Penyesalan selalu datang terlambat, maka berpikir bijaklah sebelum mengambil keputusan.***Ansel menendang pintu kamarnya dengan keras. Dia membuka dasi dengan gerakan kasar, lalu melepaskan jas yang dikenakannya dan membantingnya ke atas tempat tidur.“Argh! Seharusnya aku kembali ke kafe itu lebih cepat,” sungut Ansel, mengenyakkan pantat di tepi ranjang.Saat dia tiba di kafe itu, Qeiza tak lagi di sana. Entah ke mana gadis itu pergi. Ansel kehilangan jejak.“Ah, ya. Aku melupakan sesuatu.”Ansel bergegas membuka macbook-nya dan memeriksa kotak masuk pada email-nya. Kepalanya bergerak liar dan terlihat tidak sabar saat mengunduh beberapa lampiran yang diterimanya.Muka Ansel menegang ketika dia membandingkan gambar yang terlampir di email-nya dengan foto-foto yang didapatnya dari remaja bayarannya tadi.“Siaaal!” pekik Ansel sambil menjambak kasar rambutnya sendiri. “Jadi, Ae Ri adalah Qeiza?”Ansel menggigit kepalan tinjunya. Beragam emosi campur aduk di dadanya. Marah, sesal, dan
“Alah! Berhenti bersikap pura-pura!” omel Ansel. “Dari awal kau sudah mengenali Ae Ri, kan?”Ansel teringat Xander pernah mengucapkan beberapa kalimat yang mengindikasikan bahwa lelaki tersebut sepertinya telah curiga bahwa Ae Ri dan Qeiza merupakan orang yang sama.“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau bicarakan,” tutur Xander, bersikeras bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang apa yang dituduhkan Ansel kepadanya.“Aku kecewa padamu, Xander,” keluh Ansel. “Kalau kau sudah tahu Ae Ri itu Qeiza, mantan istriku, kenapa kau tak memberitahuku?”Xander melotot dengan mulut ternganga. “Apa? Kau yakin Ae Ri itu Qeiza?” tanyanya. Padahal yang sebenarnya, dia hanya sekadar ingin mengonfirmasi.Lantaran merasa sangat penasaran dengan kebenaran yang disampaikan Ansel dan bagaimana lelaki tersebut bisa seyakin itu, Xander melangkah masuk ke kamar Ansel tanpa menunggu dipersilakan. Dia duduk dengan bersilang kaki di tepi ranjang.Melihat ekspresi polos Xander, Ansel meneleng sembari menaikkan s
Tak ada rahasia yang dapat tetap tersimpan untuk selamanya. *** Qeiza mematung di tengah pintu apartemennya. Dia baru saja hendak berangkat kerja dan melihat pemandangan aneh tidak jauh dari sana. Ansel tidur meringkuk sambil memeluk kedua lututnya seperti anak kucing yang kedinginan di sisi kiri pintu. Perlahan Qeiza berjinjit mendekati Ansel, memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Dia tidak habis pikir bagaimana Ansel bisa berakhir dengan tidur di atas lantai di luar apartemennya. “Dia benar-benar gila!” pikir Qeiza. Mau-maunya seorang Ansel yang selalu menjunjung tinggi harga dirinya menyambangi kediaman mantan istrinya dan bermalam di sana seperti seekor anjing penjaga. Qeiza mendesah seraya menggeleng. Sejenak dia menimbang-nimbang apakah dia harus membangunkan Ansel atau tidak. Dia mengedarkan pandangan berkeliling. Lorong apartemen itu kosong. “Ah, biar sajalah!” Qeiza akhirnya memutuskan untuk tetap membiarkan Ansel di sana. Dia balik badan dan berniat hendak pergi dar
Ansel berharap teriakannya dapat menghentikan langkah Qeiza sehingga dia punya kesempatan untuk menyusulnya. Sayangnya, impian itu tidak pernah menjadi nyata. Qeiza sama sekali tak terpengaruh dengan jeritan nyaringnya.Qeiza terus melangkah hingga duduk manis di samping Chin Hwa tanpa menunggu lelaki itu untuk membukakan pintu mobil untuknya.Mengetahui suasana hati Qeiza sedang tidak baik, Chin Hwa langsung memacu kendaraannya. Sesekali dia melirik pada Qeiza dengan setumpuk tanya yang menjejali pikirannya.“Kau tak perlu menceritakannya kalau memang tidak ingin berbagi sekarang.”Chin Hwa melihat kegelisahan yang terpancar pada wajah Qeiza. Gadis itu juga masih terlihat ragu untuk mulai menceritakan kisah yang sebenarnya.Qeiza menghela napas panjang. “Sekarang ataupun nanti, aku tetap harus menceritakannya kan? Jadi apa bedanya?”Chin Hwa tersenyum tipis. “Aku bisa sabar menunggu sampai kau benar-benar siap untuk bercerita.”“Aku akan merasa lebih lega jika kau lebih cepat mengetah
Pada dasarnya, wanita adalah makhluk yang sangat pemaaf walaupun sering kali disakiti. Hanya saja, jika perasaan kecewa telah melampaui batas toleransi dan membuatnya pergi, maka jangan pernah berharap dia akan kembali walau tangismu adalah air mata darah.***Pagi itu cuaca lebih dingin dari biasanya. Suhu di luar ruangan berada pada titik terendah di musim gugur, lima derajat Celsius. Qeiza merasakan tulang-tulangnya menggigil sehingga dia mempercepat langkahnya untuk masuk ke ruang kerjanya.Dia sangat mendambakan penghangat ruangan. Helaan napas leganya mengudara ketika suhu hangat membelai permukaan kulitnya saat dia melepas mantel dan menggantungnya pada tiang yang tersedia di pojok ruang kerjanya.Qeiza menggosokkan telapak tangannya agar hawa dingin yang terasa membekukan itu lebih cepat berlalu.“Kopinya, Nona!”Seorang office boy datang di waktu yang sangat tepat. Dia menghidangkan secangkir mochachino.“Terima kasih.”Qeiza tersenyum ramah. Menikmati perpaduan susu, cokelat,
Qeiza duduk dengan posisi kaki saling tumpah tindih. Dia bolak-balik melirik ke arah pintu masuk, berharap Adnan akan segera muncul dari sana.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Seharusnya lelaki itu sudah tiba sepuluh menit yang lalu.“Kenapa dia belum muncul?”Qeiza mulai dihinggapi perasaan gelisah. Tidak biasanya Adnan datang terlambat. Lelaki itu adalah tipikal orang yang selalu menepati janji dan tepat waktu.“Apa dia lupa?” Qeiza terus berbicara pada dirinya sendiri.Untuk mengusir kebosanan, Qeiza akhirnya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku coat. Dia mulai membuka aplikasi untuk membaca novel kesukaannya. Terbuai oleh alunan kata-kata puitis bernada romantis yang dibacanya, Qeiza jadi lupa akan keterlambatan Adnan.“Qeiza?” tegur seorang pria. “Kamu kenapa duduk sendiri di sini?”Qeiza mengangkat kepala. Matanya langsung tertumbuk pada sosok Ansel yang sedang celingukan ke segala arah seperti tengah mencari-cari sesuatu atau mungkin juga seseorang.Menyadari yang berd
Seorang lelaki akan melakukan segala cara untuk mendapatkan wanita yang dicintainya. *** Raja siang telah terlelap di pengujung senja. Dewi malam sigap mengambil alih tugasnya untuk menyinari semesta. Seorang petugas keamanan sedang berpatroli di pelataran parkir. Entakan sepatunya bergema menakutkan. Tangan lelaki itu memegang sebuah senter. Dia menyorot setiap sudut yang dikuasai kegelapan, memastikan semuanya aman dan terkendali. “Siapa di sana?” Dia bertanya pada diri sendiri ketika cahaya senternya menampilkan siluet seorang lelaki dengan kepala bertumpu pada roda kemudi. Dia terus berjalan mendatangi lelaki itu. Cahaya yang mendarat pada kelopak matanya menyebabkan Adnan tersadar. Dia menyipitkan matanya yang masih lamur, lalu mengadang cahaya itu dengan lengan kirinya. “Anda baik-baik saja, Tuan?” tanya sang petugas keamanan pada Adnan setelah mengetuk kaca jendela mobilnya. Adnan yang belum berhasil mengumpulkan segenap kesadarannya mengangkat kepala. Dia masih merasa s
“Habiskan sarapannya ya, Ma!” kata Ansel. Dia sendiri yang membawakan makanan dan minuman untuk mamanya. Diletakkannya makanan tersebut di atas sebuah meja kecil di samping tempat tidur. Alina menggeser posisi duduknya lebih ke tepi. Mengetahui Ansel akan segera membawa Qeiza kepadanya, Alina jadi bersemangat untuk memulihkan diri. Ansel membantu meletakkan nampan berisi makanan ke pangkuan Alina, lalu mendekatkan meja agar Alina lebih mudah menjangkau minuman yang masih berada di sana. “Aku pergi, Ma,” pamit Ansel. “Kalau Mama butuh apa-apa, bunyikan saja bel di atas nakas itu. Ansel menunjuk bel tanpa kabel yang sengaja dibelinya untuk mempermudah Alina memanggil asisten rumah tangga mereka. Alina menahan pergelangan tangan Ansel. Dia menengadah, menatap penuh harap pada putra semata wayangnya itu. “Jangan kecewakan Mama, Sel,” lirihnya. “Bawa Qeiza kemari!” “Iya, Ma,” sahut Ansel. “Mama tenang saja!” Akhirnya Alina bisa melepas kepergian Ansel dengan senyuman bahagia. Dia b
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal