Dua hal yang tak bisa ditolerir dalam sebuah hubungan, perselingkuhan dan kekerasan.
-Reyana Stronghold-
Mentari sudah muncul dari persembunyiannya, teriknya masuk ke kamar melewati celah gorden yang tersingkap. Suara kicauan burung santer terdengar, bersahutan dengan suara alarm yang membahana di dalam ruangan kamar yang masih gelap gulita.
Reya mengerang, merubah posisi miring serta menutupi telinganya dengan bantal. Suara alarm yang berbunyi nyaring memekakkan telinga, mengusik Reya yang tengah tertidur pulas.
Meski telinganya telah ia tutup bantal dan bergelung di dalam selimut tebal, nyatanya suara alarm masih terdengar jelas di telinga Reya.
"Aaarrg ... berisik!!" Reya bangun, mengacak-ngacak rambut saking kesalnya. Ia melirik alarm yang masih terus berbunyi, menunjukkan pukul 06.00.
Reya meraih alarm di atas nakas, bersiap melemparkannya keluar jendela. Tapi ucapan papanya tiba-tiba terngiang di telinga.
"Sekali lagi kamu rusakin alarm dan lempar keluar jendela, papa potong uang jajan kamu."
Reya mendengus, menatap sebal alarm di tangannya. Ia kembali meletakkan alarm di atas nakas, beralih mengambil ponselnya yang terus menyala.
Reya membuka aplikasi WA, melihat siapa saja yang mengiriminya pesan. Reya mendecih melihat chat paling atas.
Mantan kemarin pagi.
Reya, balikan yuk?
"Idiiih, ngajak balikan kaya ngajak beli cireng," gerutu Reya, ia langsung menutup room chat dan beralih ke chat di bawahnya.
Grup kampret over gaje.
Rembo : woy Mail kenapa nama grupnya lo ganti!!! π‘π‘π‘π‘
Upin : wah ngadi-ngadi ni bocah, minta di santet online.
Stiker terkirimIpin : betul, betul, betul.
Mail : keren kan? Wkwkwk.
Rembo : keren bapak lo bau menyan!
Ipin : bukannya bapaknya mail bau balsem?
Upin : Bukan bego, yang bener bau minyak GPU. Gosok, pijat, urut. Crot!!
Rembo : apa si lo berdua, pagi-pagi udah bikin otak gue terkontaminasi asupan racun bebas kalori.
Mail : woy ngapa jadi ngomongin bapak gue?! π‘
Upin onyet, otak lo butuh wipol kayanya.Ichi : berisik!! Bubar-bubar!!!
Mail : kabur woy, kang hansip udah patroli. Upin, awas lo kena razia. Razia orang mesum. Wkwkwk.
Reya mendengus geli, melihat isi percakapan unfaedah teman-temannya. Ia pun ikut nimbrung.
Reya is typing ....
Ichi : pagi inces Eaaa.
Rembo : sakit perut dah gue baca pesannya si kampret.
Mail : jones dilarang modus, matinya ketimbun kardus!
Ichi : fuck π©π
Upin : Si Reya mau nulis surat wasiat kali ya, lama amat.
Ketukan di pintu menginterupsi Reya, ia menghentikan jarinya yang sedang mengetik. Matanya tertuju ke arah pintu, ketukan terus terdengar membuat Reya kesal.
"Siapa si?" gerutunya, tapi ia enggan bangun. Ketukan berubah jadi gedoran yang semakin kencang seperti debcolector menagih utang. Mau tidak mau Reya turun dari ranjang dan berjalan ke pintu. "Beri ...." Mata Reya melotot ketika membuka pintu dan mendapati Gavin berdiri di depan pintu kamarnya.
Daebak! Cogan nyasar dari mana? Anjir ganteng banget.
"Awww!!" pekik Reya, mengusap keningnya yang baru saja disentil Gavin. "Yaaa, lo!!" Reya mendelik, menatap Gavin dengan alis menukik seperti angry bird.
Gavin menghela napas pendek, mengalihkan pandangannya ke arlogi di tangan kirinya. "Gue tunggu sampe setengah tujuh, kalau lo sampe telat ...." Gavin menggantungkan ucapannya, bergerak maju ke depan Reya hingga wajahnya sejajar dengan wajah Reya.
Jelas saja Reya kaget dengan gerakan Gavin yang tiba-tiba. Matanya melotot ketika wajah Gavin berjarak sejengkal dengan wajahnya, bahkan Reya bisa mencium aroma maskulin dan merasakan embusan napas Gavin yang menerpa wajahnya beraromakan mint.
"Siap-siap terima hukuman," bisik Gavin, suaranya yang terdengar serak dan syarat akan ancaman.
Reya melongo, kakinya tiba-tiba kaku tak dapat digerakkan. Sementara Gavin tersenyum miring melihat wajah Reya yang cengo.
"Waktu lo tinggal dua puluh menit dari sekarang." Ucapan Gavin menyadarkan Reya dari lamunannya.
"Yaaaa!!! Gaviin!" teriak Reya ketika menyadari Gavin sudah berjalan meninggalkannya. "Dasar cowok tengil! Nyebelin! Gak ada ahlak!!" Reya terus memaki sampai suaranya yang lantang terdengar sampai bawah.
-------
Lima belas menit berlalu, Reya berjalan dengan memakai tongkat. Menuruni tangga secara perlahan, ketika ia sampai di meja makan suara lembut Ana langsung menyapanya.
"Pagi," sapa Ana, membantu Reya menarikkan kursi.
"Pagi," sahut Reya tak bersemangat.
"Kok anak papa mukanya kusut gitu si?" komentar Rey, ia memperhatikan wajah Reya yang tampak suram.
Gimana gak kusut kalau Reya gak sempat dandan dan cuma mandi alakadarnya. Ini semua gara-gara Gavin sialan, Reya mendengus melirik Gavin dengan tatapan sebal. Tapi yang dilirik terlihat biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi.
"Kamu gak sakit kan Re? Muka kamu pucet lo," tanya Ana yang ikut memperhatikan penampilan Reya pagi ini.
Reya hanya menggeleng, ia terlalu malas membuka mulutnya. Ana pun beranjak dari tempat duduknya, tak lama ia kembali membawa peralatan make-up nya.
"Mama ngapain?" Reya menepis tangan Ana yang tiba-tiba membalurkan bedak bayi di wajah Reya, sampai-sampai Reya bersin-bersin karenanya. "Mah, ihssh." Reya jelas kesal, hidungnya jadi gatal gara-gara mencium aroma bedak bayi.
"Diem dulu Reya, nanti cemong. Anak mama gak boleh ke sekolah dalam keadaan kucel begini, paling gak kamu pake bedak bayi sama liptint biar gak keliatan kaya zombi," kata Ana.
Reya mendengus, memutar bola matanya. "Tapi Reya udah gede Ma, lagian bedak bayi kan buat bedakin pantat."
Rey dan Gavin terbatuk-batuk secara bersamaan ketika mendengar kata-kata Reya barusan. Gavin memukul-muku dadanya, nasi yang baru saja ia telan sepertinya tersangkut. Gavin sendiri tidak habis pikir dengan Reya, mahluk macam apa sebenarnya dia? Secara terang-terangan berkata hal-hal yang terdengar ambigu dan tabu.
Emang pantat tabu ya?
Setelah selesai sarapan Reya dan Gavin bergegas berangkat sekolah. Rey menuntun Reya sampai ke depan didampingi Ana yang berjalan di sebelah Reya, sementara Gavin berjalan di depan mereka.
Reya terdiam ketika melihat mobil BMW 4 Series Convertible warna merah yang terparkir di depan rumahnya. Itu mobil impiannya, mobil yang Reya mau. Mungkinkah papanya membelikan mobil itu untuknya?
"Mobil siapa Pa?" tanya Reya. Dalam hati berharap itu mobil untuknya, bahkan Reya sampai merapalakan doa-doa.
"Mobil Gavin." Harapan Reya seketika pupus mendengar jawaban papanya, apalagi melihat Gavin sudah masuk ke mobil.
"Papa beliin Gavin mobil?" tanya Reya terdengar menuntut.
"Gak, itu punya Gavin sendiri kok. Hadiah dari almarhum papanya. Yaudah masuk gih, hati-hati." Rey mengecup kepala Reya.
Reya mengangguk tak lagi protes, ia menyalami Rey dan Ana bergantian. Ana melambaikan tangannya ketika mobil Gavin mulai melaju meninggalkan kediamannya.
Selama perjalanan, baik Reya maupun Gavin memilih diam. Tak ada satu pun dari mereka berdua yang berniat membuka suara. Reya yang tidak suka dengan keheningan jelas merasa bosan, ia pun berinisiatif menyalakan musik di radio.
"Tarik mang," teriak Reya, suaranya bersahutan dengan lagu koplo yang tengah diputar. "Bojo galak, bojo galak, bojo galak. Hokya, hokya!" Reya pun tanpa malu meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama lagu.
Gavin berulang kali mengembuskan napas kasar, telinganya sudah tak tahan lagi mendengar teriakan Reya yang cempreng kaya kaleng cat. Gavin mematikan radionya.
"Yaaah, kok dimatiin si?" Reya cemberut, ingin sekali menampol wajah Gavin yang menyebalkan.
"Udah sampe," kata Gavin.
Reya menoleh keluar jendela. "Eh, iya udah sampe." Saat Reya melepaskan sabuk pengaman, pengaitnya tiba-tiba macet dan susah dibuka. Reya berdecak, menarik-narik paksa pengaitnya. "Eh ...." Reya terkesiap ketika tangannya bersentuhan dengn tangan Gavin yang membukakan pengaitnya.
"Dasar manja."
Mata Reya seketika melebar, menatap garang Gavin. "Ngomong apa lo barusan?"
"Gak ngomong apa-apa," jawab Gavin, tampak tak peduli bahkan ia langsung keluar begitu saja.
"Dasar cowok aneh, sok cool padahal mah kaya balok es!" gerutu Reya, ia sudah akan membuka pintu tapi Gavin lebih dulu menariknya.
"Cepetan," kata Gavin.
"Yaelah, sabar Bambang. Lo gak lihat kaki gue," balas Reya. "Gak usah gue bisa sendiri." Reya menepis tangan Gavin yang hendak membantunya.
Gavin tak memaksa, membiarkan Reya berjalan sendiri dengan bantuan tongkat. Gavin berjalan di sampingnya, menyamakan langkahnya dengan langkah Reya yang pelan seperti siput.
"Wuah baru hari pertama udah jadi artis dadakan lo," celetuk Reya ketika keduanya berjalan di koridor.
Hampir seluruh siswi terpesona melihat Gavin, mereka juga tidak sungkan menunjukkan ketertarikannya. Suara-suara dari cewek-cewek yang membicarakan Gavin jelas sampai ke telinga keduanya. Tapi Gavin sendiri tidak peduli dan terkesan cuek.
"Re." Reya berhenti berjalan ketika seseorang menghadang langkahnya.
Magadir! Mau apa dia?
"Apa?" tukas Reya, memasang wajah kesal. Muak rasanya melihat muka Gilang, hasrat untuk mencabik-cabik wajahnya semakin menggebu-gebu di dalam dada.
"Gue mau ngomong," kata Gilang.
"Ngomong aja," sahut Reya, memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Tapi cuma empat mata aja."
"Lo kira acaranya Tukul Arwana, empat mata. Gak-gak, kalo mau ngomong di sini aja. Kalo gak mau mending lo minggir, ngalangin jalan gue udah kaya portal aja lo."
Gilang menarik napas, mengembuskannya secara perlahan sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berkata, "Re, balikan yuk."
What?
Balikan? Strawberry, mangga, apel. Sorry gak level.
Reya tertawa, hal itu membuat Gilang mengernyitkan dahi. Bingung dengan respon Reya. Gavin pun sama, dia menoleh, tatapannya masih datar tapi alisnya naik sebelah memandang Reya yang tertawa cekikikan seperti mba-mba pohon beringin.
"Balikan? Gak salah?" Reya mendecih. "Sorry, gak ada kamusnya gue balikan sama mantan," jawaban Reya jelas di luar ekspetasi Gilang, terlihat dari reaksinya yang tampak syok. "Oh, ya kenalin pacar baru gue. Namanya Gavin." Reya dengan percaya diri menggandeng lengan Gavin, tak peduli dengan reaksi Gavin.
Dasar cewek sinting!
Satu kebohongan akan menjerumuskan pada kebebohangan-kebohangan selanjutnya.-Gavin-Reya merutuki mulutnya sendiri yang asal nyeplos. Ia menyeret kakinya, berusaha mengabaikan Gavin yang terus menuntut penjelasan."Jadi gue pacar nih bukanbodyguard?"Astaga naga dragon ball!!!
Jangan menggangu macan yang sedang tidur, kecuali kau siap menanggung resikonya.—Reyana—Terik matahari begitu menyengat, Reya duduk di tepi lapangan. Ia hanya bisa melihat teman-temannya yang sedang bermain basket, padahal biasanya Reya yang ikut bertanding. Reya menunduk, menatap kakinya. Dua hari yang lalu Dokter Adrian baru saja melepas gipsnya, tapi tetap saja Reya belum boleh berlari."Woy, Mail. Lempar!" teriak Remi, menyuruh Michael mengoper bola basket ke arahnya.Tapi yang Michael lakukan justru melempar bola keringdan hasilnya jelas meleset. Teman-temannya mengumpati Michael, gara-gara dia tim mereka tertinggal jauh."Lo gimana si Il? Jadi kalah kan kita, harusnya tadi lo oper ke Rembo kalau gak ke gue." Candra mengomel dengan deru napas memburu, sudah setengah permainan dan poin mereka jauh tertinggal dari lawan."Ya maap, gue gak fokus. Capek," jawab Michael.
Ketika lo menyulut api ke gue, maka yang gue lakuin lempar bensin ke apinya.-Reyana Stronghold-"Gavin, hidung lo." Mata Reya melebar ketika melihat darah segar mengalir dari kedua hidung Gavin.Emosi Reya semakin menggebu-gebu, ia menatap tajam cewek di depannya. "Ini semua gara-gara lo nenek lampir!" Telunjuknya menunjuk-nunjuk cewek itu."Gue? Enak aja, lo yang nonjok. Kenapa jadi gue yang disalahin? Dasar nenek sihir!" Cewek itu menepis tangan Reya."Wah kurang ajar ngatain gue nenek sihir, berani lo?!" tantang Reya, menggulung bajunya sampai bahu."Berani sama-sama makan nasi, kecuali lo makannya sajen baru gue takut," cibir cewek di depan Reya."Fuck!"umpat Reya, tangannya sudah gemas ingin merontokkan rambut cewek itu dan baku hantam kembali terjadi.Tapi semua itu tak berlangsung lama karena suara lantang menginterupsi se
Cinta itu kaya matematika, sulit di mengerti terlalu rumit untuk dipahami.-Reyana S-Sepanjang perjalanan, Reya tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah Rika dan bu Siwi yang tampak mengenaskan. Bahkan Reya membayangkan Rika dan bu Siwi sekarang tengah mendorong motornya.Sinting!Satu hal yang muncul dalam benak Gavin dan Alvaro yang melihat tingkah Reya. Gavin tampak tak peduli, ia tetap fokus menyetir meski dalam benaknya terus bertanya-tanya apa yang salah dengan Reya? Perasaan tidak ada yang lucu, tapi kenapa Reya terus tertawa? Berbeda dengan Alvaro yang sangat penasaran."Re," panggil Alvaro."Hm." Reya mengalihkan perhatiannya ke Alvaro."Bukan ... lo kan?" tanya Alvaro ragu-ragu.Reya mengernyitkan dahinya, bingung. "Maksudnya?""Yang ngelakuin bukan lo kan?""Nglakuin apa?" Reya tak mengerti maksud pertanyaan Alvaro."Yang tadi."
Ketakutan hanya akan membuatmu mati secara perlahan, lawan rasa takutmu. Tunjukkan pada dunia, jika kamu baik-baik saja. Meski hatimu tidak sedang baik-baik saja.-Reyana S-Gavin baru saja akan mengerjakan tugas sekolahnya, ketika listrik tiba-tiba padam. Setelah itu terdengar suara jeritan dari kamar sebelah---kamar Reya.Gavin yang panik refleks beranjak berdiri, bahkan ia sampai tak memperhatikan jalannya dalam keadaan gelap."Aarrrgh!" erang Gavin, meringis kesakitan karena kakinya menabrak sudut bagian bawah ranjang."Gavin!!!" Teriakan Reya kembali terdengar.Dengan langkah pincang, Gavin berjalan ke kamar Reya. Ia mengumpat saat akan masuk, tapi pintunya di kunci dari dalam."Reya, buka!" teriak Gavin, menggedor pintu kamar Reya. Tak ada sahutan kecuali tangisan yang semakin kencang. "Reya, buka. Ini gue, Gavin."Gavin tak bisa diam saja menunggu, karena tidak ada tanda-tanda Reya akan
Manusia, hobi menghakimi tanpa mau mencari tahu kebenarannya.—Reyana S—Reya baru saja masuk ke kelasnya, ketika rambutnya tiba-tiba ditarik ke belakang."Bitch!""Aaaa ...!" pekik Reya, ia jelas terkejut. Reya menghempas tangan laknat yang menarik rambutnya, berbalik menghadap pelaku. "Lo gila ya?!" Mata Reya melotot saat tahu siapa yang berani menjambaknya.Rika!"Lo yang gila.Bitch!" sarkas Rika, emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun."Apa lo bilang?Bitch?"Reya jelas terpancing ketika dirinya disebut seperti itu, ia tak terima. Apalagi ini yang bilang Rika. "Wah, cari masalah lo?" Reya mendecih, tersenyum remeh."Lo yang cari masalah, lo kan yang nyopot ban motor gue kemarin? Ngaku lo?!" Rika dengan berani mendorong bahu Reya, sampai Reya terdorong mundur."Emang lo ada buktinya?" Reya menaikkan sebelah
Salah itu wajar, kamu hanya perlu mengakui dan minta maaf. Belajar dari kesalahan, berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.-Gavin-Reya mengurung diri di kamar, ia duduk bersandar di atas ranjang, memeluk kakinya dan meletakkan dagu di atas lutut. Sejak tadi Reya hanya diam, memandangi boneka kelinci di tangannya.Ucapan Gavin dirooftop terus terngiang di telinganya, berputar-putar memenuhi isi kepalanya, seperti kaset rusak."Salah itu wajar, lo cukup ngaku, minta maaf terus belajar buat gak ngulangin lagi."Mungkin dari kesekian juta umat manusia, hanya Gavin yang mengatakan jika salah itu wajar. Kata Gavin kesalahan itu
Terkadang kamu tidak bisa membedakan antara menikmati masa muda dan menghancurkan masa depan.—Gavin P—Reya terbangun ketika ponselnya terus berbunyi, namun ia enggan membuka matanya yang masih terpejam. Reya menggapai-gapai ponsel di atas nakas, kemudian mendekatkannya ke telinga."Halo." Suaranya terdengar serak khas bangun tidur."Gue tunggu di depan, sekarang."Sambungan telepon langsung terputus.Reya perlahan membuka mata, memicingkan matanya untuk melihat layar ponselnya yang masih menyala. Reya mengerutkan keningnya ketika nama Gavin muncul di log panggilan masuk.
Tak cukup kata-kata untuk menunjukkan seberapa sempurnanya kuasa takdir mempertemukan seseorang. Mereka yang berbeda, namun mampu saling melengkapi satu sama lain. Percayalah, dibalik sakitnya putus cinta ada seseorang terbaik yang Allah siapkan sebagai penggantinya.-ButiranRinso-Waktu cepat bergulir, sudah dua minggu Reya menghabiskan waktu di rumah sakit. Akibat kepalanya yang bocor dan harus dijahit sebanyak tiga kali. Harusnya waktu pembagian rapor Reya naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan dari kepala sekolah, atas pencapaiannya karena berhasil mendapat peringkat pertama di kelas.Namun karena perbuatan Selin dan Rika yang sengaja memukul kepala Reya dengan tongkatbaseball&n
Ketika kamumencitaiseseorang, tanamkan rasa cintanya dalam hati, sebutkan namanyadisetiapdoa yang kau panjatkan.-Reyana-Reya terbangun, napasnya memburu dengan keringat bercucuran di dahi. Reya seperti orang bingung, matanya bergerak liar memandang sekitar."Reya, syukurlah kamu sudah bangun." Ana hendak memeluknya, namun Reya tiba-tiba menepis. "Ada apa Re?""Gavin, mana Ma?" tanya Reya. Matanya jelalatan ke mana-mana."Gavin?""Iya, Gavin. Aku harus cari Gavin. Dia dalam
Lelah menunggu, Reya memutuskan untuk pulang. Ia berdiri di depan gerbang menunggu taksionlinepesanannya datang. Reya masih berusaha menghubungi nomor Gavin, meski hasilnya tetap sama————berakhir dengan suara mba-mba operator yang menyambut."Mba Reya?"Reya mengalihkan perhatiannya ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca depan terbuka, menampilkan seorang mas-mas yang menoleh ke arahnya."Ya?""Sesuai aplikasi Kak?" Orang itu merubah panggilannya saat melihat Reya masih menggunakan seragam abu-abunya.Reya mengangguk, menyadari taksi pesanannya ternyata. Ia sudah akan membuka pintu mobil, namun suara teriakan Remi mengurungkan niat
Bukan sekedar cinta monyet, tapi cinta suci pangeran kodok untuk putri kentang.-Gavin-Harga diri seorang laki-laki itu wanita yang paling dicintainya. Mereka siap pasang badan buat mempertahankan harga dirinya, apapun konsekuensinya."Gavin?" Reya memicingkan matanya saat melihat Gavin keluar dari gerbang, menghampiri Galang. "Mau ngapain dia?" Rasa penasaran mendorong Reya untuk melangkah keluar, namun tepukan di pundak mengejutkan Reya. Refleks ia memutar tubuhnya ke belakang."Papa!" Mata Reya melotot melihat papanya berdiri di belakang. "Papa ngapain?""Harusnya papa yang tanya, kamu ngapain di sini? Sudah malam kenapa masih ke
Reya menghela napas untuk yang kesekian kali, menatap miris wajah Ricky yang penuh lebam. Sudut bibirnya juga robek, belum lagi pelipisnya yang berdarah.Reya begitu telaten mengobati wajah Ricky, memberikan obat merah dan salep lalu menempelkan plaster di pelipis Ricky. Keduanya membisu beberapa saat, hingga akhirnya suara Ricky memecah keheningan di dalam UKS."Maaf."Reya mengernyit, menurunkan tangannya dari wajah Ricky. Kemudian menatap Ricky dengan ekspresi datar."Maafin gue," ulang Ricky, kepalanya tertunduk tak berani menatap Reya. "Lo bener, harusnya gue gak nyalahin semuanya ke lo. Harusnya gue juga gak balas dendam ke lo yang sama-sama jadi korbannya Sam. Maaf. Gue salah. Maaf———" Ricky terkesiap ketika R
Bukannya tidak mau bertahan, hanya saja memang tidak pantas untuk dipertahankan.-Reyana-Bunga layu ketika tidak dirawat dengan benar, tapi akan mekar saat dirawat dengan benar.Sama halnya dengan sebuah hubungan, semua akan terasa indah ketika menjalaninya dengan orang yang tepat dan akan berbanding terbalik saat menjalaninya dengan orang yang salah.πΊπΊπΊπΊSepanjang perjalanan pulang, Gavin sama sekali tak bersuara. Matanya terus menatap ke depan dan bibirnya terkunci rapat, namun deru napasnya terdengar memburu.
Karma itu nyata, cepat atau lambat akan membunuhmu secara perlahan.-Reyana-Ketika seseorang merasa dirinya di atas angin, padahal masih ada awan dan langit yang lebih tinggi darinya."Kadal arab!""Buaya buntung!""Monyet Australi!""Tikus Zimbabwe!!"Entah sudah berapa nama binatang yang Reya absen, bibirnya terus komat-kamit. Seandainya Reya tahu mantra ajian santet, pasti sudah Reya bacakan saat ini juga. Atau paling tidak doa pengusir seta
Seperti minggu biasanya, Galang dan teman-temannya pergi ke mall. Sekedar cuci mata atau nongkrong di salah satu kafe langganan.Galang yang awalnya mau ke toilet mengurungkan niatnya saat melihat siluet cewek yang cukup familiar, Cewek yang tengah diincarnya. Ia memilih berdiri di samping pintu toilet wanita, menunggu cewek tadi keluar.Bunyi notifikasi mengalihkan perhatian Galang, ia membuka pesan dari temannya yang menanyakan keberadaannya. Galang segera mengetikkan balasan, memberitahu mereka jika dirinya terpaksa harus pergi lebih dulu karena ada urusan. Setelah itu kembali memasukkan ponselnya ke saku.Cukup lama menunggu, Galang mulai bosan. Sedari tadi ia hanya berdiri sembari memainkan permen karet di mulutnya. Hingga suara langkah kaki menginterupsi, Galang menoleh, senyumny
Pelajaran pertama hari ini olahraga, Gavin sudah bersiap akan keluar kelas mengikuti teman-temannya yang sudah keluar lebih dulu menuju lapangan. Namun langkahnya sempat terhenti saat matanya bersitubruk dengan tatapan mata Tiara yang tertuju padanya.Tapi Tiara lebih dulu memutus kontak mata, kemudian melengos berjalan keluar kelas."Kenapa dia?" Suara Alvaro menyadarkan Gavin dari keterdiaman.Gavin menoleh, mengedikkan bahu karena ia sendiri juga bingung. Apa mungkin Tiara marah karena ditolak kemarin? Seandainya iya, harusnya Tiara tahu kalau itu sudah jadi resiko ketika dirinya nekad menembak Gavin."Ya udah biarin, lagi PMS kali." Alvaro merangkul bahu Gavin. "Ayo."Sepanjang p