Berminggu-minggu sejak Alice menjadi sekretaris Ardan, kegiatan Alice semakin padat setiap harinya. Sebagai sekretaris, Alice diharuskan mengikuti setiap kegiatan Ardan. Alice yang pada dasarnya tidak suka bertemu banyak orang, kini terpaksa harus bertatap muka dengan banyak orang yang tidak dikenalnya.Seperti hari ini, ia baru saja selesai menemani Ardan bertemu klien di sebuah restoran mahal."Pak, tawaran mereka bagus loh, ambil aja," ucap Alice yang baru saja kembali seusai mengantarkan klien mereka ke pintu keluar.Ardan menatap Alice lamat. "Nanti saya pikirin lagi, mending sekarang kita makan. Saya udah lapar," jawab Ardan tak acuh.Alice mengulum bibirnya lalu kembali duduk dengan tenang. "Kamu mau makan apa? Makan ini aja atau pesan yang baru?" tanya Ardan menunjuk dua piring steak di hadapannya.Alice tampak berpikir sejenak. "Saya mau makan nasi aja deh, ga bakal kenyang kalo makan beginian," jawab Alice."Ya udah, kita pindah tempat?"Alice mengangguk pelan. "Boleh, tapi
Mobil melaju membelah jalanan, berbelok ke kiri dan ke kanan di persimpangan. Alice duduk tenang di samping Ardan yang mengemudikan mobilnya tanpa suara pula.Suasana tampak canggung dan hening. Alice dengan dunianya sendiri dan Ardan dengan banyak pikiran di benaknya.Ardan melirik Alice sesekali, mencuri pandang saat gadis itu lengah. "Kenapa?" tanya Alice tanpa menoleh.Ardan menatap Alice dari kaca mobil. "Hm? Apanya yang kenapa? Kamu bicara sama saya?" tanyanya."Emangnya ada orang lain disini?" Alice balik bertanya.Ardan mendengus, Alice selalu saja berhasil membuatnya tampak bodoh. "Siapa tau kamu bicara sendiri, kamu kan suka ga waras," jawab Ardan sebagai pembelaan atas dirinya.Alice kembali diam, ia malas sekali berdebat dengan Ardan. Suasana hatinya tidak begitu bagus setelah dibentak oleh atasannya itu.Alice merasa mentalnya semakin lemah akhir-akhir ini, ia merasa pertahanannya pelan-pelan rubuh. Alice takut kalah, Alice takut tidak bisa mengendalikan diri."Pak, Saya
Cahaya matahari pagi menelusup dari balik jendela, membuat gadis bernama Alicia yang juga kerap disapa Alice itu terganggu.Alicia bangkit dari duduknya, berniat menarik gorden di ruangan kerja miliknya dan beberapa orang disana.Menurut Alicia, kantornya itu luar biasa. Bahkan untuknya yang bekerja di bagian keuangan, ia memiliki ruangan dengan jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan indah kota. Apalagi sesosok manusia yang kini tersenyum manis padanya dari balik kaca gedung sebelah.Lelaki itu melambaikan tangannya, membuat Alicia tersipu malu. Lelaki itu tampan dan sangat manis, tapi tetap saja Alicia malas berurusan dengan yang namanya cinta. Alicia hanya mengangguk sekilas lalu menarik gorden besar itu. Ia tidak suka cahaya matahari yang menggangu pekerjaannya, apalagi teriakan menggema teman satu ruangannya sekarang.
Alice melangkahkan kakinya memasuki cafetaria yang berada di lantai dasar kantornya. Gadis itu meneliti seluruh isi cafetaria untuk mencari meja kosong."Mau duduk dimana, Lice?" tanya Cici yang baru saja datang."Di sana." Alice menunjuk sebuah meja kosong di bagian pojok."Dasar Alice suka mojok!" cibir Cici."Ga apa-apa, mojok itu perlu," jawab Alice santai.Alice melangkahkan kakinya menuju meja yang baru saja ia tandai."Alice!" panggil seseorang.Alice menolehkan kepalanya, mencari asal suara."Eh, Pak Chandra. Selamat siang, Pak," ucap Alice sedikit membungkukkan badan.
"Apa?! Saya ga salah denger, Bu?" Alice terkejut bukan main dengan penuturan atasannya."Engga, Lice. Pak Chandra langsung yang minta kamu jadi sekretaris Pak Ardan.""Ga! Saya ga mau jadi sekretaris bos nyebelin itu!""Emangnya kenapa, sih? Bukannya bagus kalo kamu diangkat jadi sekretaris pak bos?" tanya Amel heran."Bagus dari mananya, Bu? Adanya saya stress punya bos begitu!" keluh Alice."Sekarang juga kamu punya bos begitu. Dia kan bos kita, Lice," ucap Amel terkekeh."Nah itu, baru ketemu dia aja saya stress, apalagi kalo sampe jadi sekretarisnya!""Udahlah, ini kesempatan bagus. Jangan ditolak," saran Amel."Tapi basic saya kan di bagian keuangan, gimana mungkin saya jadi sekretaris?""Mungkin-mungkin aja sih, Lice. Kan Pak Chandra yang minta," celetuk Cici."Kamu harus tau kalo bos kita itu pemilih, dia ga mungkin asal setuju dengan keputusan Pak Chandra. Kalo kamu dipilih jadi sekreta
ice berusaha mengiringi langkah besar milik bosnya dengan jantung berdegup kencang. Alice belum pernah setakut ini pada laki-laki, tapi kali ini beda."Pak, saya mau dibawa kemana?""Ke ruangan saya lah, emangnya mau kemana lagi?" sahut Ardan melirik Alice tajam."Pelan-pelan dong Pak jalannya!" keluh Alice. Pasalnya, bosnya itu masih terus menarik tangannya."Makanya jangan lambat.""Langkah Bapak besar, beda sama langkah saya. Bapak lepasin tangannya dari tangan saya." Alice memberontak sekuat tenaga agar pegangan lelaki itu lepas darinya."Kenapa sih kamu? Lagian kamu pikir saya suka pegang-pegang kamu?" tanya Ardan dengan ekspresi datar."Kalo ga suka terus tadi apa?""Itu supaya kamu ikut saya dan ga kabur.""Ngeles aja! Bilang aja cari kesempatan," cetus Alice."Baru diangkat jadi sekretaris aja kamu berani ngelawan saya!""Saya juga ga mau kok jadi sekretaris Bapak!" ucap Alice ketus."I
Alicia melangkahkan kakinya santai menuju gedung kantornya. Seraya tersenyum dan membalas sapaan beberapa orang, gadis itu tanpa ragu melangkah ke arah lift pribadi milik bosnya.Beberapa orang menatapnya heran, berani sekali gadis biasa sepertinya hendak menaiki lift pribadi seorang bos yang sangat dihormati."Maaf, ini lift pribadi Pak Ardan," tegur seorang wanita yang tak Alice kenali. Gadis itu memang terlalu malas memperhatikan sekitarnya."Iya, saya tau kok," jawab Alice santai.Wanita itu menatap Alice heran."Tolong hargai privasi bos, ini lift pribadinya. Karyawan naik lift yang satunya," sahut wanita itu.Alice memasang wajah heran. Privasi? Memang ada apa dengan lift pribadi bosnya? Bagi Alice ruangan kotak itu tampak sama saja dengan yang satunya. Hanya saja lift itu khusus di peruntukkan bagi bos mereka agar lelaki itu tak perlu repot-repot menunggu."Hm, oke." Alice malas berdebat dan baru saja sadar bahwa ia akan dijadi
Semilir angin berhembus membelai lembut wajah Alice. Cuaca tampak cerah, secerah senyuman manis yang terpatri di wajah gadis itu.Alice baru saja selesai menemani bos menyebalkannya meeting hari ini, jadi tidak ada salahnya ia sedikit keluyuran.Dengan langkah penuh semangat, Alice bergerak cepat menyusuri taman dengan pemandangan cukup asri. Kupu-kupu yang berterbangan dan beberapa gelembung sabun yang baru saja ditiup oleh anak-anak kecil. Alice tersenyum pada mereka sebelum ponsel miliknya bergetar dengan tak sabaran.Alice segera mengangkat panggilan itu."Ha-""Kamu dimana?" potong Ardan dari seberang sana. "Di taman dekat cafe," jawab Alice malas."Tunggu saya di situ!""Iy-"Tut."Dasar rese!" geram Alice kesal. Alice melempar ponselnya ke dalam tas dengan kesal. Kemudian berjalan dengan wajah cemberut ke arah sebuah bangku taman.Terpaksa ia harus menunggu bosnya yang menyebalkan itu karena tidak ingin kena omel.Selama hampir sepuluh menit Alice menunggu, Ardan datang deng