"Sayang, kamu lapar, ya? Sini, aku bawakan makanan yang enak untukmu. Makanan kesukaanmu~!" ucap Theo tiba-tiba datang dengan membawa plastik putih yang tampaknya ada dua box makanan. Aromanya belum sampai ke hidung. Tetapi, Amilie melihatnya dengan antusias seolah sudah tahu apa yang dibawa oleh suaminya itu."Mas, kamu bawa makanan? Jadi, tadi itu ..." "Iya, aku pergi untuk membeli makanan. Kebetulan, aku juga belum makan dari tadi pagi. Jadi, aku beli saja sekalian sama kamu," lanjutnya.Amilie mendekat. Tetapi, Theo melarang. "Kamu cukup duduk cantik saja di kursi, biar aku yang menyiapkan semuanya untuk kamu," kata Theo.Begitu baiknya Theo pada Amilie. Amilie kembali memandang kagum suaminya. Walau dirinya masih berpikir apakah pernikahan ini akan bertahan lama. Sedangkan saja, sebelumnya niat Theo menikahinya hanya agar Stephen menyesal dan menyelamatkan dirinya dari bunuh diri. "Aku tidak menyangka kalau dia sampai memikirkan hal seperti ini. Aku pikir ... Ah, ternyata dia
"Kamu begitu yakin sekali, padahal kamu tidak melihatnya secara langsung," ledek Theo sembari mengaduk-aduk nasi yang diatasnya ada sambal goreng kecombrang. "Tapi aku mendengarnya tadi!" balas Amilie sembari membuka box nasi. Pertama kali dibuka, wanginya sudah mulai tercium dan menusuk hingga ke hidung. Wangi bawang goreng dan ayam pedas begitu menggugah lidah."Mas, kamu beli ini di mana? Wanginya sangat enak dan ... eeemhhh ..."Amilie mencium aromanya dengan mata terpejam, merasakan aroma yang begitu nikmat di hidung dan lidah."Sudah makan, sana. Aku tahu kamu lapar, mumpung tidak ada siapa-siapa," celetuk Theo sembari menyuap satu sendok. "Eh ada Stephen!" ujar Amilie sembari menoleh ke arah pintu.UHUUUK-UHUUUK! Theo langsung tersedak. Ia mencari air yang ada di dekatnya. Amilie yang melihat hal itu pun malah tertawa cekikikan.Ia menoleh ke arah istrinya yang malah menertawainya itu. "Omonganku malah kamu anggap serius, jadinya malah tersedak, 'kan!""Cepat ambilkan aku
"Iya, Mas."Lalu, Amilie melanjutkan makan kembali. Karena lapar, ia menyantap semua makanan dalam box itu dengan lahap. Bahkan, sayuran selada yang biasanya ia abaikan, untuk kali ini ia telan habis.Seusai makan, Amilie pun membereskan semuanya. Tetapi, Theo menghentikan tangan Amilie yang tengah beres-beres."Kamu diam saja, biar aku yang melakukannya.""Tidak usah, Mas. Aku juga sudah bisa banyak bergerak.""Tidak boleh! Aku tidak mau melihatmu begitu."Keduanya terus saja begitu sampai ponsel berdering. Perdebatan itu pun antara terjeda dan berhenti. Keduanya saling menatap satu sama lain.Theo mengambil ponsel miliknya, ia melihatnya sebentar dan mematikannya.Sanjaya yang kini berada di kantor pun menjadi kesal. Ia kembali menghubungi anak pertamanya, tetapi tak lagi dijawab."Heh! Anak itu benar-benar ...!"Lantas, Sanjaya pun menghubungi Stephen. Saat itu, Stephen baru meluncur pergi ke kantor. Karena, beberapa hari ini ia selalu keluar kantor sebelum semua pekerjaannya se
"Mungkin saja 'kan, Pa. Emm ... Ya sudah, kalau begitu aku permisi," ucap Stephen sembari bergegas pergi.Tetapi, kemudian Sanjaya menahannya. "Kamu mau pergi ke mana lagi? Kerjaan di kantor masih banyak!""M-mmaksudnya mau pergi ke ruangan aku, Pa. Gitu. Boleh 'kan, Pa?" "Tidak boleh. Kamu di sini dulu, Papa belum selesai bicara sama kamu!""Iya, Pa."Stephen pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk menemui dokter itu. Tetapi, di samping itu ia juga merasa pusing dengan pekerjaan yang ada di kantor ini.Seeettt! Tap ... Tap ... Tap ..."Sepertinya aku mendengar suara orang lewat," gumam Stephen. Lalu, menoleh ke arah pintu.Sanjaya pun mendengarnya. Ia bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu. Namun, setelah ia membukanya ... Ternyata tidak ada siapapun di sana."Pa, Papa juga dengar suara langkah kaki?" tanya Stephen."Benar. Mungkin karyawan yang lewat," sahutnya.Kemudian, Sanjaya kembali duduk di kursi untuk melanjutkan obrolan yang tadi.*** Di tempat lain, Amanda yang
"Kamu yakin tidak mau memberitahu mereka tentang keadaan kamu sekarang ini?" tanya Theo seraya menatap wajah Amilie.Walaupun sebelumnya sempat marahan, tetapi untungnya hal itu tidak bertahan lagi.Ketika menuju sore harinya, mereka kembali baikan dan berbicara seperti biasa lagi."Tidak usah, Mas. Kalau mereka khawatir dan peduli, mereka pasti bertanya. Aku yakin, tidak sulit bagi mereka untuk mengetahuinya.""Tapi, kalau tidak kamu beritahu, mana mungkin mereka bisa tahu."Amilie menghela nafas dalam-dalam. "Jangan, Mas. Lebih baik mereka tidak usah tahu saja. Aku juga tidak mau mengundang Stephen yang malah datang tiba-tiba dan modus ingin menjengukku. Padahal ..."Mendengar ucapan Amilie, itu membuat Theo pasrah. Dirinya tidak mau memaksakan kehendak lagi, ia juga tidak akan menyarankan lagi. Sebab, ia sudah tahu bagaimana jawabannya."Baiklah, kalau begitu sekarang kamu istirahat saja.""Tapi, bagaimana dengan kamu, Mas?" tanya Amilie. Theo yang baru mengingat sesuatu pun lan
"Omong-omong, bagaimana keadaan Papa, Ma?" tanya Amilie.Obrolan itu masih berlanjut. Tetapi, perasaannya sudah tidak lagi sama."Papa, baik. Sesekali kamu jangan sungkan untuk berkunjung ke sini, biar kamu bisa melihat sendiri kondisi Papa kamu sekarang.""Iya, Ma. Lain kali aku akan datang ke sana. Ya sudah, kalau begitu aku sudahi dulu teleponnya," kata Amilie. Panggilan suara pun berakhir. Amilie menaruh ponselnya kembali, tetapi pandangannya terus mengarah kepada Theo."Amilie, kamu kenapa? Apa aku telah melakukan kesalahan padamu? Atau, ada ucapan yang menyakiti hatimu?" "Mas, pintu rumah tidak dikunci? Sebelum ke sini kamu tidak menguncinya sama sekali?" tanya Amilie dengan serius."Aku mengunci--...."Theo tidak langsung menyelesaikan kalimatnya, begitu dirinya teringat pada David. "Yang terakhir keluar dari rumah itu David."Mas, bagaimana kalau ada orang jahat yang masuk ke sana! Kita bahkan tidak tahu, apa yang akan orang jahat itu lakukan. Aku khawatir sekali, karena di
Kriiieeet! Pintu terbuka.Amilie dan Theo menoleh berbarengan ke arah pintu."Bro, benar-benar ya ... Tapi aku ikut senang kalau istrimu sudah ketemu!" ujar David tiba-tiba."Duduk sini! Ada yang mau aku tanyakan!"David berjalan ke arah Theo. Ia heran, baru datang ke ruangan itu malah seperti akan diinterogasi. Tidak menyadari kesalahannya apa, ia hanya menurut menghadap Theo."Sebelum pergi ke sini, kamu mengunci pintunya, tidak?" tanya Theo kepada David.David terdiam sejenak, matanya melihat ke atas. Tampaknya sedang mengingat-ingat saat sebelum pergi untuk memenuhi permintaan Theo.Perlahan, ia duduk di samping Theo dengan wajah dan perasaan bersalah. "Maaf banget, Bro. Tadi kelupaan. Niatnya memang mau mengunci pintu, tapi karena buru-buru akhirnya lupa."Sontak, Theo menepuk jidat. Tetapi, pada saat yang sama ia tidak bisa menyalahkan. Karena, dirinya sudah merasa bersyukur memiliki teman yang mau membantu dirinya. "Ya sudah, tidak masalah."Amilie pun sama. Ia yang tahu bah
Perbincangan diantara keduanya semakin menghangat. Amilie pun mulai merasa nyaman, begitu juga dengan Theo. Keduanya tetap dalam posisi yang sama, saling dekat dengan hati yang seakan hendak menyatu.Ini berbeda dengan Stephen yang berkebalikan dari keadaan mereka. Hatinya menjadi bimbang dan tidak tenang. "Kamu sedang apa, sih? Papa lihat dari tadi pegang ponsel terus. Siapa yang sedang kamu hubungi itu? Apa itu tunangan kamu?" tanya Sanjaya yang merasa penasaran dengan rahasia dibalik ketikan itu. Sontak, Stephen pun menghentikan jarinya sejenak. "Pembicaraan kita ini sudah selesai, 'kan? Kalau sudah, aku pamit pergi, Pa. Masih ada urusan di luar sana," katanya."Tunggu dulu! Memangnya sepenting apa sampai kamu rela meninggalkan kantor demi itu?"Stephen tidak langsung menjawab. Ia tertegun dibuatnya. Pertanyaan itu sungguh membuat dirinya harus berpikir keras. Karena, ia tidak mau salah bicara yang nantinya malah berakibat fatal."Ini sangat penting, Pa. Sangat mendesak. Nanti a