Hujan turun mengguyur kota disertai angin kencang. Udara malam semakin dingin, Alice baru saja tiba di rumahnya dengan keadaan basah kuyup.
Gadis itu langsung mengetuk pintu rumah dan berharap seseorang di dalam sana membukakannya pintu.
"Ibu!" panggil Alice dengan suara yang bergetar akibat kedinginan.
"Ibu, ini Alice, Bu!" panggilnya lagi.
Ceklek!
Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan badan tinggi semampai. Wanita itu menatap garang Alice yang tampak menggigil.
"Darimana aja kamu?" tanya wanita itu saat Alice menerobos masuk.
"Dari kantor, kan Alice kerja, Bu," jawab Alice.
"Kantor mana yang pulangnya jam segini? Ini udah malam, Alice! Jangan-jangan kamu kerja yang gak bener ya?!" hardik wanita itu saat Alice baru saja hendak mengambil gelas dan membuat segelas kopi.
"Alice lembur, Bu," jawab Alice.
"Lembur? Lembur atau kamu jalan sama om-om?!" Wanita yang dipanggil 'Ibu' oleh Alice itu menaikkan nada bicaranya.
"Ibu, Alice beneran kerja. Alice gak jalan sama om-om," ucap Alice masih sabar. Gadis itu meletakkan gelasnya lalu beranjak pergi meninggalkan ibunya yang terlihat marah.
"Dasar anak gak tau diri! Orang tua lagi ngomong malah pergi! Gak ada sopan santunnya!"
Alice tak menghiraukan teriakan ibunya, gadis itu langsung mengunci pintu kamarnya lalu masuk ke kamar mandi setelah melempar barang-barangnya di atas kasur.
Alice menghidupkan shower, kemudian berdiri sembari menatap ke bawah dengan pandangan kosong.
"Alice capek, Bu. Alice pengen waktu pulang disambut dengan hangat, bukannya dituduh-tuduh yang gak bener terus," lirih Alice.
Dor dor dor!
Alice terkejut kala pintu kamarnya digedor dengan keras. Gadis itu langsung mematikan shower yang mengguyurnya lalu menghapus butiran air yang tersisa di wajahnya.
Dengan pakaian basah kuyup Alice keluar dari kamar mandi lalu membuka pintu kamarnya.
"Lo jalan sama om-om lagi ya?!" hardik seorang gadis muda dengan selisih usia 3 tahun lebih tua dari Alice.
Alexa, seorang gadis cantik dengan hidung mancung dan rahang tegas. Alis tebal, pipi tirus, juga bibir sexy yang menggoda.
"Gak!" jawab Alice malas, kemudian gadis itu hendak menutup pintu kamarnya kembali sebelum Alexa menahannya.
Alice hanya menatap malas pada kakaknya itu.
"Lice, jangan bikin malu keluarga terus dong! Lo harus berhenti jalan sama om-om mata keranjang. Pikirin ibu juga dong! Mau ditaruh dimana muka ibu kalau anak gadisnya aneh-aneh?"
Alice menghela nafasnya panjang lalu menatap Alexa dengan gusar. "Gue capek," ucap Alice kemudian menutup dan mengunci pintu kamarnya lagi.
Gadis itu kembali berjalan ke kamar mandi untuk melakukan ritual mandi dengan benar. Ia harus istirahat sebelum besok kembali menghadapi bos menyebalkannya.
Lagipula ia sudah terbiasa dituduh melakukan hal yang sama sekali tak ia lakukan. Alice sudah malas menjelaskan, karena hal itu hanya akan percuma.
Sebagai anak bungsu yang cuek, Alice memang terkenal nakal. Nakal menurut ibu dan kakaknya.
"Ayah... Alice kangen," lirih Alice sebelum menutup mata sepenuhnya dan memeluk boneka kesayangannya.
š¤š¤š¤
Ayam berkokok dengan lantang, membuat Alice terjaga karena terkejut.
"Duh, dasar ayam!" keluh Alice sambil mengusap telinganya.
Alice kembali menutup matanya, namun sebelum ia benar-benar kembali tertidur, suara ponselnya yang nyaring terdengar mengejutkannya.
"Eh Ayam! cetusnya kaget hingga terduduk.
"Siapa sih yang taruh hp di telinga gue?!" tanya Alice kesal.
Alice melirik pintu kamarnya lalu mengingat kejadian tadi malam. "Gue sendiri yang taruh," ucapnya menyengir.
Suara ponsel kembali mengejutkannya. "Ini siapa lagi yang nelpon subuh-subuh?!" gerutu Alice.
Gadis itu mengambil handphone miliknya lalu menghela nafas kala melihat nama seseorang yang sangat menjengkelkan baginya.
"Ganggu aja sih!"
"Halo," ucap Alice mengangkat panggilan.
"Bangun, udah pagi!"
"Ini juga udah bangun kali."
"Sholat subuh sana!"
Alice melihat ponsel yang berada digenggamannya sambil mengedip beberapa kali untuk memastikan siapa yang ada di seberang sana.
"PAK BOS GALAKš¤¬"
Nama itu tertera jelas di sana, hingga membuat Alice terheran.
"Pak Bos?"
"Hm."
"Pak Bos baik-baik aja?"
"Apa sih kamu aneh banget, sana sholat subuh!"
"Bapak gak salah nelpon orang?"
"Enggak Alicia Antlia, sana cepetan sholat subuh! Jangan males sholat nanti ditemenin setan!"
"Ada angin apa nih Bapak ngingetin saya sholat?" tanya Alice penasaran.
"Angin duduk! Sana sholat!" balas Ardan dengan cuek dari seberang sana.
"Dih, Bapak gak jelas kayak Dora!"
"Kamu tuh kayak Dora! Sholat, Alice!"
"Iya iya, lagian Bapak gak matiin teleponnya gimana saya mau sholat."
"Ya udah saya matiin, sana sholat!"
"Y."
Tut!
Alice menatap heran ponselnya. Ia berasa habis dihubungi pacarnya dan diingatkan untuk sholat.
"Aneh bos gue," lirih Alice.
Alice mengangkat bahunya tak acuh lalu mulai menuruni ranjang dan berjalan ke arah kamar mandi.
"Ada untungnya juga sih dia bangunin gue buat sholat subuh, jadinya gue sholatnya gak bolong deh, makasih pak bos," ucap Alice pada dirinya sendiri sambil berkaca.
"Sekarang jam berapa sih? Kayaknya belum adzan deh," monolog Alice sembari kembali membuka pintu kamar mandinya dan mengintip keluar untuk melihat jam dinding yang terpajang.
"Hahahaha," Alice tertawa pelan seraya menahan diri.
"Baik banget bos gue, baru jam empat pagi udah ngerusuhin hidup gue aja," tutur Alice dengan wajah kesal.
"Mau bobo lagi keburu gak ngantuk, dasar Ardan Prawira!"
Akhirnya Alice memutuskan untuk mandi terlebih dahulu dan berperang melawan serangan air yang dinginnya bukan main saat menyentuh kulit.
"Duh, kapan sih gue jadi orang kaya? Ya Allah, saya capek setiap mandi kayak anak ayam jatuh ke air," ucap Alice sambil menggigil.
"Induk saya gak mau meluk kalo kedinginan, kenapa saya harus mandi?"
Setelah selesai mandi Alice segera berlari ke ranjangnya dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.
"Serba salah banget jadi gue. Gak mandi bau, tiap mandi malah kedinginan!"
"Ini semua gara-gara Pak Bos, terpaksa kan gue mandi sepagi ini," keluh Alice dengan bibir yang bergetar akibat kedinginan.
Alice melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Perutnya sudah berbunyi tanda cacing sudah berdemo di dalamnya.Ia menyesal kenapa tadi malam ia tidak turun untuk sekedar mengobrak-abrik dapur dan isi kulkas."Tumben bangun pagi," celetuk Alexa."Tiap hari juga gue bangun pagi," jawab Alice malas."Mau kemana kamu?" tanya Ibu Alice."Mau kerjalah, Bu," ucap Alice sembari membuka kulkas dan mengambil sekotak susu."Berhenti dari pekerjaan kamu!"Alice ternganga mendengar permintaan ibunya. "Gak! Gak bisa.""Kamu mau jadi apa, Alice?! Mau jadi ayam kampung?!""Ibu! Alice itu kerja yang halal, bukan kayak yang kalian tuduhin!" ucap Alice menaikkan nada bicaranya."Ibu biasanya gak pernah peduli sama apa yang Alice lakuin, tapi sekalinya peduli Ibu malah nuduh Alice kayak gini."Gadis itu meraih tasnya lalu berlari keluar dari rumahnya. Rumah yang tak ingin ia tinggali lagi, namun tak tau harus kemana setelah pergi.Air mata Alice jatuh, seburuk itu pandangan ibunya pada dirinya."No, Al
Alice melangkahkan kakinya dengan tergesa mengikuti langkah besar milik Ardan yang tampak santai.Brukk!"Aw," rintih Alice memegangi kepalanya yang baru saja terbentur hebat dengan punggung Ardan."Liat-liat kalau jalan, sakit tau!" ucap Ardan garang."Salah Bapak sendiri kenapa berhenti tiba-tiba, ini kepala saya lebih sakit dari punggung Bapak," balas Alice."Makanya kalau jalan pake mata," ucap Ardan menekankan setiap katanya."Dimana-mana jalan itu pake kaki bukan pake mata!" jawab Alice dengan sedikit berbisik, pasalnya mereka sudah menjadi tontonan banyak karyawan di cafetaria kantor."Maksud saya tuh..." Ardan menghentikan ucapannya lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Percuma menjelaskan apapun pada gadis keras kepala seperti Alice.Tanpa sepatah katapun Ardan kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah meja kosong di pojok cafe dan tanpa pikir panjang Alice pun mengikuti langkah besar lelaki itu."Kamu mau makan apa?" tanya Ardan sesaat setelah ia mendudukkan
Alice mendudukkan dirinya dengan malas di atas kursi tahanannya. Tahanan Ardan Prawira lebih tepatnya.Ia menyalakan komputer miliknya lalu melihat apa yang bisa ia kerjakan. Ternyata banyak sekali email masuk yang berisikan tugasnya hari ini. "Gak mikir banget sih ngasih kerjaan begini," gerutu Alice membuka satu persatu emailnya. Banyak sekali laporan yang harus ia kerjakan dan serahkan pada Ardan dalam waktu dekat. Juga beberapa pertemuan yang harus ia jadwalkan untuk bosnya itu.Saat Alice masih sibuk memeriksa email sambil menggerutu pelan, suara langkah kaki terdengar mendekati meja kerjanya. Gadis itu melirik sekilas bayangan tegap laki-laki yang berjalan menujunya."Kamu kenapa?" "Gapapa, saya sibuk," jawab Alice sekenanya.Lelaki itu menghela nafasnya, lalu meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa."Terserah kamu aja, ini saya bawain kamu bubur. Kalo kamu mau makan Alhamdulillah, kalo enggak ya udah," terang lelaki itu."Gak usah terlalu peduli, Pak!""Terserah, saya sibuk
Berminggu-minggu sejak Alice menjadi sekretaris Ardan, kegiatan Alice semakin padat setiap harinya. Sebagai sekretaris, Alice diharuskan mengikuti setiap kegiatan Ardan. Alice yang pada dasarnya tidak suka bertemu banyak orang, kini terpaksa harus bertatap muka dengan banyak orang yang tidak dikenalnya.Seperti hari ini, ia baru saja selesai menemani Ardan bertemu klien di sebuah restoran mahal."Pak, tawaran mereka bagus loh, ambil aja," ucap Alice yang baru saja kembali seusai mengantarkan klien mereka ke pintu keluar.Ardan menatap Alice lamat. "Nanti saya pikirin lagi, mending sekarang kita makan. Saya udah lapar," jawab Ardan tak acuh.Alice mengulum bibirnya lalu kembali duduk dengan tenang. "Kamu mau makan apa? Makan ini aja atau pesan yang baru?" tanya Ardan menunjuk dua piring steak di hadapannya.Alice tampak berpikir sejenak. "Saya mau makan nasi aja deh, ga bakal kenyang kalo makan beginian," jawab Alice."Ya udah, kita pindah tempat?"Alice mengangguk pelan. "Boleh, tapi
Mobil melaju membelah jalanan, berbelok ke kiri dan ke kanan di persimpangan. Alice duduk tenang di samping Ardan yang mengemudikan mobilnya tanpa suara pula.Suasana tampak canggung dan hening. Alice dengan dunianya sendiri dan Ardan dengan banyak pikiran di benaknya.Ardan melirik Alice sesekali, mencuri pandang saat gadis itu lengah. "Kenapa?" tanya Alice tanpa menoleh.Ardan menatap Alice dari kaca mobil. "Hm? Apanya yang kenapa? Kamu bicara sama saya?" tanyanya."Emangnya ada orang lain disini?" Alice balik bertanya.Ardan mendengus, Alice selalu saja berhasil membuatnya tampak bodoh. "Siapa tau kamu bicara sendiri, kamu kan suka ga waras," jawab Ardan sebagai pembelaan atas dirinya.Alice kembali diam, ia malas sekali berdebat dengan Ardan. Suasana hatinya tidak begitu bagus setelah dibentak oleh atasannya itu.Alice merasa mentalnya semakin lemah akhir-akhir ini, ia merasa pertahanannya pelan-pelan rubuh. Alice takut kalah, Alice takut tidak bisa mengendalikan diri."Pak, Saya
Cahaya matahari pagi menelusup dari balik jendela, membuat gadis bernama Alicia yang juga kerap disapa Alice itu terganggu.Alicia bangkit dari duduknya, berniat menarik gorden di ruangan kerja miliknya dan beberapa orang disana.Menurut Alicia, kantornya itu luar biasa. Bahkan untuknya yang bekerja di bagian keuangan, ia memiliki ruangan dengan jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan indah kota. Apalagi sesosok manusia yang kini tersenyum manis padanya dari balik kaca gedung sebelah.Lelaki itu melambaikan tangannya, membuat Alicia tersipu malu. Lelaki itu tampan dan sangat manis, tapi tetap saja Alicia malas berurusan dengan yang namanya cinta. Alicia hanya mengangguk sekilas lalu menarik gorden besar itu. Ia tidak suka cahaya matahari yang menggangu pekerjaannya, apalagi teriakan menggema teman satu ruangannya sekarang.
Alice melangkahkan kakinya memasuki cafetaria yang berada di lantai dasar kantornya. Gadis itu meneliti seluruh isi cafetaria untuk mencari meja kosong."Mau duduk dimana, Lice?" tanya Cici yang baru saja datang."Di sana." Alice menunjuk sebuah meja kosong di bagian pojok."Dasar Alice suka mojok!" cibir Cici."Ga apa-apa, mojok itu perlu," jawab Alice santai.Alice melangkahkan kakinya menuju meja yang baru saja ia tandai."Alice!" panggil seseorang.Alice menolehkan kepalanya, mencari asal suara."Eh, Pak Chandra. Selamat siang, Pak," ucap Alice sedikit membungkukkan badan.
"Apa?! Saya ga salah denger, Bu?" Alice terkejut bukan main dengan penuturan atasannya."Engga, Lice. Pak Chandra langsung yang minta kamu jadi sekretaris Pak Ardan.""Ga! Saya ga mau jadi sekretaris bos nyebelin itu!""Emangnya kenapa, sih? Bukannya bagus kalo kamu diangkat jadi sekretaris pak bos?" tanya Amel heran."Bagus dari mananya, Bu? Adanya saya stress punya bos begitu!" keluh Alice."Sekarang juga kamu punya bos begitu. Dia kan bos kita, Lice," ucap Amel terkekeh."Nah itu, baru ketemu dia aja saya stress, apalagi kalo sampe jadi sekretarisnya!""Udahlah, ini kesempatan bagus. Jangan ditolak," saran Amel."Tapi basic saya kan di bagian keuangan, gimana mungkin saya jadi sekretaris?""Mungkin-mungkin aja sih, Lice. Kan Pak Chandra yang minta," celetuk Cici."Kamu harus tau kalo bos kita itu pemilih, dia ga mungkin asal setuju dengan keputusan Pak Chandra. Kalo kamu dipilih jadi sekreta