“Sial, dia benar-benar memblokir nomorku.”Emanuel terlihat sangat kesal karena sejak semalam nomor Ive tidak bisa dihubungi. Bahkan pesannya pun tidak terkirim, membuat pria itu meradang.“Dia berani melawanku hanya karena sekarang mendapat dukungan. Dia pikir bisa mengalahkanku?”Emanuel geram sendiri karena tak menyangka Ive akan seberani ini kepadanya. Dia pun berpikir dengan keras, hingga tiba-tiba tersenyum.Emanuel pun keluar dari kamar karena harus bersiap ke kantor. Saat melewati kamar Carisa, Emanuel berpapasan dengan ibunya yang baru saja keluar dari kamar.“Mau ke kantor?” tanya Carisa.“Ya,” jawab Emanuel singkat.Pria itu pun berjalan menuju ruang makan untuk sarapan sebelum berangkat.“Siang ini jangan lupa, kita harus menemui pengacara untuk membahas sisa warisan yang dimiliki mendiang papamu,” ujar Carisa tak sabar melihat pengacara membacakan surat peninggalan suaminya sebelum meninggal.Emanuel menghentikan langkah mendengar ucapan Carisa, lantas menoleh ke sang mam
Carisa dan Emanuel pergi ke kantor pengacara mendiang suaminya. Mereka tentu saja ingin segera mengetahui isi wasiat, juga jumlah sisa harta yang dimiliki termasuk rumah yang mereka huni sekarang.“Bagaimana kalau Ive mendapat bagian harta Papa?” tanya Emanuel saat berjalan masuk gedung pengacara.“Kamu pikir aku akan membiarkannya? Aku tidak akan pernah membiarkan Ive mendapatkan apa pun dari papamu. Dia pikir siapa? Hanya anak tanpa hubungan apa pun, dia berhak apa?” Carisa langsung sewot mendengar Emanuel membahas tentang Ive.Emanuel hanya melirik mendengar ucapan Carisa, hingga akhirnya memilih diam.Mereka sudah sampai di depan ruangan pengacara, lantas masuk setelah dipersilakan asisten pengacara.“Kalian datang untuk mendengar surat wasiat dari Pak Adit?” tanya pengacara itu saat melihat Carisa dan Emanuel masuk ke ruangannya.“Tentu saja kami datang untuk itu. Kami cukup bersabar menunggu karena suamiku malah memilih tanggal ini untuk membacakan surat wasiatnya,” balas Carisa
Carisa memalingkan muka saat melihat Ive datang, tapi saat melihat Alex juga datang, wanita itu langsung mengubah ekspresi wajah menjadi seulas senyum.Ive sendiri memasang wajah datar sambil menatap Emanuel dan Carisa bergantian.“Pengacara sudah menunggu di dalam,” ucap Emanuel saat Ive sudah ada di hadapannya.Ive tak banyak bicara. Dia memilih masuk lebih dulu lantas disusul oleh Alex.Carisa dan Emanuel saling tatap, keduanya pun sama was-wasnya karena pengacara menginginkan kehadiran Ive.“Evelyn.” Pengacara itu langsung menyapa gadis itu.Ive tersenyum ramah sambil menganggukkan kepala. Dia kemudian duduk di kursi yang tersedia di ruangan itu.“Jadi, saya bisa mulai membacakan wasiat Pak Adit,” ucap pengacara itu membawa amplop cokelat besar yang tersegel.Ive dan Alex duduk berdua, sedangkan Carisa dan Emanuel duduk di singel sofa yang terdapat di kanan kiri sofa tempat Ive duduk.Pengacara itu memandang satu persatu keluarga mendiang kliennya, lantas meminta izin untuk membuk
“Ive.”Alex sangat panik melihat Ive yang menangis. Dia menepikan mobil lantas berhenti di bahu jalan.Ive semakin menangis sambil memeluk kertas yang dipegang di dada.Alex melepas seat belt, lantas berusaha memeluk Ive untuk menenangkan. Dia menyandarkan kepala Ive di dadanya. Alex benar-benar penasaran dengan isi surat yang dibaca karena sampai membuat Ive seperti itu.“Kenapa harus sekarang? Kenapa harus sekarang aku baru tahu?” Ive bicara sambil sesenggukan. Dia benar-benar tak menyangka semua akan terjadi kepadanya.Alex memperhatikan sekitar. Mereka tak mungkin bisa berhenti lama-lama di sana.“Kita kembali ke apartemen agar kamu bisa menenangkan diri dulu,” ucap Alex sambil mengusap rambut Ive lantas melepas pelukan.Ive tak membalas ucapan Alex. Dia masih larut dengan kesedihan akan fakta yang baru saja diketahuinya.Alex kembali memakai seat belt, lantas melajukan mobil menuju apartemen. Sepanjang jalan Ive masih menangis, membuat Alex benar-benar cemas dengan kondisi gadis
“Kita mau ke mana? Kamu tidak ke perusahaan lagi?” tanya Ive saat Alex mengajaknya pergi tapi bukan ke arah perusahaan.“Merayakan hari spesialmu, mana mungkin aku mengabaikan saja hari ulang tahunmu,” jawab Alex sambil menoleh sekilas sebelum kembali fokus di jalanan.Ive sangat terkejut melihat Alex yang sangat antusias ingin merayakan ulang tahunnya. Sikap pria itu benar-benar membuat Ive luluh dan bersyukur.Alex mengajak Ive pergi ke restoran bintang lima. Dia memesan private room untuk merayakan ulang tahun Ive.“Apa di sini ada menu kue ulang tahun?” tanya Alex ke pelayan yang memberikan buku menu ke mereka.Ive sangat terkejut mendengar pertanyaan Alex, tak menyangka pria itu menanyakan menu yang mungkin tidak bisa dipesan tanpa booking.“Untuk kue kami tidak memiliki kue untuk ulang tahun, tapi kami memiliki beberapa menu kue andalan yang bisa dijadikan untuk mengganti kue ulang tahun,” ujar pelayan.“Baiklah, tapi bisa tambah satu lilin?” Alex setuju memesan kue biasa.Pelay
“Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya pengacara itu. Ive tiba-tiba saja ingin tahu soal bagaimana dirinya bisa bersama ibu dan ayahnya yang sekarang, sehingga dia mencoba mencari tahu dari sahabat ayahnya itu. “Apa Paman tahu kenapa aku bisa bersama Mama? Apa aku diadopsi? Atau bagaimana?” tanya Ive penasaran. “Papamu sudah membuar rekaman untuk menjelaskan masalah siapa kamu dan dari mana berasal. Flashdisk-nya ada di kardus,” jawab pria itu karena tak tahu banyak hal soal asal Ive. Ive langsung membuka kardus yang tadi dibawa pengacara ayahnya, hingga menemukan flashdisk di sana. “Ada sesuatu yang aku sendiri tidak tahu kenapa papamu berusaha melindungimu, meski di rumah sendiri kamu seperti di neraka. Tapi yang jelas, itu semua demi keselamatanmu,” ujar pria itu. “Aku benar-benar tak tahu soal dari mana kamu berasal. Tapi satu yang aku tahu, mamamu datang membawamu dalam gendongan saat umurmu baru beberapa bulan. Dia datang dengan wajah kuyu, lantas memohon ke ayahmu untuk men
“Siapa yang menghubungimu?” tanya seorang pria ke Adit, ketika Adit masih muda dan berumur 30 tahunan.“Dia sekretaris rekan bisnisku,” jawab Adit, “dia ingin bertemu.”Sahabat Adit itu pun mengangguk-anggukan kepala, hingga dia menemani Adit untuk bertemu wanita yang dimaksud.Mereka menunggu di sebuah restoran yang sudah dijanjikan. Hingga beberapa saat kemudian seorang wanita menggendong bayi datang menghampiri Adit dan sahabatnya.“Pak Adit, maaf jika saya mengganggu waktu Anda,” kata sekretaris itu.“Tidak masalah. Saya tidak mungkin mengabaikan rekan bisnis saya sendiri,” kata Adit mempersilakan wanita itu duduk.Wanita itu melirik sahabat Adit, seolah tak nyaman jika ada orang lain di sana.“Apa kita bisa bicara berdua?” tanya wanita itu.Adit menoleh sahabatnya, hingga akhirnya teman Adit pun mempersilakan. Dia pergi dari ruangan itu.“Kamu bisa bicara sekarang,” kata Adit.Wanita itu memberikan tas yang dipegangnya ke Adit, membuat pria itu kebingungan. Belum juga kebingungan
“Swiss?” Ayana sangat terkejut saat Alex mengungkap keinginan pergi ke Swiss bersama Ive.“Ya, kami berencana bulan madu ke sana,” jawab Alex sambil menaik-turunkan kedua alis.Ayana langsung memicingkan mata curiga menatap Alex. Adiknya itu ingin menikah karena kasihan, bagaimana bisa sekarang bilang ingin bulan madu.“Kalian ini hanya akan menikah kontrak, buat apa bulan madu?” tanya Ayana.Alex melebarkan senyum, lantas menjawab, “Sudah tidak ada rencana kontrak lagi. Aku dan Ive benar-benar akan menikah,” jawab Alex.Ayana cukup terkejut mendengar ucapan Alex, tapi meski begitu dia tak langsung percaya begitu saja.“Tidak usah membohongiku, apa sebenarnya yang kamu rencanakan?” Ayana mencoba mengintimidasi agar Alex jujur.Alex membuang napas kasar, lantas membalas, “Serius, aku dan Ive benar-benar akan menikah karena memang menginginkan bukan karena kontrak, Ay. Ive membutuhkanku dan aku pun membutuhkannya.”Ayana menatap Alex dengan rasa tak percaya, tapi jika memang benar Alex