Sayup-sayup mata Luna membuka saat aroma lezat masakan menggoda penciumannya. Perut kosongnya yang belum diisi sejak pagi mengeluarkan protes, sehingga gadis itu pun meringis sembari memegangi perut. Dia ingat sarapannya pagi tadi hanyalah cacian dan makian dari ayahnya dan Sarah, yang tentunya membuat ulu hatinya kembali terasa dicubit.
Dengan rasa malas dia bangkit dan berjalan mencari sumber aroma lezat masakan tersebut. Penciuman gadis itu menuntunnya ke dapur. Berpegangan pada kusen pintu dapur dan berulang kali mengerjab untuk menjernihkan pandangan, dia berusaha meyakinkan bahwa penglihatannya saat ini salah. Sulit dipercaya, tetapi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, punggung besar pria yang sangat familiar baginya sedang menghadap pada kompor yang menyala sementara kedua tangannya sangat lihai memainkan alat masak.Matteo yang baru saja menyadari suara derap kaki mendekat melihat ke belakang dari ekor mata. Didapatinya Luna dengan wajah yang masih mengantuk sedang berdiri di ambang pintu dapur sembari memegangi perutnya. Hal itu membuat kedua sudut bibir Matteo berkedut menahan senyum."Duduklah, Nona. Makanan akan siap sebentar lagi." ucap pria itu yang membuat Luna pada akhirnya memilih duduk dan menunggu makanan terhidang di atas meja.Dengan gerak yang terlatih Matteo menyusun semua masakan di atas meja. Semua tampak begitu menggoda, membuat Luna yang menahan lapar sejak tadi menelan saliva.Matteo menuang air pada sebuah gelas dan memberikannya kepada Luna."Minumlah terlebih dulu, Nona." ucap Matteo sembari menyodorkan segelas air yang tanpa pikir panjang langsung Luna raih dan meminumnya sekali tandas."Apakah aku sudah boleh makan sekarang?" tanya Luna tanpa mengalihkan tatapan pada hidangan di atas meja."Tentu saja. Untuk apa semua makanan itu ku hidangkan jika tidak untuk dimakan." jawab Matteo sembari mengulas senyum yang menambah ketampanannya berkali lipat.Untuk sekian detik Luna terpaku saat memperhatikan Matteo yang melepaksan apron yang melekat pada tubuh kekarnya. Baru kali ini dia menyadari betapa rupawan paras pria menyebalkan yang selama ini selalu mengikuti kemanapun dia pergi.Luna mendengus dan membuang wajah.'Sadar, Luna! Jangan terhipnotis hanya karena senyumannya! Pria itu sudah merenggut kesucianmu dan membuatmu diusir dari rumah!' batin Luna, berusaha menyadarkan diri dari sihir paras Matteo yang membuatnya membeku.Tanpa menoleh lagi, Luna langsung mengisi piringnya dengan hobo steak, hidangan kesukaannya untuk memuaskan rasa lapar."Mungkin semua hidangan ini tidak selezat masakan para pelayan di rumahmu, Nona. Namun aku harap kau menyukainya." ucap Matteo berbasa-basi, menunggu Luna memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya. Pria itu ingin mendengar penilaian Luna atas masakan yang dia buat sore itu."Ya ya ya, aku bisa memaklumi." Luna memutar bola mata dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya.Begitu menyuapkan makanan ke dalam mulut, seketika kedua mata gadis itu membola. Perlahan dia memelankan kunyahannya untuk meresapi cita rasa makanan yang sedang dia kunyah."Bagaimana, apa rasa masakanku terlalu buruk, Nona?" tanya Matteo dengan kedua tangan saling bertaut di atas meja. Entah mengapa, tatapan Matteo yang berubah teduh dengan senyuman samar di wajah maskulin pria itu kembali menggetarkan hati Luna.Sebuah desiran aneh menghinggappi dada Luna. Selama ini dia kerap menyangkal pujian teman-temannya atas paras dan pesona Matteo. Baginya, Matteo hanyalah seorang penguntit yang menyebalkan!Luna menamparkan satu tangan pada salah satu pipinya untuk menarik paksa kesadarannya. Dia tidak ingin tertangkap basah sedang mengagumi pria menyebalkan itu. Dia bahkan menolak keras bahwa perasaan yang dia rasakan pada Matteo saat ini adalah perasaan kagum.Hal tersebut membuat Matteo mengernyit. Setaunya tidak ada lalat yang hinggap di wajah Luna. Tetapi pria itu memilih untuk diam dan memperhatikan Luna dengan sikap absurtnya untuk beberapa saat. Namun tamparan Luna kesekian kali pada wajahnya sendiri membuat Matteo merasa khawatir."Nona, apa kau baik-baik saja?" Matteo bangkit berdiri dan hendak mendekati Luna. Pipi gadis itu tampak memerah akibat tamparannya sendiri.Namun seolah mengerti apa yang hendak pria itu lakukan, Luna mengangkat satu tangannya ke udara yang seketika membuat Matteo menghentikan geraknya."Jangan mendekat, aku tahu, saat ini kau hendak mencuri kesempatan untuk bisa menyentuhku,"Jawaban sinis Luna kembali membuat wajah Mateo mengetat, pria itu menarik nafas dan menipiskan bibirnya sebelum akhirnya kembali mendaratkan pantat di atas kursi.Matteo ingin mengutarakan perasaan tidak nyamannya saat Luna berulang kali berkata padanya bahwa dia seorang pria mesum. Tetapi dia sadar, untuk saat ini Luna tidak akan mempercayai segala ucapannya.Pria itu membiarkan Luna kembali menyuapkan makanan ke mulutnya. Gadis itu mengunyah makanannya dengan gerak yang begitu anggun, sebuah pemandangan yang membuat Matteo sulit mengalihakan pandangan.Matteo kembali menatap Luna dengan tatapan datar. Namun alis pria itu kembali bertaut, saat melihat hobo steak yang ada di hadapan Luna habis kurang dari 7 menit."Kau memang menyukainya, atau kau sedang benar-benar lapar, Nona?" tanya Mateo sembari menyangga dagu. Sebuah senyuman menghiasi wajah maskulinnya.Pertanyaan Matteo membuat Luna menoleh cepat, seketika Luna terbatuk, senyuman Matteo benar-benar menyiksanya.Reflek Matteo menyambar gelas kosong yang ada di hadapannya dan mengisinya dengan air untuk kemudian bangkit dan memberikan air minum tersebut kepada Luna."Sebaiknya pelan-pelan saat makan, Nona," ucap pria itu, kekhawatiran terlihat jelas di wajah Matteo.Pria itu menepuk pelan punggung Luna. Dan entah mengapa Luna seakan enggan menepis sentuhan Matteo pada punggungnya."Sudah cukup Matteo, terima kasih atas perhatianmu." ucap Luna kembali berdeham dan menata kembali ekspresinya.Matteo kembali ke tempat duduknya dan mengamati Luna dalam diam.Merasa diperhatikan, Luna pun mengering ke arah Matteo yang sejak tadi tidak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Hal tersebut membuat Luna salah tingkah. Dia telah menghabiskan makanannya sedangkan tuan rumah itu bahkan belum menyentuh makanannya sedikitpun."Mengapa kau tidak makan makananmu?" tanya Luna sembari meraih gelas minumnya dan meneguk minuman itu dua kali untuk menyembunyikan kecanggungannya.Matteo tersenyum samar saat mendapati kedua mata gadis itu sudah berfokus padanya."Jangan pikirkan aku, Nona. Makanlah sebanyak apapun yang kau mau." ucap Matteo tanpa menyudutkan Luna. Pria itu tahu, selain karena lapar, Luna sangat menyukai hobo steak."Hmm, menurutku rasa steak ini tidak begitu buruk." komentar itu lolos dari bibir Luna. Namun tak lama kemudian gadis itu kembali mengambil steak untuk mengisi piringnya.Melihat kelakuan Luna, seketika pupil mata Matteo berdilatasi. Pria itu pun tertawa karena terlihat sekali bahwa gadis itu enggan mengakui bahwa dia menyukai masakan Matteo."Kalau perlu, habiskan semua makanan itu, Nona. Aku bersedia membuatkannya lagi jika kau mau." ucap Matteo. Dapat Luna rasakan kesungguhan dalam ucapan pria itu.Hal tersebut membuat Luna memelankan kunyahannya. Apakah ucapan Matteo barusan merupakan sebuah bentuk perhatian untuknya?Semua itu membuat Luna berpikir. Jika Matteo memang pria mesum yang memiliki ketertarikan untuk berbuat jahat padanya, mengapa pria itu melepaskan pelukan Luna saat gadis itu reflek memeluk Matteo saat menjumpai binatang pengerat yang sangat dia benci? Dan tidak hanya itu, saat Luna tertidur, bukankah Matteo bisa saja kembali melakukan aksinya untuk menjamah tubuh gadis itu, jika memang pria itu memiliki niat jahat disebalik tawarannya memberi Luna tempat tinggal? Batin Luna terus bertanya.Suara televisi mengisi keheningan di antara Matteo dan Luna. Dua pasang mata itu melihat ke televisi dengan tatapan bosan, namun masing-masing dari mereka sibuk menyelami pikiran satu sama lain. Luna yang merasa tersiksa dengan keheningan yang ada, akhirnya berdeham dan mulai bersuara untuk memecah keheningan."Apakah cuaca di luar cukup dingin?" Ucapan gadis itu seketika membuat manik gelap Matteo mengerling ke arah gadis tersebut. "Sepertinya begitu." Jawab Matteo singkat, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah televisi yang menayangkan iklan prodak sehari-hari. Luna mendengus pelan. Tinggal bersama pria itu benar-benar membuatnya bosan. Gadis itu terbiasa berbagi cerita dengan ayahnya sebelum kejadian memalukan itu. Dan setelah keluar dari kediaman keluarga Winterbourne, dan kini tinggal satu atap bersama Matteo yang minim ekspresi dan bicara, tentu saja membuatnya semakin rindu dengan suasana dirumahnya. Matteo kembali mengerling dan mendapati Luna yang menyangga dagu denga
"Aku bisa melakukannya sendiri," protes Luna saat Matteo hendak mengompres luka di bibirnya dengan sapu tangan yang telah direndam air es sebelumnya. Telunjuk Matteo langsung mendarat tepat di bibir Luna, sehingga gadis itu memilih bungkam. Pria itu mendekatkan wajah keduanya hingga jarak antara wajah mereka hanya tersisa satu jengkal, membuat mata Luna membola dan jantungnya berdetak kencang. Dengan penuh hati-hati Matteo menyentuhkan sapu tangan basah itu di bibir bawah Luna, pada luka yang nampaknya tidak cukup serius. Dan sialnya, jantung pria itu berdetak kencang, namun sebisa mungkin pria itu memasang ekspresi datarnya untuk menutupi kegugupan yang dia alami. Luna yang merasa canggung menjauhkan wajahnya ke belakang untuk menciptakan jarak dengan Matteo, namun pria itu meraih punggung Luna sehingga gadis itu tidak dapat lagi menghindar. Kini wajah keduanya sangat dekat, hingga dapat merasakan hembusan nafas satu sama lain. Aroma musk yang menguar dari tubuh Matteo membuat Lu
"Ah, maaf jika aku kembali membuatmu tersinggung." ucap Luna dengan sedikit penyesalan. "Lupakan." jawab Matteo dengan nada bosan, sehingga membuat Luna meringis karena bibirnya yang lancang terus mengucapkan kata yang menyinggung Matteo."Kau tau Matteo, aku terbiasa dikelilingi banyak orang yang memperhatikanku. Tetapi sejak kejadian itu, aku benar-benar terlihat seperti sampah tak berguna!" keluh Luna. "Bahkan, sahabat yang paling dekat denganku kini ikut menjauh, karena orang tuanya melarang untuk berteman denganku. Duniaku terasa hampa sekarang." "Kau bisa menjadikanku temanmu, Nona." jawab Matteo yang seketika sembuat gadis itu menoleh. Sulit dipercaya, tapi itulah kalimat yang baru saja keluar dari bibir maskulin Matteo!Tak mengerti apakah Matteo serius dalam ucapannya atau tidak, tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba berteman dengan Matteo. Karena hanya pria itulah yang masih ada di samping Luna saat semua orang menjauh."Terima kasih atas tawarannya. Tetapi sebagai teman
"Mengapa kau baru mengangkat teleponku!" pekik Matteo pada pria di seberang sambungan. Stefano Morgan-sahabat Matteo yang menjadi tangan kanan Matteo di Magnolia Spring Resort mengernyit begitu mendengar nada tinggi dari sahabatnya. "Aku baru saja kembali dari rapat dewan direksi." jawab Stefano lalu menarik nafas dalam setelahnya. Kabar bahwa anak dari Alexander Winterbourne yang melakukan perbuatan tak senonoh dengan bosyguardnya sudah tersebar di LA, hal itu membuat Stafano berpikir bahwa sikap Matteo yang kurang bersahabat juga terkait dengan pemberitaan itu. "Aku turut prihatin dengan musibah yang menimpamu, Brother. Tapi itu tidak begitu buruk, setidaknya wajahmu tidak ikut beredar di media sosial terkait pemberitaan itu." sambung Stefano yang membuat Matteo mendengus di seberang sambungan. Dengusan nafas dari seberang sambungan seketika membuat Stefano mengernyit. Mungkinkah ada yang salah dari bicaranya? "Yes, Brother? Apakah aku salah bicara?" Stefano menggaruk kepal
Luna berjalan menjauh dengan langkah tergesa dari lokasi sebelumnya, berharap Adrian dan Emily tidak menyadari keberadaannya. Namun sangat di sayangkan, Emily yang teryata sudah melihat Luna segera menyusul di belakang gadis itu sembari memanggil nama saudara tirinya tersebut. "Luna!" panggil Emily ke tujuh sebelum akhirnya menarik tangan Luna sedikit kasar. Sebenarnya Luna sudah mendengar Emily yang memanggil namanya, namun sengaja dia abaikan. Apa yang baru saja dia lihat sudah cukup membuat dadanya merasa sesak. "Oh, kau ada di sini Emily?" tanya Luna, sembari memperlihatkan raut wajah terkejut, bersikap seolah dia tidak mendengar panggilan Emily."Ah, ya. Aku mewakili kantor ayah untuk menawarkan kerja sama dengan hotel ini. Kau sendiri untuk apa ada di sini?" tanya Emily menaikkan kedua alis, menampakkan raut wajah penuh kehangatan, namun tidak dari hatinya. "Aku baru saja melamar kerja di sini, Emily." jawab Luna yang membuat dahi Emily mengernyit. Emily tidak percaya, deng
Di tengah ranjang berukuran King size, seorang wanita tanpa busana dengan begitu semangat memacu bagian tubuh sensitif kasihnya. Suara derit ranjang turut mengimbangi setiap gerakan mereka, beradu dengan suara lenguhan yang lolos dari bibir keduanya."Kau tahu Emily, sisi agresifmu inilah yang membuatku mudah berpaling dari Luna," ucap Adrian dengan gigi beradu, jepitan liang kenikmatan Emily membuatnya sulit untuk berkata-kata, tetapi dia tidak ingin membiarkan Emily yang terus berusaha memuaskannya tanpa memberikan pujian dan apresiasi. "Huh, sungguh? Apa kau yakin tidak akan menyesal telah memilihku, Adrian?" tanya Emily, tanpa menghentikan gerak panggulnya untuk terus memacu kejantanan Adrian. "Tentu tidak, Honey," jawab Adrian sembari meringis, menahan sesuatu yang mendesak untuk keluar dari bagian tubuh paling sensitif miliknya. Perlahan pria itu menurunkan Emily dari atas tubuhnya, yang tentu saja membuat gadis itu melempar tatapan bertanya. "Berbaringlah, Emily. Sudah saat
Sulit untuk melupakan segala kenangan tentang cinta pertama. Tetapi, bagaimana jika cinta pertama yang telah usai dan sangat ingin kau lupakan, justru selalu muncul di hadapan dan menyiksamu dengan kedekatan yang dia jalin dengan saudaramu? Bukankah itu sangat menyakitkan?Nafas Luna seketika tercekat saat dihadapkan dengan Emily dan Adrian yang baru saja datang ke ruang pertemuan. Emily yang saat itu menggait lengan Adrian seketika melepaskan kaitan tangannya dari lengan Adrian begitu menyadari kebaradaan Luna. Apakah sikap yang Emily tunjukan merupakan bentuk dari rasa bersalah karena telah menjalin hubungan dengan mantan tunangan Luna? Tentu saja tidak. Emily hanya sedang bersandiwara saat ini.Posisi kerja Luna sebagai menejer pemasaran menjadikan gadis itu terpaksa bertemu dengan para klien yang mengajak Magnolia Spring Resort bekerja sama. Tetapi sangat berat rasanya jika dia harus berhadapan dengan mantan tunangannya. Haruskah Luna mundur dari pekerjaan itu? Rasanya sangat m
Emily berjalan cepat mengikuti Adrian yang mengejar Luna begitu rapat pembahasan kerjasama usai. Wanita berambut brunet itu tahu, bahwa Adrian ingin membahas tentang sikap Matteo yang tadi mempermalukan Adrian di depan atasan divisi pemasaran Magnolia spring Resort. Suara tumit sepatu heels yang Luna pakai terdengar lantang mengetuk lantai. Gadis itu sedang terburu-buru, dia tidak sanggup untuk melihat Adrian dan Emily berlama-lama, dia merasa dikhianati dengan dua orang yang dulu sangat dekat dengannya. Salah satu tangan Adrian meraihnya, membuat langkah Luna yang nyaris tiba di depan ruang kerjanya terhenti, sehingga gadis itu pun dengan terpaksa menoleh ke arah pria yang baru saja meraih tangannya. Luna tahu siapa pelakunya. "Rapat telah selesai, tidak ada yang perlu kita bahas lagi, tuan Adrian?" tanya Luna dengan penekanan di kata terakhir. Gadis itu terang-terangan mengangkat dagunya, menunjukkan gestur menantang yang sangat jelas, membuat Adrian dan Emily menatap Luna tidak s