Ketakutan hanya akan membuatmu mati secara perlahan, lawan rasa takutmu. Tunjukkan pada dunia, jika kamu baik-baik saja. Meski hatimu tidak sedang baik-baik saja.
-Reyana S-
Gavin baru saja akan mengerjakan tugas sekolahnya, ketika listrik tiba-tiba padam. Setelah itu terdengar suara jeritan dari kamar sebelah---kamar Reya.
Gavin yang panik refleks beranjak berdiri, bahkan ia sampai tak memperhatikan jalannya dalam keadaan gelap.
"Aarrrgh!" erang Gavin, meringis kesakitan karena kakinya menabrak sudut bagian bawah ranjang.
"Gavin!!!" Teriakan Reya kembali terdengar.
Dengan langkah pincang, Gavin berjalan ke kamar Reya. Ia mengumpat saat akan masuk, tapi pintunya di kunci dari dalam.
"Reya, buka!" teriak Gavin, menggedor pintu kamar Reya. Tak ada sahutan kecuali tangisan yang semakin kencang. "Reya, buka. Ini gue, Gavin."
Gavin tak bisa diam saja menunggu, karena tidak ada tanda-tanda Reya akan membukakan pintu. Maka terpaksa Gavin mendobrak pintu kamar Reya, padahal kakinya masih terasa ngilu.
"Reya!" pekik Gavin. Meski keadaan gelap, ia bisa melihat Reya meringkuk di bawah. Tubuh Reya terkena pantulan cahaya dari luar, lalu Gavin melihat ke jendela yang terbuka lebar.
"Gavin," lirih Reya, mengangkat wajahnya saat mendengar suara Gavin memanggilnya.
"Lo gak papa?" tanya Gavin, memegang kedua bahu Reya yang bergetar.
Tanpa Gavin duga, Reya justru langsung memeluknya. Dia kembali menangis, semakin lantang. Pelukannya pun semakin erat. Gavin hanya diam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ditambah degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang, membuatnya bingung dengan reaksi tubuhnya sendiri.
"Reya!"
Gavin tersentak ketika suara Ana terdengar, ia refleks melepas pelukan Reya. Gavin menoleh ke belakang, sorotan cahaya dari senter menyilaukan mata.
"Reya, kamu gak papa?" tanya Ana, ia terlihat sangat khawatir. Ana tahu jika putrinya takut gelap, sama seperti dirinya yang phobia gelap.
"Mama, takut," cicit Reya.
"Tenang, ada mama di sini. Kamu aman." Ana mengusap kepala Reya yang berada dalam dekapannya, berusaha menenangkan Reya yang masih ketakutan.
Tak lama listrik kembali menyala, bertepatan dengan Rey yang masuk ke kamar Reya. "Apa semuanya baik-baik saja?" tanyanya.
Gavin mengangguk, begitu pun Ana. Tapi tidak dengan Reya yang langsung berteriak sambil menunjuk ke arah jendela.
"Di sana, ada voldemort Pa!"
Gavin nyaris saja tertawa, ia tak habis pikir dengan apa yang diucapkan Reya. Voldemort? Ayolah, itu hanya ada di film Harry Potter. Mana mungkin ada di dunia nyata, mustahil.
Apa Reya tadi sedang bermimpi?
Tapi melihat kaca jendela yang pecah, itu jelas bukan mimpi. Tapi juga bukan Vodelmort pelakunya.
"Vodelmort?" beo Rey. Wajahnya jelas nampak kebingungan. Semua orang yang mendengar pun akan bingung dan heran.
Reya mengangguk, ia kembali menunjuk ke jendela. "Di sana, dia berjalan di sana. Jubah hitamnya menyapu lantai, tudungnya tampak menyeramkan dengan wajah yang gelap," terang Reya, mendeskripsikan sosok yang dilihatnya tadi.
Rey berjalan ke dekat jendela, pecahan kaca berserakan di lantai. Rey berjongkok, ketika netranya melihat gumpalan kertas. Ia membukanya, ternyata di dalamnya ada batu. Rey menatap keluar balkon, ia yakin seseorang dengan sengaja melempar batu ini.
Tapi siapa?
Rey melebarkan kertas kusut yang membalut batu tadi, betapa terkejutnya ia saat melihat tulisan berwarna merah di kertas.
"Kamu selanjutnya!!!"
Rey mengeraskan rahangnya, mengepalkan tangan, meremas kertas itu sampai tak berbentuk. Kali ini Rey tidak bisa tinggal diam, ia melirik Reya yang masih ketakutan memeluk Ana.
Berengsek!
Rey berjanji akan menghancurkan orang yang berani mengusik keluarganya. Ingatkan Rey untuk mencincang tubuhnya dan memasukkannya ke dalam indomie.
--------
Reya terbangun, usapan lembut di kepala mengusiknya. Reya perlahan membuka mata, hal pertama yang ia lihat sosok tampan yang sedang tersenyum padanya.
"Papa," gumam Reya.
"Selamat pagi," sapa Rey yang duduk di tepi ranjang.
Reya menggeliat, mengedarkan pandangan pada sekelilingnya. Ini bukan kamarnya, tapi kamar orangtuanya. Apa semalam ia tidur di sini? Reya menolehkan kepala ke samping, menatap papanya dengan bingung.
"Kamu udah mendingan? Kalau belum, gak usah sekolah. Nanti papa izinin ke wali kelas kamu," ucap Rey, mengelus rambut Reya.
"Reya gak papa kok," kata Reya, ia merubah posisinya jadi duduk menghadap papanya. "Papa semalem tidur di mana?" tanyanya.
"Di kamar tamu," jawab Rey.
Reya menghela napas pendek, wajahnya tertunduk lesu. "Maaf," gumam Reya.
"Hei, kok minta maaf si. Kan anak papa yang manis, imut, manja ini gak salah apa-apa." Rey mencubit pipi Reya saking gemasnya.
"Aww ... sakit," rengek Reya, memanyunkan bibirnya ke depan. Ia mengusap pipi yang baru saja dicubit papanya.
"Abis gemes, pipi Eaaa kaya squishy."
Reya mendengus, mendengarnya. "Reya, bukan anak kecil lagi Papa," tukasnya.
Rey menggelengkan kepala. "Tidak, kamu itu tetep anak kecil buat papa. Selamanya kamu itu putri kecil kesayangan papa." Rey menangkup pipi Reya, sampai bibir Reya monyong ke depan----seperti mulut ikan koi.
"Isssh, sakit." Reya menarik tangan papanya dari pipi. Ia memberengut kesal, memegangi pipinya yang panas akibat ulah sang papa yang geregetan padanya. "Papa ngeselin!"
Rey terkekeh, senang melihat wajah Reya saat cemberut. Terlihat imut seperti Ana dulu. Rey beranjak berdiri, lalu mengacak-ngacak rambut Reya.
"Mandi gih, kamu bau asem."
"Papa!" hardik Reya, papanya benar-benar memancing emosi Reya.
Rey tertawa terbahak-bahak, puas membuat Reya jengkel sampai meledak-ledak. Ia segera kabur sebelum bantal itu melayang ke arahnya. Anak gadisnya memang bar-bar.
"Dasar Papa gak ada ahlak!" gerutu Reya, ia mengatur napasnya, mengontrol emosi yang siap membeludak gara-gara kelakuan papanya.
"Mandi, pake sabun. Jangan mandi bebek." Tiba-tiba papanya menyembulkan kepala di pintu, hal itu kembali menyulut kekesalan Reya. Dengan gerakan cepat Reya melemparkan bantal ke arah papanya.
"Wlek, gak kena." Papanya menjulurkan lidah dan segera kabur saat mata Reya melotot hampir keluar.
"Papa ngeselin!!!"
Teriakan Reya terdengar lantang sampai bawah, Rey cekikikan, tak kuasa menahan tawa. Sudah lama Rey tak menggoda Reya seperti itu, selama ini ia terlalu sibuk dengan pekerjaan. Bahkan ia merasa waktu begitu cepat berlalu, kini putrinya sudah beranjak dewasa. Reya tak lagi sama seperti Eaaa waktu berusia lima tahun, yang akan menangis ketika Rey iseng menjahilinya. Sementara sekarang, Reya dewasa sudah bisa membalas saat ia iseng menggodanya.
"Papa tuh seneng banget bikin Reya teriak-teriak kaya Tarzan," komentar Ana yang sedang menyiapkan sarapan.
"Gak papa, gemes aja kalo bikin Reya kesel. Reaksinya sama kaya kamu dulu, imut." Rey mencubit pipi Ana.
Ana mendengus geli. Walau sudah bersama selama belasan tahun, nyatanya Rey masih saja seperti Rey yang dulu. Hobi ceplas-ceplos.
"Papa, malu sama Gavin."
Rey terkekeh, ia baru menyadari kehadiran Gavin di meja makan. "Eh, ada Gavin. Gimana, masih kuat ngadepin Reya?"
Gak! teriak Gavin dalam hati, tapi tentu saja ia tak akan merealisasikannya. "Masih, Om. Stok sabar Gavin masih banyak kok," jawab Gavin, mengulas senyum tipis.
"Bagus, sepertinya tugas kamu kedepannya akan semakin berat," ujar Rey, matanya kini beralih pada ipad di tangan. Ia mengecek beberapa email yang masuk.
"Maksud Om?" Gavin tak paham dengan perkataan Rey. Semakin berat? Apa itu artinya, beban Gavin akan bertambah dan kemungkinan ia gila akan semakin cepat terjadi?
"Kamu sudah lihat kejadian semalam kan?" Gavin mengangguk, tapi ia masih belum paham. Apa hubungannya dengan tugasnya menjaga Reya. "Orang-orang itu sudah berani terang-terangan mencelakai Reya, tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali melakukannya dan bisa saja itu terjadi di sekolah."
Gavin mengernyitkan dahi, sejujurnya ia belum sepenuhnya paham. Apa yang semalam semacam teror? Gavin pikir itu hanya kerjaan orang iseng atau perampok yang berniat membobol rumah Rey.
"Om yakin dengan kemampuan bela diri yang kamu miliki, kamu pasti bisa menjaga Reya saat di sekolah atau pun waktu Reya di luar pengawasan om," lanjut Rey.
"Baik Om," ucap Gavin, meski ia masih bingung. Tapi demi membalas budi baik Rey terhadap kedua orangtuanya, Gavin akan melakukan apa pun. Termasuk melindungi Reya dengan mengorbankan nyawanya sekali pun.
-----
Sepanjang perjalanan, Reya tampak biasa saja. Ia bersenandung mengikuti irama musik K-Pop yang tengah diputarnya. Matanya menatap keluar jendela, ia terlihat baik-baik saja seolah tak terjadi apa-apa.
Gavin takjub dengan pertahanan diri Reya, dia sama sekali tak terlihat trauma sedikit pun. Mungkin jika cewek lain yang mengalami kejadian buruk seperti semalam, mereka pasti akan mengurung diri dan tak berani keluar.
Mobil Gavin memasuki gerbang, warna merah mengkilap dari bodi mobilnya jadi pusat perhatian anak-anak. Mereka menatap takjub mobil Gavin. Jelas saja, mobil Gavin bukanlah mobil kaleng-kaleng. Mereka yang tahu akan dunia otomotif pasti paham seberapa mahal mobil itu, bahkan orang awam pun akan sepemikiran.
"Re," panggil Gavin ketika Reya akan turun.
"Apa?" Reya menoleh.
"Ponsel." Gavin mengulurkan tangannya ke depan Reya.
Reya mengerutkan keningnya, menatap uluran tangan Gavin lalu beralih ke wajah cowok itu. "Buat apaan?"
"Kepo, udah buruan mana ponsel lo?" tuntut Gavin, memaksa Reya memberikan ponselnya.
"Gak!" tukas Reya, enggan memberikan ponselnya.
Gavin berdecak, tanpa Reya duga Gavin mengambil sendiri ponsel yang berada di saku bajunya.
"Yaaaa!!!" teriak Reya, saking kagetnya. "Lo ...!" Mata Reya membulat sempurna siap menerkam Gavin.
"Ini nomor gue, kalau lo ada apa-apa lo tekan panggilan cepat 1." Gavin memberikan ponsel Reya kembali.
Reya mendengus, merebut ponselnya dengan kasar. Tanpa berkomentar ia langsung keluar, berjalan sambil menghentakkan kakinya. Terlihat jelas jika Reya sangat kesal.
Gavin mendengus geli, melihat tingkah Reya yang tampak lucu di matanya. Namun dengan cepat ia menggelengkan kepalanya, menepis pemikirannya barusan. Reya sama sekali tidak lucu, dia menyebalkan dan menyusahkan!
Gavin baru akan keluar ketika netranya tanpa sengaja melihat dompet kecil di jok samping. Gavin yakin itu milik Reya, ia mengambilnya dan segera keluar untuk mengembalikan ke Reya.
Gavin menghela napas pendek, ia heran saat melewati koridor kelas X yang ramai. Anak-anak berkerumun memenuhi jalan, ia kesusahan untuk menerobos sekumpulan anak-anak itu.
"Misi, misi." Gavin menghela napas pendek, ia akhirnya bisa terbebas dari kerumunan.
Tapi belum selesai mengatur napas, Gavin dikejutkan dengan suara pekikan bersambut teriakan anak-anak di sekitarnya. Gavin menoleh ke dalam kelas mengikuti sumber suara. Ia melotot saat melihat seorang cewek tersungkur di lantai, darah segar mengalir dari hidungnya. Kemudian Gavin beralih menatap cewek yang berdiri di depan cewek itu, ia semakin terperanjat ketika melihat tangan cewek itu berlumuran darah.
"Reya!" pekik Gavin.
Manusia, hobi menghakimi tanpa mau mencari tahu kebenarannya.—Reyana S—Reya baru saja masuk ke kelasnya, ketika rambutnya tiba-tiba ditarik ke belakang."Bitch!""Aaaa ...!" pekik Reya, ia jelas terkejut. Reya menghempas tangan laknat yang menarik rambutnya, berbalik menghadap pelaku. "Lo gila ya?!" Mata Reya melotot saat tahu siapa yang berani menjambaknya.Rika!"Lo yang gila.Bitch!" sarkas Rika, emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun."Apa lo bilang?Bitch?"Reya jelas terpancing ketika dirinya disebut seperti itu, ia tak terima. Apalagi ini yang bilang Rika. "Wah, cari masalah lo?" Reya mendecih, tersenyum remeh."Lo yang cari masalah, lo kan yang nyopot ban motor gue kemarin? Ngaku lo?!" Rika dengan berani mendorong bahu Reya, sampai Reya terdorong mundur."Emang lo ada buktinya?" Reya menaikkan sebelah
Salah itu wajar, kamu hanya perlu mengakui dan minta maaf. Belajar dari kesalahan, berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.-Gavin-Reya mengurung diri di kamar, ia duduk bersandar di atas ranjang, memeluk kakinya dan meletakkan dagu di atas lutut. Sejak tadi Reya hanya diam, memandangi boneka kelinci di tangannya.Ucapan Gavin dirooftop terus terngiang di telinganya, berputar-putar memenuhi isi kepalanya, seperti kaset rusak."Salah itu wajar, lo cukup ngaku, minta maaf terus belajar buat gak ngulangin lagi."Mungkin dari kesekian juta umat manusia, hanya Gavin yang mengatakan jika salah itu wajar. Kata Gavin kesalahan itu
Terkadang kamu tidak bisa membedakan antara menikmati masa muda dan menghancurkan masa depan.—Gavin P—Reya terbangun ketika ponselnya terus berbunyi, namun ia enggan membuka matanya yang masih terpejam. Reya menggapai-gapai ponsel di atas nakas, kemudian mendekatkannya ke telinga."Halo." Suaranya terdengar serak khas bangun tidur."Gue tunggu di depan, sekarang."Sambungan telepon langsung terputus.Reya perlahan membuka mata, memicingkan matanya untuk melihat layar ponselnya yang masih menyala. Reya mengerutkan keningnya ketika nama Gavin muncul di log panggilan masuk.
Panggil nama gue tiga kali, maka gue bakal datang dalam keadaan apa pun.-Gavin-Reya berguling-guling di kasur, ia mulai bosan hanya membaca novel dan bermaingamesejak tadi. Rasanya Reya seperti dikurung di dalam penjara karena papanya mengetatkan penjagaan, ditambah kehadiran om Reno membuat Reya tak bisa berkutik.Reya merubah posisinya jadi duduk, ia tampak berpikir sejenak. Mencari ide untuk mengelabui om Reno, apa pun caranya Reya harus bisa keluar dari rumah. Ia butuh udara segar dan cuci mata, matanya sudah butek hanya melihat huruf-huruf di buku novelnya."Ahaaa." Reya menjentikkan jari ketika ide gila melintas di kepalanya.
Penyesalan selalu datang terlambat.Mungkin bagi sebagian orang tindakan Gavin itu bodoh, ia nekad keluar saat jam pelajaran tengah berlangsung. Bukan hanya itu saja, Gavin juga mengelabui satpam sehingga dirinya bisa mengendarai mobilnya keluar dari area sekolahan. Mungkin besok Gavin akan dipanggil ke ruang BK akibat hal ini.Sepanjang perjalanan, Gavin terus menghubungi Reya berkali-kali tapi tak ada satu pun panggilannya yang diangkat. Semuanya berakhir dengan suara operator yang semakin membuat Gavin dongkol.Perasaannya berkecamuk, takut, khawatir, cemas dan jengkel bercampur jadi satu. Teriakan Reya di telepon terus terngiang dalam pikirannya, berputar-putar seperti kaset rusak.Gavin mengendarai mobilnya
Cinta diawali dari getaran yang merambat melalui aliran darah, memberikan efek kejut dan berdesir secara tiba-tiba. Mengantarkan senyawa bergejolak ke dalam rongga hati mengakibatkan gemuruh serta pemicu jantung berdetak melebihi batas normal.-Teori absurd Reya-"Apakah ion Na+ isoelektron dengan F-? Jika iya, mengapa? Jika tidak, mengapa?" Reya membaca soal kimia yang tengah ia kerjakan. "Lah, mana gue tahu Bambang. Lagian ngasih soal ribet banget sih, kenapa gak pake pilihan abcd aja biar gue bisa menyilang indah. Kalau gini, mana bisa mengarang indah. Arrrghh!" komentar Reya, saking kesalnya sejak tadi tak ada satu pun soal yang bisa ia kerjakan.Reya menjedotkan kepalanya ke buku berulang kali, frustasi. Selama ini Reya memang tidak pernah belajar
"Gavin!"Reya mengerjapkan matanya, tak menyangka akan kehadiran Gavin. Cowok itu hanya menunduk sekilas sebelum kembali menatap tajam Rika yang hampir saja menampar Reya."Jangan pernah sentuh cewek gue!" Gavin menghempas tangan Rika sampai cewek itu terdorong mundur. "Gue peringatan lo, sekali lagi lo berani nyentuh Reya. Gue pastiin lo nyesel!" ancam Gavin, terlihat sangat meyakinkan.Terbukti dari raut wajah Rika yang terlihat ketakutan, bahkan ia langsung pergi begitu saja. Reya sendiri masih bengong, ia masih tak menyangka dengan apa yang baru saja disaksikannya."Jangan sentuh cewek gue!"Kata-kata Gavin terus terngiang di telinga Reya, seperti alunan melodi yang memb
"Lo ...!"Mata Reya membulat sempurna, terkejut melihat Gavin. Tangan kokok Gavin berhasil menangkap tubuhnya yang nyaris terjatuh."Ceroboh banget si lo." Ucapan Gavin menyulut kekesalan Reya."Turunin gue!" ucap Reya, namun Gavin tak melepaskannya. "Lo budeg? Gue bilang turunin gu ... aaa!!" Reya memekik, pantatnya terhempas ke atas lantai. "Lo ...!" Reya mendongak, menatap tajam Gavin. Emosinya sudah memuncak ke ubun-ubun.Gavin ngeselin!"Apa?" Gavin menaikkan sebelah alisnya. "Kan lo sendiri yang minta gue turunin."Reya mendengus, melirik tajam Gavin yang sama sekali tak merasa bersalah. Reya segera bangkit, menepuk-nepuk rokn
Tak cukup kata-kata untuk menunjukkan seberapa sempurnanya kuasa takdir mempertemukan seseorang. Mereka yang berbeda, namun mampu saling melengkapi satu sama lain. Percayalah, dibalik sakitnya putus cinta ada seseorang terbaik yang Allah siapkan sebagai penggantinya.-ButiranRinso-Waktu cepat bergulir, sudah dua minggu Reya menghabiskan waktu di rumah sakit. Akibat kepalanya yang bocor dan harus dijahit sebanyak tiga kali. Harusnya waktu pembagian rapor Reya naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan dari kepala sekolah, atas pencapaiannya karena berhasil mendapat peringkat pertama di kelas.Namun karena perbuatan Selin dan Rika yang sengaja memukul kepala Reya dengan tongkatbaseball&n
Ketika kamumencitaiseseorang, tanamkan rasa cintanya dalam hati, sebutkan namanyadisetiapdoa yang kau panjatkan.-Reyana-Reya terbangun, napasnya memburu dengan keringat bercucuran di dahi. Reya seperti orang bingung, matanya bergerak liar memandang sekitar."Reya, syukurlah kamu sudah bangun." Ana hendak memeluknya, namun Reya tiba-tiba menepis. "Ada apa Re?""Gavin, mana Ma?" tanya Reya. Matanya jelalatan ke mana-mana."Gavin?""Iya, Gavin. Aku harus cari Gavin. Dia dalam
Lelah menunggu, Reya memutuskan untuk pulang. Ia berdiri di depan gerbang menunggu taksionlinepesanannya datang. Reya masih berusaha menghubungi nomor Gavin, meski hasilnya tetap sama————berakhir dengan suara mba-mba operator yang menyambut."Mba Reya?"Reya mengalihkan perhatiannya ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca depan terbuka, menampilkan seorang mas-mas yang menoleh ke arahnya."Ya?""Sesuai aplikasi Kak?" Orang itu merubah panggilannya saat melihat Reya masih menggunakan seragam abu-abunya.Reya mengangguk, menyadari taksi pesanannya ternyata. Ia sudah akan membuka pintu mobil, namun suara teriakan Remi mengurungkan niat
Bukan sekedar cinta monyet, tapi cinta suci pangeran kodok untuk putri kentang.-Gavin-Harga diri seorang laki-laki itu wanita yang paling dicintainya. Mereka siap pasang badan buat mempertahankan harga dirinya, apapun konsekuensinya."Gavin?" Reya memicingkan matanya saat melihat Gavin keluar dari gerbang, menghampiri Galang. "Mau ngapain dia?" Rasa penasaran mendorong Reya untuk melangkah keluar, namun tepukan di pundak mengejutkan Reya. Refleks ia memutar tubuhnya ke belakang."Papa!" Mata Reya melotot melihat papanya berdiri di belakang. "Papa ngapain?""Harusnya papa yang tanya, kamu ngapain di sini? Sudah malam kenapa masih ke
Reya menghela napas untuk yang kesekian kali, menatap miris wajah Ricky yang penuh lebam. Sudut bibirnya juga robek, belum lagi pelipisnya yang berdarah.Reya begitu telaten mengobati wajah Ricky, memberikan obat merah dan salep lalu menempelkan plaster di pelipis Ricky. Keduanya membisu beberapa saat, hingga akhirnya suara Ricky memecah keheningan di dalam UKS."Maaf."Reya mengernyit, menurunkan tangannya dari wajah Ricky. Kemudian menatap Ricky dengan ekspresi datar."Maafin gue," ulang Ricky, kepalanya tertunduk tak berani menatap Reya. "Lo bener, harusnya gue gak nyalahin semuanya ke lo. Harusnya gue juga gak balas dendam ke lo yang sama-sama jadi korbannya Sam. Maaf. Gue salah. Maaf———" Ricky terkesiap ketika R
Bukannya tidak mau bertahan, hanya saja memang tidak pantas untuk dipertahankan.-Reyana-Bunga layu ketika tidak dirawat dengan benar, tapi akan mekar saat dirawat dengan benar.Sama halnya dengan sebuah hubungan, semua akan terasa indah ketika menjalaninya dengan orang yang tepat dan akan berbanding terbalik saat menjalaninya dengan orang yang salah.🌺🌺🌺🌺Sepanjang perjalanan pulang, Gavin sama sekali tak bersuara. Matanya terus menatap ke depan dan bibirnya terkunci rapat, namun deru napasnya terdengar memburu.
Karma itu nyata, cepat atau lambat akan membunuhmu secara perlahan.-Reyana-Ketika seseorang merasa dirinya di atas angin, padahal masih ada awan dan langit yang lebih tinggi darinya."Kadal arab!""Buaya buntung!""Monyet Australi!""Tikus Zimbabwe!!"Entah sudah berapa nama binatang yang Reya absen, bibirnya terus komat-kamit. Seandainya Reya tahu mantra ajian santet, pasti sudah Reya bacakan saat ini juga. Atau paling tidak doa pengusir seta
Seperti minggu biasanya, Galang dan teman-temannya pergi ke mall. Sekedar cuci mata atau nongkrong di salah satu kafe langganan.Galang yang awalnya mau ke toilet mengurungkan niatnya saat melihat siluet cewek yang cukup familiar, Cewek yang tengah diincarnya. Ia memilih berdiri di samping pintu toilet wanita, menunggu cewek tadi keluar.Bunyi notifikasi mengalihkan perhatian Galang, ia membuka pesan dari temannya yang menanyakan keberadaannya. Galang segera mengetikkan balasan, memberitahu mereka jika dirinya terpaksa harus pergi lebih dulu karena ada urusan. Setelah itu kembali memasukkan ponselnya ke saku.Cukup lama menunggu, Galang mulai bosan. Sedari tadi ia hanya berdiri sembari memainkan permen karet di mulutnya. Hingga suara langkah kaki menginterupsi, Galang menoleh, senyumny
Pelajaran pertama hari ini olahraga, Gavin sudah bersiap akan keluar kelas mengikuti teman-temannya yang sudah keluar lebih dulu menuju lapangan. Namun langkahnya sempat terhenti saat matanya bersitubruk dengan tatapan mata Tiara yang tertuju padanya.Tapi Tiara lebih dulu memutus kontak mata, kemudian melengos berjalan keluar kelas."Kenapa dia?" Suara Alvaro menyadarkan Gavin dari keterdiaman.Gavin menoleh, mengedikkan bahu karena ia sendiri juga bingung. Apa mungkin Tiara marah karena ditolak kemarin? Seandainya iya, harusnya Tiara tahu kalau itu sudah jadi resiko ketika dirinya nekad menembak Gavin."Ya udah biarin, lagi PMS kali." Alvaro merangkul bahu Gavin. "Ayo."Sepanjang p