“Kau tidak kesulitan mencari alamatku, kan?” tanya wanita itu, duduk di seberang Qeiza. “Untungnya tidak.” “Baguslah,” komentar wanita itu. “Apa kau membawa desainmu?” tanyanya tanpa memperkenalkan diri. Dia yakin sekali Qeiza sudah mengetahui identitasnya. “Tentu saja, Nona Joanna,” jawab Qeiza. Dia membuka ipad. Mencari rancangan yang sudah disiapkannya untuk Joanna. “Ini. Anda boleh memilih mana yang Anda suka,” ujar Qeiza, menyodorkan ipad-nya kepada Joanna. “Aku menginginkan gaun pengantin bergaya vintage sekaligus memiliki kesan etnik yang sangat kental.” Joanna terus mengemukakan seleranya selama mengamati gambar-gambar koleksi Qeiza. “Apa Anda punya referensi khusus?” tanya Qeiza. Sebagian besar gaun yang dirancangnya itu menampilkan budaya Indonesia. “Tidak juga,” sahut Joanna. “Selama aku menyukainya, tidak masalah etnik mana yang ditampilkannya.” “Wah, ini sepertinya sangat bagus,” puji Joanna. Pupilnya membesar ketika melihat koleksi gaun terakhir. Qeiza mendekat
Merasa cemburu saat melihat tambatan hati bersama orang lain itu wajar. Yang tidak wajar adalah ketika kecemburuan itu membabi buta hingga kau menyakiti fisik dan perasaannya. *** “Katanya kalian mengundang desainer hari ini. Mana?” tanya Ansel. Dia mengedarkan pandangan berkeliling. Tak seorang pun di ruang tamu itu selain sepasang calon pengantin. Mereka tampak linglung, menatap ke arah pintu. “Kok bengong?” Ansel melambaikan tangan di depan mata Felix. Felix dan Joanna tersadar. “Ah, Ansel. Silakan duduk!” ujar Joanna. Dia sedikit kikuk. “Kalian berdua tampak aneh,” tutur Ansel. “Apa karena dia tidak datang?” “Siapa?” tanya Felix. Mimik mukanya terlihat bodoh. “Siapa lagi kalau bukan desainer yang ingin kalian perkenalkan padaku.” Felix dan Joanna kembali saling pandang. “Maaf,” kata Felix. “Dia baru saja pergi.” “Pergi? Kenapa cepat sekali?” Ansel mencium gelagat aneh. “Entahlah. Sepertinya dia sangat terburu-buru,” imbuh Joanna. “Mungkin dia tidak percaya diri untuk m
Qeiza meraih foto yang disodorkan Chin Hwa. Mengamatinya sesaat. “Dari mana kau dapat foto ini?” tanyanya. “Tidak penting dari mana aku mendapatkan foto itu,” sahut Chin Hwa. “Jawab saja pertanyaanku!” Qeiza mengalihkan pandangannya pada wajah Chin Hwa. Lelaki itu tak lagi seramah biasanya. “Hahaha ….” Tawa Qeiza pun pecah. “Kau cemburu?” godanya. Chin Hwa menyipitkan mata. Tanggapan Qeiza berbeda dari apa yang dibayangkannya. Dia berasumsi Qeiza akan gugup dan menyangkal foto yang diperlihatkannya. Tak disangka wanita itu malah tertawa renyah. Menganggap kecurigaannya sebagai sebuah lelucon. “Enggak,” sangkalnya. “Aku hanya ingin tahu.” “Oh ya?” Qeiza tak percaya. “Wajahmu mengatakan yang sebaliknya.” Dia masih saja melayangkan tatapan mencemooh pada Chin Hwa. “Apa aku tidak boleh bertanya tentang orang-orang yang dekat dengan calon istriku?” tanya Chin Hwa. Berusaha untuk bersikap sesantai mungkin. Jujur saja, hatinya terbakar cemburu saat pertama kali melihat foto Qeiza bers
Menjadi dewasa bukanlah tentang umur yang menjadi lebih tua, melainkan tentang bagaimana bersikap bijak menghadapi berbagai masalah. *** Qeiza mengulurkan tangan. Meraih telepon di pojok kanan meja. Suara hangat Chin Hwa langsung menyapa telinganya. Memintanya untuk datang ke ruangannya. Qeiza mengambil buku desainnya. Bergegas memenuhi panggilan Chin Hwa. Dia belum sempat menyentuh minuman buatan Aleta. Dari tempatnya berdiri, Aleta mengentakkan sebelah kakinya. Kecewa lantaran Qeiza belum mencicipi minuman racikan khususnya. Tatapan cemburunya terus mengikuti langkah Qeiza memasuki ruangan Chin Hwa. “Ini,” ujar Qeiza. Menyodorkan buku desainnya kepada Chin Hwa. “Terima kasih.” Chin Hwa mengambil alih buku tersebut dari tangan Qeiza. Dikembangnya dengan perlahan. Dia memperhatikan detail rancangan Qeiza yang dipilih Joanna. “Bahan apa yang ingin kau gunakan untuk membuat gaun ini?” tanya Chin Hwa. “Sesuai dengan tema yang diminta Nona Joanna, aku akan menggunakan beberapa kom
“Mau apa mereka ke sini?” batin Qeiza. “Mau marah-marah lagi?” Melihat Qeiza masih terpaku di tempatnya, Ansel bergegas menyongsongnya. “Aku senang kau akhirnya pulang,” kata Ansel. Wajah tampannya memancarkan senyuman hangat. Alina juga mendatangi Qeiza. Dia tersenyum kikuk. Merasa tak enak hati ketika teringat perlakuan buruknya pada Qeiza. Qeiza menarik napas panjang. Menetralkan suasana hatinya. Jika tak ada Alina, dia pasti sudah mengusir Ansel. Dia tak sudi lagi bertemu dengan mantan suaminya itu. Hatinya sudah bulat untuk memberi kesempatan kepada Chin Hwa. Menurutnya, lebih baik menikah dengan lelaki yang mencintainya. Lelaki itu tentu akan menyayangi dan menghormatinya. Ansel hanyalah masa lalu yang harus dikubur untuk selamanya. Qeiza memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Sekadar menghargai Alina yang sudah berkenan untuk bertamu ke apartemennya. “Silakan masuk, Tante!” ujar Qeiza. Bagaimanapun dia harus tetap menghormati orang yang lebih tua darinya. Alina cepat-cepat
Terkadang masalah justru semakin mendekat ketika kita ingin menghindarinya. *** Berbaring di atas ranjang, Qeiza masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Alina. Mantan mertuanya itu menginginkan dia kembali membina rumah tangga dengan Ansel. Sungguh sebuah permintaan yang sulit untuk dipenuhinya. “Qei, kamu mau ya balik lagi sama Ansel?” bujuk Alina. Matanya menatap penuh harap pada Qeiza. Qeiza tetap membisu. Dia tidak tahu harus berkata apa. Pintu hatinya sudah tertutup rapat untuk Ansel. “A–aku sangat berterima kasih atas perhatian, Tante,” sahut Qeiza setelah cukup lama hening. Dia menjawab sambil mengarahkan tatapannya pada tangannya yang digenggam Alina. Dia bingung bagaimana harus berterus terang tentang keputusannya pada mantan mertuanya itu. “Qei!” panggil Alina. Qeiza mengangkat kepala. Sejenak dia gugup ketika matanya beradu tatap dengan Alina. Cepat-cepat Qeiza mengalihkan pandangannya. “Maaf, Tante,” ujar Qeiza. “Semuanya sudah berakhir
“Katakan! Apa yang kau lakukan malam-malam begini?” hardik Qeiza dalam Bahasa Prancis. “Seharusnya aku yang bertanya,” balas lelaki tersebut. “Aku sedang menjalankan tugas. Aku Teddie, petugas keamanan tempat ini.” “Jangan bohong!” bentak Qeiza. “Kau terlihat mencurigakan.” “Akh!” Teddie menjerit ketika Qeiza mengencangkan kunciannya. “Tunggu! Siapa tadi namanya?” batin Qeiza. “Teddie?” Qeiza memanggil ingatannya tentang sosok penjaga keamanan yang biasanya mangkal di pos penjaga. “Kau akan berurusan dengan polisi kalau menyakitiku, Nona!” ancam Teddie di sela rasa sakitnya. Mendengar Teddie menyebut kata polisi, Qeiza memutar kepala lelaki tersebut ke belakang. Cahaya bulan yang tak lagi tersaput mega memperlihatkan wajah penguntit itu lebih jelas. Cepat-cepat Qeiza melepaskan tangan lelaki itu dan bangkit. Dia membungkuk. “J’ai tort, pardonnez-moi!” Teddie tegak. Dia mengibas kotoran pada kedua lututnya. Pandangannya menatap heran pada Qeiza. Untuk memperjelas penglihatanny
Seorang wanita kadang bersikap seperti merpati. Meski terlihat jinak, dia akan terbang menjauh saat pria berusaha mendekatinya. Jangan didesak. Cukup buat dia merasa nyaman. *** Qeiza memekik kaget. Saat dia membuka mata, pandangannya langsung tertumbuk pada sepasang mata yang sedang mengamatinya dengan intens. Jarak wajahnya dan pemilik mata itu sangat dekat, kurang dari sejengkal. Teriakan histeris Qeiza memaksa Chin Hwa tegak lurus. Saat itulah Qeiza berusaha untuk duduk. Lantaran terlalu buru-buru menarik kaki dan mendadak bangkit, Qeiza oleng. Dia nyaris jatuh tersungkur. Chin Hwa bergerak sigap, menyambar pinggang Qeiza. Akibatnya, wajah Qeiza mendarat tepat di dada Chin Hwa. Qeiza gugup. Aroma orange blossom dan neroli yang menguar dari tubuh Chin Hwa terasa menyegarkan. Wangi aroma Patchouli dan cedar pun terasa sangat menenangkan. Membuat Qeiza merasa nyaman berada di dalam dekapan Chin Hwa. Namun, hal itu tidak dapat meredakan detak jantungnya yang bergemuruh. Hal yang