“Jangan! Jangan kurung aku, Ma! Kumohon jangan!”Teriakan pilu itu tak didengar oleh siapa pun di rumah itu meski ada yang melihat. Semua bungkam dan menutup mata seolah tak melihat gadis kecil itu diseret paksa masuk ke sebuah gudang.“Ini balasan karena kamu berani memakan kueku! Kamu pikir aku membeli itu untuk dimakan kamu, hah!”Wanita itu menyeret beringas dengan cara menarik lengan gadis berumur sepuluh tahun itu. Dia tidak merasa iba atau kasihan meski gadis kecil itu menangis terus menerus.Hingga gadis itu didorong masuk ke sebuah gudang berdebu yang gelap, dia jatuh tersungkur dengan air mata yang jatuh membasahi lantai.“Ini hukuman bagimu! Kalau kamu merengek dan mengadu ke suamiku, maka aku akan menambah hukumanmu!” ancam wanita itu sebelum kemudian menutup pintu.Gadis kecil di gudang itu menangis sesenggukan, meringkuk sambil memeluk tubuhnya sendiri untuk bersembunyi dari rasa takut yang menghampiri.**“Ive! Ive bangun!” Alex menepuk kedua pipi Ive agar mau bangun.A
“Aku akan tidur di sofa,” ucap Ive sambil memeluk bantak. Alex tak punya pilihan selain membiarkan Ive tidur sekamar dengannya. Dia hanya tak tega melihat Ive tidur sendirian lantas bermimpi buruk lagi. Alex menatap Ive yang terlihat lebih tenang bisa tidur sekamar dengannya, hingga dia pun mengangguk membiarkan Ive tidur di tempat mana pun yang disukai. Ive sendiri tak keberatan tidur di sofa, dia juga tak berharap Alex menawarinya tidur di ranjang karena yang terpenting baginya ada yang menemani tidur. “Selamat malam.” Ive berjalan ke sofa, lantas mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Alex pun berjalan ke ranjang, lantas berhenti melangkah tepat di samping ranjang besar itu. Dia menoleh ke Ive, melihat gadis itu sudah berbaring dengan seulas senyum di wajah. “Apa aku sekejam ini?” Alex merasa bersalah membiarkan Ive tidur di sofa. “Ive,” panggil Alex. Ive membuka mata lantas menatap Alex. “Ya?” “Jika kamu mau, tidur di ranjang. Itu pun ….” Alex menjeda ucapannya karena me
“Sial, dia benar-benar memblokir nomorku.”Emanuel terlihat sangat kesal karena sejak semalam nomor Ive tidak bisa dihubungi. Bahkan pesannya pun tidak terkirim, membuat pria itu meradang.“Dia berani melawanku hanya karena sekarang mendapat dukungan. Dia pikir bisa mengalahkanku?”Emanuel geram sendiri karena tak menyangka Ive akan seberani ini kepadanya. Dia pun berpikir dengan keras, hingga tiba-tiba tersenyum.Emanuel pun keluar dari kamar karena harus bersiap ke kantor. Saat melewati kamar Carisa, Emanuel berpapasan dengan ibunya yang baru saja keluar dari kamar.“Mau ke kantor?” tanya Carisa.“Ya,” jawab Emanuel singkat.Pria itu pun berjalan menuju ruang makan untuk sarapan sebelum berangkat.“Siang ini jangan lupa, kita harus menemui pengacara untuk membahas sisa warisan yang dimiliki mendiang papamu,” ujar Carisa tak sabar melihat pengacara membacakan surat peninggalan suaminya sebelum meninggal.Emanuel menghentikan langkah mendengar ucapan Carisa, lantas menoleh ke sang mam
Carisa dan Emanuel pergi ke kantor pengacara mendiang suaminya. Mereka tentu saja ingin segera mengetahui isi wasiat, juga jumlah sisa harta yang dimiliki termasuk rumah yang mereka huni sekarang.“Bagaimana kalau Ive mendapat bagian harta Papa?” tanya Emanuel saat berjalan masuk gedung pengacara.“Kamu pikir aku akan membiarkannya? Aku tidak akan pernah membiarkan Ive mendapatkan apa pun dari papamu. Dia pikir siapa? Hanya anak tanpa hubungan apa pun, dia berhak apa?” Carisa langsung sewot mendengar Emanuel membahas tentang Ive.Emanuel hanya melirik mendengar ucapan Carisa, hingga akhirnya memilih diam.Mereka sudah sampai di depan ruangan pengacara, lantas masuk setelah dipersilakan asisten pengacara.“Kalian datang untuk mendengar surat wasiat dari Pak Adit?” tanya pengacara itu saat melihat Carisa dan Emanuel masuk ke ruangannya.“Tentu saja kami datang untuk itu. Kami cukup bersabar menunggu karena suamiku malah memilih tanggal ini untuk membacakan surat wasiatnya,” balas Carisa
Carisa memalingkan muka saat melihat Ive datang, tapi saat melihat Alex juga datang, wanita itu langsung mengubah ekspresi wajah menjadi seulas senyum.Ive sendiri memasang wajah datar sambil menatap Emanuel dan Carisa bergantian.“Pengacara sudah menunggu di dalam,” ucap Emanuel saat Ive sudah ada di hadapannya.Ive tak banyak bicara. Dia memilih masuk lebih dulu lantas disusul oleh Alex.Carisa dan Emanuel saling tatap, keduanya pun sama was-wasnya karena pengacara menginginkan kehadiran Ive.“Evelyn.” Pengacara itu langsung menyapa gadis itu.Ive tersenyum ramah sambil menganggukkan kepala. Dia kemudian duduk di kursi yang tersedia di ruangan itu.“Jadi, saya bisa mulai membacakan wasiat Pak Adit,” ucap pengacara itu membawa amplop cokelat besar yang tersegel.Ive dan Alex duduk berdua, sedangkan Carisa dan Emanuel duduk di singel sofa yang terdapat di kanan kiri sofa tempat Ive duduk.Pengacara itu memandang satu persatu keluarga mendiang kliennya, lantas meminta izin untuk membuk
“Ive.”Alex sangat panik melihat Ive yang menangis. Dia menepikan mobil lantas berhenti di bahu jalan.Ive semakin menangis sambil memeluk kertas yang dipegang di dada.Alex melepas seat belt, lantas berusaha memeluk Ive untuk menenangkan. Dia menyandarkan kepala Ive di dadanya. Alex benar-benar penasaran dengan isi surat yang dibaca karena sampai membuat Ive seperti itu.“Kenapa harus sekarang? Kenapa harus sekarang aku baru tahu?” Ive bicara sambil sesenggukan. Dia benar-benar tak menyangka semua akan terjadi kepadanya.Alex memperhatikan sekitar. Mereka tak mungkin bisa berhenti lama-lama di sana.“Kita kembali ke apartemen agar kamu bisa menenangkan diri dulu,” ucap Alex sambil mengusap rambut Ive lantas melepas pelukan.Ive tak membalas ucapan Alex. Dia masih larut dengan kesedihan akan fakta yang baru saja diketahuinya.Alex kembali memakai seat belt, lantas melajukan mobil menuju apartemen. Sepanjang jalan Ive masih menangis, membuat Alex benar-benar cemas dengan kondisi gadis
“Kita mau ke mana? Kamu tidak ke perusahaan lagi?” tanya Ive saat Alex mengajaknya pergi tapi bukan ke arah perusahaan.“Merayakan hari spesialmu, mana mungkin aku mengabaikan saja hari ulang tahunmu,” jawab Alex sambil menoleh sekilas sebelum kembali fokus di jalanan.Ive sangat terkejut melihat Alex yang sangat antusias ingin merayakan ulang tahunnya. Sikap pria itu benar-benar membuat Ive luluh dan bersyukur.Alex mengajak Ive pergi ke restoran bintang lima. Dia memesan private room untuk merayakan ulang tahun Ive.“Apa di sini ada menu kue ulang tahun?” tanya Alex ke pelayan yang memberikan buku menu ke mereka.Ive sangat terkejut mendengar pertanyaan Alex, tak menyangka pria itu menanyakan menu yang mungkin tidak bisa dipesan tanpa booking.“Untuk kue kami tidak memiliki kue untuk ulang tahun, tapi kami memiliki beberapa menu kue andalan yang bisa dijadikan untuk mengganti kue ulang tahun,” ujar pelayan.“Baiklah, tapi bisa tambah satu lilin?” Alex setuju memesan kue biasa.Pelay
“Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya pengacara itu. Ive tiba-tiba saja ingin tahu soal bagaimana dirinya bisa bersama ibu dan ayahnya yang sekarang, sehingga dia mencoba mencari tahu dari sahabat ayahnya itu. “Apa Paman tahu kenapa aku bisa bersama Mama? Apa aku diadopsi? Atau bagaimana?” tanya Ive penasaran. “Papamu sudah membuar rekaman untuk menjelaskan masalah siapa kamu dan dari mana berasal. Flashdisk-nya ada di kardus,” jawab pria itu karena tak tahu banyak hal soal asal Ive. Ive langsung membuka kardus yang tadi dibawa pengacara ayahnya, hingga menemukan flashdisk di sana. “Ada sesuatu yang aku sendiri tidak tahu kenapa papamu berusaha melindungimu, meski di rumah sendiri kamu seperti di neraka. Tapi yang jelas, itu semua demi keselamatanmu,” ujar pria itu. “Aku benar-benar tak tahu soal dari mana kamu berasal. Tapi satu yang aku tahu, mamamu datang membawamu dalam gendongan saat umurmu baru beberapa bulan. Dia datang dengan wajah kuyu, lantas memohon ke ayahmu untuk men