Jangan menggangu macan yang sedang tidur, kecuali kau siap menanggung resikonya.
—Reyana—
Terik matahari begitu menyengat, Reya duduk di tepi lapangan. Ia hanya bisa melihat teman-temannya yang sedang bermain basket, padahal biasanya Reya yang ikut bertanding. Reya menunduk, menatap kakinya. Dua hari yang lalu Dokter Adrian baru saja melepas gipsnya, tapi tetap saja Reya belum boleh berlari.
"Woy, Mail. Lempar!" teriak Remi, menyuruh Michael mengoper bola basket ke arahnya.
Tapi yang Michael lakukan justru melempar bola ke ring dan hasilnya jelas meleset. Teman-temannya mengumpati Michael, gara-gara dia tim mereka tertinggal jauh.
"Lo gimana si Il? Jadi kalah kan kita, harusnya tadi lo oper ke Rembo kalau gak ke gue." Candra mengomel dengan deru napas memburu, sudah setengah permainan dan poin mereka jauh tertinggal dari lawan.
"Ya maap, gue gak fokus. Capek," jawab Michael.
"Ngeles mulu lo kaya bajay," celetuk Cakra yang juga kesal, karena Michael terus main sesuka hati dan tidak mau mengoper bola ke yang lain.
"Mending lo istirahat aja, biar si Boim yang gantiin," ucap Ricky, mungkin dia yang paling tenang diantara mereka.
"Dari tadi kek. Makasih bebeb Ichi, muaachhh." Ricky bergidik ketika Michael hendak menciumnya, ia mendorong Michael dengan cepat sebelum bibirnya nyaris menyentuh pipi.
"Najisin lo, dasar homo!" gerutu Ricky.
Michael terkekeh, ia berlari keluar lapangan sambil melambaikan tangan ke Ricky dan memberikan ciuman jarak jauh.
"Sinting tuh anak!" maki Ricky, tak tahan dengan kelakuan Michael yang terkadang menggelikan.
"Udah ayok main lagi, kita musti kejar poinnya," kata Remi, menepuk punggung Ricky. Mereka pun kembali melanjutkan permainan setelah melakukan pergantian pemain.
Michael menghampiri Reya, duduk disebelahnya. Ia mengatur napasnya yang tersenggal sembari mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah.
"Capek," keluh Michael.
"Lembek banget si lo," cibir Reya. "Kelas kita jadi kalah kan."
"Eh betina kampret, bukan gue yang lembek. Emang kelas mereka aja pada jago, lagian lo gak lihat noh ada ketua tim basket sekolah." Yang dimaksud Michael itu Alvaro, ketua tim basket sma Rajawali. "Ditambah tuh murid baru, gila jago banget mainnya. Alus," komentar Michael.
Reya mengalihkan pandangannya ke orang yang dimaksud Michael, Reya mendecih saat matanya melihat ke arah Gavin. "Dia? Yang kaya gitu lo bilang jago." Reya mencebikkan bibirnya, seolah mengejek permainan Gavin.
Ya, emang jago si. Hati kecilnya tidak bisa berbohong, apalagi saat melihat Gavin melakukan jump shoot dan bola tepat masuk ke ring. Suara teriakan anak-anak menyadarkan Reya.
Reya mendecih, merutuki dirinya sendiri. Kenapa jadi dia terpesona sama Gavin coba, menyebalkan!
"Ngomong-ngomong, lo berdua beneran pacaran?" tanya Michael yang sejak tadi memperhatikan perubahan ekspresi pada wajah Reya.
"Hah?" Reya menoleh, matanya melebar. "Gue?" Tunjuknya pada diri sendiri. "Pacaran sama dia?" Telunjuk Reya beralih mengarah ke tengah lapangan, tepatnya ke Gavin. "Mustahil!"
"Masa?" Michael menatap Reya penuh selidik. "Terus ciuman waktu itu?"
Reya terdiam, mengingat kejadian di depan kelas saat ia mencium pipi Gavin. "Oh, itu cuma pura-pura, soalnya kan ada Gilang. Jadi gue sengaja manas-manasin dia, emang cuma dia aja yang bisa cipika cipiki."
"Gilang?" beo Michael.
Reya mengangguk, memalingkan wajahnya ke Michael.
"Perasaan gak ada Gilang deh," gumam Michael, ia sangat yakin kalau waktu itu memang tidak ada Gilang di sana.
"Apa?" Mata Reya melebar, ia tidak salah dengar kan? Yang dikatakan Michael barusan, kalau waktu itu tidak ada Gilang di sana.
Michael yang sadar dengan cepat memalingkan wajahnya, ngeri melihat wajah Reya berubah jadi garang. " Duh, gue tiba-tiba haus. Kantin dulu ya, bye Reya." Michael berdiri, ia langsung lari terbirit-birit sebelum Reya mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.
"Woy, Mail bin Slamet. Jangan kabur lo!" teriak Reya, tapi Michael keburu pergi. Reya mengembuskan napas kasar. Kini matanya beralih manatap Gavin dengan nyalang, bertepatan saat Gavin juga melihat ke arah Reya. "Awas aja lo Gavindra Pradipta, gue bakal buat perhitungan sama lo!"
————————
Seperti biasa, Reya dan teman-temannya akan ke kantin saat bel istirahat berbunyi. Reya yang tiba lebih dulu langsung menduduki tempat favoritnya yang berada di tengah. Dari sini ia bisa memperhatikan seluruh penjuru kantin, tak akan ada yang lepas dari pantauan matanya.
"Upin, bakso jumbo satu porsi!" teriak Reya ketika gerombolan teman-temannya masuk ke kantin.
Candra mengacungkan jempolnya, ia dan teman-temannya mengantri memesan makanan. Enaknya punya temen cowok begini, selalu diprioritaskan dan diperlakukan layaknya princess.
"Matur thank you," ucap Reya saat Candra memberikan bakso pesanannya.
"Nih, gak pake gula," kata Ricky, meletakkan es jeruk ke depan Reya.
"Maacih, Ichi tahu aja kesukaan gue." Reya langsung menyeruput esnya.
"Giliran sama Ricky aja manis, gue jadi curiga. Jangan-jangan lo berdua ...."
"Gak!"
"Gak!"
Reya dan Ricky saling berpandangan, lalu kembali menatap Candra. "Kita gak ada apa-apa kok," kata Reya. "Lagian lo baper amat si, yaudah besok-besok gue manis ke lo. Kalau perlu gue bawa persedian gula emak gue, biar makin manis."
Candra mendengus geli. "Jayus lo."
Reya berdecak, ia tak mau menanggapi. Reya lebih memilih menghabiskan bakso yang sudah melambai-lambai minta dikunyah.
"Itu bukannya si Reya?" Beberapa gerombolan cewek yang duduk di barisan belakang menoleh ke meja Reya.
"Oh, yang katanya mantannya kak Gilang itu bukan si?"
"Kayanya iya, wah saingan lo tuh Sel." Cewek itu menyenggol temannya, yang disenggol mengangkat wajahnya melihat ke arah Reya.
Cewek bernama Selin itu mendecih, memalingkan wajahnya. "Sorry gak level, cantikan gue ke mana-mana," ucapnya dengan percaya diri. "Buktinya Gilang lebih milih gue dari pada dia."
"Iya deh yang udah balikan lagi sama Kak Gilang."
"Ciie ... cieee." Gerombolan itu begitu heboh, suaranya jelas sampai ke meja Reya karena jarak mereka yang dekat.
"Bener sih, secara si Reya kan tepos sementara Selin ... body goals," ucap temannya.
Selin tersenyum bangga. "Gilang juga bilang gitu, katanya sama yang ono gak ada rasanya. Yaiyalah, datar gitu kaya papan tripleks gimana mau ada rasanya."
Uhuk!
Reya tersedak bakso yang baru saja ia kunyah, ucapan Selin barusan menyulut emosinya. Tadi dia bilang apa? Papan tripleks? Reya menunduk, menatap baju seragamnya. Benar, memang datar dan tak berlekuk, apalagi seperti gitar spanyol, yang ada mirip sapu ijuk. Tapi tetap saja, Reya tak terima dibilang seperti itu. Memangnya dia siapa bisa body shaming seenak jidat.
"Re, mau ke mana?" tanya Ricky yang duduk di sebelahnya, ia mendongak ketika Reya tiba-tiba berdiri.
"Buang sampah," jawab Reya, matanya menatap lurus ke meja barisan paling belakang.
Mendengar kata 'buang sampah', sontak saja ke empat cowok itu saling berpandangan. Mereka tahu arti dari kata buang sampah, itu artinya Reya akan melabrak seseorang.
"Biar gue aja." Ricky sudah beranjak berdiri, tapi Reya mendorong bahunya agar duduk kembali.
"Ini urusan cewek, cowok dilarang ikut campur," tukas Reya.
Michael menoleh ke belakang, mengikuti sorot mata Reya. Ia mengerjapkan matanya berulang kali saat melihat Selin dan teman-temannya yang duduk di meja belakang. Jangan-jangan ....
Michael terperanjat saat melihat Reya sudah menghampiri meja mereka dan menyiram Selin dengan es jeruknya. Kantin yang tadinya ramai seketika hening, mereka melongo melihat tindakan Reya barusan.
"Sudah gue duga," celetuk Remi.
"Gila! Gila, gila, gila." Michael berdecak, sambil geleng-geleng kepala.
Reya menyunggingkan senyumnya, puas melihat Selin yang hampir ingin menangis karena perbuatannya yang membuat wajah Selin basah. Bukan hanya itu, baju seragamnya juga semakin menjiplak saat Reya kembali menyiramnya dengan es jeruk milik temannya yang ada di meja.
"Ini baru es jeruk, bisa lo bayangin kalau ini air keras. Mungkin muka dan aset yang lo bangga-banggain itu ancur semua." Kata-kata Reya jelas membuat Selin semakin menegang, Reya jelas sedang memperingatkannya.
"Lo apa-apaan si?" Salah satu teman Selin berdiri, tak terima dengan perlakuan Reya ke Selin.
"Apa?" Reya mengangkat dagunya, seolah menantang.
"Kalau udah mantan, move on. Gak gini bego!" Cewek itu beralih menatap Selin. "Lo gak apa-apa kan?" Selin menggeleng.
Reya mendecih, muak melihat drama mereka. "Lo siapa? Juru bicaranya? Lagian yang gak bisa move on itu siapa? Jelas-jelas temen lo yang nyenggol gue duluan, pake segala ngatain gue papan tripleks. Lo kira gue gak denger, hah?!"
"Tapi kan gak gini caranya———" Cewek itu tercekat karena Reya menyiram es teh ke wajahnya.
"Kaya gini." Reya menatap tajam cewek itu.
"Yaaaaaaa!!!" hardik cewek itu. "Kurang ajar lo!" Cewek itu mendorong Reya, jelas Reya tidak terima dan balik mendorong. Hingga keduanya saling baku hantam.
Gavin yang baru saja masuk bersama dengan Alvaro dan kedua temannya, Jeremi dan Alvin. Mereke terkejut saat melihat keributan antara Reya dan beberapa cewek, ditambah juga dengan teman-teman Reya yang berusaha melerai.
Fokus Gavin jelas ke Reya, dia langsung melangkah menghampiri Reya yang sedang saling pukul dengan salah satu cewek.
"Stop!" bentak Gavin, keduanya menoleh. Tapi hanya sebentar sebelum kembali melanjutkan baku hantam. Gavin mendengus, mengusap wajahnya dengan kasar. Reya benar-benar biang onar, apa dia tidak bisa sehari saja membuat hidupnya tenang
"Reya berhenti ...-"
Bugh!
Hening.
Reya terdiam, menatap Gavin yang menyeka hidungnya. Ia yang berniat meninju cewek di depannya justru salah sasaran dan mengenai Gavin yang berusaha memisahkannya.
"Gavin, hidung lo." Mata Reya melebar ketika darah segar itu mengalir dari kedua hidung Gavin.
Ketika lo menyulut api ke gue, maka yang gue lakuin lempar bensin ke apinya.-Reyana Stronghold-"Gavin, hidung lo." Mata Reya melebar ketika melihat darah segar mengalir dari kedua hidung Gavin.Emosi Reya semakin menggebu-gebu, ia menatap tajam cewek di depannya. "Ini semua gara-gara lo nenek lampir!" Telunjuknya menunjuk-nunjuk cewek itu."Gue? Enak aja, lo yang nonjok. Kenapa jadi gue yang disalahin? Dasar nenek sihir!" Cewek itu menepis tangan Reya."Wah kurang ajar ngatain gue nenek sihir, berani lo?!" tantang Reya, menggulung bajunya sampai bahu."Berani sama-sama makan nasi, kecuali lo makannya sajen baru gue takut," cibir cewek di depan Reya."Fuck!"umpat Reya, tangannya sudah gemas ingin merontokkan rambut cewek itu dan baku hantam kembali terjadi.Tapi semua itu tak berlangsung lama karena suara lantang menginterupsi se
Cinta itu kaya matematika, sulit di mengerti terlalu rumit untuk dipahami.-Reyana S-Sepanjang perjalanan, Reya tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah Rika dan bu Siwi yang tampak mengenaskan. Bahkan Reya membayangkan Rika dan bu Siwi sekarang tengah mendorong motornya.Sinting!Satu hal yang muncul dalam benak Gavin dan Alvaro yang melihat tingkah Reya. Gavin tampak tak peduli, ia tetap fokus menyetir meski dalam benaknya terus bertanya-tanya apa yang salah dengan Reya? Perasaan tidak ada yang lucu, tapi kenapa Reya terus tertawa? Berbeda dengan Alvaro yang sangat penasaran."Re," panggil Alvaro."Hm." Reya mengalihkan perhatiannya ke Alvaro."Bukan ... lo kan?" tanya Alvaro ragu-ragu.Reya mengernyitkan dahinya, bingung. "Maksudnya?""Yang ngelakuin bukan lo kan?""Nglakuin apa?" Reya tak mengerti maksud pertanyaan Alvaro."Yang tadi."
Ketakutan hanya akan membuatmu mati secara perlahan, lawan rasa takutmu. Tunjukkan pada dunia, jika kamu baik-baik saja. Meski hatimu tidak sedang baik-baik saja.-Reyana S-Gavin baru saja akan mengerjakan tugas sekolahnya, ketika listrik tiba-tiba padam. Setelah itu terdengar suara jeritan dari kamar sebelah---kamar Reya.Gavin yang panik refleks beranjak berdiri, bahkan ia sampai tak memperhatikan jalannya dalam keadaan gelap."Aarrrgh!" erang Gavin, meringis kesakitan karena kakinya menabrak sudut bagian bawah ranjang."Gavin!!!" Teriakan Reya kembali terdengar.Dengan langkah pincang, Gavin berjalan ke kamar Reya. Ia mengumpat saat akan masuk, tapi pintunya di kunci dari dalam."Reya, buka!" teriak Gavin, menggedor pintu kamar Reya. Tak ada sahutan kecuali tangisan yang semakin kencang. "Reya, buka. Ini gue, Gavin."Gavin tak bisa diam saja menunggu, karena tidak ada tanda-tanda Reya akan
Manusia, hobi menghakimi tanpa mau mencari tahu kebenarannya.—Reyana S—Reya baru saja masuk ke kelasnya, ketika rambutnya tiba-tiba ditarik ke belakang."Bitch!""Aaaa ...!" pekik Reya, ia jelas terkejut. Reya menghempas tangan laknat yang menarik rambutnya, berbalik menghadap pelaku. "Lo gila ya?!" Mata Reya melotot saat tahu siapa yang berani menjambaknya.Rika!"Lo yang gila.Bitch!" sarkas Rika, emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun."Apa lo bilang?Bitch?"Reya jelas terpancing ketika dirinya disebut seperti itu, ia tak terima. Apalagi ini yang bilang Rika. "Wah, cari masalah lo?" Reya mendecih, tersenyum remeh."Lo yang cari masalah, lo kan yang nyopot ban motor gue kemarin? Ngaku lo?!" Rika dengan berani mendorong bahu Reya, sampai Reya terdorong mundur."Emang lo ada buktinya?" Reya menaikkan sebelah
Salah itu wajar, kamu hanya perlu mengakui dan minta maaf. Belajar dari kesalahan, berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.-Gavin-Reya mengurung diri di kamar, ia duduk bersandar di atas ranjang, memeluk kakinya dan meletakkan dagu di atas lutut. Sejak tadi Reya hanya diam, memandangi boneka kelinci di tangannya.Ucapan Gavin dirooftop terus terngiang di telinganya, berputar-putar memenuhi isi kepalanya, seperti kaset rusak."Salah itu wajar, lo cukup ngaku, minta maaf terus belajar buat gak ngulangin lagi."Mungkin dari kesekian juta umat manusia, hanya Gavin yang mengatakan jika salah itu wajar. Kata Gavin kesalahan itu
Terkadang kamu tidak bisa membedakan antara menikmati masa muda dan menghancurkan masa depan.—Gavin P—Reya terbangun ketika ponselnya terus berbunyi, namun ia enggan membuka matanya yang masih terpejam. Reya menggapai-gapai ponsel di atas nakas, kemudian mendekatkannya ke telinga."Halo." Suaranya terdengar serak khas bangun tidur."Gue tunggu di depan, sekarang."Sambungan telepon langsung terputus.Reya perlahan membuka mata, memicingkan matanya untuk melihat layar ponselnya yang masih menyala. Reya mengerutkan keningnya ketika nama Gavin muncul di log panggilan masuk.
Panggil nama gue tiga kali, maka gue bakal datang dalam keadaan apa pun.-Gavin-Reya berguling-guling di kasur, ia mulai bosan hanya membaca novel dan bermaingamesejak tadi. Rasanya Reya seperti dikurung di dalam penjara karena papanya mengetatkan penjagaan, ditambah kehadiran om Reno membuat Reya tak bisa berkutik.Reya merubah posisinya jadi duduk, ia tampak berpikir sejenak. Mencari ide untuk mengelabui om Reno, apa pun caranya Reya harus bisa keluar dari rumah. Ia butuh udara segar dan cuci mata, matanya sudah butek hanya melihat huruf-huruf di buku novelnya."Ahaaa." Reya menjentikkan jari ketika ide gila melintas di kepalanya.
Penyesalan selalu datang terlambat.Mungkin bagi sebagian orang tindakan Gavin itu bodoh, ia nekad keluar saat jam pelajaran tengah berlangsung. Bukan hanya itu saja, Gavin juga mengelabui satpam sehingga dirinya bisa mengendarai mobilnya keluar dari area sekolahan. Mungkin besok Gavin akan dipanggil ke ruang BK akibat hal ini.Sepanjang perjalanan, Gavin terus menghubungi Reya berkali-kali tapi tak ada satu pun panggilannya yang diangkat. Semuanya berakhir dengan suara operator yang semakin membuat Gavin dongkol.Perasaannya berkecamuk, takut, khawatir, cemas dan jengkel bercampur jadi satu. Teriakan Reya di telepon terus terngiang dalam pikirannya, berputar-putar seperti kaset rusak.Gavin mengendarai mobilnya
Tak cukup kata-kata untuk menunjukkan seberapa sempurnanya kuasa takdir mempertemukan seseorang. Mereka yang berbeda, namun mampu saling melengkapi satu sama lain. Percayalah, dibalik sakitnya putus cinta ada seseorang terbaik yang Allah siapkan sebagai penggantinya.-ButiranRinso-Waktu cepat bergulir, sudah dua minggu Reya menghabiskan waktu di rumah sakit. Akibat kepalanya yang bocor dan harus dijahit sebanyak tiga kali. Harusnya waktu pembagian rapor Reya naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan dari kepala sekolah, atas pencapaiannya karena berhasil mendapat peringkat pertama di kelas.Namun karena perbuatan Selin dan Rika yang sengaja memukul kepala Reya dengan tongkatbaseball&n
Ketika kamumencitaiseseorang, tanamkan rasa cintanya dalam hati, sebutkan namanyadisetiapdoa yang kau panjatkan.-Reyana-Reya terbangun, napasnya memburu dengan keringat bercucuran di dahi. Reya seperti orang bingung, matanya bergerak liar memandang sekitar."Reya, syukurlah kamu sudah bangun." Ana hendak memeluknya, namun Reya tiba-tiba menepis. "Ada apa Re?""Gavin, mana Ma?" tanya Reya. Matanya jelalatan ke mana-mana."Gavin?""Iya, Gavin. Aku harus cari Gavin. Dia dalam
Lelah menunggu, Reya memutuskan untuk pulang. Ia berdiri di depan gerbang menunggu taksionlinepesanannya datang. Reya masih berusaha menghubungi nomor Gavin, meski hasilnya tetap sama————berakhir dengan suara mba-mba operator yang menyambut."Mba Reya?"Reya mengalihkan perhatiannya ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca depan terbuka, menampilkan seorang mas-mas yang menoleh ke arahnya."Ya?""Sesuai aplikasi Kak?" Orang itu merubah panggilannya saat melihat Reya masih menggunakan seragam abu-abunya.Reya mengangguk, menyadari taksi pesanannya ternyata. Ia sudah akan membuka pintu mobil, namun suara teriakan Remi mengurungkan niat
Bukan sekedar cinta monyet, tapi cinta suci pangeran kodok untuk putri kentang.-Gavin-Harga diri seorang laki-laki itu wanita yang paling dicintainya. Mereka siap pasang badan buat mempertahankan harga dirinya, apapun konsekuensinya."Gavin?" Reya memicingkan matanya saat melihat Gavin keluar dari gerbang, menghampiri Galang. "Mau ngapain dia?" Rasa penasaran mendorong Reya untuk melangkah keluar, namun tepukan di pundak mengejutkan Reya. Refleks ia memutar tubuhnya ke belakang."Papa!" Mata Reya melotot melihat papanya berdiri di belakang. "Papa ngapain?""Harusnya papa yang tanya, kamu ngapain di sini? Sudah malam kenapa masih ke
Reya menghela napas untuk yang kesekian kali, menatap miris wajah Ricky yang penuh lebam. Sudut bibirnya juga robek, belum lagi pelipisnya yang berdarah.Reya begitu telaten mengobati wajah Ricky, memberikan obat merah dan salep lalu menempelkan plaster di pelipis Ricky. Keduanya membisu beberapa saat, hingga akhirnya suara Ricky memecah keheningan di dalam UKS."Maaf."Reya mengernyit, menurunkan tangannya dari wajah Ricky. Kemudian menatap Ricky dengan ekspresi datar."Maafin gue," ulang Ricky, kepalanya tertunduk tak berani menatap Reya. "Lo bener, harusnya gue gak nyalahin semuanya ke lo. Harusnya gue juga gak balas dendam ke lo yang sama-sama jadi korbannya Sam. Maaf. Gue salah. Maaf———" Ricky terkesiap ketika R
Bukannya tidak mau bertahan, hanya saja memang tidak pantas untuk dipertahankan.-Reyana-Bunga layu ketika tidak dirawat dengan benar, tapi akan mekar saat dirawat dengan benar.Sama halnya dengan sebuah hubungan, semua akan terasa indah ketika menjalaninya dengan orang yang tepat dan akan berbanding terbalik saat menjalaninya dengan orang yang salah.🌺🌺🌺🌺Sepanjang perjalanan pulang, Gavin sama sekali tak bersuara. Matanya terus menatap ke depan dan bibirnya terkunci rapat, namun deru napasnya terdengar memburu.
Karma itu nyata, cepat atau lambat akan membunuhmu secara perlahan.-Reyana-Ketika seseorang merasa dirinya di atas angin, padahal masih ada awan dan langit yang lebih tinggi darinya."Kadal arab!""Buaya buntung!""Monyet Australi!""Tikus Zimbabwe!!"Entah sudah berapa nama binatang yang Reya absen, bibirnya terus komat-kamit. Seandainya Reya tahu mantra ajian santet, pasti sudah Reya bacakan saat ini juga. Atau paling tidak doa pengusir seta
Seperti minggu biasanya, Galang dan teman-temannya pergi ke mall. Sekedar cuci mata atau nongkrong di salah satu kafe langganan.Galang yang awalnya mau ke toilet mengurungkan niatnya saat melihat siluet cewek yang cukup familiar, Cewek yang tengah diincarnya. Ia memilih berdiri di samping pintu toilet wanita, menunggu cewek tadi keluar.Bunyi notifikasi mengalihkan perhatian Galang, ia membuka pesan dari temannya yang menanyakan keberadaannya. Galang segera mengetikkan balasan, memberitahu mereka jika dirinya terpaksa harus pergi lebih dulu karena ada urusan. Setelah itu kembali memasukkan ponselnya ke saku.Cukup lama menunggu, Galang mulai bosan. Sedari tadi ia hanya berdiri sembari memainkan permen karet di mulutnya. Hingga suara langkah kaki menginterupsi, Galang menoleh, senyumny
Pelajaran pertama hari ini olahraga, Gavin sudah bersiap akan keluar kelas mengikuti teman-temannya yang sudah keluar lebih dulu menuju lapangan. Namun langkahnya sempat terhenti saat matanya bersitubruk dengan tatapan mata Tiara yang tertuju padanya.Tapi Tiara lebih dulu memutus kontak mata, kemudian melengos berjalan keluar kelas."Kenapa dia?" Suara Alvaro menyadarkan Gavin dari keterdiaman.Gavin menoleh, mengedikkan bahu karena ia sendiri juga bingung. Apa mungkin Tiara marah karena ditolak kemarin? Seandainya iya, harusnya Tiara tahu kalau itu sudah jadi resiko ketika dirinya nekad menembak Gavin."Ya udah biarin, lagi PMS kali." Alvaro merangkul bahu Gavin. "Ayo."Sepanjang p