"Omong-omong, bagaimana keadaan Papa, Ma?" tanya Amilie.Obrolan itu masih berlanjut. Tetapi, perasaannya sudah tidak lagi sama."Papa, baik. Sesekali kamu jangan sungkan untuk berkunjung ke sini, biar kamu bisa melihat sendiri kondisi Papa kamu sekarang.""Iya, Ma. Lain kali aku akan datang ke sana. Ya sudah, kalau begitu aku sudahi dulu teleponnya," kata Amilie. Panggilan suara pun berakhir. Amilie menaruh ponselnya kembali, tetapi pandangannya terus mengarah kepada Theo."Amilie, kamu kenapa? Apa aku telah melakukan kesalahan padamu? Atau, ada ucapan yang menyakiti hatimu?" "Mas, pintu rumah tidak dikunci? Sebelum ke sini kamu tidak menguncinya sama sekali?" tanya Amilie dengan serius."Aku mengunci--...."Theo tidak langsung menyelesaikan kalimatnya, begitu dirinya teringat pada David. "Yang terakhir keluar dari rumah itu David."Mas, bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk ke sana! Kita bahkan tidak tahu, apa yang akan orang jahat itu lakukan. Aku khawatir sekali, karena di
Kriiieeet! Pintu terbuka.Amilie dan Theo menoleh berbarengan ke arah pintu."Bro, benar-benar ya ... Tapi aku ikut senang kalau istrimu sudah ketemu!" ujar David tiba-tiba."Duduk sini! Ada yang mau aku tanyakan!"David berjalan ke arah Theo. Ia heran, baru datang ke ruangan itu malah seperti akan diinterogasi. Tidak menyadari kesalahannya apa, ia hanya menurut menghadap Theo."Sebelum pergi ke sini, kamu mengunci pintunya, tidak?" tanya Theo kepada David.David terdiam sejenak, matanya melihat ke atas. Tampaknya sedang mengingat-ingat saat sebelum pergi untuk memenuhi permintaan Theo.Perlahan, ia duduk di samping Theo dengan wajah dan perasaan bersalah. "Maaf banget, Bro. Tadi kelupaan. Niatnya memang mau mengunci pintu, tapi karena buru-buru akhirnya lupa."Sontak, Theo menepuk jidat. Tetapi, pada saat yang sama ia tidak bisa menyalahkan. Karena, dirinya sudah merasa bersyukur memiliki teman yang mau membantu dirinya. "Ya sudah, tidak masalah."Amilie pun sama. Ia yang tahu bah
Perbincangan diantara keduanya semakin menghangat. Amilie pun mulai merasa nyaman, begitu juga dengan Theo. Keduanya tetap dalam posisi yang sama, saling dekat dengan hati yang seakan hendak menyatu.Ini berbeda dengan Stephen yang berkebalikan dari keadaan mereka. Hatinya menjadi bimbang dan tidak tenang. "Kamu sedang apa, sih? Papa lihat dari tadi pegang ponsel terus. Siapa yang sedang kamu hubungi itu? Apa itu tunangan kamu?" tanya Sanjaya yang merasa penasaran dengan rahasia dibalik ketikan itu. Sontak, Stephen pun menghentikan jarinya sejenak. "Pembicaraan kita ini sudah selesai, 'kan? Kalau sudah, aku pamit pergi, Pa. Masih ada urusan di luar sana," katanya."Tunggu dulu! Memangnya sepenting apa sampai kamu rela meninggalkan kantor demi itu?"Stephen tidak langsung menjawab. Ia tertegun dibuatnya. Pertanyaan itu sungguh membuat dirinya harus berpikir keras. Karena, ia tidak mau salah bicara yang nantinya malah berakibat fatal."Ini sangat penting, Pa. Sangat mendesak. Nanti a
Tok Tok Tok!"Masuk!"Seorang perawat masuk ke dalam ruangan itu, ketika pemiliknya telah mengizinkan. "Maaf, Dok, kalau saya mengganggu waktunya."Dokter Lusi mengangkat kepalanya. "Ya, ada apa?""Di luar ada yang ingin bertemu dengan Anda. Apa boleh dia masuk? Katanya ingin bicara ..."Dokter Lusi menoleh, lalu mengerutkan dahi. Dirinya menduga sesuatu, tetapi masih penasaran karena belum melihatnya sendiri. Perawat itu pun tidak menyebutkan namanya."Ajak saja dia masuk!"Sembari duduk di kursi, Dokter Lusi terus melihat ke arah pintu. Ia menunggu kedatangan orang yang ingin sekali bertemu dengannya.Krriiieett! Perlahan, pintu terbuka.Kepala mulai terlihat, lalu diikuti kaki dan seluruh anggota badan yang lain. Dokter Lusi langsung syok. Kedua bola matanya terbelalak. Sedangkan, perawat itu melihat Dokter dan Stephen secara bergantian. Ia tidak paham apa yang sedang terjadi."Kalau begitu, saya permisi, Dok," kata perawat itu, lalu melangkah pergi begitu saja dari sana.Perawa
Amilie yang sudah selesai makan pun tidak ke mana-mana, dirinya tetap dalam ruangan yang sama. Tetapi, ia memandang ke arah luar dibalik jendela rumah sakit yang terbuka.Namun, raut wajahnya berubah. Alisnya terangkat dengan mata terbelalak, seolah tengah melihat sesuatu yang begitu mengagetkan dirinya dibalik sana."Amilie, kamu tidak apa-apa kalau di sini sebentar saja?"Akan tetapi, Amilie tidak menyahut ucapan Theo. Ia terus fokus dan fokus pada objeknya saat ini.Theo mendekat dan melihat wajah Amilie langsung. "Amilie, kamu kenapa? Apa ada sesuatu di luar sana?" tanya Theo. Ia ikut melihat ke luar jendela. Tetapi, ia tidak tahu apa yang tengah istrinya lihat saat ini.Lantas, Theo pun memegang pundak Amilie -- mencoba membangunkannya dari lamunan itu."Amilie, kamu tidak apa-apa, 'kan? Apa yang sedang kamu lihat sampai seperti itu?"Amilie yang sedang melamun pun langsung terhenyak. Barulah ia menoleh ke arah suaminya."Ya, Mas. Kenapa?""Kamu tidak apa-apa? Dari tadi aku liha
Tanpa sepengetahuan Amilie, rupanya dari jauh Theo pun memperhatikan. Ingin mendekat, tetapi perasaannya mengatakan padanya agar tetap menunggu di sana.Melihat sikap Dokter Lusi tadi, itu membuatnya kesal. Nyaris saja ia menggagalkan rencana Dokter itu untuk menyelamatkan Amilie.Namun, tiba-tiba dari belakang Stephen datang padanya dan langsung menyapa. "Kak Theo? Kenapa di sini? Siapa yang sedang Kakak tunggu?" tanya Stephen.Jika dilihat dari sana, Amilie memang tidak terlalu terlihat. Terlebih lagi ketika kepalanya disembunyikan pada jubah Dokter Lusi. Itu semakin memperkuat persembunyian Amilie.Karena, bagi Dokter Lusi, yang lainnya bisa saja ia berikan alasan. Tapi tidak dengan rambut Amilie, nampak sedikit saja, pasti akan ketahuan."Sekarang aku tahu, kenapa Dokter itu menyembunyikan Amilie," batin Theo sembari mengangguk paham."Kak! Kenapa?""Tidak apa-apa. Omong-omong, kamu kenapa ada di sini? Siapa yang sakit?" tanya balik Theo.Stephen terdiam sejenak, ..."Itu, Kak, k
Dokter Lusi melihat Stephen yang sudah pergi. Setelah memastikannya, ia pun merapikan kembali jubah putih yang dipakainya tersebut."Sudah tidak ada. Sekarang kamu bebas!" katanya.Amilie mencoba mengambil nafas, ia menghirup udara sore itu setelah beberapa saat hidungnya agak tertahan oleh jubah tersebut."Dokter, sebenarnya aku penasaran denganmu. Memangnya, seberapa lama Anda mengenal dia? Dan kenapa mencoba menyembunyikan aku dari dirinya, apa yang terjadi?" tanya Amilie penasaran.Alih-alih menjawab, Dokter Lusi bangkit dari duduknya. Lalu, pergi meninggalkan Amilie tanpa memberikan jawaban. Membuat Amilie digantung dengan rasa penasaran yang seakan membeku.Amilie bangkit dari duduknya, ia mencoba mengikuti Dokter Lusi yang terus berjalan tanpa mempedulikan pertanyaannya."Jangan pedulikan saya! Lebih baik kamu kembali istirahat di kamarmu!"Theo yang melihat Amilie mencoba mengikuti Dokter Lusi pun, itu membuatnya sengaja memperlihatkan diri dan menghentikan Amilie."Sudah. L
"Mana berkas laporannya! Papa sudah tidak sabar ingin melihatnya!" ujar Sanjaya begitu melihat Stephen datang dan masuk ke ruangan itu.Tagihan mengenai deadline pekerjaannya pun dipertanyakan. Tetapi ...."Pa, bukannya tadi aku sudah bilang. Aku sudah izin sama Papa kalau aku ada urusan diluar.""Jadi, Papa harus bagaimana? Membebaskan kamu terus dengan kebebasan tanpa tanggung jawab! Kamu sudah dewasa, kamu tidak bisa terus melakukan sesuatu sesuka hati tanpa aturan!"Stephen semakin kesal, tetapi Sanjaya jauh lebih kesal diatas Anaknya. Dirinya sungguh kecewa dengan anaknya yang pergi ke sana kemari tetapi tanpa tujuan yang jelas.Sebelumnya, ia sempat membanggakan Anak itu. Daripadanya Theo, Stephen jauh lebih dimanjakan. Bukan hanya karena ucapan manis dan rayuan Rosalina, tetapi juga karena ia melihat Theo lebih buruk dan pembangkang."Pa! Kenapa Papa terlalu ketat seperti ini?!" bantah Stephen.Namun, setelah Theo tidak lagi bekerja dengan Sanjaya. Ia yang melanjutkan usahanya