Selalu ada kerikil di setiap perjalanan yang akan ditempuh. Kau hanya perlu melewatinya tanpa harus merasa terguncang. *** Berjalan meninggalkan ruang penyimpanan, Qeiza sesekali melirik Chin Hwa. Dia terharu menyadari lelaki itu datang di waktu yang sangat tepat dan menjadi malaikat pelindungnya. “Seharusnya kau kan masih di ruang rapat, kenapa tiba-tiba bisa muncul di gudang?” Pertanyaan tersebut meluncur juga dari mulut Qeiza. Dia memang tidak pernah bisa menahan rasa penasarannya. “Ah, itu … tadi aku meneleponmu,” sahut Chin Hwa. “Karena kau tak kunjung mengangkat panggilanku, jadi aku mencarimu.” “Benarkah?” Selekasnya Qeiza mengecek ponselnya. Benar saja. Ternyata Chin Hwa telah menghubunginya berkali-kali. “Maaf,” ujar Qeiza. “Kau butuh bantuanku?” “Sudah tidak lagi,” balas Chin Hwa. “Rapatnya sudah berakhir.” Wajah Qeiza berubah muram. Dia jadi tak mendengar dering ponselnya gara-gara terlalu fokus pada keributan yang terjadi di gudang itu. Chin Hwa mengusap puncak
“Apa tidak terlalu kejam membiarkan Nona Aleta membersihkan ruangan sebesar itu?” tanya Qeiza. Dia merasa kasihan membayangkan wanita seperti Aleta harus memeras keringat untuk membersihkan kekacauan tersebut. “Dia harus belajar bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri,” jelas Chin Hwa. “Semoga saja dia tidak jatuh sakit,” harap Qeiza. “Kenapa kau masih peduli padanya?” Chin Hwa terlihat tidak senang dengan reaksi Qeiza. Jelas-jelas Aleta berencana untuk mencelakainya, tetapi dia masih saja menunjukkan simpati terhadap penderitaan wanita ular itu. “Dia pantas mendapatkannya,” imbuh Chin Hwa. “Khawatirkan saja dirimu sendiri!” Qeiza terkesima mendengar nada bicara Chin Hwa yang biasanya hangat berubah dingin dan tajam. Dia baru tahu Chin Hwa juga punya sisi lain yang sangat jarang ditunjukkannya. Selama ini dia mengenal Chin Hwa sebagai sosok yang ramah, hangat, dan selalu berkata dengan nada lembut. Tak disangka ternyata dia bisa marah juga. Memasuki elevator yang akan memb
Rasa cemburu tak ubahnya seperti panasnya bara api yang menghanguskan telapak kaki. Kau tak bisa berjalan dengan benar sampai semua lukamu sembuh. *** Alina bergegas duduk di tepi ranjang begitu mendengar langkah kaki menderap ke kamarnya. wajahnya merona bahagia. Dia merapikan rambutnya dengan jari. Tak ingin terlihat berantakan di mata tamu istimewanya. Roman muka Alina berubah suram ketika Ansel datang seorang diri. “Mana Qeiza?” tanyanya. “Kau berhasil menemuinya, kan?” Ansel duduk di samping kiri Alina. Dia memaksakan bibirnya melengkung naik. “Qeiza masih sangat sibuk, Ma,” sahutnya. “Dia sedang menemani bosnya.” Hati Ansel terasa sakit membayangkan Qeiza tersenyum ceria bersama Chin Hwa. Ingin rasanya dia bisa melenyapkan lelaki itu dari sisi Qeiza. Sayangnya, dia tak mampu menemukan mereka. Terpaksa dia berbohong kepada Alina. “Dia tidak bekerja di perusahaanmu?” tanya Alina. Ansel menggeleng. “Enggak, Ma,” sahutnya. “Kenapa? Akan lebih baik kalau dia bekerja di kantor
Mata Adnan dipenuhi bintang ketika menatap makanan di atas meja. Dia tidak sempat makan siang karena terlalu sibuk menyelidiki kasus yang menimpanya kemarin. Menyadari bahwa dia masih berutang permintaan maaf dan penjelasan kepada Qeiza, Adnan tidak lagi menunda waktu untuk menyantap hidangan di depannya. “Ya ampun! Kamu benar-benar kelaparan?” Qeiza kaget melihat makanan di atas meja nyaris habis tak bersisa. “Sudah berapa hari tidak makan?” Dia menghabiskan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit untuk mandi. Berdandan pun seadanya. Dia pikir dia masih punya waktu untuk sekadar berbincang santai dengan Adnan di meja makan. “Aku sudah lama tidak mencicipi masakanmu,” komentar Adnan. Dia terkekeh. “Karena kau sangat sibuk dengan pensil dan buku gambar, kupikir kau sudah lupa caranya memasak.” “Bilang saja kau senang dapat jatah makan gratis,” cemooh Qeiza. Setidaknya kehadiran Adnan membuat harinya sedikit lebih berwarna dan ceria. “Kau ke sini hanya ingin numpang makan?” tanya Qe
Seekor singa jantan tidak akan membiarkan singa lain memasuki wilayah kekuasaannya. *** “Hentikan!” Qeiza menahan pergelangan tangan Ansel. “Kau lebih membela bajingan ini daripada aku?” Kepalan tinju Ansel semakin mengeras. “Ini sudah malam,” ujar Qeiza, berjuang mengendalikan nada suara dan emosinya. “Waktunya untuk istirahat dengan tenang. Kau tidak bermaksud mengundang orang-orang yang tinggal di sini untuk keluar, kan?” Ansel masih bertahan dengan kejengkelannya. Tatapan matanya tajam menikam pada Adnan. Membuat Qeiza merasa jengah. Dia pun melepaskan tangannya dari Ansel. “Terserah! Lakukan apa yang kau mau,” ujar Qeiza. “Aku mau tidur.” Qeiza balik badan. Ansel hanya bisa melongo. Tak percaya kalau Qeiza akan bersikap sesantai itu. “Kalau ada di antara kalian yang butuh tenaga medis, kalian harus cari sendiri,” pesan Qeiza. “Aku malas meladeni anak kecil yang keras kepala.” Suara bantingan pintu menyadarkan Ansel dari keterpanaannya. Adnan menyeringai. Tanpa aba-aba, d
“Kau tidak kesulitan mencari alamatku, kan?” tanya wanita itu, duduk di seberang Qeiza. “Untungnya tidak.” “Baguslah,” komentar wanita itu. “Apa kau membawa desainmu?” tanyanya tanpa memperkenalkan diri. Dia yakin sekali Qeiza sudah mengetahui identitasnya. “Tentu saja, Nona Joanna,” jawab Qeiza. Dia membuka ipad. Mencari rancangan yang sudah disiapkannya untuk Joanna. “Ini. Anda boleh memilih mana yang Anda suka,” ujar Qeiza, menyodorkan ipad-nya kepada Joanna. “Aku menginginkan gaun pengantin bergaya vintage sekaligus memiliki kesan etnik yang sangat kental.” Joanna terus mengemukakan seleranya selama mengamati gambar-gambar koleksi Qeiza. “Apa Anda punya referensi khusus?” tanya Qeiza. Sebagian besar gaun yang dirancangnya itu menampilkan budaya Indonesia. “Tidak juga,” sahut Joanna. “Selama aku menyukainya, tidak masalah etnik mana yang ditampilkannya.” “Wah, ini sepertinya sangat bagus,” puji Joanna. Pupilnya membesar ketika melihat koleksi gaun terakhir. Qeiza mendekat
Merasa cemburu saat melihat tambatan hati bersama orang lain itu wajar. Yang tidak wajar adalah ketika kecemburuan itu membabi buta hingga kau menyakiti fisik dan perasaannya. *** “Katanya kalian mengundang desainer hari ini. Mana?” tanya Ansel. Dia mengedarkan pandangan berkeliling. Tak seorang pun di ruang tamu itu selain sepasang calon pengantin. Mereka tampak linglung, menatap ke arah pintu. “Kok bengong?” Ansel melambaikan tangan di depan mata Felix. Felix dan Joanna tersadar. “Ah, Ansel. Silakan duduk!” ujar Joanna. Dia sedikit kikuk. “Kalian berdua tampak aneh,” tutur Ansel. “Apa karena dia tidak datang?” “Siapa?” tanya Felix. Mimik mukanya terlihat bodoh. “Siapa lagi kalau bukan desainer yang ingin kalian perkenalkan padaku.” Felix dan Joanna kembali saling pandang. “Maaf,” kata Felix. “Dia baru saja pergi.” “Pergi? Kenapa cepat sekali?” Ansel mencium gelagat aneh. “Entahlah. Sepertinya dia sangat terburu-buru,” imbuh Joanna. “Mungkin dia tidak percaya diri untuk m
Qeiza meraih foto yang disodorkan Chin Hwa. Mengamatinya sesaat. “Dari mana kau dapat foto ini?” tanyanya. “Tidak penting dari mana aku mendapatkan foto itu,” sahut Chin Hwa. “Jawab saja pertanyaanku!” Qeiza mengalihkan pandangannya pada wajah Chin Hwa. Lelaki itu tak lagi seramah biasanya. “Hahaha ….” Tawa Qeiza pun pecah. “Kau cemburu?” godanya. Chin Hwa menyipitkan mata. Tanggapan Qeiza berbeda dari apa yang dibayangkannya. Dia berasumsi Qeiza akan gugup dan menyangkal foto yang diperlihatkannya. Tak disangka wanita itu malah tertawa renyah. Menganggap kecurigaannya sebagai sebuah lelucon. “Enggak,” sangkalnya. “Aku hanya ingin tahu.” “Oh ya?” Qeiza tak percaya. “Wajahmu mengatakan yang sebaliknya.” Dia masih saja melayangkan tatapan mencemooh pada Chin Hwa. “Apa aku tidak boleh bertanya tentang orang-orang yang dekat dengan calon istriku?” tanya Chin Hwa. Berusaha untuk bersikap sesantai mungkin. Jujur saja, hatinya terbakar cemburu saat pertama kali melihat foto Qeiza bers
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal