Semilir angin berhembus membelai lembut wajah Alice. Cuaca tampak cerah, secerah senyuman manis yang terpatri di wajah gadis itu.
Alice baru saja selesai menemani bos menyebalkannya meeting hari ini, jadi tidak ada salahnya ia sedikit keluyuran.
Dengan langkah penuh semangat, Alice bergerak cepat menyusuri taman dengan pemandangan cukup asri.
Kupu-kupu yang berterbangan dan beberapa gelembung sabun yang baru saja ditiup oleh anak-anak kecil. Alice tersenyum pada mereka sebelum ponsel miliknya bergetar dengan tak sabaran.
Alice segera mengangkat panggilan itu.
"Ha-"
"Kamu dimana?" potong Ardan dari seberang sana.
"Di taman dekat cafe," jawab Alice malas.
"Tunggu saya di situ!"
"Iy-"
Tut.
"Dasar rese!" geram Alice kesal.
Alice melempar ponselnya ke dalam tas dengan kesal. Kemudian berjalan dengan wajah cemberut ke arah sebuah bangku taman.
Terpaksa ia harus menunggu bosnya yang menyebalkan itu karena tidak ingin kena omel.
Selama hampir sepuluh menit Alice menunggu, Ardan datang dengan wajah datarnya.
"Ngapain sih disini?" tanya Ardan begitu sampai di hadapan Alice.
"Cari udara segar lah," balas Alice malas.
"Ayo pulang."
"Jalan-jalan dulu sebelum pulang, Pak." Alice menarik tangan Ardan untuk kembali berjalan menyusuri taman.
"Mau kemana?"
"Keliling taman doang, abis itu kita balik ke kantor," ucap Alice menunjukkan wajah gemasnya.
"Gak! Ayo balik atau saya tinggal!" ancam Ardan.
"Bapak ih, ayo jalan-jalan bentar. Biar otak Bapak fresh dan gak marah-marah mulu." Alice berucap dengan wajah yang kesal seraya terus berusaha menarik lengan kokoh Ardan.
Setelah menghela nafas berat akhirnya Ardan mengalah. Ia mengikuti Alice yang kembali tampak gembira.
Lagi-lagi Alice bertemu beberapa kupu-kupu yang terbang indah dan menari-nari di atas kepalanya.
Jiwa kekanakan Alice muncul, dengan cepat Alice melaju mengikuti kupu-kupu tersebut dan berniat menangkapnya.
"Alice! Mau kemana kamu?" tanya Ardan sedikit berteriak.
"Nangkep kupu-kupu," jawab Alice riang.
"Jangan kayak bocah, sini kamu!"
Alice tak menghiraukan perintah Ardan, gadis itu berlari-lari kecil mengikuti makhluk indah itu.
Ardan menghela nafas panjang seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ujung bibirnya tertarik pelan, menghasilkan senyuman tipis yang samar.
Matanya terus menatap Alice yang berlarian seperti anak kecil itu. Hingga sebuah suara mengejutkannya.
Brukkk!
Ardan terperanjat kaget, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. Ia melangkah cepat menuju gadis yang terduduk di sana.
"Ceroboh!" ucap Ardan.
"Aw, sakit," keluh Alice.
"Makanya hati-hati, lagian ngapain sih lari-lari kayak anak SD?" omel Ardan dengan alis yang bertaut.
"Bapak bukannya bantuin malah ngomel, sakit nih."
"Ya udah cepet bangun." Ardan mengulurkan tangannya lalu memegangi lengan atas Alice untuk membantu gadis itu berdiri.
"Ssh, sakit, Pak," keluh Alice.
"Makanya hati-hati."
Ardan menuntun Alice duduk di sebuah bangku taman yang tersedia.
"Coba saya liat lutut kamu." Ardan berjongkok tepat di hadapan gadis itu.
"Gapapa, sakit dikit doang," ucap Alice.
"Saya heran, kerjaan kamu tuh jatuh terus," ucap Ardan seraya mendudukkan dirinya di samping Alice setelah memeriksa lutut gadis itu.
"Ya kan di luar kehendak saya," jawab Alice beralasan.
"Bilang aja kamu ceroboh!"
"Ih enggak ya!" sangkal Alice tak terima.
"Udah salah tuh ngaku, jangan bebal!"
"Siapa yang be—Pak, minta uang dong!"
Alice tak melanjutkan ucapannya karena teralihkan oleh hal lain yang lebih menarik perhatiannya daripada perdebatan mereka.
"Uang? Buat apa? Jangan mat–"
"Mau itu!" potong Alice cepat seraya menunjuk sesuatu dengan tangan kanannya.
Ardan mengikuti arah tunjuk Alice. Ia melihat lapak penjual es krim di seberang sana.
"Ayo, Pak. Bagi duit," ucap Alice lagi.
Tanpa pikir panjang, Ardan segera mengeluarkan dompetnya dan memberikan selembar uang kertas dengan nominal seratus ribu rupiah pada Alice.
"Yeay! Kita beli es krim!" seru Alice gembira.
Seketika gadis itu langsung kembali seperti semula dan berlari kecil menuju gerobak es krim tersebut.
"Bapak tunggu di situ aja!" seru Alice sembari berbalik menatap Ardan.
Ardan tak bereaksi, ia hanya fokus menatap pergerakan gadis itu.
Sekitar 5 menit berlalu, Alice kembali dengan dua cup es krim di tangannya.
"Kamu beli dua? Rakus juga kamu," ucap Ardan.
"Enak aja! Ini saya beliin buat Bapak. Baik 'kan saya," jawab Alice.
"Saya gak suka es krim," tolak Ardan.
"Loh, kenapa? Enak tau, Pak."
"Saya gak suka makanan manis."
"Oh, pantes muka Bapak kelihatan pahit gitu," balas Alice enteng.
Ardan menatap Alice dengan tatapan mematikan miliknya.
"Hehehe bercanda, Pak. Ini uang kembaliannya," ucap Alice mengalihkan perhatian.
"Buat kamu aja."
"Lah, seriusan, Pak? Ini banyak loh kembaliannya." ujar Alice dengan matanya yang membola.
"Emangnya saya kelihatan bercanda?"
"Enggak sih, makasih Pak Bos," ucap Alice sumringah.
"Cepet makan es krimnya, abis ini kita langsung balik ke kantor!"
"Iya iya, Bapak beneran gak mau nih?"
"Gak."
"Seriusan? Cicipi dulu deh, Pak."
"Enggak, Alice."
"Ayo dong, saya maksa. Ini enak banget tau, Pak."
"Saya bilang enggak!"
"Saya suapin deh, aaa." Alice bersiap menyendokkan satu sendok es krim ke mulut Ardan.
"Kamu maksa banget, sih?" tanya Ardan kesal.
"Ya kan saya bilang saya maksa, sini aaa." Alice sudah mendaratkan sesendok es krim tepat di bibir Ardan dan memaksa agar Ardan membuka mulut dengan beberapa kali menabrakkan sendok es krim itu ke bibir laki-laki itu, hingga dengan terpaksa lelaki itu membuka mulutnya.
"Nah, pinter," ucap Alice setelah es krim itu mendarat sempurna di dalam mulut bosnya itu.
"Enak, kan?" tanya Alice setelah melihat ekspresi wajah Ardan yang sedikit aneh.
"Dingin," jawab Ardan dengan alis tebal nan rapi miliknya bertaut.
"Namanya juga es krim, Pak. Kalo mau yang panas makan api."
Ardan mendaratkan satu jitakan kecil pada kepala Alice.
"Aw sakit tau, Pak!" keluh Alice.
"Lebay! Gitu doang sakit," balas Ardan tajam.
"Bodo ah." Alice membalikkan badannya membelakangi bosnya itu.
"Gak usah pake ngambek. Es krim saya mana?" tanya Ardan seraya mencolek pundak Alice.
"Lah, tadi katanya gak mau. Ketagihan pasti, kan?" Alice kembali membalikkan badannya menghadap Ardan lalu menatap lelaki itu dengan seringai.
"Gak usah banyak tanya, sini es krimnya."
Alice mencebik kesal lalu menyerahkan satu cup es krim pada Ardan.
Tanpa pikir panjang, Ardan kembali memasukkan sesendok es krim ke mulutnya.
"Enak juga," ucapnya.
"Emang enak. Jangan-jangan Bapak gak pernah makan es krim ya?"
"Sok tau kamu," balas Ardan cepat.
"Hilih. Sebenarnya ya Pak gak semua es krim itu enak, cuma karena Bapak makannya sama saya ya jadi enak," ucap Alice percaya diri.
"Pede!"
"Pede itu kewajiban!"
"Nih, buat kamu. Es krimnya jadi gak enak," ucap Ardan memberikan es krim miliknya lalu beranjak dari sana.
"Pasti karena bukan saya yang nyuapin," celetuk Alice menggoda.
"Cepat atau saya tinggal!" ucap Ardan datar sembari melangkah pergi.
"Iya iya." Alice kembali mencebik kesal sebelum mengikuti langkah milik bosnya.
Hujan turun mengguyur kota disertai angin kencang. Udara malam semakin dingin, Alice baru saja tiba di rumahnya dengan keadaan basah kuyup.Gadis itu langsung mengetuk pintu rumah dan berharap seseorang di dalam sana membukakannya pintu."Ibu!" panggil Alice dengan suara yang bergetar akibat kedinginan."Ibu, ini Alice, Bu!" panggilnya lagi.Ceklek!Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan badan tinggi semampai. Wanita itu menatap garang Alice yang tampak menggigil."Darimana aja kamu?" tanya wanita itu saat Alice menerobos masuk."Dari kantor, kan Alice kerja, Bu," jawab Alice."Kantor mana yang pulangnya jam segini? Ini udah malam, Alice! Jangan-jangan kamu kerja yang gak bener ya?!" hardik wanita itu saat Alice baru saja hendak mengambil gelas dan membuat segelas kopi."Alice lembur, Bu," jawab Alice."Lembur? Lembur atau kamu jalan sama om-om?!" Wanita yang dipanggil 'Ibu' oleh Alice itu menaikkan nada bicaranya."Ibu, Alice beneran kerja. Alice gak jalan sam
Alice melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Perutnya sudah berbunyi tanda cacing sudah berdemo di dalamnya.Ia menyesal kenapa tadi malam ia tidak turun untuk sekedar mengobrak-abrik dapur dan isi kulkas."Tumben bangun pagi," celetuk Alexa."Tiap hari juga gue bangun pagi," jawab Alice malas."Mau kemana kamu?" tanya Ibu Alice."Mau kerjalah, Bu," ucap Alice sembari membuka kulkas dan mengambil sekotak susu."Berhenti dari pekerjaan kamu!"Alice ternganga mendengar permintaan ibunya. "Gak! Gak bisa.""Kamu mau jadi apa, Alice?! Mau jadi ayam kampung?!""Ibu! Alice itu kerja yang halal, bukan kayak yang kalian tuduhin!" ucap Alice menaikkan nada bicaranya."Ibu biasanya gak pernah peduli sama apa yang Alice lakuin, tapi sekalinya peduli Ibu malah nuduh Alice kayak gini."Gadis itu meraih tasnya lalu berlari keluar dari rumahnya. Rumah yang tak ingin ia tinggali lagi, namun tak tau harus kemana setelah pergi.Air mata Alice jatuh, seburuk itu pandangan ibunya pada dirinya."No, Al
Alice melangkahkan kakinya dengan tergesa mengikuti langkah besar milik Ardan yang tampak santai.Brukk!"Aw," rintih Alice memegangi kepalanya yang baru saja terbentur hebat dengan punggung Ardan."Liat-liat kalau jalan, sakit tau!" ucap Ardan garang."Salah Bapak sendiri kenapa berhenti tiba-tiba, ini kepala saya lebih sakit dari punggung Bapak," balas Alice."Makanya kalau jalan pake mata," ucap Ardan menekankan setiap katanya."Dimana-mana jalan itu pake kaki bukan pake mata!" jawab Alice dengan sedikit berbisik, pasalnya mereka sudah menjadi tontonan banyak karyawan di cafetaria kantor."Maksud saya tuh..." Ardan menghentikan ucapannya lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Percuma menjelaskan apapun pada gadis keras kepala seperti Alice.Tanpa sepatah katapun Ardan kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah meja kosong di pojok cafe dan tanpa pikir panjang Alice pun mengikuti langkah besar lelaki itu."Kamu mau makan apa?" tanya Ardan sesaat setelah ia mendudukkan
Alice mendudukkan dirinya dengan malas di atas kursi tahanannya. Tahanan Ardan Prawira lebih tepatnya.Ia menyalakan komputer miliknya lalu melihat apa yang bisa ia kerjakan. Ternyata banyak sekali email masuk yang berisikan tugasnya hari ini. "Gak mikir banget sih ngasih kerjaan begini," gerutu Alice membuka satu persatu emailnya. Banyak sekali laporan yang harus ia kerjakan dan serahkan pada Ardan dalam waktu dekat. Juga beberapa pertemuan yang harus ia jadwalkan untuk bosnya itu.Saat Alice masih sibuk memeriksa email sambil menggerutu pelan, suara langkah kaki terdengar mendekati meja kerjanya. Gadis itu melirik sekilas bayangan tegap laki-laki yang berjalan menujunya."Kamu kenapa?" "Gapapa, saya sibuk," jawab Alice sekenanya.Lelaki itu menghela nafasnya, lalu meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa."Terserah kamu aja, ini saya bawain kamu bubur. Kalo kamu mau makan Alhamdulillah, kalo enggak ya udah," terang lelaki itu."Gak usah terlalu peduli, Pak!""Terserah, saya sibuk
Berminggu-minggu sejak Alice menjadi sekretaris Ardan, kegiatan Alice semakin padat setiap harinya. Sebagai sekretaris, Alice diharuskan mengikuti setiap kegiatan Ardan. Alice yang pada dasarnya tidak suka bertemu banyak orang, kini terpaksa harus bertatap muka dengan banyak orang yang tidak dikenalnya.Seperti hari ini, ia baru saja selesai menemani Ardan bertemu klien di sebuah restoran mahal."Pak, tawaran mereka bagus loh, ambil aja," ucap Alice yang baru saja kembali seusai mengantarkan klien mereka ke pintu keluar.Ardan menatap Alice lamat. "Nanti saya pikirin lagi, mending sekarang kita makan. Saya udah lapar," jawab Ardan tak acuh.Alice mengulum bibirnya lalu kembali duduk dengan tenang. "Kamu mau makan apa? Makan ini aja atau pesan yang baru?" tanya Ardan menunjuk dua piring steak di hadapannya.Alice tampak berpikir sejenak. "Saya mau makan nasi aja deh, ga bakal kenyang kalo makan beginian," jawab Alice."Ya udah, kita pindah tempat?"Alice mengangguk pelan. "Boleh, tapi
Mobil melaju membelah jalanan, berbelok ke kiri dan ke kanan di persimpangan. Alice duduk tenang di samping Ardan yang mengemudikan mobilnya tanpa suara pula.Suasana tampak canggung dan hening. Alice dengan dunianya sendiri dan Ardan dengan banyak pikiran di benaknya.Ardan melirik Alice sesekali, mencuri pandang saat gadis itu lengah. "Kenapa?" tanya Alice tanpa menoleh.Ardan menatap Alice dari kaca mobil. "Hm? Apanya yang kenapa? Kamu bicara sama saya?" tanyanya."Emangnya ada orang lain disini?" Alice balik bertanya.Ardan mendengus, Alice selalu saja berhasil membuatnya tampak bodoh. "Siapa tau kamu bicara sendiri, kamu kan suka ga waras," jawab Ardan sebagai pembelaan atas dirinya.Alice kembali diam, ia malas sekali berdebat dengan Ardan. Suasana hatinya tidak begitu bagus setelah dibentak oleh atasannya itu.Alice merasa mentalnya semakin lemah akhir-akhir ini, ia merasa pertahanannya pelan-pelan rubuh. Alice takut kalah, Alice takut tidak bisa mengendalikan diri."Pak, Saya
Cahaya matahari pagi menelusup dari balik jendela, membuat gadis bernama Alicia yang juga kerap disapa Alice itu terganggu.Alicia bangkit dari duduknya, berniat menarik gorden di ruangan kerja miliknya dan beberapa orang disana.Menurut Alicia, kantornya itu luar biasa. Bahkan untuknya yang bekerja di bagian keuangan, ia memiliki ruangan dengan jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan indah kota. Apalagi sesosok manusia yang kini tersenyum manis padanya dari balik kaca gedung sebelah.Lelaki itu melambaikan tangannya, membuat Alicia tersipu malu. Lelaki itu tampan dan sangat manis, tapi tetap saja Alicia malas berurusan dengan yang namanya cinta. Alicia hanya mengangguk sekilas lalu menarik gorden besar itu. Ia tidak suka cahaya matahari yang menggangu pekerjaannya, apalagi teriakan menggema teman satu ruangannya sekarang.
Alice melangkahkan kakinya memasuki cafetaria yang berada di lantai dasar kantornya. Gadis itu meneliti seluruh isi cafetaria untuk mencari meja kosong."Mau duduk dimana, Lice?" tanya Cici yang baru saja datang."Di sana." Alice menunjuk sebuah meja kosong di bagian pojok."Dasar Alice suka mojok!" cibir Cici."Ga apa-apa, mojok itu perlu," jawab Alice santai.Alice melangkahkan kakinya menuju meja yang baru saja ia tandai."Alice!" panggil seseorang.Alice menolehkan kepalanya, mencari asal suara."Eh, Pak Chandra. Selamat siang, Pak," ucap Alice sedikit membungkukkan badan.
Mobil melaju membelah jalanan, berbelok ke kiri dan ke kanan di persimpangan. Alice duduk tenang di samping Ardan yang mengemudikan mobilnya tanpa suara pula.Suasana tampak canggung dan hening. Alice dengan dunianya sendiri dan Ardan dengan banyak pikiran di benaknya.Ardan melirik Alice sesekali, mencuri pandang saat gadis itu lengah. "Kenapa?" tanya Alice tanpa menoleh.Ardan menatap Alice dari kaca mobil. "Hm? Apanya yang kenapa? Kamu bicara sama saya?" tanyanya."Emangnya ada orang lain disini?" Alice balik bertanya.Ardan mendengus, Alice selalu saja berhasil membuatnya tampak bodoh. "Siapa tau kamu bicara sendiri, kamu kan suka ga waras," jawab Ardan sebagai pembelaan atas dirinya.Alice kembali diam, ia malas sekali berdebat dengan Ardan. Suasana hatinya tidak begitu bagus setelah dibentak oleh atasannya itu.Alice merasa mentalnya semakin lemah akhir-akhir ini, ia merasa pertahanannya pelan-pelan rubuh. Alice takut kalah, Alice takut tidak bisa mengendalikan diri."Pak, Saya
Berminggu-minggu sejak Alice menjadi sekretaris Ardan, kegiatan Alice semakin padat setiap harinya. Sebagai sekretaris, Alice diharuskan mengikuti setiap kegiatan Ardan. Alice yang pada dasarnya tidak suka bertemu banyak orang, kini terpaksa harus bertatap muka dengan banyak orang yang tidak dikenalnya.Seperti hari ini, ia baru saja selesai menemani Ardan bertemu klien di sebuah restoran mahal."Pak, tawaran mereka bagus loh, ambil aja," ucap Alice yang baru saja kembali seusai mengantarkan klien mereka ke pintu keluar.Ardan menatap Alice lamat. "Nanti saya pikirin lagi, mending sekarang kita makan. Saya udah lapar," jawab Ardan tak acuh.Alice mengulum bibirnya lalu kembali duduk dengan tenang. "Kamu mau makan apa? Makan ini aja atau pesan yang baru?" tanya Ardan menunjuk dua piring steak di hadapannya.Alice tampak berpikir sejenak. "Saya mau makan nasi aja deh, ga bakal kenyang kalo makan beginian," jawab Alice."Ya udah, kita pindah tempat?"Alice mengangguk pelan. "Boleh, tapi
Alice mendudukkan dirinya dengan malas di atas kursi tahanannya. Tahanan Ardan Prawira lebih tepatnya.Ia menyalakan komputer miliknya lalu melihat apa yang bisa ia kerjakan. Ternyata banyak sekali email masuk yang berisikan tugasnya hari ini. "Gak mikir banget sih ngasih kerjaan begini," gerutu Alice membuka satu persatu emailnya. Banyak sekali laporan yang harus ia kerjakan dan serahkan pada Ardan dalam waktu dekat. Juga beberapa pertemuan yang harus ia jadwalkan untuk bosnya itu.Saat Alice masih sibuk memeriksa email sambil menggerutu pelan, suara langkah kaki terdengar mendekati meja kerjanya. Gadis itu melirik sekilas bayangan tegap laki-laki yang berjalan menujunya."Kamu kenapa?" "Gapapa, saya sibuk," jawab Alice sekenanya.Lelaki itu menghela nafasnya, lalu meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa."Terserah kamu aja, ini saya bawain kamu bubur. Kalo kamu mau makan Alhamdulillah, kalo enggak ya udah," terang lelaki itu."Gak usah terlalu peduli, Pak!""Terserah, saya sibuk
Alice melangkahkan kakinya dengan tergesa mengikuti langkah besar milik Ardan yang tampak santai.Brukk!"Aw," rintih Alice memegangi kepalanya yang baru saja terbentur hebat dengan punggung Ardan."Liat-liat kalau jalan, sakit tau!" ucap Ardan garang."Salah Bapak sendiri kenapa berhenti tiba-tiba, ini kepala saya lebih sakit dari punggung Bapak," balas Alice."Makanya kalau jalan pake mata," ucap Ardan menekankan setiap katanya."Dimana-mana jalan itu pake kaki bukan pake mata!" jawab Alice dengan sedikit berbisik, pasalnya mereka sudah menjadi tontonan banyak karyawan di cafetaria kantor."Maksud saya tuh..." Ardan menghentikan ucapannya lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Percuma menjelaskan apapun pada gadis keras kepala seperti Alice.Tanpa sepatah katapun Ardan kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah meja kosong di pojok cafe dan tanpa pikir panjang Alice pun mengikuti langkah besar lelaki itu."Kamu mau makan apa?" tanya Ardan sesaat setelah ia mendudukkan
Alice melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Perutnya sudah berbunyi tanda cacing sudah berdemo di dalamnya.Ia menyesal kenapa tadi malam ia tidak turun untuk sekedar mengobrak-abrik dapur dan isi kulkas."Tumben bangun pagi," celetuk Alexa."Tiap hari juga gue bangun pagi," jawab Alice malas."Mau kemana kamu?" tanya Ibu Alice."Mau kerjalah, Bu," ucap Alice sembari membuka kulkas dan mengambil sekotak susu."Berhenti dari pekerjaan kamu!"Alice ternganga mendengar permintaan ibunya. "Gak! Gak bisa.""Kamu mau jadi apa, Alice?! Mau jadi ayam kampung?!""Ibu! Alice itu kerja yang halal, bukan kayak yang kalian tuduhin!" ucap Alice menaikkan nada bicaranya."Ibu biasanya gak pernah peduli sama apa yang Alice lakuin, tapi sekalinya peduli Ibu malah nuduh Alice kayak gini."Gadis itu meraih tasnya lalu berlari keluar dari rumahnya. Rumah yang tak ingin ia tinggali lagi, namun tak tau harus kemana setelah pergi.Air mata Alice jatuh, seburuk itu pandangan ibunya pada dirinya."No, Al
Hujan turun mengguyur kota disertai angin kencang. Udara malam semakin dingin, Alice baru saja tiba di rumahnya dengan keadaan basah kuyup.Gadis itu langsung mengetuk pintu rumah dan berharap seseorang di dalam sana membukakannya pintu."Ibu!" panggil Alice dengan suara yang bergetar akibat kedinginan."Ibu, ini Alice, Bu!" panggilnya lagi.Ceklek!Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan badan tinggi semampai. Wanita itu menatap garang Alice yang tampak menggigil."Darimana aja kamu?" tanya wanita itu saat Alice menerobos masuk."Dari kantor, kan Alice kerja, Bu," jawab Alice."Kantor mana yang pulangnya jam segini? Ini udah malam, Alice! Jangan-jangan kamu kerja yang gak bener ya?!" hardik wanita itu saat Alice baru saja hendak mengambil gelas dan membuat segelas kopi."Alice lembur, Bu," jawab Alice."Lembur? Lembur atau kamu jalan sama om-om?!" Wanita yang dipanggil 'Ibu' oleh Alice itu menaikkan nada bicaranya."Ibu, Alice beneran kerja. Alice gak jalan sam
Semilir angin berhembus membelai lembut wajah Alice. Cuaca tampak cerah, secerah senyuman manis yang terpatri di wajah gadis itu.Alice baru saja selesai menemani bos menyebalkannya meeting hari ini, jadi tidak ada salahnya ia sedikit keluyuran.Dengan langkah penuh semangat, Alice bergerak cepat menyusuri taman dengan pemandangan cukup asri. Kupu-kupu yang berterbangan dan beberapa gelembung sabun yang baru saja ditiup oleh anak-anak kecil. Alice tersenyum pada mereka sebelum ponsel miliknya bergetar dengan tak sabaran.Alice segera mengangkat panggilan itu."Ha-""Kamu dimana?" potong Ardan dari seberang sana. "Di taman dekat cafe," jawab Alice malas."Tunggu saya di situ!""Iy-"Tut."Dasar rese!" geram Alice kesal. Alice melempar ponselnya ke dalam tas dengan kesal. Kemudian berjalan dengan wajah cemberut ke arah sebuah bangku taman.Terpaksa ia harus menunggu bosnya yang menyebalkan itu karena tidak ingin kena omel.Selama hampir sepuluh menit Alice menunggu, Ardan datang deng
Alicia melangkahkan kakinya santai menuju gedung kantornya. Seraya tersenyum dan membalas sapaan beberapa orang, gadis itu tanpa ragu melangkah ke arah lift pribadi milik bosnya.Beberapa orang menatapnya heran, berani sekali gadis biasa sepertinya hendak menaiki lift pribadi seorang bos yang sangat dihormati."Maaf, ini lift pribadi Pak Ardan," tegur seorang wanita yang tak Alice kenali. Gadis itu memang terlalu malas memperhatikan sekitarnya."Iya, saya tau kok," jawab Alice santai.Wanita itu menatap Alice heran."Tolong hargai privasi bos, ini lift pribadinya. Karyawan naik lift yang satunya," sahut wanita itu.Alice memasang wajah heran. Privasi? Memang ada apa dengan lift pribadi bosnya? Bagi Alice ruangan kotak itu tampak sama saja dengan yang satunya. Hanya saja lift itu khusus di peruntukkan bagi bos mereka agar lelaki itu tak perlu repot-repot menunggu."Hm, oke." Alice malas berdebat dan baru saja sadar bahwa ia akan dijadi
ice berusaha mengiringi langkah besar milik bosnya dengan jantung berdegup kencang. Alice belum pernah setakut ini pada laki-laki, tapi kali ini beda."Pak, saya mau dibawa kemana?""Ke ruangan saya lah, emangnya mau kemana lagi?" sahut Ardan melirik Alice tajam."Pelan-pelan dong Pak jalannya!" keluh Alice. Pasalnya, bosnya itu masih terus menarik tangannya."Makanya jangan lambat.""Langkah Bapak besar, beda sama langkah saya. Bapak lepasin tangannya dari tangan saya." Alice memberontak sekuat tenaga agar pegangan lelaki itu lepas darinya."Kenapa sih kamu? Lagian kamu pikir saya suka pegang-pegang kamu?" tanya Ardan dengan ekspresi datar."Kalo ga suka terus tadi apa?""Itu supaya kamu ikut saya dan ga kabur.""Ngeles aja! Bilang aja cari kesempatan," cetus Alice."Baru diangkat jadi sekretaris aja kamu berani ngelawan saya!""Saya juga ga mau kok jadi sekretaris Bapak!" ucap Alice ketus."I