Terkadang masalah justru semakin mendekat ketika kita ingin menghindarinya. *** Berbaring di atas ranjang, Qeiza masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Alina. Mantan mertuanya itu menginginkan dia kembali membina rumah tangga dengan Ansel. Sungguh sebuah permintaan yang sulit untuk dipenuhinya. “Qei, kamu mau ya balik lagi sama Ansel?” bujuk Alina. Matanya menatap penuh harap pada Qeiza. Qeiza tetap membisu. Dia tidak tahu harus berkata apa. Pintu hatinya sudah tertutup rapat untuk Ansel. “A–aku sangat berterima kasih atas perhatian, Tante,” sahut Qeiza setelah cukup lama hening. Dia menjawab sambil mengarahkan tatapannya pada tangannya yang digenggam Alina. Dia bingung bagaimana harus berterus terang tentang keputusannya pada mantan mertuanya itu. “Qei!” panggil Alina. Qeiza mengangkat kepala. Sejenak dia gugup ketika matanya beradu tatap dengan Alina. Cepat-cepat Qeiza mengalihkan pandangannya. “Maaf, Tante,” ujar Qeiza. “Semuanya sudah berakhir
“Katakan! Apa yang kau lakukan malam-malam begini?” hardik Qeiza dalam Bahasa Prancis. “Seharusnya aku yang bertanya,” balas lelaki tersebut. “Aku sedang menjalankan tugas. Aku Teddie, petugas keamanan tempat ini.” “Jangan bohong!” bentak Qeiza. “Kau terlihat mencurigakan.” “Akh!” Teddie menjerit ketika Qeiza mengencangkan kunciannya. “Tunggu! Siapa tadi namanya?” batin Qeiza. “Teddie?” Qeiza memanggil ingatannya tentang sosok penjaga keamanan yang biasanya mangkal di pos penjaga. “Kau akan berurusan dengan polisi kalau menyakitiku, Nona!” ancam Teddie di sela rasa sakitnya. Mendengar Teddie menyebut kata polisi, Qeiza memutar kepala lelaki tersebut ke belakang. Cahaya bulan yang tak lagi tersaput mega memperlihatkan wajah penguntit itu lebih jelas. Cepat-cepat Qeiza melepaskan tangan lelaki itu dan bangkit. Dia membungkuk. “J’ai tort, pardonnez-moi!” Teddie tegak. Dia mengibas kotoran pada kedua lututnya. Pandangannya menatap heran pada Qeiza. Untuk memperjelas penglihatanny
Seorang wanita kadang bersikap seperti merpati. Meski terlihat jinak, dia akan terbang menjauh saat pria berusaha mendekatinya. Jangan didesak. Cukup buat dia merasa nyaman. *** Qeiza memekik kaget. Saat dia membuka mata, pandangannya langsung tertumbuk pada sepasang mata yang sedang mengamatinya dengan intens. Jarak wajahnya dan pemilik mata itu sangat dekat, kurang dari sejengkal. Teriakan histeris Qeiza memaksa Chin Hwa tegak lurus. Saat itulah Qeiza berusaha untuk duduk. Lantaran terlalu buru-buru menarik kaki dan mendadak bangkit, Qeiza oleng. Dia nyaris jatuh tersungkur. Chin Hwa bergerak sigap, menyambar pinggang Qeiza. Akibatnya, wajah Qeiza mendarat tepat di dada Chin Hwa. Qeiza gugup. Aroma orange blossom dan neroli yang menguar dari tubuh Chin Hwa terasa menyegarkan. Wangi aroma Patchouli dan cedar pun terasa sangat menenangkan. Membuat Qeiza merasa nyaman berada di dalam dekapan Chin Hwa. Namun, hal itu tidak dapat meredakan detak jantungnya yang bergemuruh. Hal yang
Chin Hwa memungut jaket dari lantai trek. Matanya menyipit. Itu bukan pakaian wanita, melainkan jaket pria. Berpikir bahwa Qeiza masih menyimpan barang pribadi milik mantan suaminya, Chin Hwa mencengkeram jaket tersebut dengan sangat erat. Wajahnya mengeras. Dia tidak suka Qeiza masih terikat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan lelaki lain. “Sudah kuduga Nona Kim meninggalkan jaketku di sini saat melihatnya kembali ke apartemen dengan tangan kosong,” seru Teddie. Lelaki itu tersenyum kepada Chin Hwa sambil menunjuk jaket yang masih berada di genggaman Chin Hwa. “Ah, jadi ini punya Anda, Pak?” konfirmasi Chin Hwa. Teddie mengangguk. Dia mengambil jaket yang diancakkan Chin Hwa kepadanya. “Sepertinya Nona Kim tidak bisa tidur tadi malam,” lapor Teddie. “Apa kalian sedang bertengkar?” Teddie sudah sering bertemu dengan Chin Hwa. Mereka bahkan sudah beberapa kali berbincang-bincang. Rasanya sudah seperti ayah dan anak. “Enggak,” sahut Chin Hwa. “Memangnya kami terlihat tid
Ketika kau mencintai wanita dengan cara yang salah, kau hanya akan membuatnya semakin menjauh darimu. *** Qeiza termenung setelah membaca pesan yang baru saja diterimanya. Chin Hwa masih berkonsentrasi pada kemudi. Melihat Qeiza terdiam, dia mengalihkan perhatiannya sejenak dari jalanan kepada Qeiza. “Ada apa?” tanyanya. “Kabar buruk?” “Bukan apa-apa,” sahut Qeiza. “Cuma pesan dari Nona Joanna.” “Dia berubah pikiran tentang gaun pengantinnya?” “Bukan itu.” “Terus?” “Dia pengin ketemu,” tutur Qeiza. “Katanya ada hal penting yang ingin didiskusikan.” “Bukannya kalian punya janji temu minggu depan?” Qeiza mendesah. “Iya sih,” ujanya. “Tapi … kalau dia mau ketemu hari ini, aku tidak bisa menolak, kan?” Chin Hwa membenarkan pendapat Qeiza. Pelanggan adalah raja. Mereka harus mengutamakan kepuasan pelanggan. “Mau langsung ke sana sekarang? Aku akan mengantarmu,” tawar Chin Hwa. “Tidak perlu,” tolak Qeiza. “Aku bisa pergi sendiri nanti. Janjinya setelah makan siang.” Chin Hwa t
Sebuah taksi berwarna biru berbelok memasuki pelataran parkir sebuah hotel bintang lima di kawasan elit. Turun dari taksi, Qeiza membayar ongkos. “Ambil saja kembaliannya,” ujar Qeiza. Dia tergesa-gesa meninggalkan parkiran tersebut. Dia harus menemui Joanna. Hanya tersisa lima menit sebelum waktu yang telah ditentukan. Qeiza bukan sengaja datang terlambat. Dia terjebak macet selama hampir setengah jam. Tiba di lobby hotel, Qeiza membaca lagi pesan yang dikirim Joanna. Memastikan nomor kamar yang harus dituju. Setelah menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku, Qeiza mendatangi meja resepsionis. Qeiza melongo ketika wanita yang bertugas sebagai resepsionis itu memberinya sebuah kunci. “Aku hanya ingin menemui seorang teman,” kata Qeiza. “Bukan menyewa kamar.” Dia masih membiarkan kunci yang dipegang petugas resepsionis tersebut mengambang di udara. Wanita itu tersenyum. “Ini sesuai permintaan penghuni kamar itu, Nona,” jelas resepsionis tersebut. Dia tidak memberitahunya lebih ja
Tidak baik terlalu percaya pada orang lain, meskipun kau sangat mengenal mereka. *** Ansel semakin mendekat. Qeiza bergeser ke samping. Matanya bergerak ke segala arah. Mencari celah untuk melarikan diri. Dia harus selekasnya meninggalkan kamar hotel tersebut. “Kali ini kau tak akan bisa kabur lagi,” ujar Ansel. Matanya menatap lapar pada Qeiza. “Mau apa kau?” tanya Qeiza. Mencoba bernegosiasi untuk mengulur waktu. Ansel menyeringai. “Tanda tangani ini!” perintah Ansel. Mengangkat amplop di tangan kanannya tinggi-tinggi. “Aku tidak mau menandatangani sesuatu yang tidak jelas,” sahut Qeiza. Wajah Ansel menggelap. Kilat matanya kian berang. Sikap keras kepala Qeiza membangunkan singa lapar di dalam tubuhnya. Dia berhenti. Membuka amplop itu dan menarik kertas di dalamnya setengah keluar. “Kau mau membacanya sendiri atau aku yang bacakan?” tanya Ansel. Tangannya masih memegang ujung kertas. “Beritahu aku apa isinya!” ujar Qeiza. Ansel mengeluarkan kertas tersebut sepenuhnya. Me
Qeiza memandangi wajah tegang Ansel dengan tatapan penuh kebencian. Sekarang dia bisa mengenali seperti apa kepribadian Ansel yang sesungguhnya. Selain tak tahu malu, lelaki itu juga seorang diktator.Untung saja dia sudah bercerai darinya. Kalau tidak, Qeiza tidak dapat membayangkan seperti apa hidupnya dalam kekuasaan Ansel. “Kalau begitu, kuberi kau pilihan,” timpal Ansel. Sinar matanya berkilat licik. “Pertama, tanda tangani surat perjanjian ini dan kita menikah kembali, atau ….” Ansel menggantung kalimatnya. Dia menurunkan wajahnya agar lebih dekat ke muka Qeiza. Qeiza kesulitan menjauhkan wajahnya dari Ansel. Dia cuma bisa sedikit memiringkan kepala. Terlebih saat Ansel terus menyesuaikan posisi wajah mereka. “Kau … menjadi Nyonya Ansel dan kita menghabiskan seluruh sisa hidup kita bersama.” “Aku tidak sebodoh itu!” sentak Qeiza. “Itu bukan pilihan, tapi pemaksaan.” “Aku tidak memaksamu,” timpal Ansel. “Bukankah aku telah memberimu dua pilihan?” Ansel mempertontonkan serin
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal