My StepBrother, I Love U.
Bagian 6ORANG YANG TIDAK PENGERTIAN
~ Ma, Rere nggak betah ~🍁
Menjadi Rere tidaklah mudah.
Mereka saling tuding, saling melempar tanggung jawab atas anak mereka, Rere. Menentukan siapa yang akan membawa gadis itu nanti.
Karina, wanita cantik dengan kulit seputih giok dan rambut kastanye bergelombang yang menutupi kedua bahunya itu sedang mengomel. Dia melayangkan protes-protesnya pada Arga, sang suami. Dengan lantang wanita itu menuduh Arga tidak mau ikut bertanggung jawab atas kehidupan Rere. Dan lebih memprioritaskan Zian, anak dari istri pertamanya.
Arga tersungut-sungut menjelaskan bahwa dirinya memiliki alasan. Zian lebih membutuhkannya. Sedangkan Rere, anak itu sehat, mandiri dan serba kecukupan. Tidak pernah kekurangan apapun.
Berbeda dengan Zian, anak lelakinya itu membutuhkan perhatian yang lebih, terutama saat ini. Ibunya baru saja meninggal.
Zian
Dan
Zian lagi
Rere yang hanya mendengar saja sudah di buat muak, apalagi ibunya. Jika saja tempat tinggal sang Mama memungkinkan baginya untuk ikut, dia akan ikut. Sayangnya, selain jauh, mengurus persyaratan pergi ke luar negeri juga sangat merepotkan. Terlebih dia terkendala dengan yang namanya bahasa.
"Dan kamu." pria itu memberi jeda. "Kamu bebas pergi kemana pun. Aku nggak akan peduli lagi."
🍁
Gadis bersurai coklat itu menghembuskan napas lesu. Dia berdiri dari closet lalu membuka pintu bilik toilet, menghampiri wastafel dan beringsut mencuci kedua tangannya.
Dari arah lain, datang seorang cewek tomboy dengan wajah gelisah. Saat melihat Rere dia langsung mendekat.
"Lo Rere, kan?" dia bertanya untuk memastikan.
Rere hanya mengangguk.
"Engh, anu." gadis itu menggaruk rambutnya. Dia tampak malu-malu. "Lo bawa pembalut nggak? Kayaknya gue mau mens deh."
Rere menatapnya.
Dia ingat, orang ini adalah siswi di sekelasnya. Jika tidak salah namanya adalah Amelia.
"Ada, sebentar." Rere beringsut merogoh pouch magenta-nya dan mengambil benda berwarna putih yang kebetulan terselip diantara lipbalm dan sunscreen. Lalu memberikannya pada Amelia.
"Thank you so much!" ucap Amel dengan girangnya. Akhirnya, gadis berambut sebahu itu tidak perlu khawatir soal roknya yang akan bernoda.
"Sama-sama." Rere menarik sudut bibirnya.
Amelia melempar seulas senyum dan langsung masuk ke salah satu bilik toilet. Sementara Rere mengemasi pouch-nya kemudian pergi dari sana.
Saat kembali ke kelas, dia mendapati kursi miliknya telah di tempati orang lain. Dan tas selempangnya di biarkan tergeletak begitu saja di lantai.
Cukup kesal, Rere menatap pada Zian yang tampak asik mengobrol dengan teman-temannya. Gadis itu mendekat, menyambar tasnya dan menarik bahu Zian agar lelaki itu memutar badan.
"Maksudnya apa?" Rere meminta penjelasan. Dia tahu pelakunya tidak lain dan tidak bukan pastilah Zian.
"Ini tempat Danu. Lo duduk aja di tempat yang lain." Zian menyahut dingin.
Rere memutar mata dan mendengus.
Kesal
Tapi, ia berusaha tahan. Dia cukup sadar diri. Dia anak baru, tidak punya teman dan akan merepotkan jika di hari pertamanya dia melukai seseorang.
"Fine."
Rere berbalik dan keluar dari kelas dengan membawa serta tas sekolahnya. Di ambang pintu ia bertemu dengan Amel yang menyapanya, tapi Rere acuhkan. Gadis bermanik abu itu memilih untuk pulang.
Konyol. Di saat ia tidak memiliki siapa-siapa di tempat barunya, dia malah dirundung oleh Kakaknya sendiri.
"Tapi gue nggak mau duduk sama dia." Zian menimpal. Dia tak menghiraukan kepergian Rere dan kembali berbincang dengan para sahabatnya.
🍁
Bi Asri memiringkan kepalanya heran.
Tapi, karena tak mau ikut campur, wanita paru baya itu hanya menggidikkan bahu lalu kembali mengerjakan pekerjaannya.
"Tu orang nggak di cerita nggak di kenyataan sama-sama nyebelin," Rere menjatuhkan diri ke atas kasur. Wajahnya merah dan dadanya kembang kempis karena lonjakan emosi.
"Heran gue sama Papa. Apa sih bedanya gue sama dia? sampe-sampe Papa berantem sama Mama cuma gara-gara pengen tinggal di sini lebih lama."
"Zian ini lah. Zian itu lah."
"Zian butuh perhatian lebih lah ... nye nye nye. Muak banget gue dengernya."
Rere terus meracau sendiri meluapkan semua kekesalan di hatinya.
Dia berteriak, mengumpat kemudian tiba-tiba diam. Meruntuki nasib sialnya karena tinggal di rumah ini.
Bi Asri berdiri di balik pintu, dia hendak mengetuk namun menarik kembali tangannya. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengajak gadis itu bicara. Dia harus menemukan momen yang pas.
"Ma ..." Rere memanggil dengan lirih. Dia menempelkan ponselnya pada telinga sebelah kiri. Sambil meringkuk di atas kasur.
"Mama kapan balik? Rere nggak betah tinggal sama Papa." adunya pada seseorang di balik telpon.
"Re .." suara lembut menyahutnya. "Baru sehari lho kamu di sana. Wajar kalo belum betah. Masih butuh penyesuaian."
"Tapi si Zian itu nyebelin! Aku nggak tahan."
"Mau gimana lagi, Rere? Mama nggak bisa berbuat banyak. Mama juga baru sehari bekerja di sini. Banyak yang harus Mama urus."
"Nggak bisa ya Rere ikut Mama?" suara Rere melirih.
"Kalo sekarang belum, sayang. Tapi, nanti Mama bakal jemput kamu, kok. Kalo kedepannya pekerjaan Mama semakin baik, Mama janji Mama akan sekolahin kamu di sini. Sabar dulu, ya."
Gadis itu hanya menghela napas. Kemudian mengangguk. Mau bagaimana lagi? Memang tidak ada pilihan lain selain sabar.
"Mama hati-hati disana. Jangan terlalu maksain diri."
Karina terdengar terkekeh pelan sebelum berdegum dan pamit untuk kembali bekerja.
"Kamu juga."
🍁
Dua remaja itu sengaja duduk saling berjauhan, sebisa mungkin tidak saling menyapa maupun melirik.
Rere membalik piring miliknya, lalu hendak menyendok nasi. Di saat yang sama Zian pula mengulurkan tangannya. Kulit mereka sontak bersentuhan. Tapi, tak lama keduanya kembali menarik tangan mereka. Sedikit terkejut, namun mereka kembali bersikap dingin.
"Lo aja duluan." Rere mengusap lehernya, sedikit canggung.
Zian menggidikkan bahu acuh, dia mengambil makanannya terlebih dulu kemudian Rere menyusul.
Rere menyapu meja makan, berharap ada satu saja masakan kesukaannya terhidang di meja. Namun, dia harus membuang napas kecewa. Tak ada satu pun makanan di sana yang ia sukai.
Rere ingin seafood.
"Bi." panggilnya dengan menengok ke arah dapur yang hanya berjarak beberapa meter dari meja.
Bi Asri muncul di balik pantry. "Iya?"
"Punya udang nggak?"
Di tanya begitu, wanita paru baya itu menggaruk kepala. "Bibi nggak pernah belanja udang, non."
"Cumi?"
"Nggak ada juga."
"Gue alergi seafood. Jadi, bi Asri nggak pernah masak gituan." Zian menyela. Dia mengerling gadis di seberang meja itu dengan dingin. Lalu kembali melahap nasi di sendoknya. "Makan aja yang ada. Nggak usah banyak tingkah."
What?!
Rere hanya bisa mendengus dan geleng-geleng kepala. Apa di rumah ini dia harus mengikuti standar hidup seorang Zian? Jika lelaki itu tidak bisa makan seafood apa artinya semua penghuni rumah harus ikut-ikutan tidak makan?
Apa-apaan itu
Akhirnya, mau tak mau, Rere hanya bisa makan makanan yang ada di depannya.
Setelah makan malam yang sangat tidak berselera, dia membongkar koper miliknya untuk dirapikan ke dalam lemari. Rere mengeluarkan semua bajunya, lalu ia susun lebih dulu di atas ranjang. Setelah selesai, dia membuka lemari di sudut kamar dekat jendela. Rere kira lemari itu kosong dan memang di siapkan untuk dirinya, tapi ternyata di dalam sana masih ada beberapa baju menggantung di hanger serta album-album foto berserakan di bawahnya.
Rere mendesah lesu
Tanpa mencari tahu siapa si pemilik pakaian, gadis itu langsung saja menyambar semua yang tergantung di sana lalu mengempasnya ke lantai. Rencananya, dia akan memasukan baju-baju miliknya lebih dulu lalu memberikan semua yang tersimpan dalam lemari sebelumnya kepada bi Asri.
Namun, belum sampai Rere mengeluarkan semuanya, Zian tak sengaja berjalan melewati pintu kamarnya yang sedikit terbuka lalu tanpa sengaja melihat apa yang tengah ia lakukan.
"Eh, lo ngapain?!" Zian masuk ke dalam kamar Rere tanpa permisi, kemudian menarik lengan gadis itu dengan kasar.
"Ya gue beberes lah, menurut lo?!" Rere menyahut dengan sama judesnya. Tangannya ia putar agar terlepas dari cengkraman Zian. "Apa sih, lepas."
Zian mengempas tangan Rere dan memungut pakaian yang tergeletak di lantai. Kemudian ia rapikan kembali ke dalam lemari.
"Eh? Kenapa lo masukin lagi?" Rere terang saja kebingungan. "Lemarinya kan mau gue pake."
Zian tak menjawab hingga semua pakaian itu tersusun rapi seperti sedia kala.
"Heh?!" Rere memutar bahu Zian agar remaja itu berbalik.
"Lemari ini, isinya barang-barang punya nyokap gue. Lo pake aja lemari yang lain." sambarnya dengan nada dingin yang khas.
Seperti de javu, Rere teringat kembali kejadian siang tadi, di mana Zian juga seegois ini perihal tempat yang ia duduki.
"Lo tuh kenapa, sih?!"
🍁
Untuk saran dan kritik silahkan tinggalkan di kolom komentar. ^_^
"Rere Sini." Amel memanggil sembari menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. Tepat saat Rere bingung hendak duduk di mana setelah di usir oleh Zian kemarin, gadis tomboy itu memberinya solusi. "Duduk bareng gue aja." ajaknya. Rere mendekat lalu duduk di bangku sebelah Amelia dengan hati-hati. "Thanks.""Kemaren kenapa pulang gitu aja?" Amel bertanya, dia menyatukan tangannya pada meja kemudian membaringkan kepala, menatap pada Rere. Gadis berambut kastanye itu menggeleng kaku. "Nggak apa apa."
Malam itu, Rere tidak bisa tidur. Dia terus merapatkan matanya kuat kuat, namun tak juga terlelap.Bayangan wajah Zian, dan moment ketika lelaki itu mengucapkan terimakasih terus berputar di kepalanya seperti role film.Kesal berguling guling tanpa arah, gadis berambut kastanye itu bangkit dan duduk bersidekap di atas kasur. Di tengok jam dinding yang ada di dekat jendela, pukul 02.05 dini hari.Shitt!Dia benar benar tidak diberi rasa kantuk sedikit pun.Setelah menghela napas panjang berulang kali, Rere akhirnya memutuskan turun dari ranjang, berjalan ke arah dapur untuk membuat susu hangat.Katanya, meminum susu membuat orang cepat mengantuk. Dia ingin mencoba metode itu. Barang kali berhasil.Setelah menyusuri ruang demi ruang rumah yang gelap, gadis bernama asli Renata itu menyalakan saklar lampu dapur. Ia beringsut membuka kulkas dan mengambil kotak susu UHT berukuran 1 liter. Menuangkan
Bel sekolah berbunyi.Menandakan waktu pembelajaran telah berakhir. Rere menoleh ke sebelah kirinya, ke arah bangku yang Zian duduki. Di sana, remaja itu tengah berbincang heboh bersama teman-temannya sembari merapikan alat tulis ke dalam tas.Jarang sekali Rere melihat dia tertawa lepas, atau bahkan tersenyum saat berbicara dengannya. Tapi, saat melihat Zian begitu ekspresif bersama teman-temannya, entah mengapa gadis itu menjadi ikut merasa senang.Apa Zian akan bermain basket lagi?Apa dia harus menunggu seperti kemarin?"Abis ini, lo free nggak, Re?" Amel teman sebangkunya tiba tiba bertanya.Rere spontan menoleh padanya. "Mm .. Iya, kenapa emang?"Gadis tomboy itu memajukan wajahnya lalu berbisik. "Hang Out, yuk.""Kemana?""Ada deh. Lo pasti suka." ucap Amel sambil menggoyangkan alisnya percaya diri."Iya, tapi kemana dulu?""Southbank."Rere kontan mengerutkan alisnya. "Tempat apaan tuh?""Makanya ikut aja.""Sekarang?"Amel tidak bisa untuk tidak menahan tawa. Teman sebangkuny
Malam sabtu ini, untuk pertama kalinya Rere pergi keluar rumah. Dia seperti menemukan kehidupan baru di jalan jalan Bandung yang ramai.Amel menunjukan beberapa angkringan makanan ringan yang bisa mereka beli untuk sekedar mengganjal perut. Dari mulai batagor, cilok bakar sampai tahu isi. Rere menikmati cemilannya bersama si gadis tomboy.Mereka berkeliling alun alun raya yang ramai dengan pedagang dan pengunjung, ada pula turis yang sedang berwisata kuliner, mereka tampak menikmati jajanan khas Bandung sama seperti Rere.Amelia menceritakan beberapa tempat yang bagus yang biasanya dipenuhi pengunjung, dia juga menceritakan pengalaman kencan pertamanya dengan seorang pria di taman jomblo. Lalu bernostalgia mengingat bagaimana dulu dia berubah menjadi tomboy seperti sekarang.Rere menjadi pendengar yang baik sepanjang perjalanan petualangan mereka. Dia menyukai sifat terbuka Amelia dan cerita cerita lucunya meski beberapa terdengar kurang masuk akal.Di sini, Rere akhirnya memutuskan m
"Eh gue anterin pulang, ya?" tawar Roni menawarkan tumpangan pada Rere saat Gadis itu hendak pulang bersama Amelia.Rere menjawab "Enggak usah. Gue pulang bareng Amel, aja. Kita naik motor, kok." ucapnya masih terlihat malu-malu. Roni tersenyum. "Mending sama gue aja. Gue bawa mobil. Ya, siapa tau nanti hujan kan nggak bakal kehujanan." pria itu belum menyerah. Rere menengok ke arah temannya. "Terus Amel gimana?" Gadis tomboy itu menepuk bahu Renata dengan santai "Gak usah pikirin gue, gue bisa kok balik sendiri." ucapnya. "Tapi kan udah malem juga. masa iya gue pulang ke rumah jam segini." "Eh, iya juga sih." Amelia berpikir. "Ya udah lo nginep di rumah gue aja. Besok pagi gue anterin lo pulang.""Oke." Rere tampak setuju. "Gue nginep di rumah lo.""Jadi ... Nggak mau diantar, nih?" Roni kembali bertanya. "Enggak deh, kak. Next time aja." jawab gadis itu sambil tersenyum. "Oke." Roni menoleh ke arah Amel. "Lain kali ajak dia nongki bareng kita lagi di sini." ucapnya. "Siappp
"Oma, Zian cuma tanya ... Emang ada kejadian apa waktu Zian kecil?" Remaja itu terus mendesak wanita tua di depannya karena rasa penasaran yang luar biasa. Sejak Oma Linda bilang kalau dia tahu tentang Rere dan juga Mama tirinya, Zian seperti dihantui sesuatu. Dia mengalami kejadian serius dahulu, tapi tidak dapat ia ingat sama sekali. "Omaaa ..." Zian kembali merengek. Wanita tua yang di panggil Oma itu menyimpan cangkir tehnya pada tatakan. Di atas bukit belakang rumahnya, mereka menggelar sebuah kain kecil untuk piknik sekedar menikmati pemandangan pagi di taman bunga buatannya. Dia merawat tempat ini dengan sangat apik dan tertata. Bunga bunga yang berwarna warni begitu terlihat cantik dan menawan saat di terpa sinar matahari pagi. Maniknya yang sayu dengan kelopak mata yang turun karena faktor usia tidak memadamkan semangat dalam diri jompo tua itu. Dia menatap Zian dengan jutaan perasaan yang tidak bisa di jelaskan. Bibir keriputnya tersenyum, tapi matanya menyiratkan rasa i
My StepBrother, I Love U. Bagian 1 : PrologKELAHIRANKU KE DUNIA ~Malaikat mengambil nyawaku~🍁Malam itu, Mama terus mengerang kesakitan. Perutnya terasa seperti teriris-iris pisau dari dalam. Tangannya meremat seprai hingga seprai itu berubah menjadi kusut. "Sudah bukaan ke delapan, bu. Anda pasti bisa." seorang perawat mengecek sudah seberapa jauh bibir rahim Mamaku terbuka saat itu. Papa mengamati keadaan Mama dengan cemas. Dia sama sekali tidak beranjak dari sisi istrinya yang terus menangis karena kesakitan. "Kepalanya mulai keluar. Ayo tarik napas dan mulai mengejan!" dokter memberi intruks
My StepBrother, I Love U.Bagian 2DITINGGAL MATI~Menjadi bintang dilangit.~🍁Hari ini adalah hari pemakaman Mama.Rania, begitulah orang orang memanggilnya. Wanita cantik yang di kenal pekerja keras dan seorang ibu yang penyayang itu menghembuskan napas terakhirnya tadi malam.Meninggalkan suami dan juga anak laki-kakinya yang baru berusia 18 tahun. Rania meninggal karena penyakit jantung yang ia derita. Dua malam sebelum kepergiannya, dia mengalami serangan jantung dan harus di larikan ke rumah sakit. Namun, waktunya ternyata tidak berlangsung lama. Setelah perawatan intensif yang ia terima, keadaannya semakin memburuk dan akhirnya menutup usia pada umur 40 tahun.Zian begitu syok a
"Oma, Zian cuma tanya ... Emang ada kejadian apa waktu Zian kecil?" Remaja itu terus mendesak wanita tua di depannya karena rasa penasaran yang luar biasa. Sejak Oma Linda bilang kalau dia tahu tentang Rere dan juga Mama tirinya, Zian seperti dihantui sesuatu. Dia mengalami kejadian serius dahulu, tapi tidak dapat ia ingat sama sekali. "Omaaa ..." Zian kembali merengek. Wanita tua yang di panggil Oma itu menyimpan cangkir tehnya pada tatakan. Di atas bukit belakang rumahnya, mereka menggelar sebuah kain kecil untuk piknik sekedar menikmati pemandangan pagi di taman bunga buatannya. Dia merawat tempat ini dengan sangat apik dan tertata. Bunga bunga yang berwarna warni begitu terlihat cantik dan menawan saat di terpa sinar matahari pagi. Maniknya yang sayu dengan kelopak mata yang turun karena faktor usia tidak memadamkan semangat dalam diri jompo tua itu. Dia menatap Zian dengan jutaan perasaan yang tidak bisa di jelaskan. Bibir keriputnya tersenyum, tapi matanya menyiratkan rasa i
"Eh gue anterin pulang, ya?" tawar Roni menawarkan tumpangan pada Rere saat Gadis itu hendak pulang bersama Amelia.Rere menjawab "Enggak usah. Gue pulang bareng Amel, aja. Kita naik motor, kok." ucapnya masih terlihat malu-malu. Roni tersenyum. "Mending sama gue aja. Gue bawa mobil. Ya, siapa tau nanti hujan kan nggak bakal kehujanan." pria itu belum menyerah. Rere menengok ke arah temannya. "Terus Amel gimana?" Gadis tomboy itu menepuk bahu Renata dengan santai "Gak usah pikirin gue, gue bisa kok balik sendiri." ucapnya. "Tapi kan udah malem juga. masa iya gue pulang ke rumah jam segini." "Eh, iya juga sih." Amelia berpikir. "Ya udah lo nginep di rumah gue aja. Besok pagi gue anterin lo pulang.""Oke." Rere tampak setuju. "Gue nginep di rumah lo.""Jadi ... Nggak mau diantar, nih?" Roni kembali bertanya. "Enggak deh, kak. Next time aja." jawab gadis itu sambil tersenyum. "Oke." Roni menoleh ke arah Amel. "Lain kali ajak dia nongki bareng kita lagi di sini." ucapnya. "Siappp
Malam sabtu ini, untuk pertama kalinya Rere pergi keluar rumah. Dia seperti menemukan kehidupan baru di jalan jalan Bandung yang ramai.Amel menunjukan beberapa angkringan makanan ringan yang bisa mereka beli untuk sekedar mengganjal perut. Dari mulai batagor, cilok bakar sampai tahu isi. Rere menikmati cemilannya bersama si gadis tomboy.Mereka berkeliling alun alun raya yang ramai dengan pedagang dan pengunjung, ada pula turis yang sedang berwisata kuliner, mereka tampak menikmati jajanan khas Bandung sama seperti Rere.Amelia menceritakan beberapa tempat yang bagus yang biasanya dipenuhi pengunjung, dia juga menceritakan pengalaman kencan pertamanya dengan seorang pria di taman jomblo. Lalu bernostalgia mengingat bagaimana dulu dia berubah menjadi tomboy seperti sekarang.Rere menjadi pendengar yang baik sepanjang perjalanan petualangan mereka. Dia menyukai sifat terbuka Amelia dan cerita cerita lucunya meski beberapa terdengar kurang masuk akal.Di sini, Rere akhirnya memutuskan m
Bel sekolah berbunyi.Menandakan waktu pembelajaran telah berakhir. Rere menoleh ke sebelah kirinya, ke arah bangku yang Zian duduki. Di sana, remaja itu tengah berbincang heboh bersama teman-temannya sembari merapikan alat tulis ke dalam tas.Jarang sekali Rere melihat dia tertawa lepas, atau bahkan tersenyum saat berbicara dengannya. Tapi, saat melihat Zian begitu ekspresif bersama teman-temannya, entah mengapa gadis itu menjadi ikut merasa senang.Apa Zian akan bermain basket lagi?Apa dia harus menunggu seperti kemarin?"Abis ini, lo free nggak, Re?" Amel teman sebangkunya tiba tiba bertanya.Rere spontan menoleh padanya. "Mm .. Iya, kenapa emang?"Gadis tomboy itu memajukan wajahnya lalu berbisik. "Hang Out, yuk.""Kemana?""Ada deh. Lo pasti suka." ucap Amel sambil menggoyangkan alisnya percaya diri."Iya, tapi kemana dulu?""Southbank."Rere kontan mengerutkan alisnya. "Tempat apaan tuh?""Makanya ikut aja.""Sekarang?"Amel tidak bisa untuk tidak menahan tawa. Teman sebangkuny
Malam itu, Rere tidak bisa tidur. Dia terus merapatkan matanya kuat kuat, namun tak juga terlelap.Bayangan wajah Zian, dan moment ketika lelaki itu mengucapkan terimakasih terus berputar di kepalanya seperti role film.Kesal berguling guling tanpa arah, gadis berambut kastanye itu bangkit dan duduk bersidekap di atas kasur. Di tengok jam dinding yang ada di dekat jendela, pukul 02.05 dini hari.Shitt!Dia benar benar tidak diberi rasa kantuk sedikit pun.Setelah menghela napas panjang berulang kali, Rere akhirnya memutuskan turun dari ranjang, berjalan ke arah dapur untuk membuat susu hangat.Katanya, meminum susu membuat orang cepat mengantuk. Dia ingin mencoba metode itu. Barang kali berhasil.Setelah menyusuri ruang demi ruang rumah yang gelap, gadis bernama asli Renata itu menyalakan saklar lampu dapur. Ia beringsut membuka kulkas dan mengambil kotak susu UHT berukuran 1 liter. Menuangkan
"Rere Sini." Amel memanggil sembari menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. Tepat saat Rere bingung hendak duduk di mana setelah di usir oleh Zian kemarin, gadis tomboy itu memberinya solusi. "Duduk bareng gue aja." ajaknya. Rere mendekat lalu duduk di bangku sebelah Amelia dengan hati-hati. "Thanks.""Kemaren kenapa pulang gitu aja?" Amel bertanya, dia menyatukan tangannya pada meja kemudian membaringkan kepala, menatap pada Rere. Gadis berambut kastanye itu menggeleng kaku. "Nggak apa apa."
My StepBrother, I Love U. Bagian 6 ORANG YANG TIDAK PENGERTIAN~ Ma, Rere nggak betah ~ 🍁 Menjadi Rere tidaklah mudah. Gadis itu tengah mengepak pakaian ke dalam koper saat Papa dan Mamanya berselisih paham di ruang tengah. Mereka saling tuding, saling melempar tanggung jawab atas anak mereka, Rere. Menentukan siapa yang akan membawa gadis itu nanti. Karina, wanita cantik dengan kulit seputih giok dan rambut kastanye bergelombang yang menutupi kedua bahunya itu sedang mengomel. Dia melayangkan protes-protesnya pada Arga, sang suami. Dengan lantang wanita itu menuduh Arga tidakmau ikut bertanggung jawab atas kehidupan Rere. Dan lebih memprioritaskan Zian, anak dari istri pertamanya. Arga tersungu
My StepBrother, I Love U. Bagian 5MENDADAK MENJADI KAKAK~Nggak ada mirip-miripnya~ 🍁"Den." bi Asri memanggil sembari mengetuk pintu kamar bercat coklat tempat Zian berada. "Papa manggil buat makan.""Aku nggak makan, bi. Mau langsung tidur aja." Zian menyahut dari dalam."Tapi, tadi siang kan aden nggak makan." bi Asri berucap dengan cemas."Udah makan, kok. Bareng Danu." Zian berbohong. Dia sebenarnya lapar, hanya saja malas jika harus bertemu lagi dengan Rere. Dia tidak suka gadis itu."Yaudah, bibi kasih tau Papa aden."Zian tidak menjawab. Setelahnya, bi Asri langsung pergi.Zian menjatuhkan diri di atas ranjang yang empuk. Dengan kedua tangan menopang kepala, dia menatap langit-langit kamarnya. Menghela napas beberapa kali se
My StepBrother, I Love U. Bagian 4MANUSIA BERNAMA RERE~Dia anak Papa, adik kamu~🍁Di dalam stadion, empat remaja itu duduk di jejeran paling depan. Tak banyak yang menonton pertandingan, mengingat ini hanya turnamen biasa yang selalu di adakan setiap minggu."Tunas bangsa! Tunas bangsa!""Cakar elang! Cakar elang!"Sorak sorai para gadis berpom-pom menambah ramai suasana di dalam stadion. Mereka secara bergantian menyoraki kedua kubu yang tengah sengit beradu taktik di lapangan. Grup Cakar elang mengguli skor sementara, di mana mereka mendapat nilai cukup jauh di banding grup lawannya yaitu Tunas bangsa.Zian tampak menikmati laju pertandingan. Matanya begitu fokus pada