Satu kebohongan akan menjerumuskan pada kebebohangan-kebohangan selanjutnya.
-Gavin-
Reya merutuki mulutnya sendiri yang asal nyeplos. Ia menyeret kakinya, berusaha mengabaikan Gavin yang terus menuntut penjelasan.
"Jadi gue pacar nih bukan bodyguard?"
Astaga naga dragon ball!!!
Ingin sekali Reya menyumpal mulut Gavin dengan sepatunya. Reya pura-pura tidak mendengar, ia tetap meneruskan langkahnya yang tertatih sampai akhirnya tiba di depan kelas.
"Jadi gimana? Pacar atau bodyguard?"
Reya memutar bola matanya, kenapa Gavin jadi cerewet. Bukannya dia kaya Limbad ya, jarang ngomong. Terus apa-apan ini? Dari tadi ngoceh mulu!!! Reya berbalik, menghadap Gavin.
"Denger ya, Gavindra Pradipta. Manusia Es dari kutub utara, kembarannya Limbad. Lo denger baik-baik, gue tadi khilaf ngomong gitu. Jadi sebaiknya lo lupain aja," ucap Reya panjang kali lebar, berharap Gavin akan mengerti.
Gavin manggut-manggut, mengurut dagunya sambil berpikir. "Oh, jadi yang tadi boongan. Jadi gue cuma dijadiin pacar boongan?"
Reya mengembuskan napas kasar, ia jadi gondok sendiri. Sebenarnya papanya nemuin Gavin di mana si?
"Terserah lo, mending lo pergi sono. Husss!" Reya mengibaskan tangannya, mengusir Gavin seperti mengusir ayam saja.
"Lo gak mau kasih gue kiss gitu?" Sontak saja Reya melotot siap melahap Gavin hidup-hidup, tapi Gavin malah lebih dulu membekap mulut Reya. "Mantan lo masih ngeliatin di ujung sana," bisik Gavin.
Reya megap-megap ketika Gavin melepaskan bekapannya, mengatur napas sebelum bertanya, "Serius?" Reya sudah akan melihat ke belakang Gavin, tapi dengan cepat Gavin menahannya.
Reya terkesiap, ia mendongak. Matanya bertemu dengan mata Gavin yang berwarna kecoklatan, mirip kaya bule ... bulepotan.
"Jadi gimana? Lo mau kasih gue kiss boongan?"
"Yaa, jangan sampai buwung lo gue tendang pake jurus taijutsu!" ancam Reya penuh penekanan.
Gavin mendengus geli, menundukkan kepalanya. "Yakin? Yaudah. Tapi jangan salahin gue kalau mantan lo pikir kita cuma boongan, walaupun kenyataanya emang iya."
Reya terdiam, otaknya dipaksa berpikir keras. Sementara dedemit dalam hatinya terus merongrong mengompor-ngompori, saling menghasut.
"Gak papa Reya, itung-itung buat balas dendam ke Gilang. Emangnya cuma dia yang bisa mesra-mesraan di depan umum," kata si cabe setan yang berwarna merah menyala.
"Jangan Reya, dosa. Ingat ciuman itu dosa, kamu bisa masuk BK nanti," sahut si cabe rawit yang polos gak pake baju.
Lagian mana ada cabe pake baju.
Bukannya kalau dosa masuk neraka ya, kok ini masuk BK? batin Reya.
Reya menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran-pikiran sesat yang berseliweran. Tapi saat melihat Gavin beranjak berbalik, entah mendapat dorongan dari mana. Tiba-tiba saja Reya menarik dasi Gavin sampai cowok itu kembali berbalik menghadapnya dan detik berikutnya sebuah kecupan mendarat di pipi Gavin.
Gavin melongo, ini tidak sesuai ekspetasinya. Tadi Gavin sengaja menggoda Reya hanya ingin membuat Reya kesal, sebagai balasan atas sikap Reya yang seenak jidat bilang kalau ia pacarnya.
Bukan hanya Gavin yang melongo, semua anak cengo. Ini kali pertama mereka melihat Reya berani mencium seorang cowok di depan umum. Lima orang cowok yang berdiri tak jauh dari sana sampai menganga menyaksikan kejadian itu.
"Si Reya kenapa jadi kaya angsa, suka nyosor begitu," gumam Michael, disambut anggukan keempat temannya yang lain.
——————
Gavin memegangi sebelah pipinya yang bekas dicium Reya, masih terasa hangat. Ia menghela napas berulang kali, merutuki kejadian yang baru saja menimpanya.
Ia baru saja dilecehkan oleh seorang Reyana Stronghold.
Gavin memejamkan mata, menepis pikiran-pikiran laknat yang mampir ke otaknya. Sepertinya ia harus jaga jarak dengan Reya, cewek itu tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Gavin mengembuskan napas kasar, berusaha melupakan kejadian tadi.
"Kenapa?" Suara seorang perempuan menginterupsi Gavin. Ia tersadar dan segera menggelengkan kepala.
"Gak papa kok Bu," jawab Gavin.
"Oh, yaudah. Ayo saya antar kamu ke kelas."
Gavin mengangguk, ia berjalan mengikuti langkah guru perempuan itu selaku wali kelasnya, namanya bu Erna. Gavin memperhatikan kanan kirinya saat ia melewati koridor kelas XII. Sekolah ini memang terkenal dengan keasriannya, buktinya saja di depan setiap kelas ada taman yang ditumbuhi bunga-bunga cantik yang terawat.
"Selamat pagi anak-anak," sapa bu Erna ketika memasuki kelas XII IPA 1.
"Pagi Bu," ucap semua anak, mata mereka seketika terfokus ke Gavin yang berjalan di belakang bu Erna.
Anak-anak perempuan mulai saling berbisik, membicarakan Gavin dari mulai ketampanannya sampai skandal ciumannya yang trending di SMA Rajawali. Apa pun yang bersangkutan dengan Reya akan mudah tersebar dengan cepat.
"Ada yang tidak masuk?" tanya bu Erna.
"Ada Bu, Alvin. Katanya izin, sakit perut," jawab seorang cowok yang duduk di bangku depan.
Gavin mengalihkan pandangannya ke cowok itu, cowok yang kemarin bertemu dengannya di rumah om Rey. Dia, Alvaro.
"Baik, anak-anak. Sebelum kita mulai pelajaran, hari ini kelas kita kedatangan murid baru, pindahan dari Bekasi." Bu Erna menoleh ke Gavin. "Gavin, silahkan perkenalkan diri kamu."
"Pagi," sapa Gavin yang langsung disambut heboh oleh anak-anak perempuan. "Perkenalkan saya Gavindra Pradipta, biasa dipanggil Gavin."
"Gavin udah punya cewek belum?" tanya seorang cewek yang duduk di bangku depan.
"Gavin bagi nomor HP dong." Yang di belakang ikut-ikutan.
"Gavin ntar lunch bareng yok di mba Marni," celetuk yang paling belakang.
"Makan cireng lo di sono," sahut cowok yang duduk di baris sebelahnya, sontak saja semua anak tertawa. Cewek itu mendelik ke cowok tadi.
"Gak papa Gavin, walaupun makan cireng. Asal berdua sama kamu, iya gak?" Cewek itu dengan berani mengedipkan sebelah matanya.
Semua anak bersorak, menyoraki cewek tadi. Kelas jadi ricuh dan bu Erna langsung menggebrak mejanya, seketika kelas itu berubah jadi hening.
"Gavin, kamu bisa duduk disebelah Alvaro," suruh bu Erna.
Gavin mengangguk, ia duduk di sebelah Alvaro. Gavin mengangguk ketika Alvaro tersenyum tipis padanya.
"Gak nyangka gue, ternyata kita sekelas," ucap Alvaro, suaranya pelan agar tidak ketahuan bu Erna. Guru itu terkadang bisa berubah jadi macan kalau dalam mode marah.
"Iya," balas Gavin.
Gavin bukanlah orang yang bisa basa-basi, jadi ia hanya menjawab singkat setiap pertanyaan yang dilontarkan Alvaro. Walau lebih tepatnya Gavin seperti tengah diinterogasi oleh Alvaro, mungkin karena Alvaro penasaran dengan Gavin yang jadi bodyguard-nya Reya.
Bel istirahat berbunyi, baru saja Gavin ingin rehat sejenak. Tiba-tiba ia dikerumuni oleh cewek-cewek di kelasnya, mereka saling berebut meminta nomor whatsapp dan menanyai sosial media Gavin. Hal yang tak pernah Gavin suka ketika orang-orang mulai mengkeponi kehidupannya.
"Etdah, minggir-minggir, pada ngalangin jalan aja. Lo juga babon, badan selebar jalan tol malah berdiri di situ," gerutu seorang cowok yang duduk di belakang Alvaro, ia mengusir cewek-cewek itu sampai bubar.
"Cewek-cewek di sini emang bar-bar," celetuk Alvaro.
Gavin menoleh, ia hanya mengangkat sudut bibirnya. Lalu cowok tadi yang mengusir gerombolan itu menepuk bahunya. "Hei bro, kenalin gue James Bown." Cowok itu mengulurkan tangannya yang langsung disambut Gavin.
"Gavin."
"Bukannya nama lo Jamet Baharudin ya," sahut Alvaro.
"Eh kang cireng, sejak kapan nama gue berubah jadi Jamet. Nama gue Jeremi," ralat cowok itu bernama Jeremi.
Alvaro mendengus, enggan menanggapi. "Ayok, kantin. Target lo pasti bikin ulah di sana."
Awalnya Gavin tidak mengerti dengan maksud ucapan Alvaro, tapi ketika tiba di kantin ia paham. Target yang di maksud itu Reya.
"Nih, lo tuker sama mangkok dia." Alvaro memberikan mangkok berisi mie kuah rasa soto, tercium dari bau soto yang begitu menyengat. "Reya punya maag, tapi dia bandel suka makan mie setan. Udah gitu masih ditambah sambel seabrek."
Gavin hanya diam, mendengarkan Alvaro yang memberitahu banyak hal tentang Reya. Sepertinya cowok itu tahu banyak hal tentang Reya, mengingat dia sepupunya Reya.
"Re, lo gak kira-kira amat nuang cabe." Michael bergidik, menatap ngeri mangkok mie Reya yang penuh dengan sambal.
"Ini tuh enak, tahu. Mantul." Reya mengangkat jempolnya.
"Bukannya lo punya maag ya?" ucap Ricky mengingatkan.
"Yaelah, lo berdua lama-lama kaya Alvaro. Berisik," gerutu Reya.
"Bener Re, lo harusnya jaga kesehatan lo," kata Candra.
"Betul, betul, betul," sahut Cakra, membenarkan ucapan kakaknya.
Reya mendengus, ia enggan menanggapi lagi. Lebih baik dirinya makan dari berdebat dengan mereka. Baru akan menyiapkan mie ke mulutnya, tiba-tiba seseorang menahan pergelanga tangannya dan meletakkan sendoknya ke mangkok. Bukan hanya itu orang itu juga menukar mangkok Reya dengan mangkok berisi mie kuah soto. Reya melongo, lalu ia mendongak ingin mencaci maki pelakukanya.
"Gavin!" Mata Reya melotot, emosinya langsung berkobar melihat wajah Gavin yang menyebalkan, ditambah ingatannya akan kejadian tadi pagi. Hasrat dalam diri Reya semakin menggebu, ia ingin sekali menerjang Gavin dan memukulinya sampai puas.
"Makan, gak perlu gue suapin pake mulut kan?" Kata-kata Gavin membuat mata Reya semakin membulat lebar, mulutnya sampai menganga.
Gavin gila, sinting, gak waras!!!!
Jangan menggangu macan yang sedang tidur, kecuali kau siap menanggung resikonya.—Reyana—Terik matahari begitu menyengat, Reya duduk di tepi lapangan. Ia hanya bisa melihat teman-temannya yang sedang bermain basket, padahal biasanya Reya yang ikut bertanding. Reya menunduk, menatap kakinya. Dua hari yang lalu Dokter Adrian baru saja melepas gipsnya, tapi tetap saja Reya belum boleh berlari."Woy, Mail. Lempar!" teriak Remi, menyuruh Michael mengoper bola basket ke arahnya.Tapi yang Michael lakukan justru melempar bola keringdan hasilnya jelas meleset. Teman-temannya mengumpati Michael, gara-gara dia tim mereka tertinggal jauh."Lo gimana si Il? Jadi kalah kan kita, harusnya tadi lo oper ke Rembo kalau gak ke gue." Candra mengomel dengan deru napas memburu, sudah setengah permainan dan poin mereka jauh tertinggal dari lawan."Ya maap, gue gak fokus. Capek," jawab Michael.
Ketika lo menyulut api ke gue, maka yang gue lakuin lempar bensin ke apinya.-Reyana Stronghold-"Gavin, hidung lo." Mata Reya melebar ketika melihat darah segar mengalir dari kedua hidung Gavin.Emosi Reya semakin menggebu-gebu, ia menatap tajam cewek di depannya. "Ini semua gara-gara lo nenek lampir!" Telunjuknya menunjuk-nunjuk cewek itu."Gue? Enak aja, lo yang nonjok. Kenapa jadi gue yang disalahin? Dasar nenek sihir!" Cewek itu menepis tangan Reya."Wah kurang ajar ngatain gue nenek sihir, berani lo?!" tantang Reya, menggulung bajunya sampai bahu."Berani sama-sama makan nasi, kecuali lo makannya sajen baru gue takut," cibir cewek di depan Reya."Fuck!"umpat Reya, tangannya sudah gemas ingin merontokkan rambut cewek itu dan baku hantam kembali terjadi.Tapi semua itu tak berlangsung lama karena suara lantang menginterupsi se
Cinta itu kaya matematika, sulit di mengerti terlalu rumit untuk dipahami.-Reyana S-Sepanjang perjalanan, Reya tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah Rika dan bu Siwi yang tampak mengenaskan. Bahkan Reya membayangkan Rika dan bu Siwi sekarang tengah mendorong motornya.Sinting!Satu hal yang muncul dalam benak Gavin dan Alvaro yang melihat tingkah Reya. Gavin tampak tak peduli, ia tetap fokus menyetir meski dalam benaknya terus bertanya-tanya apa yang salah dengan Reya? Perasaan tidak ada yang lucu, tapi kenapa Reya terus tertawa? Berbeda dengan Alvaro yang sangat penasaran."Re," panggil Alvaro."Hm." Reya mengalihkan perhatiannya ke Alvaro."Bukan ... lo kan?" tanya Alvaro ragu-ragu.Reya mengernyitkan dahinya, bingung. "Maksudnya?""Yang ngelakuin bukan lo kan?""Nglakuin apa?" Reya tak mengerti maksud pertanyaan Alvaro."Yang tadi."
Ketakutan hanya akan membuatmu mati secara perlahan, lawan rasa takutmu. Tunjukkan pada dunia, jika kamu baik-baik saja. Meski hatimu tidak sedang baik-baik saja.-Reyana S-Gavin baru saja akan mengerjakan tugas sekolahnya, ketika listrik tiba-tiba padam. Setelah itu terdengar suara jeritan dari kamar sebelah---kamar Reya.Gavin yang panik refleks beranjak berdiri, bahkan ia sampai tak memperhatikan jalannya dalam keadaan gelap."Aarrrgh!" erang Gavin, meringis kesakitan karena kakinya menabrak sudut bagian bawah ranjang."Gavin!!!" Teriakan Reya kembali terdengar.Dengan langkah pincang, Gavin berjalan ke kamar Reya. Ia mengumpat saat akan masuk, tapi pintunya di kunci dari dalam."Reya, buka!" teriak Gavin, menggedor pintu kamar Reya. Tak ada sahutan kecuali tangisan yang semakin kencang. "Reya, buka. Ini gue, Gavin."Gavin tak bisa diam saja menunggu, karena tidak ada tanda-tanda Reya akan
Manusia, hobi menghakimi tanpa mau mencari tahu kebenarannya.—Reyana S—Reya baru saja masuk ke kelasnya, ketika rambutnya tiba-tiba ditarik ke belakang."Bitch!""Aaaa ...!" pekik Reya, ia jelas terkejut. Reya menghempas tangan laknat yang menarik rambutnya, berbalik menghadap pelaku. "Lo gila ya?!" Mata Reya melotot saat tahu siapa yang berani menjambaknya.Rika!"Lo yang gila.Bitch!" sarkas Rika, emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun."Apa lo bilang?Bitch?"Reya jelas terpancing ketika dirinya disebut seperti itu, ia tak terima. Apalagi ini yang bilang Rika. "Wah, cari masalah lo?" Reya mendecih, tersenyum remeh."Lo yang cari masalah, lo kan yang nyopot ban motor gue kemarin? Ngaku lo?!" Rika dengan berani mendorong bahu Reya, sampai Reya terdorong mundur."Emang lo ada buktinya?" Reya menaikkan sebelah
Salah itu wajar, kamu hanya perlu mengakui dan minta maaf. Belajar dari kesalahan, berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.-Gavin-Reya mengurung diri di kamar, ia duduk bersandar di atas ranjang, memeluk kakinya dan meletakkan dagu di atas lutut. Sejak tadi Reya hanya diam, memandangi boneka kelinci di tangannya.Ucapan Gavin dirooftop terus terngiang di telinganya, berputar-putar memenuhi isi kepalanya, seperti kaset rusak."Salah itu wajar, lo cukup ngaku, minta maaf terus belajar buat gak ngulangin lagi."Mungkin dari kesekian juta umat manusia, hanya Gavin yang mengatakan jika salah itu wajar. Kata Gavin kesalahan itu
Terkadang kamu tidak bisa membedakan antara menikmati masa muda dan menghancurkan masa depan.—Gavin P—Reya terbangun ketika ponselnya terus berbunyi, namun ia enggan membuka matanya yang masih terpejam. Reya menggapai-gapai ponsel di atas nakas, kemudian mendekatkannya ke telinga."Halo." Suaranya terdengar serak khas bangun tidur."Gue tunggu di depan, sekarang."Sambungan telepon langsung terputus.Reya perlahan membuka mata, memicingkan matanya untuk melihat layar ponselnya yang masih menyala. Reya mengerutkan keningnya ketika nama Gavin muncul di log panggilan masuk.
Panggil nama gue tiga kali, maka gue bakal datang dalam keadaan apa pun.-Gavin-Reya berguling-guling di kasur, ia mulai bosan hanya membaca novel dan bermaingamesejak tadi. Rasanya Reya seperti dikurung di dalam penjara karena papanya mengetatkan penjagaan, ditambah kehadiran om Reno membuat Reya tak bisa berkutik.Reya merubah posisinya jadi duduk, ia tampak berpikir sejenak. Mencari ide untuk mengelabui om Reno, apa pun caranya Reya harus bisa keluar dari rumah. Ia butuh udara segar dan cuci mata, matanya sudah butek hanya melihat huruf-huruf di buku novelnya."Ahaaa." Reya menjentikkan jari ketika ide gila melintas di kepalanya.
Tak cukup kata-kata untuk menunjukkan seberapa sempurnanya kuasa takdir mempertemukan seseorang. Mereka yang berbeda, namun mampu saling melengkapi satu sama lain. Percayalah, dibalik sakitnya putus cinta ada seseorang terbaik yang Allah siapkan sebagai penggantinya.-ButiranRinso-Waktu cepat bergulir, sudah dua minggu Reya menghabiskan waktu di rumah sakit. Akibat kepalanya yang bocor dan harus dijahit sebanyak tiga kali. Harusnya waktu pembagian rapor Reya naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan dari kepala sekolah, atas pencapaiannya karena berhasil mendapat peringkat pertama di kelas.Namun karena perbuatan Selin dan Rika yang sengaja memukul kepala Reya dengan tongkatbaseball&n
Ketika kamumencitaiseseorang, tanamkan rasa cintanya dalam hati, sebutkan namanyadisetiapdoa yang kau panjatkan.-Reyana-Reya terbangun, napasnya memburu dengan keringat bercucuran di dahi. Reya seperti orang bingung, matanya bergerak liar memandang sekitar."Reya, syukurlah kamu sudah bangun." Ana hendak memeluknya, namun Reya tiba-tiba menepis. "Ada apa Re?""Gavin, mana Ma?" tanya Reya. Matanya jelalatan ke mana-mana."Gavin?""Iya, Gavin. Aku harus cari Gavin. Dia dalam
Lelah menunggu, Reya memutuskan untuk pulang. Ia berdiri di depan gerbang menunggu taksionlinepesanannya datang. Reya masih berusaha menghubungi nomor Gavin, meski hasilnya tetap sama————berakhir dengan suara mba-mba operator yang menyambut."Mba Reya?"Reya mengalihkan perhatiannya ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca depan terbuka, menampilkan seorang mas-mas yang menoleh ke arahnya."Ya?""Sesuai aplikasi Kak?" Orang itu merubah panggilannya saat melihat Reya masih menggunakan seragam abu-abunya.Reya mengangguk, menyadari taksi pesanannya ternyata. Ia sudah akan membuka pintu mobil, namun suara teriakan Remi mengurungkan niat
Bukan sekedar cinta monyet, tapi cinta suci pangeran kodok untuk putri kentang.-Gavin-Harga diri seorang laki-laki itu wanita yang paling dicintainya. Mereka siap pasang badan buat mempertahankan harga dirinya, apapun konsekuensinya."Gavin?" Reya memicingkan matanya saat melihat Gavin keluar dari gerbang, menghampiri Galang. "Mau ngapain dia?" Rasa penasaran mendorong Reya untuk melangkah keluar, namun tepukan di pundak mengejutkan Reya. Refleks ia memutar tubuhnya ke belakang."Papa!" Mata Reya melotot melihat papanya berdiri di belakang. "Papa ngapain?""Harusnya papa yang tanya, kamu ngapain di sini? Sudah malam kenapa masih ke
Reya menghela napas untuk yang kesekian kali, menatap miris wajah Ricky yang penuh lebam. Sudut bibirnya juga robek, belum lagi pelipisnya yang berdarah.Reya begitu telaten mengobati wajah Ricky, memberikan obat merah dan salep lalu menempelkan plaster di pelipis Ricky. Keduanya membisu beberapa saat, hingga akhirnya suara Ricky memecah keheningan di dalam UKS."Maaf."Reya mengernyit, menurunkan tangannya dari wajah Ricky. Kemudian menatap Ricky dengan ekspresi datar."Maafin gue," ulang Ricky, kepalanya tertunduk tak berani menatap Reya. "Lo bener, harusnya gue gak nyalahin semuanya ke lo. Harusnya gue juga gak balas dendam ke lo yang sama-sama jadi korbannya Sam. Maaf. Gue salah. Maaf———" Ricky terkesiap ketika R
Bukannya tidak mau bertahan, hanya saja memang tidak pantas untuk dipertahankan.-Reyana-Bunga layu ketika tidak dirawat dengan benar, tapi akan mekar saat dirawat dengan benar.Sama halnya dengan sebuah hubungan, semua akan terasa indah ketika menjalaninya dengan orang yang tepat dan akan berbanding terbalik saat menjalaninya dengan orang yang salah.🌺🌺🌺🌺Sepanjang perjalanan pulang, Gavin sama sekali tak bersuara. Matanya terus menatap ke depan dan bibirnya terkunci rapat, namun deru napasnya terdengar memburu.
Karma itu nyata, cepat atau lambat akan membunuhmu secara perlahan.-Reyana-Ketika seseorang merasa dirinya di atas angin, padahal masih ada awan dan langit yang lebih tinggi darinya."Kadal arab!""Buaya buntung!""Monyet Australi!""Tikus Zimbabwe!!"Entah sudah berapa nama binatang yang Reya absen, bibirnya terus komat-kamit. Seandainya Reya tahu mantra ajian santet, pasti sudah Reya bacakan saat ini juga. Atau paling tidak doa pengusir seta
Seperti minggu biasanya, Galang dan teman-temannya pergi ke mall. Sekedar cuci mata atau nongkrong di salah satu kafe langganan.Galang yang awalnya mau ke toilet mengurungkan niatnya saat melihat siluet cewek yang cukup familiar, Cewek yang tengah diincarnya. Ia memilih berdiri di samping pintu toilet wanita, menunggu cewek tadi keluar.Bunyi notifikasi mengalihkan perhatian Galang, ia membuka pesan dari temannya yang menanyakan keberadaannya. Galang segera mengetikkan balasan, memberitahu mereka jika dirinya terpaksa harus pergi lebih dulu karena ada urusan. Setelah itu kembali memasukkan ponselnya ke saku.Cukup lama menunggu, Galang mulai bosan. Sedari tadi ia hanya berdiri sembari memainkan permen karet di mulutnya. Hingga suara langkah kaki menginterupsi, Galang menoleh, senyumny
Pelajaran pertama hari ini olahraga, Gavin sudah bersiap akan keluar kelas mengikuti teman-temannya yang sudah keluar lebih dulu menuju lapangan. Namun langkahnya sempat terhenti saat matanya bersitubruk dengan tatapan mata Tiara yang tertuju padanya.Tapi Tiara lebih dulu memutus kontak mata, kemudian melengos berjalan keluar kelas."Kenapa dia?" Suara Alvaro menyadarkan Gavin dari keterdiaman.Gavin menoleh, mengedikkan bahu karena ia sendiri juga bingung. Apa mungkin Tiara marah karena ditolak kemarin? Seandainya iya, harusnya Tiara tahu kalau itu sudah jadi resiko ketika dirinya nekad menembak Gavin."Ya udah biarin, lagi PMS kali." Alvaro merangkul bahu Gavin. "Ayo."Sepanjang p