Cinta itu kaya matematika, sulit di mengerti terlalu rumit untuk dipahami.
-Reyana S-
Sepanjang perjalanan, Reya tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah Rika dan bu Siwi yang tampak mengenaskan. Bahkan Reya membayangkan Rika dan bu Siwi sekarang tengah mendorong motornya.
Sinting!
Satu hal yang muncul dalam benak Gavin dan Alvaro yang melihat tingkah Reya. Gavin tampak tak peduli, ia tetap fokus menyetir meski dalam benaknya terus bertanya-tanya apa yang salah dengan Reya? Perasaan tidak ada yang lucu, tapi kenapa Reya terus tertawa? Berbeda dengan Alvaro yang sangat penasaran.
"Re," panggil Alvaro.
"Hm." Reya mengalihkan perhatiannya ke Alvaro.
"Bukan ... lo kan?" tanya Alvaro ragu-ragu.
Reya mengernyitkan dahinya, bingung. "Maksudnya?"
"Yang ngelakuin bukan lo kan?"
"Nglakuin apa?" Reya tak mengerti maksud pertanyaan Alvaro.
"Yang tadi."
"Tadi?" beo Reya, mengingat-ingat tadi yang dimaksud Alvaro.
Alvaro berdecak, ia jadi gregetan sendiri. "Yang nyopot ban motor bu Siwi, bukan lo kan?" tanya Alvaro tapi terdengar menuntut.
"Bukanlah," jawab Reya, jelas ia berbohong. Bisa mati kalau Alvaro tahu, nanti dia bakal ngadu ke papanya. Habis sudah Reya kalau sampai papanya tahu. Terakhir kali saja Reya harus rela kehilangan mobil balap kesayangannya gara-gara ngempesin ban mobil kepala sekolah.
Alvaro tak percay begitu saja, ia merasa ada yang janggal dengan sikap Reya. Alvaro yakin kalau memang Reya dalang dari kejadian di parkiran tadi.
"Jujur aja Re, pasti lo kan? Secara gak ada yang senekad dan segila lo, cuma lo yang berani ngelakuin hal sinting kaya gitu," tukas Alvaro.
"Lo nuduh gue?" Reya berdecak, sebal. Wajahnya berubah ketus.
"Gue gak nuduh, tapi----"
"Terserah lo aja deh, mau percaya atau gak. Gak penting juga buat gue," sergah Reya, memotong ucapan Alvaro.
Gavin hanya menonton tanpa ikut berkomentar, ia melirik Reya yang memalingkan wajahnya ke samping mobil. Sebenarnya Gavin juga curiga kalau pelakunya itu Reya, apalagi tadi ia memergoki Reya dari parkiran. Tapi Gavin tidak suka ikut campur, jadi ia memilih diam. Bukan urusannya juga.
Reya menggerutu, berkomat kamit merutuki Alvaro yang masih saja memberondongnya dengan berbagai pertanyaan yang mengarah pada kejadian tadi. Memang susah kalau mau mengelabui Alvaro, dia terlalu peka dan Reya kesulitan berbohong di depannya.
Reya memilih diam, enggan menggubris Alvaro. Ia memainkan ponselnya, hingga sebuah pesan masuk mengalihkan perhatian Reya. Ia membukanya, Reya langsung melotot, bibirnya terkatup.
Pesan itu berisi foto-foto dirinya yang tengah mengerjai motor Rika dan bu Siwi. Reya segera mengirimi pesan ke nomor tak dikenal itu, tak lama ia menerima balasan. Satu video ketika ia sedang mencopot ban motor bu Siwi dengan pesan bernada ancaman.
"Gimana kalau video ini sampai ke bokap lo?"
Reya menelan ludahnya kasar, wajahnya berubah pucat dan Gavin menyadari itu semua. Ia menolehkan kepalanya lalu bertanya, "Siapa?"
Reya tersentak ketika mendengar suara Gavin, ia langsung menutup layar ponselnya. "Bukan siapa-siapa," jawab Reya.
Gavin tak lagi bertanya, meski ia tahu kalau Reya tengah menyembunyikan sesuatu. Terlihat jelas dari perubahan ekspresi Reya saat menerima pesan barusan.
------
Reya berjalan menuruni tangga, wajahnya tampak kusut karena memikirkan pengirim pesan tadi. Reya takut jika video tadi sampai ke papanya. Bukan tidak mungkin jika papanya akan murka dan menarik semua fasilitasnya.
Bukan hanya fasilitas saja, Reya juga akan kehilangan kebebesannya ditambah hidupnya akan seperti di penjara. Karena sang papa akan mengurungnya, mengawasi setiap gerak gerak Reya.
Sekarang saja Reya sudah seperti tahanan wajib lapor, ke mana-mana selalu di awasi.
"Malam, kok anak papa cemberut si?" komentar Rey ketika melihat Reya yang baru datang.
Reya tak menjawab, ia menarik kurus dan duduk. Reya kembali diam, sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tak sadar jika tengah diperhatikan papanya.
"Reya," panggil papanya. Reya masih diam, tatapannya tampak kosong. "Reya." Rey mengernyitkan dahi, tak biasanya Reya akan diam seperti ini. "REYANA."
Reya tersentak ketika suara bariton papanya menyadarkan Reya dari lamunan singkat. "Iya, Pa."
Rey menghela napas pendek, menatap sendu putri semata wayangnya. "Anak papa kenapa? Ada yang mengganggu pikiran kamu?"
Reya menggeleng, memaksakan seulas senyum agar papanya tak curiga dan tidak perlu khawatir. "Gak ada kok, cuma lagi banyak PR aja. Kepala Reya pusing."
"Makanya jangan main game sama tiktok mulu, belajar sebentar lagi kan tes tengah semester," sahut Ana yang baru saja keluar dari dapur membawa mangkuk berisi sayur.
"Reya belajar kok Ma, tapi dalam mimpi," kata Reya, mengumbar senyum lebarnya.
Ana mendengus, Raya selalu saja menyanggah ucapannya. Tak pernah mau menurut, Ana sampai lelah dan bingung bagaimana caranya membuat Reya mau belajar. Disuruh les saja dia malah kabur ke warnet.
"Kalau gitu kamu bisa minta bantuan Gavin, dia pinter. Juara umum terus di sekolahnya yang lama, kamu gak keberatan kan Gavin?"
Gavin yang sedang makan sampai tersedak, ia terbatuk-batuk. Beruntung Ana sigap memberikan minum kepadanya.
"Pelan-pelan Vin." Ana mengelus punggung Gavin.
"Makasih Tante," ucap Gavin setelah menormalkan tenggerokannya.
"Gimana, mau kan?" ulang Rey masih dengan pertanyaan yang sama.
Gavin tak langsung menjawab, jujur saja Gavin keberatan. Menjaga Reya saja sudah buat ia pusing kepala, apalagi kalau ditambah harus mengajari Reya. Yang ada Gavin bisa stres dan darah tinggi.
"Papa apaan si? Reya gak mau, lagian Reya bisa belajar sendiri," tukas Reya, melirik sebal Gavin yang tengah menatap ke arahnya.
"Reya, gak boleh gitu. Bener kata papa, mending kamu belajar sama Gavin aja," sahut Ana mendukung usul suaminya.
"Gimana Vin, om harap kamu mau ajarin Reya. Tapi om gak maksa kok," ucap Rey.
Reya mendengus, percuma saja Reya protes. Berdebat sampai ia ubanan sekali pun, papanya akan tetap dengan keputusannya dan pada akhirnya ia harus belajar bersama Gavin seperti sekarang.
Gavin berulang kali menghela napas, kini ia terjebak dalam ruangan berdua dengan Reya. Cewek sinting yang membuat kepalanya serasa mau pecah. Sudah setengah jam berlalu dan Gavin hampir menyerah mengajari Reya yang terus membantah ucapannya.
Jika bukan karena tidak enak menolak permintaan papa Reya, Gavin ogah mengajari Reya. Lihat saja, cewek itu bukannya mengerjakan PR-nya malah mencoret-coret sampul buku.
Gavin mendengus, tak habis pikir dengan tingkah Reya yang seperti anak kecil. Bisa-bisanya Reya menggambar kumis pada gambar cinderela di sampul bukunya, bukan hanya itu dia juga menggambar tompel di pipi pangeran dan menghitamkan gigi cinderella dan pangeran.
Benar-benar kurang kerjaan.
"Reya," panggil Gavin.
"Hm," gumam Reya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia coret-coret.
"Lo niat ngerjain gak si?" Gavin berdecak, kesal karena waktunya terbuang sia-sia.
"Gak," jawab Reya asal-asalan. "Lagian lo bawel banget si, PR-PR gue juga. Besok gue bisa nyontek punya Ichi, ngapain gue susah-susah mikir." Reya memekik karena Gavin tiba-tiba menyentil jidatnya. "Lo ...?" Reya mendelik, menatap sebal Gavin.
"Pantes aja lo bego, PR aja nyontek," komentar Gavin.
"Apa lo bilang, gue bego?" Emosi Reya seketika naik ke ubun-ubun, seandainya ada palu Thor di dekatnya mungkin Reya sudah memukulkannya ke kepala Gavin.
"Bego. Lo tahu? Cewek bego gampang dimanfaatin cowok, kaya lo. Sampe diselingkuhin berkali-kali." Gavin tersenyum miring, seolah mengejek Reya.
Reya mengepalkan tangannya, melayangkan pukulannya ke Gavin. Tapi dengan cepat Gavin menangkap kepalan tangan Reya. "Kenapa? Marah? Emang bener kan? Buktinya lo ngerjain soal beginian aja musti nyontek. Gue kasih tahu ya, cowok itu sukanya sama cewek pinter bukan yang o2n kaya lo."
Reya menelan kedongkolannya, memang benar yang dikatakan Gavin. Cowok memang lebih suka cewek pintar, buktinya hampir semua cowok di sekolahnya menyukai Agnes anak kelas XII yang selalu jadi juara umum, saingannya Alvaro.
Tapi tetap saja, Gavin tak seharusnya berkata seperti itu. Menyebalkan! Memangnya dia pikir, dia ganteng apa? Wajahnya aja kaya remahan goreng, sok-sokan ngatain dirinya bego.
"Nyebelin lo!" Reya menarik tangannya dengan kasar.
"Buruan kerjain makannya."
Reya mendengus, tapi ia menurut kembali membuka buku PR-nya. Kepala Reya langsung pusing saat melihat angka-angka di buku, otaknya berteriak karena terlalu lelah berpikir.
Reya benci matematika, terlalu rumit di mengerti dan sulit dipahami. Apalagi ketika harus menghapal rumus yang banyak, sementara kapasitas otaknya tidak memadai.
"Ini salah," ucap Gavin menunjuk jawaban Reya nomor sepuluh.
"Bodo, kepala gue pusing. Dari tadi salah mulu yang bener gimana?" gerutu Reya.
Reya benar-benar frustasi dengan soal matematika yang diberikan si botak. Soal yang sangat sulit dicerna oleh otaknya yang kecil. Maklum otak Reya pentium III.
"Caranya gini." Reya terkesiap ketika tangannya ditarik Gavin. "Negatif ketemu negatif hasilnya positif, kalau negatif ketemu positif hasilnya negatif. Jadi yang ini hasilnya negatif."
Reya tak mendengarkan penjelasan Gavin, ia justru memandangi wajah Gavin yang berada di dekatnya. Entah kenapa dia tampak mempesona.
Ganteng.
"Lo dengerin gue gak si?"
Reya tersentak, ia gelagapan dan langsung menundukkan kepalanya karena kepergok Gavin. "Denger kok, yang ini ketemu ini haslinya negatif terus yang ini hasilnya positif kan?"
Dalam hati Reya merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya ia malah terpesona. Bahkan ia sempat berpikir kalau Gavin ternyata ganteng juga.
"Kebalik oon." Gavin menyentil kening Reya, membuat cewek itu memekik.
"Gavin sakit," rengeknya.
"Bodo, udah buruan kerjain lagi sampai bener."
Reya mencebikkan bibirnya, dalam hati merutuk Gavin, menyumpah serapah cowok itu. Tangan dan otaknya bekerja keras mengerjakan PR matematika yang cukup banyak.
Setelah selesai Gavin kembali ke kamarnya, sementara Reya membereskan buku-bukunya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh, Reya sudah bersiap untuk tidur ketika lampu kamarnya tiba-tiba mati. Reya yang takut gelap seketika menjerit, ditambah suara kencang dari kaca jendelanya yang pecah akibat dilempar sesuatu.
Reya panik, ia ketakutan setengah mati saat melihat sekelebatan orang melintas di balkon. Tanpa sadar Reya meneriakkan satu nama yang terlintas di pikirannya.
"Gavin!!"
Ketakutan hanya akan membuatmu mati secara perlahan, lawan rasa takutmu. Tunjukkan pada dunia, jika kamu baik-baik saja. Meski hatimu tidak sedang baik-baik saja.-Reyana S-Gavin baru saja akan mengerjakan tugas sekolahnya, ketika listrik tiba-tiba padam. Setelah itu terdengar suara jeritan dari kamar sebelah---kamar Reya.Gavin yang panik refleks beranjak berdiri, bahkan ia sampai tak memperhatikan jalannya dalam keadaan gelap."Aarrrgh!" erang Gavin, meringis kesakitan karena kakinya menabrak sudut bagian bawah ranjang."Gavin!!!" Teriakan Reya kembali terdengar.Dengan langkah pincang, Gavin berjalan ke kamar Reya. Ia mengumpat saat akan masuk, tapi pintunya di kunci dari dalam."Reya, buka!" teriak Gavin, menggedor pintu kamar Reya. Tak ada sahutan kecuali tangisan yang semakin kencang. "Reya, buka. Ini gue, Gavin."Gavin tak bisa diam saja menunggu, karena tidak ada tanda-tanda Reya akan
Manusia, hobi menghakimi tanpa mau mencari tahu kebenarannya.—Reyana S—Reya baru saja masuk ke kelasnya, ketika rambutnya tiba-tiba ditarik ke belakang."Bitch!""Aaaa ...!" pekik Reya, ia jelas terkejut. Reya menghempas tangan laknat yang menarik rambutnya, berbalik menghadap pelaku. "Lo gila ya?!" Mata Reya melotot saat tahu siapa yang berani menjambaknya.Rika!"Lo yang gila.Bitch!" sarkas Rika, emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun."Apa lo bilang?Bitch?"Reya jelas terpancing ketika dirinya disebut seperti itu, ia tak terima. Apalagi ini yang bilang Rika. "Wah, cari masalah lo?" Reya mendecih, tersenyum remeh."Lo yang cari masalah, lo kan yang nyopot ban motor gue kemarin? Ngaku lo?!" Rika dengan berani mendorong bahu Reya, sampai Reya terdorong mundur."Emang lo ada buktinya?" Reya menaikkan sebelah
Salah itu wajar, kamu hanya perlu mengakui dan minta maaf. Belajar dari kesalahan, berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.-Gavin-Reya mengurung diri di kamar, ia duduk bersandar di atas ranjang, memeluk kakinya dan meletakkan dagu di atas lutut. Sejak tadi Reya hanya diam, memandangi boneka kelinci di tangannya.Ucapan Gavin dirooftop terus terngiang di telinganya, berputar-putar memenuhi isi kepalanya, seperti kaset rusak."Salah itu wajar, lo cukup ngaku, minta maaf terus belajar buat gak ngulangin lagi."Mungkin dari kesekian juta umat manusia, hanya Gavin yang mengatakan jika salah itu wajar. Kata Gavin kesalahan itu
Terkadang kamu tidak bisa membedakan antara menikmati masa muda dan menghancurkan masa depan.—Gavin P—Reya terbangun ketika ponselnya terus berbunyi, namun ia enggan membuka matanya yang masih terpejam. Reya menggapai-gapai ponsel di atas nakas, kemudian mendekatkannya ke telinga."Halo." Suaranya terdengar serak khas bangun tidur."Gue tunggu di depan, sekarang."Sambungan telepon langsung terputus.Reya perlahan membuka mata, memicingkan matanya untuk melihat layar ponselnya yang masih menyala. Reya mengerutkan keningnya ketika nama Gavin muncul di log panggilan masuk.
Panggil nama gue tiga kali, maka gue bakal datang dalam keadaan apa pun.-Gavin-Reya berguling-guling di kasur, ia mulai bosan hanya membaca novel dan bermaingamesejak tadi. Rasanya Reya seperti dikurung di dalam penjara karena papanya mengetatkan penjagaan, ditambah kehadiran om Reno membuat Reya tak bisa berkutik.Reya merubah posisinya jadi duduk, ia tampak berpikir sejenak. Mencari ide untuk mengelabui om Reno, apa pun caranya Reya harus bisa keluar dari rumah. Ia butuh udara segar dan cuci mata, matanya sudah butek hanya melihat huruf-huruf di buku novelnya."Ahaaa." Reya menjentikkan jari ketika ide gila melintas di kepalanya.
Penyesalan selalu datang terlambat.Mungkin bagi sebagian orang tindakan Gavin itu bodoh, ia nekad keluar saat jam pelajaran tengah berlangsung. Bukan hanya itu saja, Gavin juga mengelabui satpam sehingga dirinya bisa mengendarai mobilnya keluar dari area sekolahan. Mungkin besok Gavin akan dipanggil ke ruang BK akibat hal ini.Sepanjang perjalanan, Gavin terus menghubungi Reya berkali-kali tapi tak ada satu pun panggilannya yang diangkat. Semuanya berakhir dengan suara operator yang semakin membuat Gavin dongkol.Perasaannya berkecamuk, takut, khawatir, cemas dan jengkel bercampur jadi satu. Teriakan Reya di telepon terus terngiang dalam pikirannya, berputar-putar seperti kaset rusak.Gavin mengendarai mobilnya
Cinta diawali dari getaran yang merambat melalui aliran darah, memberikan efek kejut dan berdesir secara tiba-tiba. Mengantarkan senyawa bergejolak ke dalam rongga hati mengakibatkan gemuruh serta pemicu jantung berdetak melebihi batas normal.-Teori absurd Reya-"Apakah ion Na+ isoelektron dengan F-? Jika iya, mengapa? Jika tidak, mengapa?" Reya membaca soal kimia yang tengah ia kerjakan. "Lah, mana gue tahu Bambang. Lagian ngasih soal ribet banget sih, kenapa gak pake pilihan abcd aja biar gue bisa menyilang indah. Kalau gini, mana bisa mengarang indah. Arrrghh!" komentar Reya, saking kesalnya sejak tadi tak ada satu pun soal yang bisa ia kerjakan.Reya menjedotkan kepalanya ke buku berulang kali, frustasi. Selama ini Reya memang tidak pernah belajar
"Gavin!"Reya mengerjapkan matanya, tak menyangka akan kehadiran Gavin. Cowok itu hanya menunduk sekilas sebelum kembali menatap tajam Rika yang hampir saja menampar Reya."Jangan pernah sentuh cewek gue!" Gavin menghempas tangan Rika sampai cewek itu terdorong mundur. "Gue peringatan lo, sekali lagi lo berani nyentuh Reya. Gue pastiin lo nyesel!" ancam Gavin, terlihat sangat meyakinkan.Terbukti dari raut wajah Rika yang terlihat ketakutan, bahkan ia langsung pergi begitu saja. Reya sendiri masih bengong, ia masih tak menyangka dengan apa yang baru saja disaksikannya."Jangan sentuh cewek gue!"Kata-kata Gavin terus terngiang di telinga Reya, seperti alunan melodi yang memb
Tak cukup kata-kata untuk menunjukkan seberapa sempurnanya kuasa takdir mempertemukan seseorang. Mereka yang berbeda, namun mampu saling melengkapi satu sama lain. Percayalah, dibalik sakitnya putus cinta ada seseorang terbaik yang Allah siapkan sebagai penggantinya.-ButiranRinso-Waktu cepat bergulir, sudah dua minggu Reya menghabiskan waktu di rumah sakit. Akibat kepalanya yang bocor dan harus dijahit sebanyak tiga kali. Harusnya waktu pembagian rapor Reya naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan dari kepala sekolah, atas pencapaiannya karena berhasil mendapat peringkat pertama di kelas.Namun karena perbuatan Selin dan Rika yang sengaja memukul kepala Reya dengan tongkatbaseball&n
Ketika kamumencitaiseseorang, tanamkan rasa cintanya dalam hati, sebutkan namanyadisetiapdoa yang kau panjatkan.-Reyana-Reya terbangun, napasnya memburu dengan keringat bercucuran di dahi. Reya seperti orang bingung, matanya bergerak liar memandang sekitar."Reya, syukurlah kamu sudah bangun." Ana hendak memeluknya, namun Reya tiba-tiba menepis. "Ada apa Re?""Gavin, mana Ma?" tanya Reya. Matanya jelalatan ke mana-mana."Gavin?""Iya, Gavin. Aku harus cari Gavin. Dia dalam
Lelah menunggu, Reya memutuskan untuk pulang. Ia berdiri di depan gerbang menunggu taksionlinepesanannya datang. Reya masih berusaha menghubungi nomor Gavin, meski hasilnya tetap sama————berakhir dengan suara mba-mba operator yang menyambut."Mba Reya?"Reya mengalihkan perhatiannya ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca depan terbuka, menampilkan seorang mas-mas yang menoleh ke arahnya."Ya?""Sesuai aplikasi Kak?" Orang itu merubah panggilannya saat melihat Reya masih menggunakan seragam abu-abunya.Reya mengangguk, menyadari taksi pesanannya ternyata. Ia sudah akan membuka pintu mobil, namun suara teriakan Remi mengurungkan niat
Bukan sekedar cinta monyet, tapi cinta suci pangeran kodok untuk putri kentang.-Gavin-Harga diri seorang laki-laki itu wanita yang paling dicintainya. Mereka siap pasang badan buat mempertahankan harga dirinya, apapun konsekuensinya."Gavin?" Reya memicingkan matanya saat melihat Gavin keluar dari gerbang, menghampiri Galang. "Mau ngapain dia?" Rasa penasaran mendorong Reya untuk melangkah keluar, namun tepukan di pundak mengejutkan Reya. Refleks ia memutar tubuhnya ke belakang."Papa!" Mata Reya melotot melihat papanya berdiri di belakang. "Papa ngapain?""Harusnya papa yang tanya, kamu ngapain di sini? Sudah malam kenapa masih ke
Reya menghela napas untuk yang kesekian kali, menatap miris wajah Ricky yang penuh lebam. Sudut bibirnya juga robek, belum lagi pelipisnya yang berdarah.Reya begitu telaten mengobati wajah Ricky, memberikan obat merah dan salep lalu menempelkan plaster di pelipis Ricky. Keduanya membisu beberapa saat, hingga akhirnya suara Ricky memecah keheningan di dalam UKS."Maaf."Reya mengernyit, menurunkan tangannya dari wajah Ricky. Kemudian menatap Ricky dengan ekspresi datar."Maafin gue," ulang Ricky, kepalanya tertunduk tak berani menatap Reya. "Lo bener, harusnya gue gak nyalahin semuanya ke lo. Harusnya gue juga gak balas dendam ke lo yang sama-sama jadi korbannya Sam. Maaf. Gue salah. Maaf———" Ricky terkesiap ketika R
Bukannya tidak mau bertahan, hanya saja memang tidak pantas untuk dipertahankan.-Reyana-Bunga layu ketika tidak dirawat dengan benar, tapi akan mekar saat dirawat dengan benar.Sama halnya dengan sebuah hubungan, semua akan terasa indah ketika menjalaninya dengan orang yang tepat dan akan berbanding terbalik saat menjalaninya dengan orang yang salah.🌺🌺🌺🌺Sepanjang perjalanan pulang, Gavin sama sekali tak bersuara. Matanya terus menatap ke depan dan bibirnya terkunci rapat, namun deru napasnya terdengar memburu.
Karma itu nyata, cepat atau lambat akan membunuhmu secara perlahan.-Reyana-Ketika seseorang merasa dirinya di atas angin, padahal masih ada awan dan langit yang lebih tinggi darinya."Kadal arab!""Buaya buntung!""Monyet Australi!""Tikus Zimbabwe!!"Entah sudah berapa nama binatang yang Reya absen, bibirnya terus komat-kamit. Seandainya Reya tahu mantra ajian santet, pasti sudah Reya bacakan saat ini juga. Atau paling tidak doa pengusir seta
Seperti minggu biasanya, Galang dan teman-temannya pergi ke mall. Sekedar cuci mata atau nongkrong di salah satu kafe langganan.Galang yang awalnya mau ke toilet mengurungkan niatnya saat melihat siluet cewek yang cukup familiar, Cewek yang tengah diincarnya. Ia memilih berdiri di samping pintu toilet wanita, menunggu cewek tadi keluar.Bunyi notifikasi mengalihkan perhatian Galang, ia membuka pesan dari temannya yang menanyakan keberadaannya. Galang segera mengetikkan balasan, memberitahu mereka jika dirinya terpaksa harus pergi lebih dulu karena ada urusan. Setelah itu kembali memasukkan ponselnya ke saku.Cukup lama menunggu, Galang mulai bosan. Sedari tadi ia hanya berdiri sembari memainkan permen karet di mulutnya. Hingga suara langkah kaki menginterupsi, Galang menoleh, senyumny
Pelajaran pertama hari ini olahraga, Gavin sudah bersiap akan keluar kelas mengikuti teman-temannya yang sudah keluar lebih dulu menuju lapangan. Namun langkahnya sempat terhenti saat matanya bersitubruk dengan tatapan mata Tiara yang tertuju padanya.Tapi Tiara lebih dulu memutus kontak mata, kemudian melengos berjalan keluar kelas."Kenapa dia?" Suara Alvaro menyadarkan Gavin dari keterdiaman.Gavin menoleh, mengedikkan bahu karena ia sendiri juga bingung. Apa mungkin Tiara marah karena ditolak kemarin? Seandainya iya, harusnya Tiara tahu kalau itu sudah jadi resiko ketika dirinya nekad menembak Gavin."Ya udah biarin, lagi PMS kali." Alvaro merangkul bahu Gavin. "Ayo."Sepanjang p