“Habiskan sarapannya ya, Ma!” kata Ansel. Dia sendiri yang membawakan makanan dan minuman untuk mamanya. Diletakkannya makanan tersebut di atas sebuah meja kecil di samping tempat tidur. Alina menggeser posisi duduknya lebih ke tepi. Mengetahui Ansel akan segera membawa Qeiza kepadanya, Alina jadi bersemangat untuk memulihkan diri. Ansel membantu meletakkan nampan berisi makanan ke pangkuan Alina, lalu mendekatkan meja agar Alina lebih mudah menjangkau minuman yang masih berada di sana. “Aku pergi, Ma,” pamit Ansel. “Kalau Mama butuh apa-apa, bunyikan saja bel di atas nakas itu. Ansel menunjuk bel tanpa kabel yang sengaja dibelinya untuk mempermudah Alina memanggil asisten rumah tangga mereka. Alina menahan pergelangan tangan Ansel. Dia menengadah, menatap penuh harap pada putra semata wayangnya itu. “Jangan kecewakan Mama, Sel,” lirihnya. “Bawa Qeiza kemari!” “Iya, Ma,” sahut Ansel. “Mama tenang saja!” Akhirnya Alina bisa melepas kepergian Ansel dengan senyuman bahagia. Dia b
Tatkala seorang pria memperlakukan wanita dengan lembut, saat itulah dia mulai memegang kunci untuk memenangkan hatinya.***Pagi itu ternyata hari keberuntungan Ansel. Saat dia tiba di apartemen Qeiza, mantan istrinya itu baru saja mengunci pintu. Siap untuk berangkat kerja.Ansel menghampiri Qeiza dengan wajah berbinar cerah. “Selamat pagi, Qeiza!” sapanya, sedikit membungkuk. Buket bunga yang dibawanya disembunyikannya di belakang punggung.Qeiza menatap Ansel dengan pandangan dingin. “Aku baru tahu enaknya jadi bos,” cibir Qeiza. “Masih sempat mengganggu hidup orang lain di saat seharusnya sudah pergi ke kantor.”Ansel cuma tersenyum tipis menanggapi cemoohan Qeiza. Bayang wajah pias mamanya memaksanya menahan emosi. Bagaimana pun caranya, dia harus berhasil membujuk mantan istrinya itu untuk bertemu dengan mamanya.“Hei! Tidak baik mengawali hari dengan marah-marah,” seloroh Ansel.Dia mengeluarkan buket bunga yang disembunyikannya. Perlahan dia memangkas jarak di antara mereka.“
“Hanya satu jam.” Ansel terus membujuk Qeiza.Qeiza melotot. Lelaki di depannya ini benar-benar tidak ingin menyerah."Tidak, tiga puluh menit pun cukup,” ralat Ansel begitu sorot mata Qeiza terlihat lebih tajam dari sebilah pedang samurai.Qeiza tak menanggapi bujukan Ansel. Dia kembali mengayun langkah menuju elevator.“Oke. Tidak lebih dari sepuluh menit,” putus Ansel. “Aku akan mengantarmu ke kantor setelahnya. Bagaimana?”Demi memenuhi janjinya kepada Alina, Ansel rela mengubur harga diri dan egonya dalam-dalam. Jika dia melewatkan kesempatan ini, entah kapan dia bisa bertemu lagi dengan Qeiza. Wanita itu selalu saja mencari cara untuk melarikan diri darinya.Ansel berdiri berhadapan dengan Qeiza. Dia masih menanti jawaban mantan istrinya itu. Untungnya elevator itu sedang sepi. Jadi, dia bisa memandangi wajah cantik Qeiza sepuasnya.“Pleaaase!”Ansel menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Terlihat tak berdaya dan sangat membutuhkan belas kasihan Qeiza.Entah sikap pantang me
Jangan percaya sepenuhnya pada apa yang kau lihat karena matamu bisa saja menipu. *** Selesai berbicara di telepon, Ansel menyusul masuk ke kamar Alina dengan perasaan penuh sukacita. Dia senang sekali bisa memenuhi keinginan mamanya. “Qeiza mana, Ma?” tanya Ansel. Dia celingukan ke segenap penjuru kamar. Mencari keberadaan Qeiza. Tangan kirinya bersembunyi dalam saku celana. Wajahnya kusut ketika tak menemukan Qeiza di kamar itu. Alina bangkit dan bersandar di kepala ranjang. Dia menatap dingin pada Ansel. “Aku sudah mengusirnya,” sahutnya. “Apa?” Ansel kaget. “Kenapa, Ma? Kan Mama sendiri yang memintaku untuk membawanya kemari.” “Aku memintamu membawa pulang Qeiza,” balas Alina. “Bukan wanita penipu itu!” “Ya ampun, Ma!” Ansel kehabisan kata. Bergegas dia balik badan, memburu Qeiza. “Berhenti, Ansel!” cegah Alina. “Jangan pernah membawa pencuri itu ke hadapanku!” Ansel menurunkan tangannya dari gagang pintu. Dia mengembuskan napas berat. Dia harus mengakui bahwa mamanya te
“Nah, itu dia orangnya, Pak!” tunjuk Aleta pada Qeiza. “Dia yang menyebabkan semua kekacauan ini!” Qeiza baru saja menginjakkan kaki di ruangan penyimpanan bahan. Dia tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Semua mata kini tertuju pada dirinya. Tatapan-tatapan buas itu seperti ingin mencincang dirinya bak pancaran sinar laser yang berseliweran dari segala arah. Qeiza mengamati seisi ruangan tersebut. Tampak gulungan-gulungan dasar pertebaran di mana-mana. Sebagian bahkan sudah terkoyak-koyak dan kotor. Seakan tak percaya dengan apa yang terjadi, Qeiza berlari untuk memeriksa bahan-bahan yang berantakan itu. “Tidak usah sok suci!” pekik Aleta, menyambar kasar sebelah lengan Qeiza. “Apa maksudmu?” tanya Qeiza. “Aku hanya ingin memeriksanya. Kenapa tidak boleh?” “Seharusnya kau sadar diri! Kau yang menghancurkan semua ini, kan?” Aleta bertanya dengan nada menuduh. “Tidak. Bukan aku pelakunya.” Qeiza membela diri ketika semua mata menatapnya dengan pandangan menyalahkan di
Berhati-hatilah terhadap orang yang bermuka dua karena kita tidak pernah tahu rencana busuk apa yang tersembunyi di balik topeng sikap baik mereka. *** “Aku tidak tahu apa yang dibisikkan Tuan Freud pada Anda, Mr. Song,” sahut Qeiza. “Tapi, aku berani bersumpah. Bukan aku yang menyebabkan semua kekacauan ini.” “Kau punya bukti atau saksi?” selidik Chin Hwa. “Ini! Aku punya bukti yang valid,” tukas Aleta. Tak memberi kesempatan kepada Qeiza untuk menanggapi pertanyaan Chin Hwa. Dia melangkah maju. Menyodorkan ponselnya kepada Chin Hwa. Lirikan menghinanya pada Qeiza seakan berkata, “Tamat riwayatmu! Kau tidak akan pernah menang melawanku.” Saat Chin Hwa mengamati foto yang ada di galeri Aleta, karyawan lain juga asyik memandangi ponsel mereka masing-masing. Ternyata Aleta telah mengirim gambar yang dimilikinya ke grup obrolan perusahaan. Berbagai macam komentar negatif dan hinaan saling bersambut dan semakin memojokkan Qeiza. Qeiza tak bisa berkutik. Salah satu dari gambar-gambar
Rahang Chin Hwa mengeras. Dia tidak percaya Aleta masih bersikeras membela diri dan menuduh Qeiza setelah dia menunjukkan bukti nyata tentang perbuatan buruknya. Chin Hwa menghubungi seseorang melalui ponselnya. “Bawa mereka kemari!” perintahnya. Muka Aleta bertambah pucat. Dia tak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya. Chin Hwa benar-benar telah menggali permasalahan di ruang penyimpanan itu hingga ke akar-akarnya. Dua lelaki jatuh tersungkur tepat di depan kaki Chin Hwa akibat dorongan kuat yang diberikan oleh dua orang petugas keamanan. “A–ampun, Tuan!” ratap mereka serentak. “Ka–kami hanya menjalankan perintah.” “Bohong!” pekik Aleta. “Aku tidak pernah memerintahkan mereka!” Chin Hwa meneleng dengan kening mengisut. Matanya membiaskan kecurigaan pada Aleta. Dua lelaki itu belum menyebutkan siapa yang menyuruh mereka untuk memfitnah Qeiza, tetapi Aleta sudah menyangkalnya. Sadar telah melakukan kesalahan yang dapat membuka kedoknya sendiri, Aleta membekap mulutnya dengan k
Selalu ada kerikil di setiap perjalanan yang akan ditempuh. Kau hanya perlu melewatinya tanpa harus merasa terguncang. *** Berjalan meninggalkan ruang penyimpanan, Qeiza sesekali melirik Chin Hwa. Dia terharu menyadari lelaki itu datang di waktu yang sangat tepat dan menjadi malaikat pelindungnya. “Seharusnya kau kan masih di ruang rapat, kenapa tiba-tiba bisa muncul di gudang?” Pertanyaan tersebut meluncur juga dari mulut Qeiza. Dia memang tidak pernah bisa menahan rasa penasarannya. “Ah, itu … tadi aku meneleponmu,” sahut Chin Hwa. “Karena kau tak kunjung mengangkat panggilanku, jadi aku mencarimu.” “Benarkah?” Selekasnya Qeiza mengecek ponselnya. Benar saja. Ternyata Chin Hwa telah menghubunginya berkali-kali. “Maaf,” ujar Qeiza. “Kau butuh bantuanku?” “Sudah tidak lagi,” balas Chin Hwa. “Rapatnya sudah berakhir.” Wajah Qeiza berubah muram. Dia jadi tak mendengar dering ponselnya gara-gara terlalu fokus pada keributan yang terjadi di gudang itu. Chin Hwa mengusap puncak