My StepBrother, I Love U.
Bagian 4MANUSIA BERNAMA RERE
~Dia anak Papa, adik kamu~🍁
Di dalam stadion, empat remaja itu duduk di jejeran paling depan. Tak banyak yang menonton pertandingan, mengingat ini hanya turnamen biasa yang selalu di adakan setiap minggu.
"Tunas bangsa! Tunas bangsa!"
"Cakar elang! Cakar elang!"
Sorak sorai para gadis berpom-pom menambah ramai suasana di dalam stadion. Mereka secara bergantian menyoraki kedua kubu yang tengah sengit beradu taktik di lapangan. Grup Cakar elang mengguli skor sementara, di mana mereka mendapat nilai cukup jauh di banding grup lawannya yaitu Tunas bangsa.
Zian tampak menikmati laju pertandingan. Matanya begitu fokus pada seseorang dengan gelar kapten dari kubu berbaju merah, Roni. Sosok lelaki itu menjadi ikonik di lapangan, dengan tubuh tinggi dan kulit kecoklatannya, dia begitu bersinar ketika guyuran keringat di badannya tersorot lampu pijar.
Zian sangat kagum, sekaligus cemburu. Melihat setiap gerak gerik Roni, dia membayangkan dirinya sendiri tengah berada di sana. Menerima bola yang di passing temannya, kemudian berlari dan melakukan shooting dengan gerakan yang sempurna.
Alangkah menyenangkan bila saja hayalannya itu dapat terwujud. Namun, sayangnya impian untuk menjadi seorang atlet basket harus ia kubur dalam-dalam. Dia mestinya berpikir realistis, dengan kekurangan yang ada di dalam dirinya, Zian harus sadar diri dan bangun dari mimpinya yang indah itu. Kembali pada kenyataan dimana dia hanya bisa duduk di bangku penonton.
Ronde terakhir telah berakhir. Pertandingan di menangkan oleh grup cakar elang. Telihat oleh Zian, Roni dan kawan-kawannya begitu bersorak atas kemenangan mereka. Membuat dia ikut tersenyum dan merasakan bagaimana bahagianya mencapai sebuah keberhasilan.
"Udah beres, nih. Nyari makan, yuk." Riko bersuara. Lelaki yang menonton pertandingan dengan terkantuk-kantuk itu akhirnya bernapas lega setelah semuanya berakhir. Sama halnya dengan Surya dan Danu, karena diantara mereka, yang amat menyukai basket hanyalah Zian seorang.
"Gue sih ikut aja." Surya menimpal.
Sementara Danu memandang ke arah Zian, sorot matanya seakan bertanya, anak itu mau ikut atau tidak. Zian diam sebentar lalu menggelengkan kepalanya.
"Gue pulang aja, deh. Tadi pergi nggak pamit soalnya. Takut di cariin."
"Kan bisa telpon bi Asri. Bilang aja lo hang out sama gue." sambar Danu.
Sekali lagi, Zian menggelengkan kepalanya tanpa ragu. "Nggak, ah."
"Kenapa?" Riko bertanya.
"Yaudah, yaudah." Danu kembali memotong. "Gak apa apa. Kalo gitu, kita pulang bareng."
"Lah, kok lo ikut-ikutan pulang, sih?"
Danu memandang kedua temannya secara bergantian. "Zian dateng bareng gue, jadi dia juga harus pulang bareng gue."
Riko mendecak. Cukup kesal, tapi dia masih bisa memaklumi keadaan sahabatnya yang masih berduka itu. Jadi, mau tak mau mereka menerima keputusan Danu.
"Tapi besok lo ke sekolah, kan?" Surya bertanya pada Zian.
Zian diam sembari berpikir, sebenarnya dia belum berencana pergi ke sekolah sekarang-sekarang ini.
"Iya lah! Bareng gue." Danu menyerobot. Dia memiting leher orang di sampingnya itu dan menggoyang alis pada Zian.
Zian tersengih. "Iya, iya. Nanti gue sekolah bareng lo."
🍁
"Gue jemput pagi-pagi, yak!" Teriak Danu saat Zian berlari menuju rumahnya. "Jangan telat!"
"Iya!" Zian menyahut dengan suara yang sama kerasnya. Dia kemudian membuka pintu depan dan masuk ke dalam.
Tiba-tiba dia mematung saat melihat di ruang tamu ada beberapa pasang mata memandang ke arahnya. Ada bi Asri, Papanya, dan satu orang gadis yang tidak ia kenali.
Arga menghampiri anaknya yang masih terdiam. Dia menepuk kedua bahu Zian dengan menggulum seulas senyuman. "Duduk dulu, yuk. Sebentar."
Zian ingin sekali bertanya, ada apa, dan gadis itu siapa. Tapi, nampaknya Papanya akan menjelaskan itu sendiri. Jadi, Zian hanya mengangguk dan pergi duduk di dekat bi Asri. Dan Arga duduk di sofa seberang.
"Zian," pria berkaca mata itu berkata dengan ragu. "Ngh ... Papa belum sempat kasih tau kamu sebelumnya. Ini, Rere." Arga memperkenalkan gadis cantik dengan rambut panjang di depannya kepada Zian. "Dia anak Papa, adik kamu."
Seketika, Zian cengo.
Dia tidak mengerti dengan apa yang baru saja di katakan ayahnya. Adik? Bukankah adiknya sudah meninggal 4 tahun yang lalu?
Zian memiliki seorang adik perempuan saat usianya 6 tahun. Namanya Nayra. Dan adik kecilnya itu meninggal karena sakit keras di usiannya yang ke delapan. Lantas, siapa Rere ini? Gadis itu terlihat seumuran dengannya, mana mungkin dia adalah adiknya jika mereka sepantaran?
"Zian?" panggilan Papa membuat pikiran semrawutnya membuyar.
"Papa pernah cerita kan sama kamu? Papa punya dua istri dan Rere ini anak dari istri Papa yang kedua." Arga menjelaskan.
Zian berkedip. Sekarang, semuanya masuk akal.
Rere ternyata adalah saudara tirinya.
Tapi, mereka sama sekali belum pernah bertemu, belum pernah saling mengenal dan belum pernah saling mencari tahu. Lantas, mengapa tiba tiba Rere ada di rumahnya? Di kenalkan oleh Papanya.
"Mulai sekarang, dia akan tinggal di sini."
"Hah?!" lelaki tirus itu terperangah. Dia memandang Papanya dengan wajah bingung.
"Mamanya Rere pergi bekerja ke luar negeri. Di rumah, Rere cuma sendirian. Sebagai ayah, Papa nggak bisa mengabaikan dia. Jadi, Papa harap kalian bisa rukun di rumah ini."
"Pa!" Zian menekuk wajah karena jengkel. "Kok seenaknya gitu, sih."
"Papa minta maaf. Papa nggak ngasih tau kamu sebelumnya, Zian. Tapi Rere nggak punya siapa-siapa di sana."
"Ya, Papa bisa nyewa pembantu atau siapa kek gitu. Nggak tinggal di sini juga, Pa!"
"Heh," gadis yang sedari tadi diam itu berdiri, matanya menyorot tajam pada Zian. "Lo pikir gue mau tinggal sama lo?"
Zian mendengkus. Gadis ini ternyata bernyali tinggi. "Terus kenapa lo mau di bawa ke sini?" dia menatap tak kalah sengit.
"Gue di paksa! Sorry, gue juga ogah tinggal di tempat kayak gini. Apalagi kalo ada manusia songong kayak lo." Rere sesungutan. Gadis yang tadinya terlihat anggun dan cantik itu berubah seperti nenek sihir saat sifat aslinya keluar.
Zian melongo mendengar betapa tidak sopannya mulut si adik tirinya ini. Dia ikut berdiri dan mendekatkan wajah. "Yaudah. Pergi sana. Nggak ada yang mau nerima lo juga di rumah ini." sengit Zian dengan menunjuk pintu keluar.
"Den ... nggak boleh gitu." bi Asri mengusap bahunya menenangkan.
Arga menghela napas penat. Apa seperti ini anak muda jaman sekarang? Baru satu menit bertemu sudah saling adu mulut.
"Zian, Rere. Duduk." Arga berusaha menengahi.
"Papa bilang duduk." ulangnya.
Dengan berat hati, keduanya mau tak mau duduk kembali di tempat masing-masing. Meskipun dengan saling memalingkan wajah.
"Denger baik-baik. Papa akan bekerja di luar kota selama 4 bulan kedepan. Papa nggak bisa sering-sering pulang buat nengok kalian. Jadi, Papa harap kalian bisa menyesuaikan diri selama Papa nggak ada." Arga berujar dengan kedua tangan menopang dagu. Dia menatap dua anaknya secara bergantian.
Dia tahu, ini bukan momen yang tepat untuk mempertemukan kedua anaknya. Apalagi, ibu Zian baru saja tiada. Pasti sulit bagi remaja itu untuk menerima orang baru di kehidupannya. Tapi, Arga juga tidak punya banyak pilihan. Dia tidak bisa menyewa orang asing untuk mengurus Rere atau membiarkan gadis perawannya itu tinggal sendirian. Jadi, mau tak mau dia harus membawa Rere ke rumah ini. Tentu saja Arga tidak khawatir karena ada bi Asri dan mang Amin yang akan menjaga mereka berdua.
Zian mendengus dan menggeleng tak terima. "Papa bener-bener, yah ..." dia bangkit dengan kesal lalu melengos pergi ke kamarnya.
Sementara Rere hanya berdecak jengkel. Dia sadar dia tidak punya suara di rumah ini untuk menolak keputusan Papanya. Jadi, meskipun enggan dia tetap harus menurut.
Arga menghela napas sebelum kembali bersuara. Kini, dia hanya menatap Rere. "Biar bi Asri anter kamu ke kamar. Kamu bisa istirahat dulu sebelum makan malam nanti."
Arga kemudian memberi kode pada bi Asri. Wanita itu mengangguk dan mengambil koper yang ada di samping Rere untuk dia bawa.
"Ayo, non." ajak bi Asri. Rere mau tak mau mengikuti langkah wanita paru baya itu walaupun sedikit misuh-misuh.
Dari tempat duduknya, pikiran Arga di penuhi kebimbangan. Ini memang mendadak tapi dia harap kedua anaknya itu tidak berselisih terlalu lama dan dapat saling menerima satu sama lain saat dia tidak ada.
🍁
My StepBrother, I Love U. Bagian 5MENDADAK MENJADI KAKAK~Nggak ada mirip-miripnya~ 🍁"Den." bi Asri memanggil sembari mengetuk pintu kamar bercat coklat tempat Zian berada. "Papa manggil buat makan.""Aku nggak makan, bi. Mau langsung tidur aja." Zian menyahut dari dalam."Tapi, tadi siang kan aden nggak makan." bi Asri berucap dengan cemas."Udah makan, kok. Bareng Danu." Zian berbohong. Dia sebenarnya lapar, hanya saja malas jika harus bertemu lagi dengan Rere. Dia tidak suka gadis itu."Yaudah, bibi kasih tau Papa aden."Zian tidak menjawab. Setelahnya, bi Asri langsung pergi.Zian menjatuhkan diri di atas ranjang yang empuk. Dengan kedua tangan menopang kepala, dia menatap langit-langit kamarnya. Menghela napas beberapa kali se
My StepBrother, I Love U. Bagian 6 ORANG YANG TIDAK PENGERTIAN~ Ma, Rere nggak betah ~ 🍁 Menjadi Rere tidaklah mudah. Gadis itu tengah mengepak pakaian ke dalam koper saat Papa dan Mamanya berselisih paham di ruang tengah. Mereka saling tuding, saling melempar tanggung jawab atas anak mereka, Rere. Menentukan siapa yang akan membawa gadis itu nanti. Karina, wanita cantik dengan kulit seputih giok dan rambut kastanye bergelombang yang menutupi kedua bahunya itu sedang mengomel. Dia melayangkan protes-protesnya pada Arga, sang suami. Dengan lantang wanita itu menuduh Arga tidakmau ikut bertanggung jawab atas kehidupan Rere. Dan lebih memprioritaskan Zian, anak dari istri pertamanya. Arga tersungu
"Rere Sini." Amel memanggil sembari menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. Tepat saat Rere bingung hendak duduk di mana setelah di usir oleh Zian kemarin, gadis tomboy itu memberinya solusi. "Duduk bareng gue aja." ajaknya. Rere mendekat lalu duduk di bangku sebelah Amelia dengan hati-hati. "Thanks.""Kemaren kenapa pulang gitu aja?" Amel bertanya, dia menyatukan tangannya pada meja kemudian membaringkan kepala, menatap pada Rere. Gadis berambut kastanye itu menggeleng kaku. "Nggak apa apa."
Malam itu, Rere tidak bisa tidur. Dia terus merapatkan matanya kuat kuat, namun tak juga terlelap.Bayangan wajah Zian, dan moment ketika lelaki itu mengucapkan terimakasih terus berputar di kepalanya seperti role film.Kesal berguling guling tanpa arah, gadis berambut kastanye itu bangkit dan duduk bersidekap di atas kasur. Di tengok jam dinding yang ada di dekat jendela, pukul 02.05 dini hari.Shitt!Dia benar benar tidak diberi rasa kantuk sedikit pun.Setelah menghela napas panjang berulang kali, Rere akhirnya memutuskan turun dari ranjang, berjalan ke arah dapur untuk membuat susu hangat.Katanya, meminum susu membuat orang cepat mengantuk. Dia ingin mencoba metode itu. Barang kali berhasil.Setelah menyusuri ruang demi ruang rumah yang gelap, gadis bernama asli Renata itu menyalakan saklar lampu dapur. Ia beringsut membuka kulkas dan mengambil kotak susu UHT berukuran 1 liter. Menuangkan
Bel sekolah berbunyi.Menandakan waktu pembelajaran telah berakhir. Rere menoleh ke sebelah kirinya, ke arah bangku yang Zian duduki. Di sana, remaja itu tengah berbincang heboh bersama teman-temannya sembari merapikan alat tulis ke dalam tas.Jarang sekali Rere melihat dia tertawa lepas, atau bahkan tersenyum saat berbicara dengannya. Tapi, saat melihat Zian begitu ekspresif bersama teman-temannya, entah mengapa gadis itu menjadi ikut merasa senang.Apa Zian akan bermain basket lagi?Apa dia harus menunggu seperti kemarin?"Abis ini, lo free nggak, Re?" Amel teman sebangkunya tiba tiba bertanya.Rere spontan menoleh padanya. "Mm .. Iya, kenapa emang?"Gadis tomboy itu memajukan wajahnya lalu berbisik. "Hang Out, yuk.""Kemana?""Ada deh. Lo pasti suka." ucap Amel sambil menggoyangkan alisnya percaya diri."Iya, tapi kemana dulu?""Southbank."Rere kontan mengerutkan alisnya. "Tempat apaan tuh?""Makanya ikut aja.""Sekarang?"Amel tidak bisa untuk tidak menahan tawa. Teman sebangkuny
Malam sabtu ini, untuk pertama kalinya Rere pergi keluar rumah. Dia seperti menemukan kehidupan baru di jalan jalan Bandung yang ramai.Amel menunjukan beberapa angkringan makanan ringan yang bisa mereka beli untuk sekedar mengganjal perut. Dari mulai batagor, cilok bakar sampai tahu isi. Rere menikmati cemilannya bersama si gadis tomboy.Mereka berkeliling alun alun raya yang ramai dengan pedagang dan pengunjung, ada pula turis yang sedang berwisata kuliner, mereka tampak menikmati jajanan khas Bandung sama seperti Rere.Amelia menceritakan beberapa tempat yang bagus yang biasanya dipenuhi pengunjung, dia juga menceritakan pengalaman kencan pertamanya dengan seorang pria di taman jomblo. Lalu bernostalgia mengingat bagaimana dulu dia berubah menjadi tomboy seperti sekarang.Rere menjadi pendengar yang baik sepanjang perjalanan petualangan mereka. Dia menyukai sifat terbuka Amelia dan cerita cerita lucunya meski beberapa terdengar kurang masuk akal.Di sini, Rere akhirnya memutuskan m
"Eh gue anterin pulang, ya?" tawar Roni menawarkan tumpangan pada Rere saat Gadis itu hendak pulang bersama Amelia.Rere menjawab "Enggak usah. Gue pulang bareng Amel, aja. Kita naik motor, kok." ucapnya masih terlihat malu-malu. Roni tersenyum. "Mending sama gue aja. Gue bawa mobil. Ya, siapa tau nanti hujan kan nggak bakal kehujanan." pria itu belum menyerah. Rere menengok ke arah temannya. "Terus Amel gimana?" Gadis tomboy itu menepuk bahu Renata dengan santai "Gak usah pikirin gue, gue bisa kok balik sendiri." ucapnya. "Tapi kan udah malem juga. masa iya gue pulang ke rumah jam segini." "Eh, iya juga sih." Amelia berpikir. "Ya udah lo nginep di rumah gue aja. Besok pagi gue anterin lo pulang.""Oke." Rere tampak setuju. "Gue nginep di rumah lo.""Jadi ... Nggak mau diantar, nih?" Roni kembali bertanya. "Enggak deh, kak. Next time aja." jawab gadis itu sambil tersenyum. "Oke." Roni menoleh ke arah Amel. "Lain kali ajak dia nongki bareng kita lagi di sini." ucapnya. "Siappp
"Oma, Zian cuma tanya ... Emang ada kejadian apa waktu Zian kecil?" Remaja itu terus mendesak wanita tua di depannya karena rasa penasaran yang luar biasa. Sejak Oma Linda bilang kalau dia tahu tentang Rere dan juga Mama tirinya, Zian seperti dihantui sesuatu. Dia mengalami kejadian serius dahulu, tapi tidak dapat ia ingat sama sekali. "Omaaa ..." Zian kembali merengek. Wanita tua yang di panggil Oma itu menyimpan cangkir tehnya pada tatakan. Di atas bukit belakang rumahnya, mereka menggelar sebuah kain kecil untuk piknik sekedar menikmati pemandangan pagi di taman bunga buatannya. Dia merawat tempat ini dengan sangat apik dan tertata. Bunga bunga yang berwarna warni begitu terlihat cantik dan menawan saat di terpa sinar matahari pagi. Maniknya yang sayu dengan kelopak mata yang turun karena faktor usia tidak memadamkan semangat dalam diri jompo tua itu. Dia menatap Zian dengan jutaan perasaan yang tidak bisa di jelaskan. Bibir keriputnya tersenyum, tapi matanya menyiratkan rasa i
"Oma, Zian cuma tanya ... Emang ada kejadian apa waktu Zian kecil?" Remaja itu terus mendesak wanita tua di depannya karena rasa penasaran yang luar biasa. Sejak Oma Linda bilang kalau dia tahu tentang Rere dan juga Mama tirinya, Zian seperti dihantui sesuatu. Dia mengalami kejadian serius dahulu, tapi tidak dapat ia ingat sama sekali. "Omaaa ..." Zian kembali merengek. Wanita tua yang di panggil Oma itu menyimpan cangkir tehnya pada tatakan. Di atas bukit belakang rumahnya, mereka menggelar sebuah kain kecil untuk piknik sekedar menikmati pemandangan pagi di taman bunga buatannya. Dia merawat tempat ini dengan sangat apik dan tertata. Bunga bunga yang berwarna warni begitu terlihat cantik dan menawan saat di terpa sinar matahari pagi. Maniknya yang sayu dengan kelopak mata yang turun karena faktor usia tidak memadamkan semangat dalam diri jompo tua itu. Dia menatap Zian dengan jutaan perasaan yang tidak bisa di jelaskan. Bibir keriputnya tersenyum, tapi matanya menyiratkan rasa i
"Eh gue anterin pulang, ya?" tawar Roni menawarkan tumpangan pada Rere saat Gadis itu hendak pulang bersama Amelia.Rere menjawab "Enggak usah. Gue pulang bareng Amel, aja. Kita naik motor, kok." ucapnya masih terlihat malu-malu. Roni tersenyum. "Mending sama gue aja. Gue bawa mobil. Ya, siapa tau nanti hujan kan nggak bakal kehujanan." pria itu belum menyerah. Rere menengok ke arah temannya. "Terus Amel gimana?" Gadis tomboy itu menepuk bahu Renata dengan santai "Gak usah pikirin gue, gue bisa kok balik sendiri." ucapnya. "Tapi kan udah malem juga. masa iya gue pulang ke rumah jam segini." "Eh, iya juga sih." Amelia berpikir. "Ya udah lo nginep di rumah gue aja. Besok pagi gue anterin lo pulang.""Oke." Rere tampak setuju. "Gue nginep di rumah lo.""Jadi ... Nggak mau diantar, nih?" Roni kembali bertanya. "Enggak deh, kak. Next time aja." jawab gadis itu sambil tersenyum. "Oke." Roni menoleh ke arah Amel. "Lain kali ajak dia nongki bareng kita lagi di sini." ucapnya. "Siappp
Malam sabtu ini, untuk pertama kalinya Rere pergi keluar rumah. Dia seperti menemukan kehidupan baru di jalan jalan Bandung yang ramai.Amel menunjukan beberapa angkringan makanan ringan yang bisa mereka beli untuk sekedar mengganjal perut. Dari mulai batagor, cilok bakar sampai tahu isi. Rere menikmati cemilannya bersama si gadis tomboy.Mereka berkeliling alun alun raya yang ramai dengan pedagang dan pengunjung, ada pula turis yang sedang berwisata kuliner, mereka tampak menikmati jajanan khas Bandung sama seperti Rere.Amelia menceritakan beberapa tempat yang bagus yang biasanya dipenuhi pengunjung, dia juga menceritakan pengalaman kencan pertamanya dengan seorang pria di taman jomblo. Lalu bernostalgia mengingat bagaimana dulu dia berubah menjadi tomboy seperti sekarang.Rere menjadi pendengar yang baik sepanjang perjalanan petualangan mereka. Dia menyukai sifat terbuka Amelia dan cerita cerita lucunya meski beberapa terdengar kurang masuk akal.Di sini, Rere akhirnya memutuskan m
Bel sekolah berbunyi.Menandakan waktu pembelajaran telah berakhir. Rere menoleh ke sebelah kirinya, ke arah bangku yang Zian duduki. Di sana, remaja itu tengah berbincang heboh bersama teman-temannya sembari merapikan alat tulis ke dalam tas.Jarang sekali Rere melihat dia tertawa lepas, atau bahkan tersenyum saat berbicara dengannya. Tapi, saat melihat Zian begitu ekspresif bersama teman-temannya, entah mengapa gadis itu menjadi ikut merasa senang.Apa Zian akan bermain basket lagi?Apa dia harus menunggu seperti kemarin?"Abis ini, lo free nggak, Re?" Amel teman sebangkunya tiba tiba bertanya.Rere spontan menoleh padanya. "Mm .. Iya, kenapa emang?"Gadis tomboy itu memajukan wajahnya lalu berbisik. "Hang Out, yuk.""Kemana?""Ada deh. Lo pasti suka." ucap Amel sambil menggoyangkan alisnya percaya diri."Iya, tapi kemana dulu?""Southbank."Rere kontan mengerutkan alisnya. "Tempat apaan tuh?""Makanya ikut aja.""Sekarang?"Amel tidak bisa untuk tidak menahan tawa. Teman sebangkuny
Malam itu, Rere tidak bisa tidur. Dia terus merapatkan matanya kuat kuat, namun tak juga terlelap.Bayangan wajah Zian, dan moment ketika lelaki itu mengucapkan terimakasih terus berputar di kepalanya seperti role film.Kesal berguling guling tanpa arah, gadis berambut kastanye itu bangkit dan duduk bersidekap di atas kasur. Di tengok jam dinding yang ada di dekat jendela, pukul 02.05 dini hari.Shitt!Dia benar benar tidak diberi rasa kantuk sedikit pun.Setelah menghela napas panjang berulang kali, Rere akhirnya memutuskan turun dari ranjang, berjalan ke arah dapur untuk membuat susu hangat.Katanya, meminum susu membuat orang cepat mengantuk. Dia ingin mencoba metode itu. Barang kali berhasil.Setelah menyusuri ruang demi ruang rumah yang gelap, gadis bernama asli Renata itu menyalakan saklar lampu dapur. Ia beringsut membuka kulkas dan mengambil kotak susu UHT berukuran 1 liter. Menuangkan
"Rere Sini." Amel memanggil sembari menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. Tepat saat Rere bingung hendak duduk di mana setelah di usir oleh Zian kemarin, gadis tomboy itu memberinya solusi. "Duduk bareng gue aja." ajaknya. Rere mendekat lalu duduk di bangku sebelah Amelia dengan hati-hati. "Thanks.""Kemaren kenapa pulang gitu aja?" Amel bertanya, dia menyatukan tangannya pada meja kemudian membaringkan kepala, menatap pada Rere. Gadis berambut kastanye itu menggeleng kaku. "Nggak apa apa."
My StepBrother, I Love U. Bagian 6 ORANG YANG TIDAK PENGERTIAN~ Ma, Rere nggak betah ~ 🍁 Menjadi Rere tidaklah mudah. Gadis itu tengah mengepak pakaian ke dalam koper saat Papa dan Mamanya berselisih paham di ruang tengah. Mereka saling tuding, saling melempar tanggung jawab atas anak mereka, Rere. Menentukan siapa yang akan membawa gadis itu nanti. Karina, wanita cantik dengan kulit seputih giok dan rambut kastanye bergelombang yang menutupi kedua bahunya itu sedang mengomel. Dia melayangkan protes-protesnya pada Arga, sang suami. Dengan lantang wanita itu menuduh Arga tidakmau ikut bertanggung jawab atas kehidupan Rere. Dan lebih memprioritaskan Zian, anak dari istri pertamanya. Arga tersungu
My StepBrother, I Love U. Bagian 5MENDADAK MENJADI KAKAK~Nggak ada mirip-miripnya~ 🍁"Den." bi Asri memanggil sembari mengetuk pintu kamar bercat coklat tempat Zian berada. "Papa manggil buat makan.""Aku nggak makan, bi. Mau langsung tidur aja." Zian menyahut dari dalam."Tapi, tadi siang kan aden nggak makan." bi Asri berucap dengan cemas."Udah makan, kok. Bareng Danu." Zian berbohong. Dia sebenarnya lapar, hanya saja malas jika harus bertemu lagi dengan Rere. Dia tidak suka gadis itu."Yaudah, bibi kasih tau Papa aden."Zian tidak menjawab. Setelahnya, bi Asri langsung pergi.Zian menjatuhkan diri di atas ranjang yang empuk. Dengan kedua tangan menopang kepala, dia menatap langit-langit kamarnya. Menghela napas beberapa kali se
My StepBrother, I Love U. Bagian 4MANUSIA BERNAMA RERE~Dia anak Papa, adik kamu~🍁Di dalam stadion, empat remaja itu duduk di jejeran paling depan. Tak banyak yang menonton pertandingan, mengingat ini hanya turnamen biasa yang selalu di adakan setiap minggu."Tunas bangsa! Tunas bangsa!""Cakar elang! Cakar elang!"Sorak sorai para gadis berpom-pom menambah ramai suasana di dalam stadion. Mereka secara bergantian menyoraki kedua kubu yang tengah sengit beradu taktik di lapangan. Grup Cakar elang mengguli skor sementara, di mana mereka mendapat nilai cukup jauh di banding grup lawannya yaitu Tunas bangsa.Zian tampak menikmati laju pertandingan. Matanya begitu fokus pada