Buanglah mantan pada tempatnya,
Mantan itu ibarat sampah yang gak bisa didaur ulang.-Reyana Stronghold-
"Jadi? Kenapa lo selingkuh?"
Gilang tersenyum kecil, sebenarnya ia lelah sejak pagi diberondong pertanyaan yang sama. Gara-gara kejadian tadi pagi namanya langsung jadi trending topik di SMA Rajawali. Semua anak dari kelas X sampai kelas XII membicarakannya tanpa henti.
"Gini, lo punya rokok sama permen. Lo pilih mana?" Gilang melemparkan pertanyaan itu pada teman-temannya.
Mereka tampak berpikir sejenak, sebelum serempak menjawab, "Rokoklah, lebih nikmat."
Gilang menjentikkan jarinya, tersenyum puas mendengar jawaban mereka. "Yups, itu dia. Reya itu ibarat lolipop, manis. Sedangkan Selin itu kaya rokok, nikmat. Rokok bisa lo emut bisa lo isep sampe puas."
"Wuiiihhh, otak mesum emang nih anak," celetuk temannya.
"Gila, gila, gila. Pantes aja dia selingkuh ama Selin, bodynya babadotan cuy," seru lainnya.
"Otak omes, viktor, pantes sih. Gilang kan cucunya kakek Sugiono," sahut yang lainnya.
Reya mengepalkan tangannya, telinganya sudah panas sejak tadi berdengung mendengarkan obrolan unfaedah. Mungkin kini telinga Reya sudah berasap seperti cerobong kereta api tahun delapan puluhan. Otaknya sudah memanas akibat memproduksi amarah yang berlebihan, matanya memerah layaknya banteng di arena balap.
Benar-benar mengerikan!
"Re," panggil Ricky ketika Reya beranjak berdiri, teman-temannya ikut menatap Reya.
Mereka semua juga mendengar apa yang dibicarakan gerombolan Gilang yang duduk di bangku pojok belakang. Suara mereka yang cempreng dan lantang jelas sampai ke telinga semua orang. Apalagi kata-kata mereka sama sekali tidak disaring.
"Mau ke mana?" tanya Ricky, wajahnya tampak khawatir. Ia tahu betul tabiat Reya seperti apa.
"Buang sampah," jawab Reya.
Iya, sampah mantan!
"Biar gue ...." Ricky mengatupkan bibirnya saat Reya mengangkat tangannya, menginteruksi Ricky untuk tidak ikut campur.
"Gue bisa sendiri," tukas Reya.
"Perasaan gue gak enak," bisik Michael. Melirik punggung Reya yang berjalan ke belakang.
"Sama," sahut Remi, menatap ngeri ke arah belakang.
"Sebentar lagi bakal ada huru-hara," timpal Cakra. "Tiga." Cakra mulai menghitung mundur. "Dua." Wajah mereka tampak tegang. "Sat ... tu."
"Arrggg ... panas!" pekik Gilang ketika kepalanya diguyur kuah bakso oleh Reya. "Fuck!" umpatnya. "Siapa yang nyiram gu ... ee ...?" Gilang yang berbalik seketika mengatupkan bibirnya, melihat Reya berdiri di belakangnya dengan mangkuk kosong di tangan. "Re-Re-ya!"
"Apa? Lo mau apa? Pukul gue? Nih pukul?" Reya memajukan wajahnya, menunjuk pipinya di depan Gilang. "Atau lo mau hajar gue? Hajar aja, tapi sebelum itu gue yang bakal hajar lo!"
Gilang kembali memekik, mengerang kesakitan sembari memegangi miliknya. Reya baru saja menendang milik Gilang dengan sepatunya yang memiliki bagian bawah bergerigi. Jelas saja Gilang sampai merintih kesakitan, tak berdaya ketika miliknya berdenyut sakit tak karuan.
"Kyaaa!!" Reya menarik dasi Gilang, nyaris membuat Gilang kecekik. "Sekali lagi gue denger lo ngomongin gue, gue pastiin milik lo bakal gue babat habis!" Reya menarik telunjuknya lurus di depan leher, sampai Gilang bergidik memegang erat miliknya.
"Ini berlaku buat kalian semua!! Kalian boleh ngomongin gue dengan catatan gue gak bakal tahu, tapi kalau sampai gue tahu ...." Reya menggantungkan ucapannya, melirik semua anak di kantin terutama teman-teman Gilang. "Gue pastiin lo bakal kaya dia!" Reya menghempas Gilang sampai cowok itu terjungkal ke lantai.
Teman-temannya bertepuk tangan sambil bersorak heboh.
"GO Reya, go Reya go!!" seru mereka serempak.
"Emang enak, mending lo geprek sekalian tuh burung," celetuk Michael, menertawakan Gilang.
"Sekalian dicabein biar mantep," tambah Remi.
Gilang mendengus, melirik tajam teman-teman Reya. Lagi-lagi dirinya dipermalukan di depan umum.
--------
Sesuai rencana, pulang sekolah Reya dan teman-temannya akan melakukan war dengan sekolah tetangga. Ketika bel pulang berbunyi, mereka bersorak heboh langsung menghambur keluar.
"Lo yakin mau ikut Re?" tanya Ricky.
Reya menoleh, menganggukkan kepalanya dengan senyum lebar. "Yakin dong."
"Mending gak usah Re, gue ngeri bodyguard bokap lo sidak lagi ke lapangan," sahut Remi yang berjalan di depannya.
"Tenang aja, bokap gue lagi gak di rumah jadi aman. Btw tongkat baseball gue masih ada kan?" tanya Reya, mengingat waktu war minggu kemarin ia lupa tidak membawanya.
"Ada, untung gue inget ngamanin. Kalau gak bisa jadi barang bukti di BK," jawab Candra.
"Good." Reya mengacungkan jempolnya.
"Bodyguard lo tuh," kata Michael, mengedikkan dagunya ke depan.
Reya mengikuti arahan Michael, ia mendengus saat melihat cowok yang sedang bersandar di pilar dekat lobi. Cowok itu menatap Reya, tatapan begitu datar tapi tetap terlihat tampan dengan rahang tegas, hidung mancung dan rambut sedikit gondrong namun tertata rapi.
"Kalian duluan aja, ntar gue nyusul," kata Reya, memisahkan diri dari gerombolannya. Reya menghampiri cowok itu. "Apa lagi?" ketusnya.
"Om Rey suruh gue anterin lo pulang," kata cowok itu.
"Gak mau, gue ada urusan," tukas Reya.
"Tawuran maksud lo?"
Reya berdecak, melirik cowok di depannya. "Issh, bukan. Tapi war," ralat Reya.
"Sama aja dodol." Cowok itu menoyor kepala Reya dengan telunjuknya.
"Alvaro!" hardik Reya, mengusap-usap jidatnya. "Sakit tahu," rengek Reya.
"Bodo." Alvaro mendengus geli, melihat ekspresi Reya yang menggemaskan. Ia menarik tas Reya, menyeretnya menuju parkiran.
"Al, lepasin!" Reya terus berontak, berusaha melepaskan diri dari Alvaro.
"Gak. Lo tuh cewek Re, harusnya lo kaya Sevi feminim. Bukannya malah tawuran kaya berandalan."
"Maksud lo main boneka gitu?" Reya mendengus, mengingat Sevi sepupunya yang suka main boneka, padahal ia sudah masuk SMP. Tapi herannya om Sean dan tante Vina tidak melarang, mereka malah mendukung membelikan boneka. Terakhir kali mereka membelikan boneka kekeyi dan Sevi menjadikannya boneka kesayangan.
Reya bergidik, amit-amit jangan sampai dia ketularan Sevi suka main boneka. Dari kecil juga Reya gak suka main boneka, ia lebih suka main kelereng atau yoyo kalau gak main balapan pake mobil tamiya.
"Masuk!" perintah Alvaro, menyuruh Reya masuk ke mobilnya.
"Gak." Reya menggeleng, melipat tangannya di depan dada. "Lo gak lihat, gue bawa motor." Reya menunjuk motor vespa warna pink miliknya yang terparkir di barisan parkir motor.
"Masuk, biar gue suruh orang---"
"No!" sergah Reya. "Gue gak mau motor gue lecet. Mending gini aja, gue naik motor gue sendiri. Lo bisa ikutin gue dari belakang. Setuju?" Alvaro memicingkan matanya, menatap Reya penuh curiga. "Janji gak bakal kabur." Reya menunjukkan dua telunjuknya.
"Hm. Tapi awas aja sampe lo kabur," ancam Alvaro.
"Siap, gak bakal kabur." Reya cengengesan, pasalnya dalam hati ia sudah merencanakan kabur dari Alvaro.
Benar saja, Reya memacu motornya meninggalkan Alvaro. Ia langsung menuju ke tempat janjian bersama teman-temannya. Tapi ditengah jalan Reya tiba-tiba diserempet mobil, motornya oleng ke samping. Reya terjatuh dengan motor menimpa tubuhnya.
"Kyaaaa!!!" teriak Reya meringis, menahan kakinya yang tergencet.
Reya berusaha bangun, tapi ia tak mampu. Kakinya justru semakin ngilu saat coba digerakkan. Beban motornya yang berat membuat ia sama sekali tak bisa bergerak dan sialnya jalanan yang dilewatinya sepi karena memang bukan jalan utama.
Reya mengambil ponselnya di saku, menghubungi Ricky untuk memberitahu keadaannya. "Halo," ucap Reya ketika sambungan telepon terangkat. "Ichi, tolong. Gue jatuh, mana kaki gue kepencet motor gak bisa bangun. Gak ada orang sepi, gue takut." Reya langsung mengadukan keadaannya, meminta pertolongan pada teman-temannya. "Oke, gue tunggu. Jangan lama-lama, kaki gue keburu jadi dendeng ntar."
------
Reya turun dari mobil Ricky dibantu Remi yang sigap memapahnya. Kakinya terluka cukup parah, tapi Ricky sudah membawanya ke klinik tadi. Sementara motornya di bawa ke bengkel oleh Candra dan Cakra.
"Makasih, untung kalian cepet dateng kalau gak, gak tau deh nasib kaki gue bakal kaya apa," kata Reya, menatap ketiga temannya.
"Santai aja Re, kaya ama siapa aja," balas Remi, menepuk bahunya. "Yang penting sekarang lo istirahat."
"Iya, gak usah mikirin war," sahut Michael yang langsung dapat tatapan tajam dari Ricky.
"Lah iya, terus war-nya gimana? Masa gatot."
"Udah gak usah mikirin itu, masuk gih," suruh Ricky.
"Kalian gak mau mampir dulu?" ajak Reya, tapi ketiganya menggeleng.
"Kita langsung balik aja, lagian gak enak sama orangtua lo." Ricky melirik ke rumah Reya.
Reya pun menoleh, ia paham ternyata ada Alvaro yang tengah berkacak pinggang di depan pintu. Sepupunya itu emang kurang kerjaan, kenapa juga dia mau-maunya di suruh ini itu sama papanya. Membuat Reya tidak bisa bergerak bebas di sekolahan.
"Hati-hati," ucap Reya saat teman-temannya masuk ke mobil.
Setelah mobil Ricky pergi, Reya masuk ke dalam. Berjalan tertatih dengan sebelah kakinya di gips. Alvaro berjalan menghampirinya, tanpa bicara dia merangkul Reya memapahnya masuk ke dalam.
"Ya ampun Reya, kamu kenapa?" Suara lembut Ana langsung menyambut Reya, ia tampak khawatir melihat kaki Reya yang di gips. Meski hal seperti ini bukanlah kali pertama bagi Ana, tetap saja ia selalu panik. "Kamu balapan lagi?" tuduh Ana.
Reya mendengus, ia duduk di sofa. "Ini jatuh Ma, bukan karena balapan. Lagian mana ada balapan siang bolong begini."
"Sukurin, itu karena lo udah boongin gue," celetuk Alvaro. "Bilangnya aja gak bakal kabur, tapi kenyataannya kabur. Emang lo tuh kaya rubah kecil. Tukang ngibul," gerutu Alvaro.
"Yaelah, Al. Tega banget lo sama gue." Reya memanyunkan bibirnya.
"Bodo!" Alvaro mendengus, memalingkan wajah saking kesalnya.
"Mama, ambilin minum dulu ya," ucap Ana, Reya mengangguk.
Tak lama Ana kembali membawakan minum untuk Reya bersama Rey dan seorang cowok yang berjalan di sampingnya. Reya mengernyitkan dahi, bingung saat menatap wajah cowok yang berjalan di samping papanya.
Siapa? Pasalnya Reya tidak mengenal cowok itu.
Apa mungkin sepupunya? Jelas tidak mungkin, sepupu Reya hanya ada empat seingatnya.
Sena dan Sevi anaknya om Sean sama tante Vina. Terus Alvaro, Alea anaknya om Alva dan tante Vero. Sementara tante Revi belum menikah. Terus dia siapa? Reya berpikir keras, berusaha mengingat-ingat wajah itu. Tapi jawabannya tetap sama, ia tidak mengenalnya.
"Nih, minum dulu," kata Ana, memberikan gelas berisi air putih.
Reya langsung menenggaknya, tenggorokannya terasa kering setelah merintih sejak tadi, menahan ngilu di kakinya yang terkilir.
"Reya, kenalin ini Gavin. Bodyguard kamu," kata Rey memperkenalkan Gavin pada Reya.
Mendengar ucapan papanya, sontak saja Reya tersedak. Bahkan ia sampai menyemburkan minumnya karena saking kagetnya.
"Bodyguard?" beo Reya. Yang benar saja!!!!
Reya berjalan tertatih menaiki tangga, mengabaikan panggilan orang-orang. Ia juga menepis saat Alvaro atau pun mamanya yang berniat membantu. Reya gondok dengan papanya yang selalu memaksakan kehendak."Emangnya gue bocah kecil apa, pakebodyguardsegala. Anak artis aja gak dikawalbodyguardaman-aman aja tuh, padahal emaknya banyak haters," gerutu Reya.Reya menyeret kakinya masuk ke kamar, membanting pintu sampai menimbulkan bunyi dentuman keras. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan hiasan bintang dan benda-benda angkasa lainnya.
Duahal yang tak bisa ditolerir dalam sebuah hubungan, perselingkuhan dan kekerasan.-Reyana Stronghold-Mentari sudah muncul dari persembunyiannya, teriknya masuk ke kamar melewati celah gorden yang tersingkap. Suara kicauan burung santer terdengar, bersahutan dengan suara alarm yang membahana di dalam ruangan kamar yang masih gelap gulita.Reya mengerang, merubah posisi miring serta menutupi telinganya dengan bantal. Suara alarm yang berbunyi nyaring memekakkan telinga, mengusik Reya yang tengah tertidur pulas.Meski telinganya telah ia tutup bantal dan bergelung di dalam selimut tebal, nyatanya suara alarm masih terdengar jelas di telinga Reya."Aaarrg ... berisik!!" Reya bangun, mengacak-ngacak rambut saking kesalnya. Ia melirik alarm yang masih terus berbunyi, menunjukkan pukul 06.00.Reya meraih alarm di atas nakas, bersiap melemparkannya keluar jendela. Tapi ucapan papanya tiba-tiba terngiang di
Satu kebohongan akan menjerumuskan pada kebebohangan-kebohangan selanjutnya.-Gavin-Reya merutuki mulutnya sendiri yang asal nyeplos. Ia menyeret kakinya, berusaha mengabaikan Gavin yang terus menuntut penjelasan."Jadi gue pacar nih bukanbodyguard?"Astaga naga dragon ball!!!
Jangan menggangu macan yang sedang tidur, kecuali kau siap menanggung resikonya.—Reyana—Terik matahari begitu menyengat, Reya duduk di tepi lapangan. Ia hanya bisa melihat teman-temannya yang sedang bermain basket, padahal biasanya Reya yang ikut bertanding. Reya menunduk, menatap kakinya. Dua hari yang lalu Dokter Adrian baru saja melepas gipsnya, tapi tetap saja Reya belum boleh berlari."Woy, Mail. Lempar!" teriak Remi, menyuruh Michael mengoper bola basket ke arahnya.Tapi yang Michael lakukan justru melempar bola keringdan hasilnya jelas meleset. Teman-temannya mengumpati Michael, gara-gara dia tim mereka tertinggal jauh."Lo gimana si Il? Jadi kalah kan kita, harusnya tadi lo oper ke Rembo kalau gak ke gue." Candra mengomel dengan deru napas memburu, sudah setengah permainan dan poin mereka jauh tertinggal dari lawan."Ya maap, gue gak fokus. Capek," jawab Michael.
Ketika lo menyulut api ke gue, maka yang gue lakuin lempar bensin ke apinya.-Reyana Stronghold-"Gavin, hidung lo." Mata Reya melebar ketika melihat darah segar mengalir dari kedua hidung Gavin.Emosi Reya semakin menggebu-gebu, ia menatap tajam cewek di depannya. "Ini semua gara-gara lo nenek lampir!" Telunjuknya menunjuk-nunjuk cewek itu."Gue? Enak aja, lo yang nonjok. Kenapa jadi gue yang disalahin? Dasar nenek sihir!" Cewek itu menepis tangan Reya."Wah kurang ajar ngatain gue nenek sihir, berani lo?!" tantang Reya, menggulung bajunya sampai bahu."Berani sama-sama makan nasi, kecuali lo makannya sajen baru gue takut," cibir cewek di depan Reya."Fuck!"umpat Reya, tangannya sudah gemas ingin merontokkan rambut cewek itu dan baku hantam kembali terjadi.Tapi semua itu tak berlangsung lama karena suara lantang menginterupsi se
Cinta itu kaya matematika, sulit di mengerti terlalu rumit untuk dipahami.-Reyana S-Sepanjang perjalanan, Reya tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah Rika dan bu Siwi yang tampak mengenaskan. Bahkan Reya membayangkan Rika dan bu Siwi sekarang tengah mendorong motornya.Sinting!Satu hal yang muncul dalam benak Gavin dan Alvaro yang melihat tingkah Reya. Gavin tampak tak peduli, ia tetap fokus menyetir meski dalam benaknya terus bertanya-tanya apa yang salah dengan Reya? Perasaan tidak ada yang lucu, tapi kenapa Reya terus tertawa? Berbeda dengan Alvaro yang sangat penasaran."Re," panggil Alvaro."Hm." Reya mengalihkan perhatiannya ke Alvaro."Bukan ... lo kan?" tanya Alvaro ragu-ragu.Reya mengernyitkan dahinya, bingung. "Maksudnya?""Yang ngelakuin bukan lo kan?""Nglakuin apa?" Reya tak mengerti maksud pertanyaan Alvaro."Yang tadi."
Ketakutan hanya akan membuatmu mati secara perlahan, lawan rasa takutmu. Tunjukkan pada dunia, jika kamu baik-baik saja. Meski hatimu tidak sedang baik-baik saja.-Reyana S-Gavin baru saja akan mengerjakan tugas sekolahnya, ketika listrik tiba-tiba padam. Setelah itu terdengar suara jeritan dari kamar sebelah---kamar Reya.Gavin yang panik refleks beranjak berdiri, bahkan ia sampai tak memperhatikan jalannya dalam keadaan gelap."Aarrrgh!" erang Gavin, meringis kesakitan karena kakinya menabrak sudut bagian bawah ranjang."Gavin!!!" Teriakan Reya kembali terdengar.Dengan langkah pincang, Gavin berjalan ke kamar Reya. Ia mengumpat saat akan masuk, tapi pintunya di kunci dari dalam."Reya, buka!" teriak Gavin, menggedor pintu kamar Reya. Tak ada sahutan kecuali tangisan yang semakin kencang. "Reya, buka. Ini gue, Gavin."Gavin tak bisa diam saja menunggu, karena tidak ada tanda-tanda Reya akan
Manusia, hobi menghakimi tanpa mau mencari tahu kebenarannya.—Reyana S—Reya baru saja masuk ke kelasnya, ketika rambutnya tiba-tiba ditarik ke belakang."Bitch!""Aaaa ...!" pekik Reya, ia jelas terkejut. Reya menghempas tangan laknat yang menarik rambutnya, berbalik menghadap pelaku. "Lo gila ya?!" Mata Reya melotot saat tahu siapa yang berani menjambaknya.Rika!"Lo yang gila.Bitch!" sarkas Rika, emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun."Apa lo bilang?Bitch?"Reya jelas terpancing ketika dirinya disebut seperti itu, ia tak terima. Apalagi ini yang bilang Rika. "Wah, cari masalah lo?" Reya mendecih, tersenyum remeh."Lo yang cari masalah, lo kan yang nyopot ban motor gue kemarin? Ngaku lo?!" Rika dengan berani mendorong bahu Reya, sampai Reya terdorong mundur."Emang lo ada buktinya?" Reya menaikkan sebelah
Tak cukup kata-kata untuk menunjukkan seberapa sempurnanya kuasa takdir mempertemukan seseorang. Mereka yang berbeda, namun mampu saling melengkapi satu sama lain. Percayalah, dibalik sakitnya putus cinta ada seseorang terbaik yang Allah siapkan sebagai penggantinya.-ButiranRinso-Waktu cepat bergulir, sudah dua minggu Reya menghabiskan waktu di rumah sakit. Akibat kepalanya yang bocor dan harus dijahit sebanyak tiga kali. Harusnya waktu pembagian rapor Reya naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan dari kepala sekolah, atas pencapaiannya karena berhasil mendapat peringkat pertama di kelas.Namun karena perbuatan Selin dan Rika yang sengaja memukul kepala Reya dengan tongkatbaseball&n
Ketika kamumencitaiseseorang, tanamkan rasa cintanya dalam hati, sebutkan namanyadisetiapdoa yang kau panjatkan.-Reyana-Reya terbangun, napasnya memburu dengan keringat bercucuran di dahi. Reya seperti orang bingung, matanya bergerak liar memandang sekitar."Reya, syukurlah kamu sudah bangun." Ana hendak memeluknya, namun Reya tiba-tiba menepis. "Ada apa Re?""Gavin, mana Ma?" tanya Reya. Matanya jelalatan ke mana-mana."Gavin?""Iya, Gavin. Aku harus cari Gavin. Dia dalam
Lelah menunggu, Reya memutuskan untuk pulang. Ia berdiri di depan gerbang menunggu taksionlinepesanannya datang. Reya masih berusaha menghubungi nomor Gavin, meski hasilnya tetap sama————berakhir dengan suara mba-mba operator yang menyambut."Mba Reya?"Reya mengalihkan perhatiannya ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca depan terbuka, menampilkan seorang mas-mas yang menoleh ke arahnya."Ya?""Sesuai aplikasi Kak?" Orang itu merubah panggilannya saat melihat Reya masih menggunakan seragam abu-abunya.Reya mengangguk, menyadari taksi pesanannya ternyata. Ia sudah akan membuka pintu mobil, namun suara teriakan Remi mengurungkan niat
Bukan sekedar cinta monyet, tapi cinta suci pangeran kodok untuk putri kentang.-Gavin-Harga diri seorang laki-laki itu wanita yang paling dicintainya. Mereka siap pasang badan buat mempertahankan harga dirinya, apapun konsekuensinya."Gavin?" Reya memicingkan matanya saat melihat Gavin keluar dari gerbang, menghampiri Galang. "Mau ngapain dia?" Rasa penasaran mendorong Reya untuk melangkah keluar, namun tepukan di pundak mengejutkan Reya. Refleks ia memutar tubuhnya ke belakang."Papa!" Mata Reya melotot melihat papanya berdiri di belakang. "Papa ngapain?""Harusnya papa yang tanya, kamu ngapain di sini? Sudah malam kenapa masih ke
Reya menghela napas untuk yang kesekian kali, menatap miris wajah Ricky yang penuh lebam. Sudut bibirnya juga robek, belum lagi pelipisnya yang berdarah.Reya begitu telaten mengobati wajah Ricky, memberikan obat merah dan salep lalu menempelkan plaster di pelipis Ricky. Keduanya membisu beberapa saat, hingga akhirnya suara Ricky memecah keheningan di dalam UKS."Maaf."Reya mengernyit, menurunkan tangannya dari wajah Ricky. Kemudian menatap Ricky dengan ekspresi datar."Maafin gue," ulang Ricky, kepalanya tertunduk tak berani menatap Reya. "Lo bener, harusnya gue gak nyalahin semuanya ke lo. Harusnya gue juga gak balas dendam ke lo yang sama-sama jadi korbannya Sam. Maaf. Gue salah. Maaf———" Ricky terkesiap ketika R
Bukannya tidak mau bertahan, hanya saja memang tidak pantas untuk dipertahankan.-Reyana-Bunga layu ketika tidak dirawat dengan benar, tapi akan mekar saat dirawat dengan benar.Sama halnya dengan sebuah hubungan, semua akan terasa indah ketika menjalaninya dengan orang yang tepat dan akan berbanding terbalik saat menjalaninya dengan orang yang salah.🌺🌺🌺🌺Sepanjang perjalanan pulang, Gavin sama sekali tak bersuara. Matanya terus menatap ke depan dan bibirnya terkunci rapat, namun deru napasnya terdengar memburu.
Karma itu nyata, cepat atau lambat akan membunuhmu secara perlahan.-Reyana-Ketika seseorang merasa dirinya di atas angin, padahal masih ada awan dan langit yang lebih tinggi darinya."Kadal arab!""Buaya buntung!""Monyet Australi!""Tikus Zimbabwe!!"Entah sudah berapa nama binatang yang Reya absen, bibirnya terus komat-kamit. Seandainya Reya tahu mantra ajian santet, pasti sudah Reya bacakan saat ini juga. Atau paling tidak doa pengusir seta
Seperti minggu biasanya, Galang dan teman-temannya pergi ke mall. Sekedar cuci mata atau nongkrong di salah satu kafe langganan.Galang yang awalnya mau ke toilet mengurungkan niatnya saat melihat siluet cewek yang cukup familiar, Cewek yang tengah diincarnya. Ia memilih berdiri di samping pintu toilet wanita, menunggu cewek tadi keluar.Bunyi notifikasi mengalihkan perhatian Galang, ia membuka pesan dari temannya yang menanyakan keberadaannya. Galang segera mengetikkan balasan, memberitahu mereka jika dirinya terpaksa harus pergi lebih dulu karena ada urusan. Setelah itu kembali memasukkan ponselnya ke saku.Cukup lama menunggu, Galang mulai bosan. Sedari tadi ia hanya berdiri sembari memainkan permen karet di mulutnya. Hingga suara langkah kaki menginterupsi, Galang menoleh, senyumny
Pelajaran pertama hari ini olahraga, Gavin sudah bersiap akan keluar kelas mengikuti teman-temannya yang sudah keluar lebih dulu menuju lapangan. Namun langkahnya sempat terhenti saat matanya bersitubruk dengan tatapan mata Tiara yang tertuju padanya.Tapi Tiara lebih dulu memutus kontak mata, kemudian melengos berjalan keluar kelas."Kenapa dia?" Suara Alvaro menyadarkan Gavin dari keterdiaman.Gavin menoleh, mengedikkan bahu karena ia sendiri juga bingung. Apa mungkin Tiara marah karena ditolak kemarin? Seandainya iya, harusnya Tiara tahu kalau itu sudah jadi resiko ketika dirinya nekad menembak Gavin."Ya udah biarin, lagi PMS kali." Alvaro merangkul bahu Gavin. "Ayo."Sepanjang p