"Apa?! Saya ga salah denger, Bu?" Alice terkejut bukan main dengan penuturan atasannya.
"Engga, Lice. Pak Chandra langsung yang minta kamu jadi sekretaris Pak Ardan."
"Ga! Saya ga mau jadi sekretaris bos nyebelin itu!"
"Emangnya kenapa, sih? Bukannya bagus kalo kamu diangkat jadi sekretaris pak bos?" tanya Amel heran.
"Bagus dari mananya, Bu? Adanya saya stress punya bos begitu!" keluh Alice.
"Sekarang juga kamu punya bos begitu. Dia kan bos kita, Lice," ucap Amel terkekeh.
"Nah itu, baru ketemu dia aja saya stress, apalagi kalo sampe jadi sekretarisnya!"
"Udahlah, ini kesempatan bagus. Jangan ditolak," saran Amel.
"Tapi basic saya kan di bagian keuangan, gimana mungkin saya jadi sekretaris?"
"Mungkin-mungkin aja sih, Lice. Kan Pak Chandra yang minta," celetuk Cici.
"Kamu harus tau kalo bos kita itu pemilih, dia ga mungkin asal setuju dengan keputusan Pak Chandra. Kalo kamu dipilih jadi sekretarisnya, berarti kamu emang yang terbaik. Pokoknya jangan ditolak," papar Amel.
"Pak Chandra ada masalah hidup apa sih sampe milih saya jadi sekretaris pak bos?" tanya Alice heran.
"Hahaha hati-hati lo bisa kena mental, Lice!" timpal Cici.
"Dih, mental gue kuat ya! Emang elo? Didatengin tu manusia aja bisa lemes kayak ga punya tulang."
"Itu kan beda cerita! Kemaren dia marah makanya gue takut sampe lemes begitu!" elak Cici membela diri.
"Udah-udah, pokoknya Alice mau, ya?" rayu Amel.
"Engga ah, Bu."
"Kalo ga mau nanti dipecat loh, Lice," ucap seseorang tiba-tiba dengan suara baritonnya.
"Astaghfirullah, kaget!" ucap Alice sembari memegangi dadanya.
"Yah, maaf saya lupa kalo kamu kagetan," ucap Chandra santai.
"Dasar Bapak mah! Udah tau tapi diulang-ulang!"
"Hehehe, seru aja liat kamu ngatain orang setan atau binatang," jawab Chandra tanpa rasa bersalah.
"Enak aja! Tadi saya istighfar tuh!"
"Ekhem, dunia serasa milik berdua ya," celetuk Cici sedikit menggoda.
"Iya dong, sekali-kali ya Lice?" sahut Chandra.
"Iya, lagian iri aja sih! Biasanya juga lo begitu sama suami lo. Dunia serasa milik berdua dan yang lain ngontrak!" timpal Alice.
"NAH IYAA, SAYA SETUJU, LICE!" ucap Amel mendadak heboh.
"Tuh dengerin, Ci!" ucap Chandra dengan kekehan santai.
Cici hanya mampu tersipu dengan wajah yang memerah.
"Jadi gimana, Lice? Kamu mau kan jadi sekretarisnya Pak Ardan?" tanya Chandra kembali serius.
"Gimana ya, Pak? Saya bingung."
"Harus mau pokoknya, nanti dipecat kalo nolak," ancam Chandra.
"Loh loh, kok dipecat sih, Pak?"
"Makanya, mau aja ya?"
"Y-yaudah, saya mau," jawab Alice pasrah.
"Nah, gitu dong!" Chandra tersenyum menang.
"Emangnya kalo boleh tau sekretaris yang lama kemana, Pak?" tanya Cici.
"Biasalah, dipecat gara-gara genit," jawab Chandra santai.
"Oalah, Alice jangan genit-genit! Ntar dipecat pak bos," ucap Cici menarik hidung mancung Alice.
"Dih, emangnya gue genit?" tanya Alice tak terima.
"Ya engga sih, kamu tuh LAKIK!"
"ENAK AJA!" Alice memberikan sebuah pukulan di lengan Cici.
"Aduh pukulannya LAKIK banget!" balas Cici.
"Heh, kenapa pada berantem, sih? Malu dilihat Pak Chandra!" peringat Amel.
"Eh iya, lupa," ucap Cici malu.
"Dasar!" ucap Alice.
"Ya maaf. Aaaaa Aliceku kamu mau pergi dari sini. Aku pasti bakal kangen banget huhu, jangan lupa sama aku ya bebekku," tutur Cici dramatis.
"Bebek! bebek! Lebay!"
"Ihh galak banget deh kamu tuh." Cici memeluk Alice dengan erat.
"Lepasin! Sesak tau ga?" ucap Alice risih.
"Ihh, kok gue malah takut pak bos yang kena mental sama lo. Lo galak banget soalnya."
"Hahaha, biarin aja! Biar tau rasa!" sahut Chandra.
"Dasar kalian! Lepas ih, gue sesak, Cici!"
"Bentar lagi dong, kan lagi peluk perpisahan."
"Lebay banget deh! Kita masih satu kantor loh, Ci," ucap Alice tampak frustasi.
"Bu Amel, tolong kasih paham si Alice yang nakal ini," adu Cici.
"Kita emang sekantor tapi pasti bakal jarang ketemu. Kamu pasti bakal sibuk banget sebagai sekretaris pak bos. Good luck, Alice!" Amel ikut memeluk Alice dan Cici.
Pelukan mereka semakin erat hingga Alice merasa ingin meledak.
"Aduhh, kenapa makin kenceng ini?" keluh Alice.
"Puas-puasin aja perpisahannya. Bu Amel bener, kamu bakal sibuk banget jadi sekretaris pak bos. Jangan malu-malu, Lice," ucap Chandra.
"Iya, Lice. Jangan malu-malu, kamu sedih kan pisah sama kita?" sahut Cici.
"Ya iyalah!" ketus Alice dengan suara yang bergetar.
"Huwaaa Alice, ini mengandung bawang. Aku ga rela kamu pergiiii."
"Cici lebay bangettt," balas Alice.
"Ikhlas Ci, ikhlas. Alice pasti bakal bahagia," jawab Bu Amel.
"Bismillahirrahmanirrahim, dengan restu mama papa aku ikhlas melepas kamu, Lice. Semoga bahagia bersama dia," tutur Cici melepaskan pelukannya.
"Heh! Lo kira gue mau nikahan?"
Chandra menggeleng-gelengkan kepalanya pelan sambil terkekeh geli melihat tingkah laku ketiga perempuan di depannya.
"Kalo nikah jangan lupa undang kita ya, Lice," ucap Bu Amel.
"Apaan dah kalian? Siapa yang mau nikah sih?" ucap Alice frustasi.
"Ya kan kalo," jawab Bu Amel.
"Serah!"
"Alice daripada marah-marah mulu mending kasih kata-kata perpisahan," pinta Cici.
Alice menganggukkan kepala lalu menelan ludahnya.
"Pertama-tama aku mau ngucapin terimakasih buat kalian yang selama ini udah support aku. Yang udah kasih aku banyak ilmu, yang udah bikin aku ketawa terus sampe guling-gulingan di lantai, yang udah ngajarin aku cara playing victim, dan udah bikin aku emosi terus sampe ini gedung rasanya pengen aku bakar. Ini pelajaran berharga baget sih. Terimakasih juga buat kalian yang suka nyolong pulpen, pensil, staples, dan teman-temannya. Semoga mereka bahagia bareng majikan barunya dan semoga skill nyolong kalian juga aku warisi," ucap Alice panjang lebar dengan dramatis.
Chandra ternganga lebar mendengar ucapan Alice. Ia tak kuasa menahan tawanya.
"Sama-sama, Lice. Kamu murid yang baik, sekarang udah tau kan cara bakar gedung kantor? Nanti kalo kesel sama pak bos, bakar aja dia hidup-hidup," ucap Cici menghapus air mata buayanya.
"Saya bangga sama kamu, Lice. Ga sia-sia saya nyuruh Cici bimbing kamu. Saya puas sama hasilnya," timpal Amel.
"Kalian ga ada yang bener ya ampuuun!" Alice tertawa sambil mengeluarkan air mata.
"NGAKAK WOYY!" ucap Alice sembari memegangi perutnya.
"Walaupun ini garing tapi saya juga ngakak!" celetuk Amel.
"Kebodohan ini disponsori oleh Pak Chandra," ucap Cici menunjuk Chandra yang sudah tertawa geli.
"Astaghfirullah, kok jadi saya?"
"Kan Bapak yang nyuruh Alice jadi sekretarisnya Pak Ardan," sahut Cici.
"Oh iya ya, berarti kebodohan ini disponsori oleh saya," jawab Chandra yang membuat Alice menepuk bahunya tak kuat.
"Kamera di sebelah mana sih? Saya ga kuat lagi hidup di tengah-tengah manusia absurd ini. Tolong!" ucap Alice lelah.
"Pak Chandra kenapa malah ikutan bodoh deh?" tanya Cici.
"Ya kan–"
"Ekhem!"
Suara dehaman itu mendadak membuat Alice dan yang lainnya menoleh.
"Udah selesai ketawanya? Saya butuh sekretaris saya," ucap lelaki itu dingin dan datar.
"Maaf, pak bos. Alicenya udah siap, kok," sahut Chandra.
"Alice, kamu ikut pak bos ya biar di jelasin kerjaan kamu apa," titah Chandra.
"I-iya, Pak," jawab Alice kikuk.
"Kalian tolong beresin barang-barang Alice dan bawa ke mejanya," pinta Chandra yang langsung diangguki Amel dan Cici.
"Baik, Pak."
"Alice, kamu ikut saya!" titah Ardan pada Alice yang masih diam mematung.
"Bye semuanya!" pamit Alice pada Cici dan Amel sebelum Ardan menarik tangannya pergi dari sana.
"Eh–”
"Udah, ikut aja!"
"Mampus! Gue mau dibawa kemana ini?" batin Alice.
ice berusaha mengiringi langkah besar milik bosnya dengan jantung berdegup kencang. Alice belum pernah setakut ini pada laki-laki, tapi kali ini beda."Pak, saya mau dibawa kemana?""Ke ruangan saya lah, emangnya mau kemana lagi?" sahut Ardan melirik Alice tajam."Pelan-pelan dong Pak jalannya!" keluh Alice. Pasalnya, bosnya itu masih terus menarik tangannya."Makanya jangan lambat.""Langkah Bapak besar, beda sama langkah saya. Bapak lepasin tangannya dari tangan saya." Alice memberontak sekuat tenaga agar pegangan lelaki itu lepas darinya."Kenapa sih kamu? Lagian kamu pikir saya suka pegang-pegang kamu?" tanya Ardan dengan ekspresi datar."Kalo ga suka terus tadi apa?""Itu supaya kamu ikut saya dan ga kabur.""Ngeles aja! Bilang aja cari kesempatan," cetus Alice."Baru diangkat jadi sekretaris aja kamu berani ngelawan saya!""Saya juga ga mau kok jadi sekretaris Bapak!" ucap Alice ketus."I
Alicia melangkahkan kakinya santai menuju gedung kantornya. Seraya tersenyum dan membalas sapaan beberapa orang, gadis itu tanpa ragu melangkah ke arah lift pribadi milik bosnya.Beberapa orang menatapnya heran, berani sekali gadis biasa sepertinya hendak menaiki lift pribadi seorang bos yang sangat dihormati."Maaf, ini lift pribadi Pak Ardan," tegur seorang wanita yang tak Alice kenali. Gadis itu memang terlalu malas memperhatikan sekitarnya."Iya, saya tau kok," jawab Alice santai.Wanita itu menatap Alice heran."Tolong hargai privasi bos, ini lift pribadinya. Karyawan naik lift yang satunya," sahut wanita itu.Alice memasang wajah heran. Privasi? Memang ada apa dengan lift pribadi bosnya? Bagi Alice ruangan kotak itu tampak sama saja dengan yang satunya. Hanya saja lift itu khusus di peruntukkan bagi bos mereka agar lelaki itu tak perlu repot-repot menunggu."Hm, oke." Alice malas berdebat dan baru saja sadar bahwa ia akan dijadi
Semilir angin berhembus membelai lembut wajah Alice. Cuaca tampak cerah, secerah senyuman manis yang terpatri di wajah gadis itu.Alice baru saja selesai menemani bos menyebalkannya meeting hari ini, jadi tidak ada salahnya ia sedikit keluyuran.Dengan langkah penuh semangat, Alice bergerak cepat menyusuri taman dengan pemandangan cukup asri. Kupu-kupu yang berterbangan dan beberapa gelembung sabun yang baru saja ditiup oleh anak-anak kecil. Alice tersenyum pada mereka sebelum ponsel miliknya bergetar dengan tak sabaran.Alice segera mengangkat panggilan itu."Ha-""Kamu dimana?" potong Ardan dari seberang sana. "Di taman dekat cafe," jawab Alice malas."Tunggu saya di situ!""Iy-"Tut."Dasar rese!" geram Alice kesal. Alice melempar ponselnya ke dalam tas dengan kesal. Kemudian berjalan dengan wajah cemberut ke arah sebuah bangku taman.Terpaksa ia harus menunggu bosnya yang menyebalkan itu karena tidak ingin kena omel.Selama hampir sepuluh menit Alice menunggu, Ardan datang deng
Hujan turun mengguyur kota disertai angin kencang. Udara malam semakin dingin, Alice baru saja tiba di rumahnya dengan keadaan basah kuyup.Gadis itu langsung mengetuk pintu rumah dan berharap seseorang di dalam sana membukakannya pintu."Ibu!" panggil Alice dengan suara yang bergetar akibat kedinginan."Ibu, ini Alice, Bu!" panggilnya lagi.Ceklek!Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan badan tinggi semampai. Wanita itu menatap garang Alice yang tampak menggigil."Darimana aja kamu?" tanya wanita itu saat Alice menerobos masuk."Dari kantor, kan Alice kerja, Bu," jawab Alice."Kantor mana yang pulangnya jam segini? Ini udah malam, Alice! Jangan-jangan kamu kerja yang gak bener ya?!" hardik wanita itu saat Alice baru saja hendak mengambil gelas dan membuat segelas kopi."Alice lembur, Bu," jawab Alice."Lembur? Lembur atau kamu jalan sama om-om?!" Wanita yang dipanggil 'Ibu' oleh Alice itu menaikkan nada bicaranya."Ibu, Alice beneran kerja. Alice gak jalan sam
Alice melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Perutnya sudah berbunyi tanda cacing sudah berdemo di dalamnya.Ia menyesal kenapa tadi malam ia tidak turun untuk sekedar mengobrak-abrik dapur dan isi kulkas."Tumben bangun pagi," celetuk Alexa."Tiap hari juga gue bangun pagi," jawab Alice malas."Mau kemana kamu?" tanya Ibu Alice."Mau kerjalah, Bu," ucap Alice sembari membuka kulkas dan mengambil sekotak susu."Berhenti dari pekerjaan kamu!"Alice ternganga mendengar permintaan ibunya. "Gak! Gak bisa.""Kamu mau jadi apa, Alice?! Mau jadi ayam kampung?!""Ibu! Alice itu kerja yang halal, bukan kayak yang kalian tuduhin!" ucap Alice menaikkan nada bicaranya."Ibu biasanya gak pernah peduli sama apa yang Alice lakuin, tapi sekalinya peduli Ibu malah nuduh Alice kayak gini."Gadis itu meraih tasnya lalu berlari keluar dari rumahnya. Rumah yang tak ingin ia tinggali lagi, namun tak tau harus kemana setelah pergi.Air mata Alice jatuh, seburuk itu pandangan ibunya pada dirinya."No, Al
Alice melangkahkan kakinya dengan tergesa mengikuti langkah besar milik Ardan yang tampak santai.Brukk!"Aw," rintih Alice memegangi kepalanya yang baru saja terbentur hebat dengan punggung Ardan."Liat-liat kalau jalan, sakit tau!" ucap Ardan garang."Salah Bapak sendiri kenapa berhenti tiba-tiba, ini kepala saya lebih sakit dari punggung Bapak," balas Alice."Makanya kalau jalan pake mata," ucap Ardan menekankan setiap katanya."Dimana-mana jalan itu pake kaki bukan pake mata!" jawab Alice dengan sedikit berbisik, pasalnya mereka sudah menjadi tontonan banyak karyawan di cafetaria kantor."Maksud saya tuh..." Ardan menghentikan ucapannya lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Percuma menjelaskan apapun pada gadis keras kepala seperti Alice.Tanpa sepatah katapun Ardan kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah meja kosong di pojok cafe dan tanpa pikir panjang Alice pun mengikuti langkah besar lelaki itu."Kamu mau makan apa?" tanya Ardan sesaat setelah ia mendudukkan
Alice mendudukkan dirinya dengan malas di atas kursi tahanannya. Tahanan Ardan Prawira lebih tepatnya.Ia menyalakan komputer miliknya lalu melihat apa yang bisa ia kerjakan. Ternyata banyak sekali email masuk yang berisikan tugasnya hari ini. "Gak mikir banget sih ngasih kerjaan begini," gerutu Alice membuka satu persatu emailnya. Banyak sekali laporan yang harus ia kerjakan dan serahkan pada Ardan dalam waktu dekat. Juga beberapa pertemuan yang harus ia jadwalkan untuk bosnya itu.Saat Alice masih sibuk memeriksa email sambil menggerutu pelan, suara langkah kaki terdengar mendekati meja kerjanya. Gadis itu melirik sekilas bayangan tegap laki-laki yang berjalan menujunya."Kamu kenapa?" "Gapapa, saya sibuk," jawab Alice sekenanya.Lelaki itu menghela nafasnya, lalu meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa."Terserah kamu aja, ini saya bawain kamu bubur. Kalo kamu mau makan Alhamdulillah, kalo enggak ya udah," terang lelaki itu."Gak usah terlalu peduli, Pak!""Terserah, saya sibuk
Berminggu-minggu sejak Alice menjadi sekretaris Ardan, kegiatan Alice semakin padat setiap harinya. Sebagai sekretaris, Alice diharuskan mengikuti setiap kegiatan Ardan. Alice yang pada dasarnya tidak suka bertemu banyak orang, kini terpaksa harus bertatap muka dengan banyak orang yang tidak dikenalnya.Seperti hari ini, ia baru saja selesai menemani Ardan bertemu klien di sebuah restoran mahal."Pak, tawaran mereka bagus loh, ambil aja," ucap Alice yang baru saja kembali seusai mengantarkan klien mereka ke pintu keluar.Ardan menatap Alice lamat. "Nanti saya pikirin lagi, mending sekarang kita makan. Saya udah lapar," jawab Ardan tak acuh.Alice mengulum bibirnya lalu kembali duduk dengan tenang. "Kamu mau makan apa? Makan ini aja atau pesan yang baru?" tanya Ardan menunjuk dua piring steak di hadapannya.Alice tampak berpikir sejenak. "Saya mau makan nasi aja deh, ga bakal kenyang kalo makan beginian," jawab Alice."Ya udah, kita pindah tempat?"Alice mengangguk pelan. "Boleh, tapi