Bugh!
Mata Luna yang terpejam saat menanti kecupan bibir dari Adrian seketika terbuka lebar saat melihat kekasihnya, Adrian, sudah tersungkur di atas tanah.Seolah belum puas melihat Adrian kesakitan dengan pukulan yang baru saja Matteo daratkan, Matteo Vicenzo yang merupakan bodyguard Luna, kembali menghujani pukulan di perut Adrian."Teo, hentikan!" pekik Luna Winterbourne yang berhasil membuat Matteo menghentikan pukulannya, sehingga tangan mengepal pria itu berhenti di udara.Gadis itu mendekati Adrian yang susah payah berusaha bangkit ke posisi duduk.Sentuhan Luna pada wajah Adrian yang memar seketika mendapat tepisan kasar dari kekasihnya."Aku sudah berulang kali mengatakan padamu untuk tidak membawa bodyguardmu saat kita bertemu! Dia selalu saja mengacaukan segalanya!" geram Adrian sebelum akhirnya bangkit perlahan dan pergi meninggalkan Luna.Alis Luna bertaut, dia sendiri tidak tau dari mana arah datangnya Matteo. Pria itu muncul tiba-tiba tanpa terdengar suara derap sepatu pantofel yang dia kenakan. Seingat Luna, dia sudah meminta agar Matteo hanya menunggunya di dalam mobil."Adrian, kau mau kemana?" panggil Luna yang sama sekali tidak Adrian hiraukan. Pria itu berjalan menjauhi bangku taman yang semula mereka duduki."Lihat apa yang sudah kau lakukan!" geram Luna sembari memijit pelipisnya yang berdenyut dengan satu tangan. Raut wajah gadis itu menunjukkan kekecewaan pada pria berwajah tanpa dosa di hadapan. Pria itu seolah tidak menyadari bahwa dia bisa saja membuat Adrian kehilangan nyawanya seandainya tetap menghujani calon tunangannya tersebut dengan pukulan. "Kau selalu saja datang di waktu yang tidak tepat!" maki Luna kemudian, yang membuat salah satu alis Matteo naik mendekati dahi.Matteo tidak menyangka jika gadis di hadapannya begitu bodoh sehingga mau meneruskan hubungan dengan pria yang nyaris memperkosanya seandainya Matteo tidak menguntitnya pada saat Adrian membawa Luna pergi berlibur."Hari sudah menjelang malam, Nona. Sebaiknya kita segera kembali ke rumah sebelum Tuan Alex meneleponku untuk menanyakan keberadaanmu." jawab Matteo sembari mengambil tas Luna yang semula terletak di atas kursi taman, lalu berjalan menuju mobil majikannya yang terparkir di bahu jalan."Hey, aku belum selesai bicara, jangan menginterupsi pembicaraanku!" pekik Luna yang dengan terpaksa mengikuti pengawalnya menuju mobil.Matteo membukakan pintu mobil untuk Luna dan kembali menatap gadis yang dia kawal dengan raut tanpa emosi."Silahkan masuk, Nona."Melihat ekspresi menyebalkan pengawalnya tersebut, seketika wajah Luna merah padam. Gadis itu melipat tangan di depan dada dan menatap Matteo dengan tatapan intens.Apakah pria di hadapannya itu tuli atau memang pura-pura bodoh dengan tidak merespon makiannya tadi?Untuk beberapa menit satu sama lain saling mendiamkan, hingga Matteo kembali menaikkan salah satu alisnya mendekati dahi dan menunjuk ke dalam mobil."Aku mau pulang bersamamu, tapi dengan satu syarat!" ucap Luna membuka sesi negosiasi."Katakan apa syarat itu." jawab Matteo dengan satu tarikam nafas. Dia merasa enggan melayani pembicaraan Luna yang sering kali bersikap kekanak-kanakan."Mulai sekarang, berhenti untuk mengikuti kemana pun aku pergi! Aku sangat muak denganmu!" Luna menekan dada bidang bodyguardnya dengan jari telunjuk, yang membuat mata Matteo mengerling ke arah jari lentik yang sedang menyantuh dadanya. "Bagaimana? Apakah kau bisa menyetujui persyaratan dariku?"Matteo menggenggam tangan Luna dan menjauhkan jari gadis itu dari dadanya."Saya bersedia untuk tidak lagi mengikuti kemana pun Nona pergi, asalkan dengan persetujuan Tuan Alex." jawab Matteo sembari memasukkan gadis itu secara paksa ke dalam mobil dan langsung menguncinya.Setelah peristiwa menyebalkan di taman sore itu, Luna langsung menemui ayahnya di ruang kerja pria tersebut. Dia sudah sangat muak dengan kelakuan bodyguardnya yang super menyebalkan.Suara ketukan pintu membuat Alex yang baru saja merapihkan meja kerjanya menyahut agar seseorang di seberang pintu masuk ke ruang kerjanya."Ku lihat langit senja sore ini cukup cerah. Tetapi mengapa wajahmu mendung, Darling?" Alex langsung melempar pertanyaan saat mendapati putri kesayangannya masuk ke ruang kerja dengan wajah murung.Luna langsung mengambil posisi duduk dengan kedua tangan terlipat di depan dada, bibir gadis itu mengerucut, itu tandanya sesuatu yang menyebalkan baru saja terjadi. Alex tahu, bahwa gadis itu akan mengadukan suatu hal padanya.“Katakanlah putriku, apa yang ingin kau adukan kepada ayah?” tanya Alex sembari tersenyum dan menatap dengan teduh wajah putrinya tersebut.Tak berselang lama, Matteo masuk ke dalam ruang kerja Alex membawakan tas ransel milik Luna. Pria 32 tahun tersebut ingin mendengar apakah Alex akan menyetujui permintaan Luna yang menginginkannya untuk tidak lagi mengikuti kemanapun gadis itu pergi.Tatapan Luna dan Matteo sempat bertemu, namun dengan cepat Luna membuang wajah dari pria itu.Alex yang melihat gesture putri kesayangannya tersebut seketika menautkan alis. Apa yang sebenarnya terjadi antara Luna dan Matteo?Luna berdaham sebelum mengutarakan permintaannya pada ayahnya.“Ayah, mulai sekarang aku tidak ingin Matteo mengikutiku kemana pun aku pergi.” ucap Luna lalu mendengus setelahnya. Gadis itu sendiri pun sudah bisa menebak, bahwa permintaannya tersebut tentu tidak disetujui oleh ayahnya.Alex tampak menimbang. Pasti ada sesuatu yang mendasari permintaan putri kesayangannya tersebut.“Sulit bagi ayah untuk menyetujui permintaanmu, Luna. Kau putri kesayangan ayah, dan ayah tidak ingin sesuatu tak diinginkan terjadi padamu.” Alex melepas kacamata baca yang semula bertengger di batang hidungnya, sembari menegakkan posisi duduk. Pria itu meletakkan kedua tangannya yang terlipat di atas meja, menunjukkan gesture bahwa dia siap medengar penjelasan Luna dengan seksama.“Hari ini dia sudah memukul Adrian, Ayah.” ucap Luna sembari melirik sinis ke arah Matteo yang berdiri di sampingnya.Kernyitan di dahi Alex semakin dalam, karena menurutnya tidak mungkin jika Matteo memukul calon tunangan putrinya tersebut tanpa alasan.“Benarkah begitu, Matteo?” tanya Alex sembari melarikan tatapannya ke arah bodyguard yang dia pilih untuk menjaga Luna.“Benar, Tuan.” tanpa sedikit pun perasaan gentar Matteo mengangguk.“Mengapa kau melakukannya?” pertanyaan Alex membuat Luna menoleh cepat ke arah Matteo, Luna berharap pria itu tidak akan menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Alex.“Karena tuan Adrian berusaha mencium bibir Nona Luna, Tuan. Sudah menjadi tugasku sebagai pengawal melindungi niat buruk seseorang kepada putri Anda.”Seketika kedua mata Luna terbuka lebar, dia tidak menyangka bahwa Matteo benar-benar menceritakan kejadian sebenarnya. Seketika rona merah menjalari pipinya karena merasa malu.“Apa maksudmu mengatakan bahwa Adrian memiliki niat buruk? Aku dan Adrian sebentar lagi akan bertunangan, dan melakukan ciuman bibir adalah hal yang wajar bagi sepasang kekasih.” Luna mengibaskan sebagian rambut yang berada di bahunya ke belakang, entah mengapa tiba-tiba udara terasa panas baginya.Alex menggeleng sembari tersenyum. Dia begitu bangga dengan Matteo yang benar-benar menjaga anak gadisnya, Matteo bahkan berani melarang Adrian dengan tegas saat hendak mencium Luna, meski Matteo tau bahwa Adrian merupakan calon tunangan Luna.Segala yang Alex inginkan atas seseorang yang menjaga putri kesayangannya ada pada diri Matteo. Karena Alex sangat berharap Luna tetap terjaga kehormatannya, sampai seorang pria mengucapkan janji pernikahan terhadap Luna di hadapannya.“Maafkan ayah, Luna, tapi apa yang dilakukan Matteo sudah benar. Kau putri kesayangan Ayah, dan Ayah ingin kehormatanmu tetap utuh, walau yang hendak merenggutnya adalah calon tunanganmu sendiri."Seketika Luna melayangkan protes," Ayah, aku dan Adrian hanya sekedar berciuman, kami tidak terpikir untuk melakukan hal yang lebih jauh dari itu! Dan berulang kali Adrian handak melakukannya, Matteo selalu saja menggagalkan!" gadis itu melihat Matteo dengan tatapan menghunus, namun tentu saja hal itu tidak membuat Matteo gentar.Matteo berdeham untuk menyuarakan sebuah kalimat yang seketika itu juga disetujui oleh Alexander, namun tidak dengan Luna."Maaf, saya disini berbicara tanpa maksud memprofokasi. Mungkin Nona hanya akan diperlakukan lembut seperti berpegangan tangan awalnya. Setelah itu dia akan mencium pipi dan juga bibir. Dan ketika tidak ada penolakan dari Anda dan dia berhasil membuat Anda merasa terbiasa dengan perlakuannya, hal yang lebih jauh sangat mungkin untuk terjadi." jelas Matteo sembari menatap Luna dengan tatapan kemenangan."Apa yang membuat wajahmu babak belur begitu?" tanya Emily saat mendapati wajah Adrian memar. "Bodyguard bodoh Luna menghajarku tanpa sebab." jawab Adrian berbohong dan memasang raut wajah polos, karena tidak mungkin dia mengaku kepada Emily bahwa memar di wajahnya terjadi karena dia berusaha mencium Luna, yang tak lain adalah saudara tiri Emily. Bisa-bisa Emily marah saat itu juga. Pria itu menyesap minuman yang sudah Emily pesan beberapa menit sebelum pria itu datang ke cafe tempat mereka berada saat ini. Di kursi seberang meja, Emily menatap lekat pada wajah kekasihnya tesebut. Karena sedingin apa pun pembawaan Matteo, tetapi menurutnya pria itu bukanlah orang dengan gangguan jiwa yang akan menyerang siapa pun tanpa alasan. Emily meragukan jawaban Adrian. “Kau pasti berbohong! Pasti kau melakukan sesuatu yang membuat amarahnya tersulut.” desak Emily dengan tatapan penuh selidik.Andrian pun menarik nafas berat dan menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya mengakui kesalahannya
"Bastard!" geram Matteo saat mendapati tubuhnya terjerembab di atas lantai tanpa menyadari siapa pelaku yang mendorongnya.Pria 32 tahun itu berjalan gontai menuju ke sebuah ranjang, karena dalam keadaan mabuk berat pun dia tau bahwa berbaring di ranjang jauh lebih nyaman dari pada di atas lantai yang dingin.Dibawah pengaruh psikedelik yang Adrian masukkan ke dalam minumannya, menjadikan Matteo berhalusinasi dan mulai bereuforia saat melihat gadis yang dia sukai terlelap di atas ranjang hanya menggunakan pakaian dalam, sementara gaun indah yang melekat pada tubuhnya tergeletak di atas lantai."Ah, Luna, aku nyaris berpikir bahwa harapanku akan pupus malam ini." gumam Matteo sembari menyentuh pipi Luna yang sehalus porseline cina. "Ternyata aku salah, kau datang dan menyerahkan tubuhmu sepenuhnya padaku! Sekarang aku sadar, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan!" Dalam halusinasinya, Matteo melihat Luna seolah sangat berhasrat padanya, sehingga ia pun tertawa renyah karenannya."Baik
Diliputi perasaan gelisah, Luna ahirnya memenuhi panggilan ayahnya ke ruang tamu diikuti oleh Matteo yang juga memenuhi panggilan Alex. Ternyata tidak hanya Alex yang ada di sana, ada Adrian dan juga kedua orang tuanya, Robert Carter dan Sarah Carter. Semua orang yang ada di sana menatap Matteo dan Luna dengan tatapan benci. Seketika atmosfer di ruangan tersebut terasa berat bagi Luna. "Ada apa Ayah memanggilku?" tanya Luna yang sama sekali tidak tahu apa tujuan Alex memanggilnya. Raut wajah polos Luna seketika menambah kemarahan Alex. "Jangan berpura-pura bodoh di hadapanku!" gram Alex dengan kedua tangan mengepal di atas pangkuan. "Apa maksudmu, Ayah?" dahi Luna mengernyit dalam, dia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya dibicarakan oleh ayahnya. "Kau masih saja bertanya apa maksudku?" Alex bertanya dengan seringai tajam yang membuat bulu kuduk Luna meremang. Itu adalah kali pertama dia melihat raut menyeramkan sang ayah. "Ayah melihatmu melakukan hal yang tak pantas
Semua penjaga kediaman Winerbourne menatap Luna yang baru saja keluar dari rumah dengan tatapan iba, meski mereka tahu perbuatan Luna tidak bisa dibenarkan. "Sayang sekali, di balik wajah cantik dan sikap baiknya selama ini tersimpan hati yang busuk. Ugh, aku bahkan merasa mual hanya karena melihanya yang melintas di depanku." Umpat James sembari menutup hidung. Scurity bertubuh gemuk itu melihat ke arah Luna seolah gadis itu adalah sebuah benda kotor yang menjijikkan. Untuk beberapa menit Luna berhenti dan mengerling ke arah James. Dia tidak menyangka, semua pekerja di rumahnya yang selama ini begitu menghormatinya kini berubah menatapnya dengan tatapan merendahkan, tidak tersisa sedikitpun rasa hormat mereka terhadap Luna. Kenyataan perih harus dia terima, semua itu terjadi atas sebuah persoalan yang dirinya sendiri tidak menyadari mengapa hal itu bisa terjadi."Jaga ucapanmu, James," sanggah penjaga lain yang berdiri tak jauh dari James. James hanya menghela nafas lelah merespo
Sayup-sayup mata Luna membuka saat aroma lezat masakan menggoda penciumannya. Perut kosongnya yang belum diisi sejak pagi mengeluarkan protes, sehingga gadis itu pun meringis sembari memegangi perut. Dia ingat sarapannya pagi tadi hanyalah cacian dan makian dari ayahnya dan Sarah, yang tentunya membuat ulu hatinya kembali terasa dicubit.Dengan rasa malas dia bangkit dan berjalan mencari sumber aroma lezat masakan tersebut. Penciuman gadis itu menuntunnya ke dapur. Berpegangan pada kusen pintu dapur dan berulang kali mengerjab untuk menjernihkan pandangan, dia berusaha meyakinkan bahwa penglihatannya saat ini salah. Sulit dipercaya, tetapi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, punggung besar pria yang sangat familiar baginya sedang menghadap pada kompor yang menyala sementara kedua tangannya sangat lihai memainkan alat masak. Matteo yang baru saja menyadari suara derap kaki mendekat melihat ke belakang dari ekor mata. Didapatinya Luna dengan wajah yang masih mengantuk sedang berd
Suara televisi mengisi keheningan di antara Matteo dan Luna. Dua pasang mata itu melihat ke televisi dengan tatapan bosan, namun masing-masing dari mereka sibuk menyelami pikiran satu sama lain. Luna yang merasa tersiksa dengan keheningan yang ada, akhirnya berdeham dan mulai bersuara untuk memecah keheningan."Apakah cuaca di luar cukup dingin?" Ucapan gadis itu seketika membuat manik gelap Matteo mengerling ke arah gadis tersebut. "Sepertinya begitu." Jawab Matteo singkat, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah televisi yang menayangkan iklan prodak sehari-hari. Luna mendengus pelan. Tinggal bersama pria itu benar-benar membuatnya bosan. Gadis itu terbiasa berbagi cerita dengan ayahnya sebelum kejadian memalukan itu. Dan setelah keluar dari kediaman keluarga Winterbourne, dan kini tinggal satu atap bersama Matteo yang minim ekspresi dan bicara, tentu saja membuatnya semakin rindu dengan suasana dirumahnya. Matteo kembali mengerling dan mendapati Luna yang menyangga dagu denga
"Aku bisa melakukannya sendiri," protes Luna saat Matteo hendak mengompres luka di bibirnya dengan sapu tangan yang telah direndam air es sebelumnya. Telunjuk Matteo langsung mendarat tepat di bibir Luna, sehingga gadis itu memilih bungkam. Pria itu mendekatkan wajah keduanya hingga jarak antara wajah mereka hanya tersisa satu jengkal, membuat mata Luna membola dan jantungnya berdetak kencang. Dengan penuh hati-hati Matteo menyentuhkan sapu tangan basah itu di bibir bawah Luna, pada luka yang nampaknya tidak cukup serius. Dan sialnya, jantung pria itu berdetak kencang, namun sebisa mungkin pria itu memasang ekspresi datarnya untuk menutupi kegugupan yang dia alami. Luna yang merasa canggung menjauhkan wajahnya ke belakang untuk menciptakan jarak dengan Matteo, namun pria itu meraih punggung Luna sehingga gadis itu tidak dapat lagi menghindar. Kini wajah keduanya sangat dekat, hingga dapat merasakan hembusan nafas satu sama lain. Aroma musk yang menguar dari tubuh Matteo membuat Lu
"Ah, maaf jika aku kembali membuatmu tersinggung." ucap Luna dengan sedikit penyesalan. "Lupakan." jawab Matteo dengan nada bosan, sehingga membuat Luna meringis karena bibirnya yang lancang terus mengucapkan kata yang menyinggung Matteo."Kau tau Matteo, aku terbiasa dikelilingi banyak orang yang memperhatikanku. Tetapi sejak kejadian itu, aku benar-benar terlihat seperti sampah tak berguna!" keluh Luna. "Bahkan, sahabat yang paling dekat denganku kini ikut menjauh, karena orang tuanya melarang untuk berteman denganku. Duniaku terasa hampa sekarang." "Kau bisa menjadikanku temanmu, Nona." jawab Matteo yang seketika sembuat gadis itu menoleh. Sulit dipercaya, tapi itulah kalimat yang baru saja keluar dari bibir maskulin Matteo!Tak mengerti apakah Matteo serius dalam ucapannya atau tidak, tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba berteman dengan Matteo. Karena hanya pria itulah yang masih ada di samping Luna saat semua orang menjauh."Terima kasih atas tawarannya. Tetapi sebagai teman
Matteo memegangi bahu Luna yang terguncang karena menangis. Gadis itu terus saja menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Apa yang sudah mengganggu pikiranmu? Apakah seseorang sudah membuatmu bersedih saat aku sedang bekerja?" tanya Matteo sembari menarik tubuh Luna ke dalam pelukannya. Pria itu menepuk punggung Luna dan mengecupi kepala gadis itu. Setelah tangis Luna mereda, barulah Matteo menanyakan sebab Luna menangis. "Apa yang terjadi saat aku sedang tidak ada di dekatmu?" tanya Matteo dengan kedua tangan menangkup wajah Luna. Luna ragu untuk mengatakan apa yang membuatnya kecewa hari itu, tetapi tatapan Matteo yang menghangat membuatnya yakin untuk meneritakan kekecewaannya hari itu. "Aku berharap hari ini Ayah akan menghubungiku dan mengucapkan selamat ulang tahun untukku hari ini. Sepertinya dia benar-benar sudah melupakan aku. Ini adalah hari ulang tahun tergetir dalam hidupku. Bahkan tidak ada yang tahu bahwa hari ini adalah hari yang penting bagiku." Kembali air mata men
Luna terbangun dari tidur dan langsung mengecek ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Dia sangat berharap ayahnya tidak melupakan hari spesialnya. Gadis itu segera menyalakan ponselnya untuk melihat barangkali ada pesan masuk. Tetapi dia harus menelan kecewa hari itu, tidak ada pesan masuk sama sekali. "Mungkinkah Ayah benar-benar sudah tidak peduli padaku?" gumamnya sembari mengelus dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Air mata menganak sungai dan ia mulai menangis tergugu. "Bahkan aku tidak yakin Matteo tahu kalau ini adalah hari ulang tahunku." Ini adalah hari ulang tahun tergetir seumur hidup Luna. Gadis itu menangis tergugu mendapati kenyataan bahwa hari ini sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Luna berharap, setidaknya dia akan menerima ucapan selamat ulang tahun hari ini, tetapi kenyataan seakan mentertawakannya. "Matteo selalu sibuk akhir-akhir ini. Apakah pekerjaan bisa membuatnya dengan cepat melupakan aku?" Luna mengungkapkan kekesalannya saat satu-satunya orang
"Cinta sejati bukan hanya tentang hadir saat bahagia, tapi juga saat terluka. Dia yang selalu ada, bukan hanya saat dicari, tapi juga saat kau membutuhkannya." Dari balkon apartemen Nico menarik napas dalam saat mobil rolls-royce berwarna merah muda tampak memasuki parkiran. Mendengar nada bicara Emily saat meneleponnya, dia tahu, gadis itu sedang tidak baik-baik saja, dan Nico merasa khawatir karenanya. "Apa yang membawamu ke sini? Apakah pria itu mengabaikanmu, sehingga kau memilih datang padaku bukan atas dasar paksaan dariku?" gumam Nico berusaha menerka maksud kedatangan Emily ke apartementnya. Tangan Emily yang hendak menekan bel terhenti di udara saat seorang pemuda membukakan pintu untuknya. Pria itu mengulas senyum tulus. Dan tanpa dipersilahkan Emily sudah masuk terlebih dulu. "Apa yang membawamu datang kepadaku? Apakah dia mengabaikanmu?" tanya Nico sembari menutup pintu. Hening. Emily melepas sepatunya melempar benda tersebut ke segala arah, lalu mendengus da
Emily dan Rosaline berhenti di depan ruang instalasi gawat darurat begitu tenaga medis mendorong brankar Alexander memasuki ruangan tersebut. Pintu ruangan ditutup, menyisahkan Emily dan Rosaline yang saling menatap setelahnya. Berbanding terbalik dengan raut wajah putrinya yang tampak tenang setelah Alex dibawa masuk ke ruang instalasi gawat darurat, Rosline justru terlihat benar-benar gelisah. Emily menepuk lengan ibunya, lalu berkata,"Tidak perlu segelisah itu, Ibu," ucapnya lalu tersenyum licik. "Tapi, Emily, bagaimana kalau dia sampai ...," cicit Rosaline membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Alex. "Meninggal?" tebak Emily sembari mengedikkan bahu."Ya, kau benar. Bisa saja dia menginggal. Ibu rasa penyakit jantungnya cukup serius," ucap Rosaline sembari menggigit ibu jarinya. Wanita paruh baya itu berjalan hilir mudik membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."Bukankah itu bagus, Bu?" Emily menyibak rambut brunetnya ke belakang. "Apanya yang
Emily dan Adrian dibuat bertanya dengan ketidakhadiran Luna di ruangan itu. Biasanya mereka bertemu untuk membahas proposal kerjasama yang Golden Horizon ajukan. Mereka merasa asing dengan wanita bertubuh tinggi besar yang kini tengah membaca proposal dan memasang raut wajah serius semenjak pertama mereka bertatap muka. Adrian mengernyit dan menatap Emily dengan raut bertanya, seakan berkata,"Di mana Luna? Dan siapa wanita yang sekarang di hadapan kita?" Emily mengedikkan bahunya. Sebagaimana dengan Adrian, gadis itu juga merasa asing dengan wanita berbadan padat yang minim senyum tersebut. Tetapi, bukan Emily namanya jika hanya menerka-nerka dan membiarkan pikirannya larut dalam pertanyaan di mana keberadaan saudara tirinya. "Maaf, saya ingin bertanya." Emily akhirnya bertanya setelah Adrian menyiku lengannya, memberi isyarat agar Emily menanyakan ketidakhadiran Luna pagi itu. Tidak menjumpai entitas Luna membuat Adrian bertanya-tanya, karena gadis itulah yang membuatnya berseman
Luna mengerjabkan mata untuk menjernihkan penglihatannya begitu tangan kirinya yang merentang menyentuh permukaan kasur, tempat di mana biasanya Matteo berbaring. Gadis itu melirik jam di atas nakas. Waktu menunjukan pukul 05.45 a.m, terlalu awal dari biasanya Matteo bangun untuk menyiapkan sarapan. Luna bangkit dari berbaring. Pandangannya menyapu sekeliling. Di apartemen bermodel studio yang minim sekat, seharusnya dia bisa melihat Matteo jika pria itu memang berada di sana. Luna turun dari ranjang dan mencari keberadaan Matteo. "Matt?" tanyanya seraya berjalan menuju kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, dan tidak ada siapa pun di sana. Alis gadis itu bertaut, dia pun mulai bertanya-tanya di mana Matteo. Kembali Luna mengedarkan pandangannya dan mengernyit saat mendapati hidangan tersaji di atas meja makan. Luna segera mendekat. Di atas meja kaca tersebut, ia mendapati roti gandum utuh yang sudah dipanggang lengkap dengan selai kacang di dalamnya, bubur oatmeal dengan irisan
Gadis itu menggeleng cepat sembari menyeka air matanya. "Bukan aku tidak senang dengan kehamilan ini,""Lalu mengapa kau sesedih itu?" Nampaknya Matteo belum mengerti kalau Luna dipecat dari pekerjaannya. Sehingga gadis itu tersenyum getir, lalu berkata,"Aku dipecat dari pekerjaanku setelah terbukti hamil, Matteo," "Hanya karena itu?" tanya Matteo dengan tatapan datar. Dia merasa tidak senang karena seolah Luna jauh lebih mementingkan pekerjaan dari pada bersuka cita menyambut buah hati yang akan hadir di antara mereka suatu hari nanti. Setelah mendengar jawaban Matteo seketika alis Luna bertaut. "Apa katamu? Hanya?" tanya Luna dengan wajah memerah, dia beranggapan bahwa Matteo baru saja meremehkan persoalan besar yang sedang dia alami. "Ya, benar. Tidak seharusnya kau terlalu memikirkan pemecatan itu. Aku yang akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan kalian." Tidak ada sedikit pun gurat kesedihan yang Matteo tampakkan menanggapi pemecatan Luna, sehingga hal tersebut membuat sang ga
Luna keluar dari toilet untuk menemui Stefano dengan wajah kikuk sekaligus malu. Apa yang akan terjadi padanya kali ini? Apakah dia akan menerima pemecatan perihal hamil di luar nikah? Semoga saja tidak. "Bagaimana hasilnya?" Stefano langsung menyodorkan pertanyaan yang membuat Luna tersenyum canggung. "P-positif, Tuan." Jawab gadis itu sembari memperlihatkan alat tes kehamilan yang menampakkan dua garis merah berjajar dalam genggaman tangannya. Stefano menarik nafas dalam dan memperlihatkan raut wajah menahan amarah. Dia harus mendramatisir suasana untuk membuat gadis di hadapannya merasa bersalah dan bersedia menerima keputusan pemecatan darinya. "Apakah pria yang menghamilimu adalah pria yang kau kenalkan padaku sebagai kekasihmu pada malam acara fashion show beberapa waktu lalu?" "Be-benar, Tuan." Luna menunduk malu dan tersenyum canggung. Adanya kehamilan adalah bukti bahwa dia dan Matteo telah melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Bukan tidak mungkin atasannya
Tak banyak pekerjaan di pagi itu sehingga Stefano bisa menemani atasannya di sebuah sofa yang terletak di dekat jendela besar yang menyuguhkan pemandangan deretan gedung pencakar langit, ditemani secangkir espersso serta beberapa kudapan. "Selama aku menggantikanmu di sini, apa saja yang kau kerjakan?" tanya Stefano di sela aktifitas mengunyah. Memang beberapa kali saat dirinya mengalami kesulitan dalam pekerjaan yang dipercayakan padanya, Matteo selalu bersedia membantu. Tetapi terkadang pria berambut keriting itu penasaran dengan aktifitas baru Matteo selama Stefano menggantikan posisi sahabatnya di hotel milik keluarga Vicenzo. "Sementara ini aku mencari bukti tentang pelaku di balik scandal foto mesumku yang beredar di internet beberapa waktu lalu." Matteo menyesap minumannya, lalu meletakkan kembali gelas di atas meja saat sahabatnya tersebut kembali bertanya. "Lalu, hasilnya?" "Orang-orangku bekerja dengan sangat baik. Bahkan aku sudah menemukan saksi kunci dari peris