai seperti itu?"Amilie yang sedang melamun pun langsung terhenyak. Barulah ia menoleh ke arah suaminya."Ya, Mas. Kenapa?""Kamu tidak apa-apa? Dari tadi aku liha
Tanpa sepengetahuan Amilie, rupanya dari jauh Theo pun memperhatikan. Ingin mendekat, tetapi perasaannya mengatakan padanya agar tetap menunggu di sana.Melihat sikap Dokter Lusi tadi, itu membuatnya kesal. Nyaris saja ia menggagalkan rencana Dokter itu untuk menyelamatkan Amilie.Namun, tiba-tiba dari belakang Stephen datang padanya dan langsung menyapa. "Kak Theo? Kenapa di sini? Siapa yang sedang Kakak tunggu?" tanya Stephen.Jika dilihat dari sana, Amilie memang tidak terlalu terlihat. Terlebih lagi ketika kepalanya disembunyikan pada jubah Dokter Lusi. Itu semakin memperkuat persembunyian Amilie.Karena, bagi Dokter Lusi, yang lainnya bisa saja ia berikan alasan. Tapi tidak dengan rambut Amilie, nampak sedikit saja, pasti akan ketahuan."Sekarang aku tahu, kenapa Dokter itu menyembunyikan Amilie," batin Theo sembari mengangguk paham."Kak! Kenapa?""Tidak apa-apa. Omong-omong, kamu kenapa ada di sini? Siapa yang sakit?" tanya balik Theo.Stephen terdiam sejenak, ..."Itu, Kak, k