"Kamu yakin tidak mau memberitahu mereka tentang keadaan kamu sekarang ini?" tanya Theo seraya menatap wajah Amilie.Walaupun sebelumnya sempat marahan, tetapi untungnya hal itu tidak bertahan lagi.Ketika menuju sore harinya, mereka kembali baikan dan berbicara seperti biasa lagi."Tidak usah, Mas. Kalau mereka khawatir dan peduli, mereka pasti bertanya. Aku yakin, tidak sulit bagi mereka untuk mengetahuinya.""Tapi, kalau tidak kamu beritahu, mana mungkin mereka bisa tahu."Amilie menghela nafas dalam-dalam. "Jangan, Mas. Lebih baik mereka tidak usah tahu saja. Aku juga tidak mau mengundang Stephen yang malah datang tiba-tiba dan modus ingin menjengukku. Padahal ..."Mendengar ucapan Amilie, itu membuat Theo pasrah. Dirinya tidak mau memaksakan kehendak lagi, ia juga tidak akan menyarankan lagi. Sebab, ia sudah tahu bagaimana jawabannya."Baiklah, kalau begitu sekarang kamu istirahat saja.""Tapi, bagaimana dengan kamu, Mas?" tanya Amilie. Theo yang baru mengingat sesuatu pun lan
"Omong-omong, bagaimana keadaan Papa, Ma?" tanya Amilie.Obrolan itu masih berlanjut. Tetapi, perasaannya sudah tidak lagi sama."Papa, baik. Sesekali kamu jangan sungkan untuk berkunjung ke sini, biar kamu bisa melihat sendiri kondisi Papa kamu sekarang.""Iya, Ma. Lain kali aku akan datang ke sana. Ya sudah, kalau begitu aku sudahi dulu teleponnya," kata Amilie. Panggilan suara pun berakhir. Amilie menaruh ponselnya kembali, tetapi pandangannya terus mengarah kepada Theo."Amilie, kamu kenapa? Apa aku telah melakukan kesalahan padamu? Atau, ada ucapan yang menyakiti hatimu?" "Mas, pintu rumah tidak dikunci? Sebelum ke sini kamu tidak menguncinya sama sekali?" tanya Amilie dengan serius."Aku mengunci--...."Theo tidak langsung menyelesaikan kalimatnya, begitu dirinya teringat pada David. "Yang terakhir keluar dari rumah itu David."Mas, bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk ke sana! Kita bahkan tidak tahu, apa yang akan orang jahat itu lakukan. Aku khawatir sekali, karena di
Kriiieeet! Pintu terbuka.Amilie dan Theo menoleh berbarengan ke arah pintu."Bro, benar-benar ya ... Tapi aku ikut senang kalau istrimu sudah ketemu!" ujar David tiba-tiba."Duduk sini! Ada yang mau aku tanyakan!"David berjalan ke arah Theo. Ia heran, baru datang ke ruangan itu malah seperti akan diinterogasi. Tidak menyadari kesalahannya apa, ia hanya menurut menghadap Theo."Sebelum pergi ke sini, kamu mengunci pintunya, tidak?" tanya Theo kepada David.David terdiam sejenak, matanya melihat ke atas. Tampaknya sedang mengingat-ingat saat sebelum pergi untuk memenuhi permintaan Theo.Perlahan, ia duduk di samping Theo dengan wajah dan perasaan bersalah. "Maaf banget, Bro. Tadi kelupaan. Niatnya memang mau mengunci pintu, tapi karena buru-buru akhirnya lupa."Sontak, Theo menepuk jidat. Tetapi, pada saat yang sama ia tidak bisa menyalahkan. Karena, dirinya sudah merasa bersyukur memiliki teman yang mau membantu dirinya. "Ya sudah, tidak masalah."Amilie pun sama. Ia yang tahu bah
Perbincangan diantara keduanya semakin menghangat. Amilie pun mulai merasa nyaman, begitu juga dengan Theo. Keduanya tetap dalam posisi yang sama, saling dekat dengan hati yang seakan hendak menyatu.Ini berbeda dengan Stephen yang berkebalikan dari keadaan mereka. Hatinya menjadi bimbang dan tidak tenang. "Kamu sedang apa, sih? Papa lihat dari tadi pegang ponsel terus. Siapa yang sedang kamu hubungi itu? Apa itu tunangan kamu?" tanya Sanjaya yang merasa penasaran dengan rahasia dibalik ketikan itu. Sontak, Stephen pun menghentikan jarinya sejenak. "Pembicaraan kita ini sudah selesai, 'kan? Kalau sudah, aku pamit pergi, Pa. Masih ada urusan di luar sana," katanya."Tunggu dulu! Memangnya sepenting apa sampai kamu rela meninggalkan kantor demi itu?"Stephen tidak langsung menjawab. Ia tertegun dibuatnya. Pertanyaan itu sungguh membuat dirinya harus berpikir keras. Karena, ia tidak mau salah bicara yang nantinya malah berakibat fatal."Ini sangat penting, Pa. Sangat mendesak. Nanti a
Tok Tok Tok!"Masuk!"Seorang perawat masuk ke dalam ruangan itu, ketika pemiliknya telah mengizinkan. "Maaf, Dok, kalau saya mengganggu waktunya."Dokter Lusi mengangkat kepalanya. "Ya, ada apa?""Di luar ada yang ingin bertemu dengan Anda. Apa boleh dia masuk? Katanya ingin bicara ..."Dokter Lusi menoleh, lalu mengerutkan dahi. Dirinya menduga sesuatu, tetapi masih penasaran karena belum melihatnya sendiri. Perawat itu pun tidak menyebutkan namanya."Ajak saja dia masuk!"Sembari duduk di kursi, Dokter Lusi terus melihat ke arah pintu. Ia menunggu kedatangan orang yang ingin sekali bertemu dengannya.Krriiieett! Perlahan, pintu terbuka.Kepala mulai terlihat, lalu diikuti kaki dan seluruh anggota badan yang lain. Dokter Lusi langsung syok. Kedua bola matanya terbelalak. Sedangkan, perawat itu melihat Dokter dan Stephen secara bergantian. Ia tidak paham apa yang sedang terjadi."Kalau begitu, saya permisi, Dok," kata perawat itu, lalu melangkah pergi begitu saja dari sana.Perawa
Amilie yang sudah selesai makan pun tidak ke mana-mana, dirinya tetap dalam ruangan yang sama. Tetapi, ia memandang ke arah luar dibalik jendela rumah sakit yang terbuka.Namun, raut wajahnya berubah. Alisnya terangkat dengan mata terbelalak, seolah tengah melihat sesuatu yang begitu mengagetkan dirinya dibalik sana."Amilie, kamu tidak apa-apa kalau di sini sebentar saja?"Akan tetapi, Amilie tidak menyahut ucapan Theo. Ia terus fokus dan fokus pada objeknya saat ini.Theo mendekat dan melihat wajah Amilie langsung. "Amilie, kamu kenapa? Apa ada sesuatu di luar sana?" tanya Theo. Ia ikut melihat ke luar jendela. Tetapi, ia tidak tahu apa yang tengah istrinya lihat saat ini.Lantas, Theo pun memegang pundak Amilie -- mencoba membangunkannya dari lamunan itu."Amilie, kamu tidak apa-apa, 'kan? Apa yang sedang kamu lihat sampai seperti itu?"Amilie yang sedang melamun pun langsung terhenyak. Barulah ia menoleh ke arah suaminya."Ya, Mas. Kenapa?""Kamu tidak apa-apa? Dari tadi aku liha
Tanpa sepengetahuan Amilie, rupanya dari jauh Theo pun memperhatikan. Ingin mendekat, tetapi perasaannya mengatakan padanya agar tetap menunggu di sana.Melihat sikap Dokter Lusi tadi, itu membuatnya kesal. Nyaris saja ia menggagalkan rencana Dokter itu untuk menyelamatkan Amilie.Namun, tiba-tiba dari belakang Stephen datang padanya dan langsung menyapa. "Kak Theo? Kenapa di sini? Siapa yang sedang Kakak tunggu?" tanya Stephen.Jika dilihat dari sana, Amilie memang tidak terlalu terlihat. Terlebih lagi ketika kepalanya disembunyikan pada jubah Dokter Lusi. Itu semakin memperkuat persembunyian Amilie.Karena, bagi Dokter Lusi, yang lainnya bisa saja ia berikan alasan. Tapi tidak dengan rambut Amilie, nampak sedikit saja, pasti akan ketahuan."Sekarang aku tahu, kenapa Dokter itu menyembunyikan Amilie," batin Theo sembari mengangguk paham."Kak! Kenapa?""Tidak apa-apa. Omong-omong, kamu kenapa ada di sini? Siapa yang sakit?" tanya balik Theo.Stephen terdiam sejenak, ..."Itu, Kak, k
Dokter Lusi melihat Stephen yang sudah pergi. Setelah memastikannya, ia pun merapikan kembali jubah putih yang dipakainya tersebut."Sudah tidak ada. Sekarang kamu bebas!" katanya.Amilie mencoba mengambil nafas, ia menghirup udara sore itu setelah beberapa saat hidungnya agak tertahan oleh jubah tersebut."Dokter, sebenarnya aku penasaran denganmu. Memangnya, seberapa lama Anda mengenal dia? Dan kenapa mencoba menyembunyikan aku dari dirinya, apa yang terjadi?" tanya Amilie penasaran.Alih-alih menjawab, Dokter Lusi bangkit dari duduknya. Lalu, pergi meninggalkan Amilie tanpa memberikan jawaban. Membuat Amilie digantung dengan rasa penasaran yang seakan membeku.Amilie bangkit dari duduknya, ia mencoba mengikuti Dokter Lusi yang terus berjalan tanpa mempedulikan pertanyaannya."Jangan pedulikan saya! Lebih baik kamu kembali istirahat di kamarmu!"Theo yang melihat Amilie mencoba mengikuti Dokter Lusi pun, itu membuatnya sengaja memperlihatkan diri dan menghentikan Amilie."Sudah. L
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,