Rasa cemburu tak ubahnya seperti panasnya bara api yang menghanguskan telapak kaki. Kau tak bisa berjalan dengan benar sampai semua lukamu sembuh. *** Alina bergegas duduk di tepi ranjang begitu mendengar langkah kaki menderap ke kamarnya. wajahnya merona bahagia. Dia merapikan rambutnya dengan jari. Tak ingin terlihat berantakan di mata tamu istimewanya. Roman muka Alina berubah suram ketika Ansel datang seorang diri. “Mana Qeiza?” tanyanya. “Kau berhasil menemuinya, kan?” Ansel duduk di samping kiri Alina. Dia memaksakan bibirnya melengkung naik. “Qeiza masih sangat sibuk, Ma,” sahutnya. “Dia sedang menemani bosnya.” Hati Ansel terasa sakit membayangkan Qeiza tersenyum ceria bersama Chin Hwa. Ingin rasanya dia bisa melenyapkan lelaki itu dari sisi Qeiza. Sayangnya, dia tak mampu menemukan mereka. Terpaksa dia berbohong kepada Alina. “Dia tidak bekerja di perusahaanmu?” tanya Alina. Ansel menggeleng. “Enggak, Ma,” sahutnya. “Kenapa? Akan lebih baik kalau dia bekerja di kantor
Mata Adnan dipenuhi bintang ketika menatap makanan di atas meja. Dia tidak sempat makan siang karena terlalu sibuk menyelidiki kasus yang menimpanya kemarin. Menyadari bahwa dia masih berutang permintaan maaf dan penjelasan kepada Qeiza, Adnan tidak lagi menunda waktu untuk menyantap hidangan di depannya. “Ya ampun! Kamu benar-benar kelaparan?” Qeiza kaget melihat makanan di atas meja nyaris habis tak bersisa. “Sudah berapa hari tidak makan?” Dia menghabiskan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit untuk mandi. Berdandan pun seadanya. Dia pikir dia masih punya waktu untuk sekadar berbincang santai dengan Adnan di meja makan. “Aku sudah lama tidak mencicipi masakanmu,” komentar Adnan. Dia terkekeh. “Karena kau sangat sibuk dengan pensil dan buku gambar, kupikir kau sudah lupa caranya memasak.” “Bilang saja kau senang dapat jatah makan gratis,” cemooh Qeiza. Setidaknya kehadiran Adnan membuat harinya sedikit lebih berwarna dan ceria. “Kau ke sini hanya ingin numpang makan?” tanya Qe
Seekor singa jantan tidak akan membiarkan singa lain memasuki wilayah kekuasaannya. *** “Hentikan!” Qeiza menahan pergelangan tangan Ansel. “Kau lebih membela bajingan ini daripada aku?” Kepalan tinju Ansel semakin mengeras. “Ini sudah malam,” ujar Qeiza, berjuang mengendalikan nada suara dan emosinya. “Waktunya untuk istirahat dengan tenang. Kau tidak bermaksud mengundang orang-orang yang tinggal di sini untuk keluar, kan?” Ansel masih bertahan dengan kejengkelannya. Tatapan matanya tajam menikam pada Adnan. Membuat Qeiza merasa jengah. Dia pun melepaskan tangannya dari Ansel. “Terserah! Lakukan apa yang kau mau,” ujar Qeiza. “Aku mau tidur.” Qeiza balik badan. Ansel hanya bisa melongo. Tak percaya kalau Qeiza akan bersikap sesantai itu. “Kalau ada di antara kalian yang butuh tenaga medis, kalian harus cari sendiri,” pesan Qeiza. “Aku malas meladeni anak kecil yang keras kepala.” Suara bantingan pintu menyadarkan Ansel dari keterpanaannya. Adnan menyeringai. Tanpa aba-aba, d
“Kau tidak kesulitan mencari alamatku, kan?” tanya wanita itu, duduk di seberang Qeiza. “Untungnya tidak.” “Baguslah,” komentar wanita itu. “Apa kau membawa desainmu?” tanyanya tanpa memperkenalkan diri. Dia yakin sekali Qeiza sudah mengetahui identitasnya. “Tentu saja, Nona Joanna,” jawab Qeiza. Dia membuka ipad. Mencari rancangan yang sudah disiapkannya untuk Joanna. “Ini. Anda boleh memilih mana yang Anda suka,” ujar Qeiza, menyodorkan ipad-nya kepada Joanna. “Aku menginginkan gaun pengantin bergaya vintage sekaligus memiliki kesan etnik yang sangat kental.” Joanna terus mengemukakan seleranya selama mengamati gambar-gambar koleksi Qeiza. “Apa Anda punya referensi khusus?” tanya Qeiza. Sebagian besar gaun yang dirancangnya itu menampilkan budaya Indonesia. “Tidak juga,” sahut Joanna. “Selama aku menyukainya, tidak masalah etnik mana yang ditampilkannya.” “Wah, ini sepertinya sangat bagus,” puji Joanna. Pupilnya membesar ketika melihat koleksi gaun terakhir. Qeiza mendekat
Merasa cemburu saat melihat tambatan hati bersama orang lain itu wajar. Yang tidak wajar adalah ketika kecemburuan itu membabi buta hingga kau menyakiti fisik dan perasaannya. *** “Katanya kalian mengundang desainer hari ini. Mana?” tanya Ansel. Dia mengedarkan pandangan berkeliling. Tak seorang pun di ruang tamu itu selain sepasang calon pengantin. Mereka tampak linglung, menatap ke arah pintu. “Kok bengong?” Ansel melambaikan tangan di depan mata Felix. Felix dan Joanna tersadar. “Ah, Ansel. Silakan duduk!” ujar Joanna. Dia sedikit kikuk. “Kalian berdua tampak aneh,” tutur Ansel. “Apa karena dia tidak datang?” “Siapa?” tanya Felix. Mimik mukanya terlihat bodoh. “Siapa lagi kalau bukan desainer yang ingin kalian perkenalkan padaku.” Felix dan Joanna kembali saling pandang. “Maaf,” kata Felix. “Dia baru saja pergi.” “Pergi? Kenapa cepat sekali?” Ansel mencium gelagat aneh. “Entahlah. Sepertinya dia sangat terburu-buru,” imbuh Joanna. “Mungkin dia tidak percaya diri untuk m
Qeiza meraih foto yang disodorkan Chin Hwa. Mengamatinya sesaat. “Dari mana kau dapat foto ini?” tanyanya. “Tidak penting dari mana aku mendapatkan foto itu,” sahut Chin Hwa. “Jawab saja pertanyaanku!” Qeiza mengalihkan pandangannya pada wajah Chin Hwa. Lelaki itu tak lagi seramah biasanya. “Hahaha ….” Tawa Qeiza pun pecah. “Kau cemburu?” godanya. Chin Hwa menyipitkan mata. Tanggapan Qeiza berbeda dari apa yang dibayangkannya. Dia berasumsi Qeiza akan gugup dan menyangkal foto yang diperlihatkannya. Tak disangka wanita itu malah tertawa renyah. Menganggap kecurigaannya sebagai sebuah lelucon. “Enggak,” sangkalnya. “Aku hanya ingin tahu.” “Oh ya?” Qeiza tak percaya. “Wajahmu mengatakan yang sebaliknya.” Dia masih saja melayangkan tatapan mencemooh pada Chin Hwa. “Apa aku tidak boleh bertanya tentang orang-orang yang dekat dengan calon istriku?” tanya Chin Hwa. Berusaha untuk bersikap sesantai mungkin. Jujur saja, hatinya terbakar cemburu saat pertama kali melihat foto Qeiza bers
Menjadi dewasa bukanlah tentang umur yang menjadi lebih tua, melainkan tentang bagaimana bersikap bijak menghadapi berbagai masalah. *** Qeiza mengulurkan tangan. Meraih telepon di pojok kanan meja. Suara hangat Chin Hwa langsung menyapa telinganya. Memintanya untuk datang ke ruangannya. Qeiza mengambil buku desainnya. Bergegas memenuhi panggilan Chin Hwa. Dia belum sempat menyentuh minuman buatan Aleta. Dari tempatnya berdiri, Aleta mengentakkan sebelah kakinya. Kecewa lantaran Qeiza belum mencicipi minuman racikan khususnya. Tatapan cemburunya terus mengikuti langkah Qeiza memasuki ruangan Chin Hwa. “Ini,” ujar Qeiza. Menyodorkan buku desainnya kepada Chin Hwa. “Terima kasih.” Chin Hwa mengambil alih buku tersebut dari tangan Qeiza. Dikembangnya dengan perlahan. Dia memperhatikan detail rancangan Qeiza yang dipilih Joanna. “Bahan apa yang ingin kau gunakan untuk membuat gaun ini?” tanya Chin Hwa. “Sesuai dengan tema yang diminta Nona Joanna, aku akan menggunakan beberapa kom
“Mau apa mereka ke sini?” batin Qeiza. “Mau marah-marah lagi?” Melihat Qeiza masih terpaku di tempatnya, Ansel bergegas menyongsongnya. “Aku senang kau akhirnya pulang,” kata Ansel. Wajah tampannya memancarkan senyuman hangat. Alina juga mendatangi Qeiza. Dia tersenyum kikuk. Merasa tak enak hati ketika teringat perlakuan buruknya pada Qeiza. Qeiza menarik napas panjang. Menetralkan suasana hatinya. Jika tak ada Alina, dia pasti sudah mengusir Ansel. Dia tak sudi lagi bertemu dengan mantan suaminya itu. Hatinya sudah bulat untuk memberi kesempatan kepada Chin Hwa. Menurutnya, lebih baik menikah dengan lelaki yang mencintainya. Lelaki itu tentu akan menyayangi dan menghormatinya. Ansel hanyalah masa lalu yang harus dikubur untuk selamanya. Qeiza memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Sekadar menghargai Alina yang sudah berkenan untuk bertamu ke apartemennya. “Silakan masuk, Tante!” ujar Qeiza. Bagaimanapun dia harus tetap menghormati orang yang lebih tua darinya. Alina cepat-cepat