"Oma, Zian cuma tanya ... Emang ada kejadian apa waktu Zian kecil?" Remaja itu terus mendesak wanita tua di depannya karena rasa penasaran yang luar biasa. Sejak Oma Linda bilang kalau dia tahu tentang Rere dan juga Mama tirinya, Zian seperti dihantui sesuatu. Dia mengalami kejadian serius dahulu, tapi tidak dapat ia ingat sama sekali.
"Omaaa ..." Zian kembali merengek.
Wanita tua yang di panggil Oma itu menyimpan cangkir tehnya pada tatakan. Di atas bukit belakang rumahnya, mereka menggelar sebuah kain kecil untuk piknik sekedar menikmati pemandangan pagi di taman bunga buatannya.
Dia merawat tempat ini dengan sangat apik dan tertata. Bunga bunga yang berwarna warni begitu terlihat cantik dan menawan saat di terpa sinar matahari pagi.
Maniknya yang sayu dengan kelopak mata yang turun karena faktor usia tidak memadamkan semangat dalam diri jompo tua itu. Dia menatap Zian dengan jutaan perasaan yang tidak bisa di jelaskan. Bibir keriputnya tersenyum, tapi matanya menyiratkan rasa iba yang aneh.
"Kalo nanti kamu inget sama adik tirimu. Oma yakin, kamu juga bakal inget semuanya." ujarnya. Kontan saja membuat remaja di depannya tambah terlihat bingung.
Apa yang harus dia ingat?
Oma bilang dia dan Rere bermain di tempat ini saat kecil dulu. Zian mencoba membayangkan dirinya dalam versi kecil berlarian sambil menendang bola dan memetik bunga bunga. Pada waktu itu, Oma Linda masih bersama suaminya Jhon, duduk berdua di atas tikar dan memperhatikannya bermain sambil meminum teh.
Zian tidak ingat pernah ada Rere dalam hidupnya. Dia sepertinya tidak sengaja menghilangkan potongan kenangan itu dalam kepalanya, atau bisa jadi ingatan itu terlalu kelam dan dia sengaja melupakannya. Entah, kepalanya menjadi pening jika terus menerus dipaksa mengorek ingatan.
Untuk saat ini dia menyerah, dia akan mencoba mengingat itu di lain hari. Dan semoga saja nanti, Oma Linda memberikan petunjuk yang lebih jelas.
.....
"Zian ... Zian ..." Beberapa suara memanggil dari balik pintu gerbang.
Rere, dari kamarnya yang terletak di lantas atas tengah membaca sebuah majalah ketika nama kakak tirinya itu di panggil.
Dia beringsut dari kasur dan mengintip di balik tirai jendela kamarnya. Beberapa remaja laki laki menunggu di balik gerbang dengan membawa sepeda motor. Mereka pasti hendak membawa Zian pergi keluar.
Rere yang tau bahwa Zian belum pulang dari tadi pagi memutuskan untuk turun dan menemui remaja remaja di sana.
Di tangga, dia melihat bi Asri akan membuka pintu depan. Buru buru, Rere mencegahnya.
"Bi, biar Rere aja yang ke depan."
"Oh," bi Asri mengurungkan niatnya untuk membuka pintu. "Kalo gitu bibi balik ke dapur lagi." ucapnya.
"Ziannya belum pulang kan?" Rere bertanya untuk memastikan.
"Belum, non." jawab bi Asri.
Rere memberi anggukan mengerti kemudian dia membuka pintu depan dan berjalan menuju gerbang.
"Ziannya nggak ada." Rere bicara dengan suara lantang agar tiga lelaki itu mendengarnya.
"Kemana?" mereka bertanya dengan kompak.
Rere mendekat dan menatap satu persatu dari mereka dari balik gerbang. "Dia keluar dari pagi, nggak tau kemana."
"Gue coba telpon, deh." ucap Riko. Yang langsung di setujui Surya dan Danu.
Remaja itu mengeluarkan ponselnya dari saku jeans dan menekan nomor Zian, menempelkan benda pipih persegi itu di telinganya dan menunggu sambungan di balik telpon.
Setelah beberapa lama Riko menunggu, tidak ada yang menjawab panggilannya. Remaja itu mengernyitkan wajah. Aneh, tidak biasanya Zian mengabaikan telpon darinya.
"Nggak diangkat." Riko memasukan kembali ponselnya ke dalam saku. Kedua temannya ikut terlihat bingung.
Danu menggaruk kepalanya. "Semalem gue udah ajak keluar kok. Dan dia juga nggak nolak." ucapnya.
"Terus sekarang gimana?" Surya yang dari tadi diam sekarang membuka suaranya.
Danu mendesah lesu.
Renata yang juga penasaran kemana perginya Zian tidak bisa untuk tidak bertanya. "Emang biasanya Zian pergi kemana?"
Bertanya begitu, ia sontak di hujani tatapan aneh dari kawan kawan kakaknya. Gadis itu langsung menutup mulut.
Danu tampak berpikir. "Biasanya ... main basket, sih." ucapnya meskipun tidak sepenuhnya yakin.
"Bisa jadi sih." Riko menimpal "Hpnya nggak bisa di hubungin juga. Mungkin dia lagi main basket di lapangan komplek."
"Yaudah, kita periksa ke sana aja. Biar nanti sekalian jalan ke lokasi." sambar Surya.
Main basket?
Rere tiba tiba menunjukan minat saat kata itu di sebut. Dia ingin melihat Zian bermain basket lagi.
"Euh ..." gadis itu mengumpulkan keberaniannya. "Boleh gue ikut nggak?" dia mengajukan diri.
Danu cengo.
"Ikut? Ikut kita maksudnya?" dia bertanya untuk memastikan kalau telinganya tidak salah dengar.
"I .. Iya," dia menjawab dengan gugup. Sedikit malu juga lebih tepatnya.
"Boleh aja, sih. Bareng lo aja, Dan." ucap Riko.
Danu melongo. "Kok, gue?"
"Ya, emang kenapa sih?"
"Ya nggak apa apa, sih. Ayok." remaja jangkung itu mencabut helm dari spion motornya dan memberikannya pada Rere.
Gadis itu terkejut, dia pikir Danu ini tidak mau memboncengnya.
"Modus banget lo, bangke." celetuk Roni. Dia menepuk punggung Surya lalu menaiki motornya sendiri. "Ayok berangkat."
"Gas kan." Danu menyalakan mesin motornya juga. Setelah Rere naik dan memakai helmnya, dia lalu memutar pegal gasnya.
....
"Sering sering main ke sini lagi, ya. Rangga udah jarang banget pulang, jadi Oma selalu sendirian." Wanita berkarisma itu tengah membuat kudapan untuk ia dan Zian makan setelah mereka pergi piknik minum teh di bukit tadi.
Zian tengah mencuci piring, dengan celemek di depan dadanya dan sarung tangan anti air dia membasuh satu persatu piring di wastafel.
Dia menengok ke arah Oma yang berada di meja pantry. "Insyaallah, Oma. Kalo Zian nggak banyak tugas sekolah. Nanti main ke sini lagi."
"Ajak juga sekalian teman teman kamu yang itu, siapa namanya?" Oma Linda tampak berpikir keras. "Si Danu ... Riko, sama siapa satu lagi? Yang jarang ngomong itu?"
"Surya."
"Iya, Surya. Ajak sekalian main ke sini biar Oma banyak temen."
Zian tertawa kecil. "Oma ini, anak muda jaman sekarang mana mau kalo di suruh main ke rumah Oma Oma."
"Eh?" wanita tua itu merasa diremehkan. "Kenapa? Gini gini Oma juga jiwanya masih muda. Oma bisa berbaur sama anak anak remaja seusia kamu." ucapnya penuh percaya diri.
"Ha ha ha." Zian tidak lagi bisa menahan tawanya. Dia hampir terpingkal pingkal. "Oma ini, ah. Ada ada aja."
"Oma serius, lho."
"Iya iya, Oma." lelaki itu berhenti tertawa dan melanjutkan kegiatan mencuci piringnya.
"Sekalian juga." Oma Linda menepuk bahunya. "Ajak Rere."
.....
"Dia nggak ada di sini."
Riko, Danu, Surya dan Rere berhenti di taman komplek. Mereka melihat lihat adakah sosok Zian di sana, di antara orang orang yang tengah berpiknik dan juga bermain. Tapi, temannya itu tidak ada di sana.
Lalu, di mana Zian?
"Serius, gue nggak tau lagi dia kemana selain main basket di sini." Ucap Danu lesu.
Riko kembali mengeluarkan ponsel di saku jeansnya. Menekan nomor telpon Zian dan menempelkan ponselnya tersebut ke telinga sebelah kiri.
Tut ... Tut ... Tut ...
Panggilannya terhubung, tapi tidak juga di angkat.
Riko mulai merasa gusar. Ini benar benar tidak seperti Zian yang biasanya. Situasinya terasa sangat aneh.
"Gue nggak tau mau ngomong apa. Dia nggak angkat telpon gue dari tadi." ucapnya dengan menggelengkan kepala. Sepertinya, dia menyerah.
"Biar gue yang coba." Surya mengambil alih. Kini, giliran dia yang merogoh ponsel dan menekan nomor Zian.
Zian tidak mungkin membiarkan telpon darinya, mengingat seorang Surya memang jarang atau bahkan sangat langka dalam hal menelpon seseorang. Dia itu paling pendiam, dan juga paling irit dalam urusan kuota.
Tut .. Tut ... Tut ...
"Hallo?" Surya buru buru bicara saat panggilannya diangkat oleh orang di sebrang.
"Iya, hallo."
"Loh? Kok malah bibi yang angkat?" Remaja itu tampak kecewa karena bukan Zian yang mengangkat panggilannya. Melainkan bi Asri.
"Anu, den. Hp den Zian ada di kamarnya. Dari tadi bunyi terus jadi bibi angkat." tutur wanita tua di balik sana.
Surya menghela napasnya. "Hpnya ada di kamar? Berarti Zian pergi nggak bawa hp dong?"
"Iya, hpnya di sini."
Shitt!
Ini membuat mereka semua bertambah bingung.
"Terus Zian kemana?" Rere yang sedari tadi hanya menyimak tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Dia bertanya pada Danu.
"Nggak tau. Biasanya, dia emang pergi pergi sendiri. Tapi, nggak jauh dari main basket." timpal Danu.
Rere kembali teringat kejadian di lapangan sekolah tempo lalu. Kemudian kembali bertanya. "Mainnya di lapangan lain mungkin. Lapangan sekolah misalnya."
"Nggak mungkin. Kalo weekend dia pasti main di sini."
Huft
Gadis itu menghela napas.
Lalu di mana Zian berada?
"Kepaksa rencana hari ini kita batalin. Kita nggak mungkin pergi tanpa si Zian." Ucap Riko dengan menghela napas kecewa.
Danu sontak menoleh padanya. "Kok gitu? Masih ada waktu kok. Jangan main batalin gitu aja, Rik." protesnya.
Riko mendengus. "Nggak ada waktu lagi. Kalo kita masih muter muter nyari Zian, kita bakal telat dateng ke sana." ucapnya.
"Iya, Dan. Acaranya keburu selesai." Surya menambahkan.
Dua lawan satu, Danu di kalahkan argumen teman temannya yang lain.
Rere yang celenga celengo tidak mengerti apa yang mereka bahas tidak bisa untuk tidak bertanya. "Emang kalian mau pada kemana?" tanyanya dengan wajah yang polos.
Danu yang duduk di atas motor di depannya menoleh ke belakang, menatap wajah gadis itu. "Kita mau ke bazar di kota sebelah. Infonya sih mulai dari pagi jam tujuh sampe jam dua belas. Di area car free day gitu."
"Bazar?" Rere makin terlihat bingung.
Serius para remaja laki laki di kelasnya ini ingin pergi ke bazar? Sampai bela belain ke luar kota juga?
Atas dasar apa?
Rere kira mereka akan pergi ke sebuah konser atau nongkrong di suatu tempat hits seperti remaja kebanyakan.
"Ada acara amal juga di bazar itu. Kita udah sepakat minggu lalu mau bantu bantu di sana." lanjutnya.
"Nyokap gue yang ngadain acara amalnya. Dia nyuruh gue buat bantu, ya sekalian aja gue ajak Surya sama yang lain." tutur Riko.
Kini, semuanya terdengar jelas dan masuk akal di kepala Rere. Dia mangut mangut. "Kalo udah janjian harusnya Zian nggak pergi pergi kayak gini dong." Gadis itu masih bingung.
Danu menggaruk kepalanya. "Semalem gue emang ajak dia pergi keluar. Cuma gue lupa ngasih tau dia soal jamnya." dia nyengir pada Riko dan Surya. "Sorry banget. Ini kayaknya salah gue juga." lanjutnya meminta maaf.
"Bang-sat Danu. Kenapa lo nggak bilang dari tadi?" kesal Riko. Remaja itu menoyor kepala temannya karena geram.
"Iya, sorry. Gue lupa kalo waktu gue telpon Zian gue nggak ngomong kalo kita berangkatnya pagi pagi." Danu menciut setelah di hujani tatapan mengintimidasi dari Surya dan Riko.
"Lo bener bener, ya, Dan." Surya mendengus, sama kesalnya dengan Riko.
Sementara Rere, gadis itu hanya diam saja.
.....
Setelah pulang dari rumah Oma Linda, Zian berjalan kaki menuju rumah. Entah kenapa, baru sekarang dia ingat bahwa ia memiliki janji dengan Danu. Buru buru, dia mempercepat langkahnya.
Jarak rumahnya dari rumah Oma Linda tidak terlalu jauh, jadi Zian memutuskan berjalan kaki dari pada naik ojol.
Saat sampai dan membuka pintu gerbang, dia langsung di sambut oleh bi Asri dengan wajah yang terkejut.
Dia tengah memangkas daun daun dari pohon jarak yang
"Aden dari mana aja?" wanita tua itu bertanya dengan heboh. "Banyak yang nyari loh tadi."
"Danu bukan?" Zian bertanya.
"Bibi kurang tau. Tadi yang nyamperin non Rere. Bibi nggak sempet liat." jawabnya.
Zian mengerutkan alis. "Rere? Terus sekarang mereka kemana?"
Bi Asri menggidikkan bahu. "Bibi nggak tau."
"Rerenya ada di dalem?" remaja itu bertanya lagi.
"Nggak ada, den. Kayak ikut deh sama temen temen aden yang tadi."
Zian sontak membelalak. "Ikut? Ikut gimana maksudnya?" dia terkejut.
Rere ikut bersama Danu dan temannya yang lain? Kenapa?
Ada urusan apa dia?
"Bibi nggak tau, den. Bibi tadi di dalem. Bibi cuma tau kalo non Rere nggak masuk lagi ke rumah. Mungkin dia ikut sama yang tadi." tutur wanita tua itu dengan wajah kebingungan. Dia memang tidak tahu apapun soal siapa yang mencari Zian dan kenapa Rere pergi bersama mereka.
"Ah, bibi gimana, sih. Masalahnya ngapain Rere ikut sama Danu? Danu kan mau jemput Zian bukan Rere."
Remaja itu sama bingungnya dengan bi Asri. Tidak ada yang bisa memberi klu di sini.
"Emang tadi den Zian abis dari mana?" bi Asri bertanya.
"Aku abis jiarah ke makam Mama. Sama mampir ke rumah Oma Linda." Jawabnya.
"Hp aden juga bunyi terus dari tadi. Bibi sempet angkat sekali."
"Siapa yang nelpon?"
"Namanya siapa ya ..." bi Asri mencoba mengingat ingat. "Oh, kalo nggak salah namanya Surya."
Surya?
Serius?
Tidak biasanya Surya menelpon dirinya. Orang itu tidak pernah menelpon atau bahkan mengirim pesan selain di grup chat geng mereka.
Semalam, Danu memang menelpon mengajaknya pergi ke suatu tempat. Tapi, apa tempat itu begitu penting hingga mereka menjemput dia pagi pagi dan bahkan seorang Surya sampai menelpon dirinya?
"Hp aku dimana?" Zian bertanya pada bi Asri.
Wanita paru baya itu menunjuk ke arah rumah. "Di kamar Aden. Bibi taro di atas nakas."
My StepBrother, I Love U. Bagian 1 : PrologKELAHIRANKU KE DUNIA ~Malaikat mengambil nyawaku~πMalam itu, Mama terus mengerang kesakitan. Perutnya terasa seperti teriris-iris pisau dari dalam. Tangannya meremat seprai hingga seprai itu berubah menjadi kusut. "Sudah bukaan ke delapan, bu. Anda pasti bisa." seorang perawat mengecek sudah seberapa jauh bibir rahim Mamaku terbuka saat itu. Papa mengamati keadaan Mama dengan cemas. Dia sama sekali tidak beranjak dari sisi istrinya yang terus menangis karena kesakitan. "Kepalanya mulai keluar. Ayo tarik napas dan mulai mengejan!" dokter memberi intruks
My StepBrother, I Love U.Bagian 2DITINGGAL MATI~Menjadi bintang dilangit.~πHari ini adalah hari pemakaman Mama.Rania, begitulah orang orang memanggilnya. Wanita cantik yang di kenal pekerja keras dan seorang ibu yang penyayang itu menghembuskan napas terakhirnya tadi malam.Meninggalkan suami dan juga anak laki-kakinya yang baru berusia 18 tahun. Rania meninggal karena penyakit jantung yang ia derita. Dua malam sebelum kepergiannya, dia mengalami serangan jantung dan harus di larikan ke rumah sakit. Namun, waktunya ternyata tidak berlangsung lama. Setelah perawatan intensif yang ia terima, keadaannya semakin memburuk dan akhirnya menutup usia pada umur 40 tahun.Zian begitu syok a
My StepBrother, I Love U. bagian 3HIDUP TERUS BERJALAN~Banyak yang peduli sama lo!~πSeminggu berlalu, remaja tanggung bersurai legam itu masih setia mengurung dirinya di dalam kamar. Beberapa temannya bahkan datang berkali-kali untuk membujuknya agar mau kembali bersekolah. Namun, Zian tampaknya belum memulihkan hati dari kehancurannya di tinggal sang Mama. Dia enggan pergi kemana pun, termasuk ke sekolah. Sama seperti kemarin, Danu Ardana, remaja tinggi dengan pinggang ramping dan gaya rambut spiky-nya datang lagi ke rumah Zian, untuk menjenguk sekaligus membujuk lelaki itu agar mau keluar dari sarangnya. Danu bukan hanya
My StepBrother, I Love U. Bagian 4MANUSIA BERNAMA RERE~Dia anak Papa, adik kamu~πDi dalam stadion, empat remaja itu duduk di jejeran paling depan. Tak banyak yang menonton pertandingan, mengingat ini hanya turnamen biasa yang selalu di adakan setiap minggu."Tunas bangsa! Tunas bangsa!""Cakar elang! Cakar elang!"Sorak sorai para gadis berpom-pom menambah ramai suasana di dalam stadion. Mereka secara bergantian menyoraki kedua kubu yang tengah sengit beradu taktik di lapangan. Grup Cakar elang mengguli skor sementara, di mana mereka mendapat nilai cukup jauh di banding grup lawannya yaitu Tunas bangsa.Zian tampak menikmati laju pertandingan. Matanya begitu fokus pada
My StepBrother, I Love U. Bagian 5MENDADAK MENJADI KAKAK~Nggak ada mirip-miripnya~ π"Den." bi Asri memanggil sembari mengetuk pintu kamar bercat coklat tempat Zian berada. "Papa manggil buat makan.""Aku nggak makan, bi. Mau langsung tidur aja." Zian menyahut dari dalam."Tapi, tadi siang kan aden nggak makan." bi Asri berucap dengan cemas."Udah makan, kok. Bareng Danu." Zian berbohong. Dia sebenarnya lapar, hanya saja malas jika harus bertemu lagi dengan Rere. Dia tidak suka gadis itu."Yaudah, bibi kasih tau Papa aden."Zian tidak menjawab. Setelahnya, bi Asri langsung pergi.Zian menjatuhkan diri di atas ranjang yang empuk. Dengan kedua tangan menopang kepala, dia menatap langit-langit kamarnya. Menghela napas beberapa kali se
My StepBrother, I Love U. Bagian 6 ORANG YANG TIDAK PENGERTIAN~ Ma, Rere nggak betah ~ π Menjadi Rere tidaklah mudah. Gadis itu tengah mengepak pakaian ke dalam koper saat Papa dan Mamanya berselisih paham di ruang tengah. Mereka saling tuding, saling melempar tanggung jawab atas anak mereka, Rere. Menentukan siapa yang akan membawa gadis itu nanti. Karina, wanita cantik dengan kulit seputih giok dan rambut kastanye bergelombang yang menutupi kedua bahunya itu sedang mengomel. Dia melayangkan protes-protesnya pada Arga, sang suami. Dengan lantang wanita itu menuduh Arga tidakmau ikut bertanggung jawab atas kehidupan Rere. Dan lebih memprioritaskan Zian, anak dari istri pertamanya. Arga tersungu
"Rere Sini." Amel memanggil sembari menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. Tepat saat Rere bingung hendak duduk di mana setelah di usir oleh Zian kemarin, gadis tomboy itu memberinya solusi. "Duduk bareng gue aja." ajaknya. Rere mendekat lalu duduk di bangku sebelah Amelia dengan hati-hati. "Thanks.""Kemaren kenapa pulang gitu aja?" Amel bertanya, dia menyatukan tangannya pada meja kemudian membaringkan kepala, menatap pada Rere. Gadis berambut kastanye itu menggeleng kaku. "Nggak apa apa."
Malam itu, Rere tidak bisa tidur. Dia terus merapatkan matanya kuat kuat, namun tak juga terlelap.Bayangan wajah Zian, dan moment ketika lelaki itu mengucapkan terimakasih terus berputar di kepalanya seperti role film.Kesal berguling guling tanpa arah, gadis berambut kastanye itu bangkit dan duduk bersidekap di atas kasur. Di tengok jam dinding yang ada di dekat jendela, pukul 02.05 dini hari.Shitt!Dia benar benar tidak diberi rasa kantuk sedikit pun.Setelah menghela napas panjang berulang kali, Rere akhirnya memutuskan turun dari ranjang, berjalan ke arah dapur untuk membuat susu hangat.Katanya, meminum susu membuat orang cepat mengantuk. Dia ingin mencoba metode itu. Barang kali berhasil.Setelah menyusuri ruang demi ruang rumah yang gelap, gadis bernama asli Renata itu menyalakan saklar lampu dapur. Ia beringsut membuka kulkas dan mengambil kotak susu UHT berukuran 1 liter. Menuangkan
"Oma, Zian cuma tanya ... Emang ada kejadian apa waktu Zian kecil?" Remaja itu terus mendesak wanita tua di depannya karena rasa penasaran yang luar biasa. Sejak Oma Linda bilang kalau dia tahu tentang Rere dan juga Mama tirinya, Zian seperti dihantui sesuatu. Dia mengalami kejadian serius dahulu, tapi tidak dapat ia ingat sama sekali. "Omaaa ..." Zian kembali merengek. Wanita tua yang di panggil Oma itu menyimpan cangkir tehnya pada tatakan. Di atas bukit belakang rumahnya, mereka menggelar sebuah kain kecil untuk piknik sekedar menikmati pemandangan pagi di taman bunga buatannya. Dia merawat tempat ini dengan sangat apik dan tertata. Bunga bunga yang berwarna warni begitu terlihat cantik dan menawan saat di terpa sinar matahari pagi. Maniknya yang sayu dengan kelopak mata yang turun karena faktor usia tidak memadamkan semangat dalam diri jompo tua itu. Dia menatap Zian dengan jutaan perasaan yang tidak bisa di jelaskan. Bibir keriputnya tersenyum, tapi matanya menyiratkan rasa i
"Eh gue anterin pulang, ya?" tawar Roni menawarkan tumpangan pada Rere saat Gadis itu hendak pulang bersama Amelia.Rere menjawab "Enggak usah. Gue pulang bareng Amel, aja. Kita naik motor, kok." ucapnya masih terlihat malu-malu. Roni tersenyum. "Mending sama gue aja. Gue bawa mobil. Ya, siapa tau nanti hujan kan nggak bakal kehujanan." pria itu belum menyerah. Rere menengok ke arah temannya. "Terus Amel gimana?" Gadis tomboy itu menepuk bahu Renata dengan santai "Gak usah pikirin gue, gue bisa kok balik sendiri." ucapnya. "Tapi kan udah malem juga. masa iya gue pulang ke rumah jam segini." "Eh, iya juga sih." Amelia berpikir. "Ya udah lo nginep di rumah gue aja. Besok pagi gue anterin lo pulang.""Oke." Rere tampak setuju. "Gue nginep di rumah lo.""Jadi ... Nggak mau diantar, nih?" Roni kembali bertanya. "Enggak deh, kak. Next time aja." jawab gadis itu sambil tersenyum. "Oke." Roni menoleh ke arah Amel. "Lain kali ajak dia nongki bareng kita lagi di sini." ucapnya. "Siappp
Malam sabtu ini, untuk pertama kalinya Rere pergi keluar rumah. Dia seperti menemukan kehidupan baru di jalan jalan Bandung yang ramai.Amel menunjukan beberapa angkringan makanan ringan yang bisa mereka beli untuk sekedar mengganjal perut. Dari mulai batagor, cilok bakar sampai tahu isi. Rere menikmati cemilannya bersama si gadis tomboy.Mereka berkeliling alun alun raya yang ramai dengan pedagang dan pengunjung, ada pula turis yang sedang berwisata kuliner, mereka tampak menikmati jajanan khas Bandung sama seperti Rere.Amelia menceritakan beberapa tempat yang bagus yang biasanya dipenuhi pengunjung, dia juga menceritakan pengalaman kencan pertamanya dengan seorang pria di taman jomblo. Lalu bernostalgia mengingat bagaimana dulu dia berubah menjadi tomboy seperti sekarang.Rere menjadi pendengar yang baik sepanjang perjalanan petualangan mereka. Dia menyukai sifat terbuka Amelia dan cerita cerita lucunya meski beberapa terdengar kurang masuk akal.Di sini, Rere akhirnya memutuskan m
Bel sekolah berbunyi.Menandakan waktu pembelajaran telah berakhir. Rere menoleh ke sebelah kirinya, ke arah bangku yang Zian duduki. Di sana, remaja itu tengah berbincang heboh bersama teman-temannya sembari merapikan alat tulis ke dalam tas.Jarang sekali Rere melihat dia tertawa lepas, atau bahkan tersenyum saat berbicara dengannya. Tapi, saat melihat Zian begitu ekspresif bersama teman-temannya, entah mengapa gadis itu menjadi ikut merasa senang.Apa Zian akan bermain basket lagi?Apa dia harus menunggu seperti kemarin?"Abis ini, lo free nggak, Re?" Amel teman sebangkunya tiba tiba bertanya.Rere spontan menoleh padanya. "Mm .. Iya, kenapa emang?"Gadis tomboy itu memajukan wajahnya lalu berbisik. "Hang Out, yuk.""Kemana?""Ada deh. Lo pasti suka." ucap Amel sambil menggoyangkan alisnya percaya diri."Iya, tapi kemana dulu?""Southbank."Rere kontan mengerutkan alisnya. "Tempat apaan tuh?""Makanya ikut aja.""Sekarang?"Amel tidak bisa untuk tidak menahan tawa. Teman sebangkuny
Malam itu, Rere tidak bisa tidur. Dia terus merapatkan matanya kuat kuat, namun tak juga terlelap.Bayangan wajah Zian, dan moment ketika lelaki itu mengucapkan terimakasih terus berputar di kepalanya seperti role film.Kesal berguling guling tanpa arah, gadis berambut kastanye itu bangkit dan duduk bersidekap di atas kasur. Di tengok jam dinding yang ada di dekat jendela, pukul 02.05 dini hari.Shitt!Dia benar benar tidak diberi rasa kantuk sedikit pun.Setelah menghela napas panjang berulang kali, Rere akhirnya memutuskan turun dari ranjang, berjalan ke arah dapur untuk membuat susu hangat.Katanya, meminum susu membuat orang cepat mengantuk. Dia ingin mencoba metode itu. Barang kali berhasil.Setelah menyusuri ruang demi ruang rumah yang gelap, gadis bernama asli Renata itu menyalakan saklar lampu dapur. Ia beringsut membuka kulkas dan mengambil kotak susu UHT berukuran 1 liter. Menuangkan
"Rere Sini." Amel memanggil sembari menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. Tepat saat Rere bingung hendak duduk di mana setelah di usir oleh Zian kemarin, gadis tomboy itu memberinya solusi. "Duduk bareng gue aja." ajaknya. Rere mendekat lalu duduk di bangku sebelah Amelia dengan hati-hati. "Thanks.""Kemaren kenapa pulang gitu aja?" Amel bertanya, dia menyatukan tangannya pada meja kemudian membaringkan kepala, menatap pada Rere. Gadis berambut kastanye itu menggeleng kaku. "Nggak apa apa."
My StepBrother, I Love U. Bagian 6 ORANG YANG TIDAK PENGERTIAN~ Ma, Rere nggak betah ~ π Menjadi Rere tidaklah mudah. Gadis itu tengah mengepak pakaian ke dalam koper saat Papa dan Mamanya berselisih paham di ruang tengah. Mereka saling tuding, saling melempar tanggung jawab atas anak mereka, Rere. Menentukan siapa yang akan membawa gadis itu nanti. Karina, wanita cantik dengan kulit seputih giok dan rambut kastanye bergelombang yang menutupi kedua bahunya itu sedang mengomel. Dia melayangkan protes-protesnya pada Arga, sang suami. Dengan lantang wanita itu menuduh Arga tidakmau ikut bertanggung jawab atas kehidupan Rere. Dan lebih memprioritaskan Zian, anak dari istri pertamanya. Arga tersungu
My StepBrother, I Love U. Bagian 5MENDADAK MENJADI KAKAK~Nggak ada mirip-miripnya~ π"Den." bi Asri memanggil sembari mengetuk pintu kamar bercat coklat tempat Zian berada. "Papa manggil buat makan.""Aku nggak makan, bi. Mau langsung tidur aja." Zian menyahut dari dalam."Tapi, tadi siang kan aden nggak makan." bi Asri berucap dengan cemas."Udah makan, kok. Bareng Danu." Zian berbohong. Dia sebenarnya lapar, hanya saja malas jika harus bertemu lagi dengan Rere. Dia tidak suka gadis itu."Yaudah, bibi kasih tau Papa aden."Zian tidak menjawab. Setelahnya, bi Asri langsung pergi.Zian menjatuhkan diri di atas ranjang yang empuk. Dengan kedua tangan menopang kepala, dia menatap langit-langit kamarnya. Menghela napas beberapa kali se
My StepBrother, I Love U. Bagian 4MANUSIA BERNAMA RERE~Dia anak Papa, adik kamu~πDi dalam stadion, empat remaja itu duduk di jejeran paling depan. Tak banyak yang menonton pertandingan, mengingat ini hanya turnamen biasa yang selalu di adakan setiap minggu."Tunas bangsa! Tunas bangsa!""Cakar elang! Cakar elang!"Sorak sorai para gadis berpom-pom menambah ramai suasana di dalam stadion. Mereka secara bergantian menyoraki kedua kubu yang tengah sengit beradu taktik di lapangan. Grup Cakar elang mengguli skor sementara, di mana mereka mendapat nilai cukup jauh di banding grup lawannya yaitu Tunas bangsa.Zian tampak menikmati laju pertandingan. Matanya begitu fokus pada