ice berusaha mengiringi langkah besar milik bosnya dengan jantung berdegup kencang. Alice belum pernah setakut ini pada laki-laki, tapi kali ini beda.
"Pak, saya mau dibawa kemana?"
"Ke ruangan saya lah, emangnya mau kemana lagi?" sahut Ardan melirik Alice tajam.
"Pelan-pelan dong Pak jalannya!" keluh Alice. Pasalnya, bosnya itu masih terus menarik tangannya.
"Makanya jangan lambat."
"Langkah Bapak besar, beda sama langkah saya. Bapak lepasin tangannya dari tangan saya." Alice memberontak sekuat tenaga agar pegangan lelaki itu lepas darinya.
"Kenapa sih kamu? Lagian kamu pikir saya suka pegang-pegang kamu?" tanya Ardan dengan ekspresi datar.
"Kalo ga suka terus tadi apa?"
"Itu supaya kamu ikut saya dan ga kabur."
"Ngeles aja! Bilang aja cari kesempatan," cetus Alice.
"Baru diangkat jadi sekretaris aja kamu berani ngelawan saya!"
"Saya juga ga mau kok jadi sekretaris Bapak!" ucap Alice ketus.
"Ikut saya!" Ardan kembali menarik tangan Alice agar mengikutinya.
"Ihh lepas dong, Pak! Saya bisa jalan– AKHH!"
Brukk!
"Duh, hati-hati dong! Kalo kamu mau jatuh ya jatuh aja, kenapa pake tarik-tarik saya?" ujar Ardan kesal.
"Bapak duluan yang tarik-tarik saya! Saya kan bilang saya ga bisa nyamain langkah Bapak yang besar! Jatuh kan jadinya," balas Alice tak kalah kesal.
"Pak? Pak Ardan ga apa-apa?" tanya seorang karyawan wanita menghampiri.
Ardan dan Alice yang masih terduduk di lantai menoleh.
"Ga, saya ga apa-apa," jawab Ardan dingin.
Ardan lantas langsung kembali berdiri tegak dan menepuk-nepuk jasnya. Sial memang, ia kini jadi sorotan banyak karyawan karena jatuh bersama Alice.
"Kamu ga mau bangun?" Ardan menatap Alice yang masih duduk tanpa beban.
"Lutut saya sakit," cicit Alice.
"Kenapa? Asam urat?"
Alice mengepalkan tangannya kesal dan menghela nafas berat.
"Bangun!" titah Ardan dingin.
Lelaki itu mengulurkan tangannya tepat dihadapan Alice.
"Ayo bangun," tuturnya lebih lembut.
Alice menatap Ardan dengan raut wajah bingung.
Karena tak kunjung mendapat respon, Ardan langsung menarik lengan Alice dan membantunya bangun.
Alice terkejut bukan main, matanya melotot seketika saat kepalanya tak sengaja membentur dada bidang lelaki itu.
"Aduhh lutut saya," ucap Alice mengalihkan perhatian.
Ardan melihat ke arah lutut Alice yang tampak merah.
"Ayo cepet!" titah lelaki itu lalu berlalu meninggalkan Alice.
"Dasar!" geram Alice kesal.
Alice berjalan pelan menuju lift. Tepat di depan sana Ardan sudah berdiri dengan gagah sambil memainkan ponselnya.
Gadis itu semakin heran, kenapa lelaki itu masih berada dilantai ini? Apa lelaki itu menunggunya?
"Bapak ngapain masih disini? Nungguin saya?"
"Yaiyalah, nanti kamu malah balik ke ruangan kamu dulu," jawab Ardan menatap Alice.
Ardan langsung menekan tombol di depan lift dan lift tersebut langsung terbuka lebar.
"Ayo!" ajaknya.
"Eh, tunggu dulu!"
"Kenapa lagi? Ayo masuk!"
"Ini kan lift pribadi Bapak. Mana boleh saya yang karyawan biasa naik lift ini," sahut Alice.
"Kamu udah jadi sekretaris saya. Mulai sekarang kamu bebas naik lift ini," jawab Ardan santai.
"Bapak seriusan?" tanya Alice tak percaya.
"Banyak omong banget sih kamu! Ayo cepet!"
"Iya iya." Alice langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift pribadi bosnya.
Gadis itu tertawa dalam hatinya. Akhirnya lift ini jadi miliknya juga, ia jadi tak perlu repot-repot mengantri dan menunggu di depan pintu lift setiap pagi.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Ardan heran.
"Engga, kok," jawab Alice mengalihkan pandangannya.
"Engga gimana? Orang tadi saya liat."
Ting!
"Ayo keluar, Pak!" Alice segera meninggalkan Ardan agar lelaki itu tidak banyak bertanya.
Ardan hanya mengikuti langkah Alice yang terlihat tertatih.
"Masuk!" titahnya sembari membuka pintu ruangan miliknya.
"Bapak duluan yang masuk, kan Bapak tuan rumahnya," balas Alice yang berdiri diam di depan ruangan itu.
Tanpa sepatah katapun, Ardan langsung saja meninggalkan Alice.
"Kamu duduk dulu disini." Ardan kembali membuka suara dan berucap dengan nada yang memerintah.
"Bapak kok hobi perintah-perintah sih? Perasaan dari tadi saya diperintah terus," tutur Alice seraya mendaratkan pantatnya di sofa empuk milik Ardan.
"Karena saya bos kamu," sahut Ardan yang tampak sibuk mencari sesuatu.
Setelah benda itu ditemukan, Ardan melangkah mendekati Alice.
"Bapak mau ngapain?" tanya Alice panik saat tubuh Ardan condong ke arahnya.
"Mau tambal ban!" jawab Ardan asal.
Lelaki itu sudah berjongkok di depannya lalu menyentuh lutut Alice yang merah.
"EH, MAU NGAPAIN?" teriak Alice.
"Bapak jangan macam-macam ya! Saya teriak nih!" ancam Alice.
"Teriak aja, saya ga takut," balas Ardan.
"Mulai besok pakaian kamu harus lebih sopan. Ga boleh ada lagi rok selutut begini," ucap Ardan sarat akan perintah.
Alice hanya diam saat Ardan mulai mengoleskan krim pada lututnya.
"Sakit?"
Alice menggelengkan kepalanya sambil menatap Ardan.
"Lain kali hati-hati. Jangan ceroboh."
"Ini juga gara-gara Bapak!"
"Udah deh, ga usah ngebela diri. Kamu salah karena kamu ceroboh."
Alice mendengus kesal lalu melipat kedua tangannya di dada.
Ardan tak menghiraukan gadis itu. Ia segera membereskan kotak P3K miliknya dan kembali menyimpannya.
"Kemarin kamu kenapa lari? Terus cowo yang di halte siapa?"
"Bukan urusan Bapak!"
"Jelas itu urusan saya. Kamu ga tau aja kemarin si Chandra panik nyariin kamu yang tiba-tiba lari hujan-hujanan," balas Ardan dingin.
Alice menunjukkan raut bersalah.
"Jadi yang kemarin di halte itu siapa? Pacar kamu?"
Alice menggelengkan kepalanya pelan.
"Bukan, itu sepupu saya. Duh, pasti Pak Chandra khawatir, saya cari Pak Chandra dulu ya," ucap Alice hendak bangkit sebelum Ardan menahannya.
"Ga usah."
"Loh, kenapa ga usah? Saya mau minta maaf sama Pak Chandra."
"Ga usah."
"Kenapa, sih? Saya tetap mau pergi!"
"Saya bilang ga usah! Paham?" ucap Ardan dengan nada yang sedikit tinggi.
Alice nampak sedikit menciut. Gadis itu membuang mukanya asal.
"Harusnya kamu minta maafnya ke saya karena kamu udah buang-buang waktu saya kemarin," ucap Ardan datar.
"Lah, apa urusannya sama Bapak? Yang nyari saya kan Pak Chandra," sahut Alice menatap Ardan garang.
"Tapi dia numpang mobil saya!"
Alice menahan dirinya untuk tidak memukul kepala laki-laki menyebalkan itu.
"Ya udah, saya minta maaf," ucap Alice mengalah.
"Saya ga butuh maaf kamu. Kamu ga akan bisa balikin waktu saya yang terbuang percuma buat nyariin kamu."
Alice membelalakkan matanya mendengar hal itu. Laki-laki dihadapannya ini benar-benar minta dikubur hidup-hidup.
"Ingat, Alice! Waktu adalah uang buat saya. Kamu harus kerja dengan giat dan jangan banyak tingkah!" ucap Ardan dengan tatapan dingin.
"Satu lagi, saya ga suka perempuan yang menye-menye dan genit!" lanjut Ardan.
"Iya," jawab Alice malas.
Alicia melangkahkan kakinya santai menuju gedung kantornya. Seraya tersenyum dan membalas sapaan beberapa orang, gadis itu tanpa ragu melangkah ke arah lift pribadi milik bosnya.Beberapa orang menatapnya heran, berani sekali gadis biasa sepertinya hendak menaiki lift pribadi seorang bos yang sangat dihormati."Maaf, ini lift pribadi Pak Ardan," tegur seorang wanita yang tak Alice kenali. Gadis itu memang terlalu malas memperhatikan sekitarnya."Iya, saya tau kok," jawab Alice santai.Wanita itu menatap Alice heran."Tolong hargai privasi bos, ini lift pribadinya. Karyawan naik lift yang satunya," sahut wanita itu.Alice memasang wajah heran. Privasi? Memang ada apa dengan lift pribadi bosnya? Bagi Alice ruangan kotak itu tampak sama saja dengan yang satunya. Hanya saja lift itu khusus di peruntukkan bagi bos mereka agar lelaki itu tak perlu repot-repot menunggu."Hm, oke." Alice malas berdebat dan baru saja sadar bahwa ia akan dijadi
Semilir angin berhembus membelai lembut wajah Alice. Cuaca tampak cerah, secerah senyuman manis yang terpatri di wajah gadis itu.Alice baru saja selesai menemani bos menyebalkannya meeting hari ini, jadi tidak ada salahnya ia sedikit keluyuran.Dengan langkah penuh semangat, Alice bergerak cepat menyusuri taman dengan pemandangan cukup asri. Kupu-kupu yang berterbangan dan beberapa gelembung sabun yang baru saja ditiup oleh anak-anak kecil. Alice tersenyum pada mereka sebelum ponsel miliknya bergetar dengan tak sabaran.Alice segera mengangkat panggilan itu."Ha-""Kamu dimana?" potong Ardan dari seberang sana. "Di taman dekat cafe," jawab Alice malas."Tunggu saya di situ!""Iy-"Tut."Dasar rese!" geram Alice kesal. Alice melempar ponselnya ke dalam tas dengan kesal. Kemudian berjalan dengan wajah cemberut ke arah sebuah bangku taman.Terpaksa ia harus menunggu bosnya yang menyebalkan itu karena tidak ingin kena omel.Selama hampir sepuluh menit Alice menunggu, Ardan datang deng
Hujan turun mengguyur kota disertai angin kencang. Udara malam semakin dingin, Alice baru saja tiba di rumahnya dengan keadaan basah kuyup.Gadis itu langsung mengetuk pintu rumah dan berharap seseorang di dalam sana membukakannya pintu."Ibu!" panggil Alice dengan suara yang bergetar akibat kedinginan."Ibu, ini Alice, Bu!" panggilnya lagi.Ceklek!Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan badan tinggi semampai. Wanita itu menatap garang Alice yang tampak menggigil."Darimana aja kamu?" tanya wanita itu saat Alice menerobos masuk."Dari kantor, kan Alice kerja, Bu," jawab Alice."Kantor mana yang pulangnya jam segini? Ini udah malam, Alice! Jangan-jangan kamu kerja yang gak bener ya?!" hardik wanita itu saat Alice baru saja hendak mengambil gelas dan membuat segelas kopi."Alice lembur, Bu," jawab Alice."Lembur? Lembur atau kamu jalan sama om-om?!" Wanita yang dipanggil 'Ibu' oleh Alice itu menaikkan nada bicaranya."Ibu, Alice beneran kerja. Alice gak jalan sam
Alice melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Perutnya sudah berbunyi tanda cacing sudah berdemo di dalamnya.Ia menyesal kenapa tadi malam ia tidak turun untuk sekedar mengobrak-abrik dapur dan isi kulkas."Tumben bangun pagi," celetuk Alexa."Tiap hari juga gue bangun pagi," jawab Alice malas."Mau kemana kamu?" tanya Ibu Alice."Mau kerjalah, Bu," ucap Alice sembari membuka kulkas dan mengambil sekotak susu."Berhenti dari pekerjaan kamu!"Alice ternganga mendengar permintaan ibunya. "Gak! Gak bisa.""Kamu mau jadi apa, Alice?! Mau jadi ayam kampung?!""Ibu! Alice itu kerja yang halal, bukan kayak yang kalian tuduhin!" ucap Alice menaikkan nada bicaranya."Ibu biasanya gak pernah peduli sama apa yang Alice lakuin, tapi sekalinya peduli Ibu malah nuduh Alice kayak gini."Gadis itu meraih tasnya lalu berlari keluar dari rumahnya. Rumah yang tak ingin ia tinggali lagi, namun tak tau harus kemana setelah pergi.Air mata Alice jatuh, seburuk itu pandangan ibunya pada dirinya."No, Al
Alice melangkahkan kakinya dengan tergesa mengikuti langkah besar milik Ardan yang tampak santai.Brukk!"Aw," rintih Alice memegangi kepalanya yang baru saja terbentur hebat dengan punggung Ardan."Liat-liat kalau jalan, sakit tau!" ucap Ardan garang."Salah Bapak sendiri kenapa berhenti tiba-tiba, ini kepala saya lebih sakit dari punggung Bapak," balas Alice."Makanya kalau jalan pake mata," ucap Ardan menekankan setiap katanya."Dimana-mana jalan itu pake kaki bukan pake mata!" jawab Alice dengan sedikit berbisik, pasalnya mereka sudah menjadi tontonan banyak karyawan di cafetaria kantor."Maksud saya tuh..." Ardan menghentikan ucapannya lalu menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Percuma menjelaskan apapun pada gadis keras kepala seperti Alice.Tanpa sepatah katapun Ardan kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah meja kosong di pojok cafe dan tanpa pikir panjang Alice pun mengikuti langkah besar lelaki itu."Kamu mau makan apa?" tanya Ardan sesaat setelah ia mendudukkan
Alice mendudukkan dirinya dengan malas di atas kursi tahanannya. Tahanan Ardan Prawira lebih tepatnya.Ia menyalakan komputer miliknya lalu melihat apa yang bisa ia kerjakan. Ternyata banyak sekali email masuk yang berisikan tugasnya hari ini. "Gak mikir banget sih ngasih kerjaan begini," gerutu Alice membuka satu persatu emailnya. Banyak sekali laporan yang harus ia kerjakan dan serahkan pada Ardan dalam waktu dekat. Juga beberapa pertemuan yang harus ia jadwalkan untuk bosnya itu.Saat Alice masih sibuk memeriksa email sambil menggerutu pelan, suara langkah kaki terdengar mendekati meja kerjanya. Gadis itu melirik sekilas bayangan tegap laki-laki yang berjalan menujunya."Kamu kenapa?" "Gapapa, saya sibuk," jawab Alice sekenanya.Lelaki itu menghela nafasnya, lalu meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa."Terserah kamu aja, ini saya bawain kamu bubur. Kalo kamu mau makan Alhamdulillah, kalo enggak ya udah," terang lelaki itu."Gak usah terlalu peduli, Pak!""Terserah, saya sibuk
Berminggu-minggu sejak Alice menjadi sekretaris Ardan, kegiatan Alice semakin padat setiap harinya. Sebagai sekretaris, Alice diharuskan mengikuti setiap kegiatan Ardan. Alice yang pada dasarnya tidak suka bertemu banyak orang, kini terpaksa harus bertatap muka dengan banyak orang yang tidak dikenalnya.Seperti hari ini, ia baru saja selesai menemani Ardan bertemu klien di sebuah restoran mahal."Pak, tawaran mereka bagus loh, ambil aja," ucap Alice yang baru saja kembali seusai mengantarkan klien mereka ke pintu keluar.Ardan menatap Alice lamat. "Nanti saya pikirin lagi, mending sekarang kita makan. Saya udah lapar," jawab Ardan tak acuh.Alice mengulum bibirnya lalu kembali duduk dengan tenang. "Kamu mau makan apa? Makan ini aja atau pesan yang baru?" tanya Ardan menunjuk dua piring steak di hadapannya.Alice tampak berpikir sejenak. "Saya mau makan nasi aja deh, ga bakal kenyang kalo makan beginian," jawab Alice."Ya udah, kita pindah tempat?"Alice mengangguk pelan. "Boleh, tapi
Mobil melaju membelah jalanan, berbelok ke kiri dan ke kanan di persimpangan. Alice duduk tenang di samping Ardan yang mengemudikan mobilnya tanpa suara pula.Suasana tampak canggung dan hening. Alice dengan dunianya sendiri dan Ardan dengan banyak pikiran di benaknya.Ardan melirik Alice sesekali, mencuri pandang saat gadis itu lengah. "Kenapa?" tanya Alice tanpa menoleh.Ardan menatap Alice dari kaca mobil. "Hm? Apanya yang kenapa? Kamu bicara sama saya?" tanyanya."Emangnya ada orang lain disini?" Alice balik bertanya.Ardan mendengus, Alice selalu saja berhasil membuatnya tampak bodoh. "Siapa tau kamu bicara sendiri, kamu kan suka ga waras," jawab Ardan sebagai pembelaan atas dirinya.Alice kembali diam, ia malas sekali berdebat dengan Ardan. Suasana hatinya tidak begitu bagus setelah dibentak oleh atasannya itu.Alice merasa mentalnya semakin lemah akhir-akhir ini, ia merasa pertahanannya pelan-pelan rubuh. Alice takut kalah, Alice takut tidak bisa mengendalikan diri."Pak, Saya