Diliputi perasaan gelisah, Luna ahirnya memenuhi panggilan ayahnya ke ruang tamu diikuti oleh Matteo yang juga memenuhi panggilan Alex.
Ternyata tidak hanya Alex yang ada di sana, ada Adrian dan juga kedua orang tuanya, Robert Carter dan Sarah Carter. Semua orang yang ada di sana menatap Matteo dan Luna dengan tatapan benci. Seketika atmosfer di ruangan tersebut terasa berat bagi Luna. "Ada apa Ayah memanggilku?" tanya Luna yang sama sekali tidak tahu apa tujuan Alex memanggilnya. Raut wajah polos Luna seketika menambah kemarahan Alex. "Jangan berpura-pura bodoh di hadapanku!" gram Alex dengan kedua tangan mengepal di atas pangkuan. "Apa maksudmu, Ayah?" dahi Luna mengernyit dalam, dia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya dibicarakan oleh ayahnya. "Kau masih saja bertanya apa maksudku?" Alex bertanya dengan seringai tajam yang membuat bulu kuduk Luna meremang. Itu adalah kali pertama dia melihat raut menyeramkan sang ayah. "Ayah melihatmu melakukan hal yang tak pantas bersama Matteo tadi malam." Seketika mata Luna terbuka lebar, ternyata ayahnya sudah mengetahui peristiwa memalukan yang dia sendiri tidak tahu Apa yang menyebabkan dia bisa berakhir dalam satu ranjang bersama Matteo. "Tapi, aku sama sekali tidak melakukan apa-apa, Ayah!" sanggah Luna yang seketika membuat Alex semakin naik pitam. Pria paruh baya itu bangkit berdiri dan melayangkan satu tamparan di wajah putri kesayangannya. "Kau masih berani mengelak rupanya. Bagaimana mungkin kau tidak tahu apa-apa, sedangkan jelas sekali salah satu pelayan melihatmu berjalan di koridor kamar pembantu malam itu." Sembari memegangi pipinya yang terasa perih akibat tamparan Alex, Luna berusaha mencerna kembali kalimat yang baru saja diucapkan oleh ayahnya, tetapi sekeras apapun dia mengingat, di dalam ingatannya tidak terlintas sedikit pun kejadian tadi malam. Dia bahkan tidak merasa berjalan di koridor kamar pelayan malam itu. "Tapi ayah aku sama sekali tidak berada di sana malam itu," sanggahan Luna membuat Alex bertambah geram, laki-laki paruh baya itu mendaratkan tamparan keras pada salah satu pipi Luna yang belum terkena tamparan, kali ini lebih keras, sehingga gadis itu tersungkur di atas lantai. "Hentikan tuan!" teriak Matteo yang tidak tega melihat Luna diperlakukan kasar oleh ayahnya. Teriakan Matteo seketika mengundang semua mata memandang ke arahnya, yang menggiring opini mereka bahwa antara Luna dan Matteo memang ada hubungan spesial. "Kenapa Matteo, kau tidak terima kasihmu yang licik ini mendapatkan tamparan dari ayahnya? Aku semakin yakin bahwa kalian berdua memiliki hubungan istimewa." ucap Alex dengan mata menyipit tajam ke arah Matteo, bodyguard yang selama ini dia banggakan. "Pantas saja kau begitu posesif, bahkan melarang Adrian menyentuh putriku, rupanya kau sendiri yang menginginkan tubuh Luna dengan mahkotanya yang utuh." "Tuan, sebaiknya anda dengarkan dulu penjelasan dariku." ucap Matteo yang langsung mendapatkan respon gelengan kepala dari Alex. Seorang pelayan yang ditugasi untuk mengambil seprei yang terdapat bekas percintaan Matteo dan Luna turut diundang di ruang tamu tersebut. Ada bukti berupa bercak noda darah dan cairan yang masih basah, menandakan malam tadi di kamar tersebut telah terjadi aktifitas ranjang antara Matteo dan Luna. "Temuan apa yang kau dapat pada seprei yang kau pegang, Donna?" Alex menunjuk Donna, yang seketika gadis pelayan itu maju beberapa langkah dan membuka lipatan seprei di tangan. Semua orang di ruang tamu dapat melihat ada darah di kain seprei berwarna putih tersebut. Seketika mata Luna bergetar sementara kedua tangannya menutupi bibir yang ternganga. Kini baru dia sadari, rasa nyeri di bagian kewanitaannya terjadi karena robeknya selaput dara yang dia miliki. Mengapa Matteo tega melakukannya? batin Luna bertanya. "Ada bercak darah di seprei, Tuan." Jawab Donna, menunjuk ke arah bercak darah pada kain tersebut. "Bagaimana, Matteo? Kau sudah merasakan bagaimana sensasi merobek selaput dara putriku yang selama ini kau jaga, bukan? Kalian benar-benar licik, penghianat!" sebuah kepalan mendarat di wajah Matteo yang seketika membuat mata pria itu berkilat marah. Secepatnya Matteo memejamkan mata dan menarik nafas dalam, berusaha memadamkan keinginan untuk membalas pukulan Alex di wajah rupawannya. "Sudah cukup sandiwara kalian!" Adrian turut menimpali. Pria berambut blonde itu mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan kepada Matteo sebuah foto, yang mana dalam foto tersebut Matteo memeluk Luna dengan keadaan tubuh keduanya telanjang di atas ranjang. Matteo menyipit melihat layar ponsel Adrian. Sulit untuk dipercaya, tapi pagi itu dia memang terbangun dan mendapati dirinya dan Luna dalam keadaan tanpa busana. "Aku tahu pagi ini aku memang terbangun dalam keadaan telanjang dan berada dalam satu ranjang bersama Nona Luna, tetapi kami tidak melakukan perbuatan seperti yang kalian tuduhkan. Dan aku sama sekali tidak ingat jika kakiku melangkah memasukki kamar pelayan." sanggah Matteo sembari mengingat bayangan kejadian yang berkelibat di dalam kepala, rupanya kejadian tadi malam bukanlah mimpi. Sekeras apapun Matteo mengelak, tetap saja sanggahan dari semua orang yang ada di sana jauh lebih keras. "Jangan bodoh Matteo, tidak mungkin kau dan Luna tiba-tiba berada di sana!" geram Adrian dengan wajah merah padam. Untuk sesaat Matteo menyadari, seingatnya malam itu dia ada bersama Adrian di sebuah gazebo taman. "Tetapi, bukankah tadi malam kau ada bersamaku, Adrian?" tanya Matteo dengan suara dingin menghunus. Entah mengapa dia merasakan sebuah hal tidak beres pada diri Adrian. Tatapan mata elangnya membuat Adrian sedikit ketakutan, namun sebisa mungkin pria licik itu menutupi ketakutannya, siapapun tidak boleh tahu bahwa dia sedang berakting saat ini! "Ya kau benar, Brother, kita memang sempat bersama tadi malam. Tetapi tiba-tiba saja kau pergi meninggalkanku. Dan Seandainya aku tahu jika kau pergi untuk menemui calon tunanganku dan melakukan perbuatan tak senonoh dengannya, aku bisa saja menghabisimu saat itu juga!" sungut Adrian dengan gesture seakan ingin memukuli Matteo, tetapi Robert dan Sarah mencegahnya. "Cukup, jangan lakukan itu di sini Adrian!" ucap Robert sembari membawa putranya kembali ke posisi duduk. Setelah memastikan Adrian dapat duduk dengan tenang, Sarah yang sedari tadi menahan lidahnya untuk tidak mencaci Luna akhirnya buka suara. "Kedatangan kami di sini bermaksud untuk membatalkan pertunangan antara Adrian dengan putri kalian yang kotor ini." ucap Sarah sembari menatap Luna dengan tatapan sengit. Luna menatap nanar pada Adrian dan kedua orang tuanya secara bergantian. Bibirnya berulang kali terbuka dan mengatup. Dia ingin mengatakan bahwa dia ingin pertunangan antara dirinya dan Adrian tetap berlangsung. Gadis itu lantas bangkit berdiri dan berlutut di depan kaki Sarah. "Aku mohon, Bibi, jangan batalkan pertunangan antara aku dan Adrian. Aku begitu mencintai putra kalian!" pekik Luna sembari menangis pilu. "Apa kau pikir kami akan mengizinkan putra kami menjalin hubungan dengan wanita murahan sepertimu?!" pekik Sarah sembari melepas dengan kasar tangan Luna yang memeluk kakinya. Perempuan paruh baya itu lantas menyapu bagian kaki yang tersentuh oleh tangan Luna seolah baru saja tersentuh benda kotor. "Banyak perempuan yang jauh lebih baik di luar sana. Tentu saja aku tidak akan membiarkan anakku mendapatkan sisa dari laki-laki lain!" Perbuatan Sarah tentu saja tidak terlepas dari perhatian Matteo. Ulu hati pria itu terasa dicubit melihat Luna diperlakukan serendah itu. Tetapi tidak banyak yang dapat dia lakukan untuk saat ini. "Bibi, aku mohon, berikan aku kesempatan satu kali lagi. Aku berjanji aku tidak akan mengecewakan kalian," lirih Luna yang saat itu masih terduduk di atas lantai. Sontak ucapan Luna mengundang delikan tajam Sarah. Wanita paruh baya itu bersidekap lalu membuang wajah dari Luna. "Jangan harap kami bisa memaafkanmu dan memberikan kamu kesempatan kedua kali. Perselingkuhan adalah penyakit, dan kau tentu tahu bahwa penyakit bisa saja kambuh!" "Tidak, Bibi aku berjanji," bahkan kali ini gadis itu mencium permukaan sepatu Sarah. "Berhenti melakukan semua perbuatan bodohmu! Aku tidak akan luluh dengan sandiwaramu, dasar rubah!" jawab Sarah sinis sembari mengayunkan kakinya sehingga sepatu yang perempuan itu kenakan mengenai wajah Luna. "Ayo Sayang, sebaiknya kita segera pergi dari sini. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan." ucap Sarah sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang tamu kediaman keluarga Alexander Winterbourne. Hati Luna terasa dicabik, perih sehingga sulit baginya untuk berhenti menangis. "Ayah aku mohon lakukan sesuatu," lirih Luna di sela isak tangisnya. Sulit bagi Alex untuk membiarkan anak kesayangannya menangis tersedu seperti saat ini, tetapi amarahnya jauh lebih besar, dia begitu malu dengan perbuatan putri kesayangannya tersebut. Pembatalan pertunangan Luna akan menjadi topik pembicaraan satu kota, mengingat reputasi keluarga Winterbourne yang cukup terkenal sebagai keluarga terkaya dan terpandang ke tiga setelah keluarga Vicenzo dan Astro di kota Los Angels. "Kau benar, Luna, ayah harus melakukan sesuatu." ucap Alex dingin sembari membuang wajah dari Luna. Sepercik harapan mewarnai wajah sembab Luna. Dia pun mendongak untuk mendengar apa yang akan ayahnya katakan. "Sekarang juga kau harus pergi dari rumah ini." geram Alex yang tak sanggup menatap wajah putri kesayangannya. "Dan kau, Matteo, mulai hari ini dan seterusnya kau tidak dapat bekerja lagi kepada keluarga kami." Ucap Alex sebelum ahirnya pergi meninggalkan ruang tamu. "Ayah!" jerit Luna histeris saat mendengar pengusiran atas dirinya yang keluar dari bibir Alex. "Ayah tega padaku, dengarkan dulu penjelasanku!" Berulang kali Luna memanggil, tetapi Alex sama sekali tidak berkeinginan untuk menoleh ke arah Luna, membuat Matteo merasa iba dengan gadis itu. Perlahan, Rosaline--ibu tiri Luna yang sudah merasa puas dengan pengusiran Luna dari rumah itu meninggalkan ruang tamu. Hal serupa juga dilakukan beberapa pelayan yang memberi kesaksian, hanya ada Emily di antara Luna dan Matteo. "Aku turut bersimpati atas musibah yang menimpamu, Luna," lirih Emily sembari memegangi bahu saudara tirinya. Luna hanya menanggapinya dengan senyuman getir, sebelum ahirnya mengambil koper berisi pakaian miliknya yang dibawakan oleh salah satu pelayan. "Aku pergi, tolong jaga Ayah." pamit Luna yang sedikit pun tidak menaruh curiga pada Emily. Dalam hati Emily tertawa renyah, rencananya berjalan mulus tanpa dicurigai siapa pun. Permainan Emily begitu rapi, dia menyuruh seorang pelayan untuk mengantarkan minuman yang sudah dia campur dengan obat tidur dosis tinggi untuk Luna. Dan begitu Luna terlelap, dia dan Greta, pelayan yang membantunya untuk malakukan pekerjaan kotornya, membopong tubuh Luna tanpa sepengetahuan semua orang menuju kamar pembantu yang menjadi tempat kejadian perkara, dan melepas gaun pertunangan Luna seolah Luna sendirilah yang melepas pakaiannya.Semua penjaga kediaman Winerbourne menatap Luna yang baru saja keluar dari rumah dengan tatapan iba, meski mereka tahu perbuatan Luna tidak bisa dibenarkan. "Sayang sekali, di balik wajah cantik dan sikap baiknya selama ini tersimpan hati yang busuk. Ugh, aku bahkan merasa mual hanya karena melihanya yang melintas di depanku." Umpat James sembari menutup hidung. Scurity bertubuh gemuk itu melihat ke arah Luna seolah gadis itu adalah sebuah benda kotor yang menjijikkan. Untuk beberapa menit Luna berhenti dan mengerling ke arah James. Dia tidak menyangka, semua pekerja di rumahnya yang selama ini begitu menghormatinya kini berubah menatapnya dengan tatapan merendahkan, tidak tersisa sedikitpun rasa hormat mereka terhadap Luna. Kenyataan perih harus dia terima, semua itu terjadi atas sebuah persoalan yang dirinya sendiri tidak menyadari mengapa hal itu bisa terjadi."Jaga ucapanmu, James," sanggah penjaga lain yang berdiri tak jauh dari James. James hanya menghela nafas lelah merespo
Sayup-sayup mata Luna membuka saat aroma lezat masakan menggoda penciumannya. Perut kosongnya yang belum diisi sejak pagi mengeluarkan protes, sehingga gadis itu pun meringis sembari memegangi perut. Dia ingat sarapannya pagi tadi hanyalah cacian dan makian dari ayahnya dan Sarah, yang tentunya membuat ulu hatinya kembali terasa dicubit.Dengan rasa malas dia bangkit dan berjalan mencari sumber aroma lezat masakan tersebut. Penciuman gadis itu menuntunnya ke dapur. Berpegangan pada kusen pintu dapur dan berulang kali mengerjab untuk menjernihkan pandangan, dia berusaha meyakinkan bahwa penglihatannya saat ini salah. Sulit dipercaya, tetapi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, punggung besar pria yang sangat familiar baginya sedang menghadap pada kompor yang menyala sementara kedua tangannya sangat lihai memainkan alat masak. Matteo yang baru saja menyadari suara derap kaki mendekat melihat ke belakang dari ekor mata. Didapatinya Luna dengan wajah yang masih mengantuk sedang berd
Suara televisi mengisi keheningan di antara Matteo dan Luna. Dua pasang mata itu melihat ke televisi dengan tatapan bosan, namun masing-masing dari mereka sibuk menyelami pikiran satu sama lain. Luna yang merasa tersiksa dengan keheningan yang ada, akhirnya berdeham dan mulai bersuara untuk memecah keheningan."Apakah cuaca di luar cukup dingin?" Ucapan gadis itu seketika membuat manik gelap Matteo mengerling ke arah gadis tersebut. "Sepertinya begitu." Jawab Matteo singkat, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah televisi yang menayangkan iklan prodak sehari-hari. Luna mendengus pelan. Tinggal bersama pria itu benar-benar membuatnya bosan. Gadis itu terbiasa berbagi cerita dengan ayahnya sebelum kejadian memalukan itu. Dan setelah keluar dari kediaman keluarga Winterbourne, dan kini tinggal satu atap bersama Matteo yang minim ekspresi dan bicara, tentu saja membuatnya semakin rindu dengan suasana dirumahnya. Matteo kembali mengerling dan mendapati Luna yang menyangga dagu denga
"Aku bisa melakukannya sendiri," protes Luna saat Matteo hendak mengompres luka di bibirnya dengan sapu tangan yang telah direndam air es sebelumnya. Telunjuk Matteo langsung mendarat tepat di bibir Luna, sehingga gadis itu memilih bungkam. Pria itu mendekatkan wajah keduanya hingga jarak antara wajah mereka hanya tersisa satu jengkal, membuat mata Luna membola dan jantungnya berdetak kencang. Dengan penuh hati-hati Matteo menyentuhkan sapu tangan basah itu di bibir bawah Luna, pada luka yang nampaknya tidak cukup serius. Dan sialnya, jantung pria itu berdetak kencang, namun sebisa mungkin pria itu memasang ekspresi datarnya untuk menutupi kegugupan yang dia alami. Luna yang merasa canggung menjauhkan wajahnya ke belakang untuk menciptakan jarak dengan Matteo, namun pria itu meraih punggung Luna sehingga gadis itu tidak dapat lagi menghindar. Kini wajah keduanya sangat dekat, hingga dapat merasakan hembusan nafas satu sama lain. Aroma musk yang menguar dari tubuh Matteo membuat Lu
"Ah, maaf jika aku kembali membuatmu tersinggung." ucap Luna dengan sedikit penyesalan. "Lupakan." jawab Matteo dengan nada bosan, sehingga membuat Luna meringis karena bibirnya yang lancang terus mengucapkan kata yang menyinggung Matteo."Kau tau Matteo, aku terbiasa dikelilingi banyak orang yang memperhatikanku. Tetapi sejak kejadian itu, aku benar-benar terlihat seperti sampah tak berguna!" keluh Luna. "Bahkan, sahabat yang paling dekat denganku kini ikut menjauh, karena orang tuanya melarang untuk berteman denganku. Duniaku terasa hampa sekarang." "Kau bisa menjadikanku temanmu, Nona." jawab Matteo yang seketika sembuat gadis itu menoleh. Sulit dipercaya, tapi itulah kalimat yang baru saja keluar dari bibir maskulin Matteo!Tak mengerti apakah Matteo serius dalam ucapannya atau tidak, tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba berteman dengan Matteo. Karena hanya pria itulah yang masih ada di samping Luna saat semua orang menjauh."Terima kasih atas tawarannya. Tetapi sebagai teman
"Mengapa kau baru mengangkat teleponku!" pekik Matteo pada pria di seberang sambungan. Stefano Morgan-sahabat Matteo yang menjadi tangan kanan Matteo di Magnolia Spring Resort mengernyit begitu mendengar nada tinggi dari sahabatnya. "Aku baru saja kembali dari rapat dewan direksi." jawab Stefano lalu menarik nafas dalam setelahnya. Kabar bahwa anak dari Alexander Winterbourne yang melakukan perbuatan tak senonoh dengan bosyguardnya sudah tersebar di LA, hal itu membuat Stafano berpikir bahwa sikap Matteo yang kurang bersahabat juga terkait dengan pemberitaan itu. "Aku turut prihatin dengan musibah yang menimpamu, Brother. Tapi itu tidak begitu buruk, setidaknya wajahmu tidak ikut beredar di media sosial terkait pemberitaan itu." sambung Stefano yang membuat Matteo mendengus di seberang sambungan. Dengusan nafas dari seberang sambungan seketika membuat Stefano mengernyit. Mungkinkah ada yang salah dari bicaranya? "Yes, Brother? Apakah aku salah bicara?" Stefano menggaruk kepal
Luna berjalan menjauh dengan langkah tergesa dari lokasi sebelumnya, berharap Adrian dan Emily tidak menyadari keberadaannya. Namun sangat di sayangkan, Emily yang teryata sudah melihat Luna segera menyusul di belakang gadis itu sembari memanggil nama saudara tirinya tersebut. "Luna!" panggil Emily ke tujuh sebelum akhirnya menarik tangan Luna sedikit kasar. Sebenarnya Luna sudah mendengar Emily yang memanggil namanya, namun sengaja dia abaikan. Apa yang baru saja dia lihat sudah cukup membuat dadanya merasa sesak. "Oh, kau ada di sini Emily?" tanya Luna, sembari memperlihatkan raut wajah terkejut, bersikap seolah dia tidak mendengar panggilan Emily."Ah, ya. Aku mewakili kantor ayah untuk menawarkan kerja sama dengan hotel ini. Kau sendiri untuk apa ada di sini?" tanya Emily menaikkan kedua alis, menampakkan raut wajah penuh kehangatan, namun tidak dari hatinya. "Aku baru saja melamar kerja di sini, Emily." jawab Luna yang membuat dahi Emily mengernyit. Emily tidak percaya, deng
Di tengah ranjang berukuran King size, seorang wanita tanpa busana dengan begitu semangat memacu bagian tubuh sensitif kasihnya. Suara derit ranjang turut mengimbangi setiap gerakan mereka, beradu dengan suara lenguhan yang lolos dari bibir keduanya."Kau tahu Emily, sisi agresifmu inilah yang membuatku mudah berpaling dari Luna," ucap Adrian dengan gigi beradu, jepitan liang kenikmatan Emily membuatnya sulit untuk berkata-kata, tetapi dia tidak ingin membiarkan Emily yang terus berusaha memuaskannya tanpa memberikan pujian dan apresiasi. "Huh, sungguh? Apa kau yakin tidak akan menyesal telah memilihku, Adrian?" tanya Emily, tanpa menghentikan gerak panggulnya untuk terus memacu kejantanan Adrian. "Tentu tidak, Honey," jawab Adrian sembari meringis, menahan sesuatu yang mendesak untuk keluar dari bagian tubuh paling sensitif miliknya. Perlahan pria itu menurunkan Emily dari atas tubuhnya, yang tentu saja membuat gadis itu melempar tatapan bertanya. "Berbaringlah, Emily. Sudah saat