"Apa yang membuat wajahmu babak belur begitu?" tanya Emily saat mendapati wajah Adrian memar.
"Bodyguard bodoh Luna menghajarku tanpa sebab." jawab Adrian berbohong dan memasang raut wajah polos, karena tidak mungkin dia mengaku kepada Emily bahwa memar di wajahnya terjadi karena dia berusaha mencium Luna, yang tak lain adalah saudara tiri Emily. Bisa-bisa Emily marah saat itu juga.Pria itu menyesap minuman yang sudah Emily pesan beberapa menit sebelum pria itu datang ke cafe tempat mereka berada saat ini.Di kursi seberang meja, Emily menatap lekat pada wajah kekasihnya tesebut. Karena sedingin apa pun pembawaan Matteo, tetapi menurutnya pria itu bukanlah orang dengan gangguan jiwa yang akan menyerang siapa pun tanpa alasan. Emily meragukan jawaban Adrian.“Kau pasti berbohong! Pasti kau melakukan sesuatu yang membuat amarahnya tersulut.” desak Emily dengan tatapan penuh selidik.Andrian pun menarik nafas berat dan menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya mengakui kesalahannya.“Baiklah aku mengaku." Adrian meletakkan cangkir kopi yang baru saja ia sesap. "Pukulan ini aku dapatkan saat aku hendak mencium Luna. Dan tanpa aku ketahui dari mana asalnya, bodyguard bodoh itu datang dan langsung menyerangku.”Jantung Emily berdenyut nyeri dan menatap Adrian dengan tatapan nanar. Dada gadis itu mulai sesak, air mata menggenangi kedua matanya. Selama ini Adrian selalu berkata bahwa dia hanya mencintai Emily, bukan Luna!Kini dia merasa ragu dengan cinta Adrian terhadapnya. Emily menangis dan berpikir bahwa di pertemuan malam itu Adrian akan berkata bahwa ia memilih untuk mengakhiri semuanya dan menerima acara pertunangan yang akan diberlangsungkan besok malam.“Jika itu yang ingin kau katakan, sebaiknya kau tidak perlu memenuhi janji temu denganku!”Alis Adrian bertaut, dia tidak mengerti kemana arah pembicaraan gadis itu."Apa maksudmu?""Jangan katakan padaku jika kau benar-benar mencintai Luna, dan kedatanganmu di sini untuk mengatakan bahwa kau ingin menyudahi semuanya!" Emily menutup kedua telingannya sembari terus menggeleng.Adrian bangkit dan memegangi bahu gadis itu untuk meluruskan kesalahpahaman yang ada."Hey, Emily, sadarlah, kau hanya salah paham!" ucap Adrian dengan suara niak beberapa oktaf, membuat para pengunjung lain di cafe tersebut melihat ke arah pasangan tersebut. "Dengarkan aku, kau hanya salah paham. Bukankah dengan kejadian itu, kita akan lebih mudah membuat ayahmu berpikir bahwa ada sesuatu di balik sikap posesif bodyguard bodoh itu, bukankah begitu?" ujar Adrian berusaha memanipulasi Emily.Adrian menyentuh lengan Emily dan manatap mata gadis itu lekat untuk meyakinkan padanya bahwa apa yang ada di dalam kepalanya tidak seperti yang Emily pikirkan. Dan semudah itu Emily percaya apa yang Adrian katakan."Apakah kau yakin lebih memilihku, sedangkan hari pertunanganmu akan diselenggarakan besok malam bersamaan dengan perayaan ulang tahun ayahku.""Ada seribu jalan untuk menuju Roma. Begitu juga dengan pertunangan besok malam. Akan ada banyak cara untuk kita menggagalkannya." Adrian memeluk Emily untuk meyakinkan gadis itu atas keputusan yang dia ambil."Sungguh?" Emily bertanya untuk mendapat sebuah kepastian."Tentu saja. Setelah bertemu denganmu, rasa cintaku terhdap Luna hilang tak bersisa. Bukankah aku sudah mengatakan itu berulang kali?" jawab Adrian, lalu mendaratkan sebuah ciuman di pipi gadis tersebut. "Kau adalah perempuan penggodaku, Emily."Setelah suasana kembali kondusif, Adrian dan Emily mulai menyusun strategi licik untuk menggagalkan pertunangan antara Adrian dengan Luna besok malam...............................................Menghadiri acara pertunangan Luna adalah sebuah kebodohan yang Matteo lakukan. Pria itu rela mempertaruhkan hatinya yang pasti akan hancur saat melihat gadis yang diam-diam dia sukai bertunangan dengan pria berengsek yang sempat ingin dia buat meregang nyawa di taman beberapa waktu lalu.Berbalut setelan jas slim fit dan rambut tertata rapi, Matteo duduk di salah satu kursi tamu lebih awal sebelum tamu undangan lain berdatangan. Wajah pria itu menengadah ke langit-langit dengan mata terpejam, pria itu sedang bertarung dengan isi kepalanya; akankah dia tetap bertahan untuk menjadi bodyguard Luna, atau mengundurkan diri dan secepatnya melupakan gadis itu?Kehadiran seseorang yang menepuk bahunya membuyarkan lamunan Matteo. Pria itu melirik pada seseorang yang baru saja menepuk bahunya."Hay, Brother." sapa Adrian.Melihat pria di sampingnya yang sebentar lagi menjadi tunangan Luna, Matteo pun mendengus pelan."Aku minta maaf atas perbuatanku kemarin." Adrian menperlihatkan raut penyesalan di wajahnya."Untuk apa?" salah satu alis Matteo naik mendekati dahi, berpura-pura tidak tahu dengan apa yang Adrian katakan, padahal sebaliknya.'Ternyata benar apa yang dikatakan Emily, bodyguard yang Alex pilihkan untuk Luna benar-benar seorang pria yang bodoh!' Adrian mengumpat dalam hati."Lupakan, Brother. Kita bisa duduk di taman sembari menunggu tamu undangan berdatangan." Adrian tersenyum sembari menatap ke sekeliling, hall belum dipadati para tamu. Ini adalah saat yang tepat untuk membawa Matteo pergi dari sana, agar tak seorang pun mengetahui apa yang akan dia lakukan setelahnya.Matteo ingin sekali menolak ajakan pria itu. Namun, jika Matteo menolak, bukankah hal itu bisa memancing tanya Adrian bahwa dia menyukai Luna?Setelah beberapa saat menimbang ajakan Adrian, Matteo akhirnya mengiyakan ajakan pria tersebut untuk mengobrol dengannya di gazebo yang ada di taman samping bangunan rumah Lucia.Setibanya di gazebo, Adrian memberikan segelas mojito yang sejak tadi berada di tangan kanannya.Untuk sekian detik, Matteo hanya melihat benda tersebut tanpa ada keinginan untuk mengambilnya, namun Adrian berhasil membujuknya hingga minuman tersebut berpindah ke tangan Matteo."Terima kasih sudah bersedia menemaniku di sini. Aku hanya merasa gugup dan membutuhkan teman bicara untuk menghilangkan kegugupanku." ucap Adrian yang sama sekali tidak Matteo tanggapi.Matteo menyesap mojito dalam gelasnya. Sesekali pria itu merespon pembicaraan Adrian yang menurutnya sangat tidak penting untuk dibicarakan dan membuatnya merasa muak.Adrian mencuri lihat pada wajah Matteo untuk memastikan psikedelik yang dia campur dalam minuman pria itu bekerja. Seperti kesepakatannya dengan Emily, dia akan menumbalkan Luna dan Matteo untuk menggagalkan pertunangan dirinya dengan Luna demi mempertahankan hubungannya dengan Emily, saudara tiri Luna yang selama ini mereka berselingkuh tanpa sepengetahuan Luna.Beberapa belas menit setelah usaha kerasnya mengulur waktu pembicaraan, nampaknya hasil yang dia harapkan mulai terlihat, Matteo mulai mengalami penurunan kesadaran.Adrian melihat ke sekeliling untuk memastikan bahwa keadaannya saat ini memungkinkan untuk membawa Matteo masuk ke dalam kamar pembantu yang kosong.Pria itu menelepon Emily, dan dalam dering ketiga gadis itu baru mengangkat teleponnya."Emily, pria bodoh ini sudah tak sadarkan diri, kemana aku harus membawanya?" ucap Adrian sembari berbisik, dan melihat keadaan di sekitar yang hanya ada dia dan Matteo."Bawa Matteo ke kamar pembantu paling ujung." jawab Emily dengan nafas terengah. Adrian tahu, gadis itu juga pasti baru saja melakukan pekerjaan yang melelahkan sepertinya; membawa Luna ke dalam kamar pembantu yang terletak di belakang gedung rumah."Baiklah, aku segera ke sana." jawab Adrian lalu mematikan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.Sekuat tenaga Adrian memapah tubuh Matteo yang lebih besar darinya, melintasi taman yang cukup luas dan menatap ke sekitar penuh antisipasi.Kerja kerasnya terbayar lunas dengan sampainya ia di kamar pembantu yang terletak paling ujung, tempat di mana sekarang Emily membawa tubuh Luna yang tak berdaya di bawah kendali obat tidur."Sssst, Adrian," panggil Emily dengan berbisik sembari menatap sekitar penuh antisipasi, yang dengan cepat Adrian respon dengan anggukan.Pria itu menarik nafas untuk nengumpulkan kembali tenaganya yang nyaris habis karena tubuh Matteo begitu berat.Situasi cukup aman, para pelayan sedang bekerja untuk menyiapkan jamuan acara ulang tahun dan pertunangan di hall."Cepat, kita hanya perlu memasukkan Matteo di ruangan itu dan langsung pergi dari sini," kembali Emily berbisik sembari bergerak gelisah, khawatir jika ada seseorang yang tiba-tiba datang."Jangan hanya bicara dan berdiri di situ, bantulah, tubuh si bodoh ini begitu berat," rintih Adrian yang merasakan bahunya nyaris patah.Emily pun segera berjalan ke depan dan membantu Adrian untuk memapah tubuh Matteo masuk di ruangan tersebut."Bagaimana dengan Luna? Apa kau sudah memastikan kondisinya?" tanya Adrian sembari menyapukan kedua tangannya, seolah tubuh Matteo adalah sesuatu yang berdebu."Tentu saja. Aku bahkan melepas gaun yang melekat pada tubuhnya." Emily menyeringai licik yang diikuti oleh Adrian. "Kita harus cepat pergi dari sini sebelum ada yang melihat kita." bisik Emily sembari berlari kecil yang diikuti Adrian.Sepasang sejoli itu menjauhi kamar pembantu dimana dia dan Adrian secara licik menjadikan Luna dan Matteo sebagai korban atas keegoisan mereka agar tetap bersama."Bastard!" geram Matteo saat mendapati tubuhnya terjerembab di atas lantai tanpa menyadari siapa pelaku yang mendorongnya.Pria 32 tahun itu berjalan gontai menuju ke sebuah ranjang, karena dalam keadaan mabuk berat pun dia tau bahwa berbaring di ranjang jauh lebih nyaman dari pada di atas lantai yang dingin.Dibawah pengaruh psikedelik yang Adrian masukkan ke dalam minumannya, menjadikan Matteo berhalusinasi dan mulai bereuforia saat melihat gadis yang dia sukai terlelap di atas ranjang hanya menggunakan pakaian dalam, sementara gaun indah yang melekat pada tubuhnya tergeletak di atas lantai."Ah, Luna, aku nyaris berpikir bahwa harapanku akan pupus malam ini." gumam Matteo sembari menyentuh pipi Luna yang sehalus porseline cina. "Ternyata aku salah, kau datang dan menyerahkan tubuhmu sepenuhnya padaku! Sekarang aku sadar, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan!" Dalam halusinasinya, Matteo melihat Luna seolah sangat berhasrat padanya, sehingga ia pun tertawa renyah karenannya."Baik
Diliputi perasaan gelisah, Luna ahirnya memenuhi panggilan ayahnya ke ruang tamu diikuti oleh Matteo yang juga memenuhi panggilan Alex. Ternyata tidak hanya Alex yang ada di sana, ada Adrian dan juga kedua orang tuanya, Robert Carter dan Sarah Carter. Semua orang yang ada di sana menatap Matteo dan Luna dengan tatapan benci. Seketika atmosfer di ruangan tersebut terasa berat bagi Luna. "Ada apa Ayah memanggilku?" tanya Luna yang sama sekali tidak tahu apa tujuan Alex memanggilnya. Raut wajah polos Luna seketika menambah kemarahan Alex. "Jangan berpura-pura bodoh di hadapanku!" gram Alex dengan kedua tangan mengepal di atas pangkuan. "Apa maksudmu, Ayah?" dahi Luna mengernyit dalam, dia benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya dibicarakan oleh ayahnya. "Kau masih saja bertanya apa maksudku?" Alex bertanya dengan seringai tajam yang membuat bulu kuduk Luna meremang. Itu adalah kali pertama dia melihat raut menyeramkan sang ayah. "Ayah melihatmu melakukan hal yang tak pantas
Semua penjaga kediaman Winerbourne menatap Luna yang baru saja keluar dari rumah dengan tatapan iba, meski mereka tahu perbuatan Luna tidak bisa dibenarkan. "Sayang sekali, di balik wajah cantik dan sikap baiknya selama ini tersimpan hati yang busuk. Ugh, aku bahkan merasa mual hanya karena melihanya yang melintas di depanku." Umpat James sembari menutup hidung. Scurity bertubuh gemuk itu melihat ke arah Luna seolah gadis itu adalah sebuah benda kotor yang menjijikkan. Untuk beberapa menit Luna berhenti dan mengerling ke arah James. Dia tidak menyangka, semua pekerja di rumahnya yang selama ini begitu menghormatinya kini berubah menatapnya dengan tatapan merendahkan, tidak tersisa sedikitpun rasa hormat mereka terhadap Luna. Kenyataan perih harus dia terima, semua itu terjadi atas sebuah persoalan yang dirinya sendiri tidak menyadari mengapa hal itu bisa terjadi."Jaga ucapanmu, James," sanggah penjaga lain yang berdiri tak jauh dari James. James hanya menghela nafas lelah merespo
Sayup-sayup mata Luna membuka saat aroma lezat masakan menggoda penciumannya. Perut kosongnya yang belum diisi sejak pagi mengeluarkan protes, sehingga gadis itu pun meringis sembari memegangi perut. Dia ingat sarapannya pagi tadi hanyalah cacian dan makian dari ayahnya dan Sarah, yang tentunya membuat ulu hatinya kembali terasa dicubit.Dengan rasa malas dia bangkit dan berjalan mencari sumber aroma lezat masakan tersebut. Penciuman gadis itu menuntunnya ke dapur. Berpegangan pada kusen pintu dapur dan berulang kali mengerjab untuk menjernihkan pandangan, dia berusaha meyakinkan bahwa penglihatannya saat ini salah. Sulit dipercaya, tetapi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, punggung besar pria yang sangat familiar baginya sedang menghadap pada kompor yang menyala sementara kedua tangannya sangat lihai memainkan alat masak. Matteo yang baru saja menyadari suara derap kaki mendekat melihat ke belakang dari ekor mata. Didapatinya Luna dengan wajah yang masih mengantuk sedang berd
Suara televisi mengisi keheningan di antara Matteo dan Luna. Dua pasang mata itu melihat ke televisi dengan tatapan bosan, namun masing-masing dari mereka sibuk menyelami pikiran satu sama lain. Luna yang merasa tersiksa dengan keheningan yang ada, akhirnya berdeham dan mulai bersuara untuk memecah keheningan."Apakah cuaca di luar cukup dingin?" Ucapan gadis itu seketika membuat manik gelap Matteo mengerling ke arah gadis tersebut. "Sepertinya begitu." Jawab Matteo singkat, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah televisi yang menayangkan iklan prodak sehari-hari. Luna mendengus pelan. Tinggal bersama pria itu benar-benar membuatnya bosan. Gadis itu terbiasa berbagi cerita dengan ayahnya sebelum kejadian memalukan itu. Dan setelah keluar dari kediaman keluarga Winterbourne, dan kini tinggal satu atap bersama Matteo yang minim ekspresi dan bicara, tentu saja membuatnya semakin rindu dengan suasana dirumahnya. Matteo kembali mengerling dan mendapati Luna yang menyangga dagu denga
"Aku bisa melakukannya sendiri," protes Luna saat Matteo hendak mengompres luka di bibirnya dengan sapu tangan yang telah direndam air es sebelumnya. Telunjuk Matteo langsung mendarat tepat di bibir Luna, sehingga gadis itu memilih bungkam. Pria itu mendekatkan wajah keduanya hingga jarak antara wajah mereka hanya tersisa satu jengkal, membuat mata Luna membola dan jantungnya berdetak kencang. Dengan penuh hati-hati Matteo menyentuhkan sapu tangan basah itu di bibir bawah Luna, pada luka yang nampaknya tidak cukup serius. Dan sialnya, jantung pria itu berdetak kencang, namun sebisa mungkin pria itu memasang ekspresi datarnya untuk menutupi kegugupan yang dia alami. Luna yang merasa canggung menjauhkan wajahnya ke belakang untuk menciptakan jarak dengan Matteo, namun pria itu meraih punggung Luna sehingga gadis itu tidak dapat lagi menghindar. Kini wajah keduanya sangat dekat, hingga dapat merasakan hembusan nafas satu sama lain. Aroma musk yang menguar dari tubuh Matteo membuat Lu
"Ah, maaf jika aku kembali membuatmu tersinggung." ucap Luna dengan sedikit penyesalan. "Lupakan." jawab Matteo dengan nada bosan, sehingga membuat Luna meringis karena bibirnya yang lancang terus mengucapkan kata yang menyinggung Matteo."Kau tau Matteo, aku terbiasa dikelilingi banyak orang yang memperhatikanku. Tetapi sejak kejadian itu, aku benar-benar terlihat seperti sampah tak berguna!" keluh Luna. "Bahkan, sahabat yang paling dekat denganku kini ikut menjauh, karena orang tuanya melarang untuk berteman denganku. Duniaku terasa hampa sekarang." "Kau bisa menjadikanku temanmu, Nona." jawab Matteo yang seketika sembuat gadis itu menoleh. Sulit dipercaya, tapi itulah kalimat yang baru saja keluar dari bibir maskulin Matteo!Tak mengerti apakah Matteo serius dalam ucapannya atau tidak, tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba berteman dengan Matteo. Karena hanya pria itulah yang masih ada di samping Luna saat semua orang menjauh."Terima kasih atas tawarannya. Tetapi sebagai teman
"Mengapa kau baru mengangkat teleponku!" pekik Matteo pada pria di seberang sambungan. Stefano Morgan-sahabat Matteo yang menjadi tangan kanan Matteo di Magnolia Spring Resort mengernyit begitu mendengar nada tinggi dari sahabatnya. "Aku baru saja kembali dari rapat dewan direksi." jawab Stefano lalu menarik nafas dalam setelahnya. Kabar bahwa anak dari Alexander Winterbourne yang melakukan perbuatan tak senonoh dengan bosyguardnya sudah tersebar di LA, hal itu membuat Stafano berpikir bahwa sikap Matteo yang kurang bersahabat juga terkait dengan pemberitaan itu. "Aku turut prihatin dengan musibah yang menimpamu, Brother. Tapi itu tidak begitu buruk, setidaknya wajahmu tidak ikut beredar di media sosial terkait pemberitaan itu." sambung Stefano yang membuat Matteo mendengus di seberang sambungan. Dengusan nafas dari seberang sambungan seketika membuat Stefano mengernyit. Mungkinkah ada yang salah dari bicaranya? "Yes, Brother? Apakah aku salah bicara?" Stefano menggaruk kepal