Hai sobat readers ... Kalau kalian suka dengan kisah Qeiza dan Ansel, please tinggalkan jejak review ya. Itu akan menjadi dukungan yang luar biasa bagi penulis. Terima kasih
Ansel langsung beranjak menuju ruangan pribadinya tanpa menunggu tanggapan dari Xander. Xander sangat memaklumi kondisi Ansel, jadi dia tak mempermasalahkannya dan terus saja konsentrasi pada pekerjaannya.Setengah jam menjelang jadwal yang sudah ditentukan, Xander sudah memacu mobilnya menuju tempat di mana mereka akan bertemu. Ansel tak banyak bicara. Dia sibuk mempelajari dokumen yang diberikan Xander.Pertemuan dengan Abel ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraan Ansel. Lelaki paruh baya tersebut benar-benar kritis dan sangat teliti membaca setiap kalimat yang tertera dalam proposal Ansel.Setelah dua jam waktu berlalu, Ansel akhirnya tersenyum puas karena berhasil memenangkan hati Abel, lelaki yang terkenal sangat sulit untuk diajak bekerja sama. Lelaki tersebut sangat berhati-hati dalam menggelontorkan dana perusahaannya untuk membiayai sebuah proyek kerja sama bisnis.“Pastikan semua hal yang berhubungan dengan proyek kerja sama Tuan Abel berjalan lancar dan tidak mengec
Penyesalan selalu datang terlambat, maka berpikir bijaklah sebelum mengambil keputusan.***Ansel menendang pintu kamarnya dengan keras. Dia membuka dasi dengan gerakan kasar, lalu melepaskan jas yang dikenakannya dan membantingnya ke atas tempat tidur.“Argh! Seharusnya aku kembali ke kafe itu lebih cepat,” sungut Ansel, mengenyakkan pantat di tepi ranjang.Saat dia tiba di kafe itu, Qeiza tak lagi di sana. Entah ke mana gadis itu pergi. Ansel kehilangan jejak.“Ah, ya. Aku melupakan sesuatu.”Ansel bergegas membuka macbook-nya dan memeriksa kotak masuk pada email-nya. Kepalanya bergerak liar dan terlihat tidak sabar saat mengunduh beberapa lampiran yang diterimanya.Muka Ansel menegang ketika dia membandingkan gambar yang terlampir di email-nya dengan foto-foto yang didapatnya dari remaja bayarannya tadi.“Siaaal!” pekik Ansel sambil menjambak kasar rambutnya sendiri. “Jadi, Ae Ri adalah Qeiza?”Ansel menggigit kepalan tinjunya. Beragam emosi campur aduk di dadanya. Marah, sesal, dan
“Alah! Berhenti bersikap pura-pura!” omel Ansel. “Dari awal kau sudah mengenali Ae Ri, kan?”Ansel teringat Xander pernah mengucapkan beberapa kalimat yang mengindikasikan bahwa lelaki tersebut sepertinya telah curiga bahwa Ae Ri dan Qeiza merupakan orang yang sama.“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau bicarakan,” tutur Xander, bersikeras bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang apa yang dituduhkan Ansel kepadanya.“Aku kecewa padamu, Xander,” keluh Ansel. “Kalau kau sudah tahu Ae Ri itu Qeiza, mantan istriku, kenapa kau tak memberitahuku?”Xander melotot dengan mulut ternganga. “Apa? Kau yakin Ae Ri itu Qeiza?” tanyanya. Padahal yang sebenarnya, dia hanya sekadar ingin mengonfirmasi.Lantaran merasa sangat penasaran dengan kebenaran yang disampaikan Ansel dan bagaimana lelaki tersebut bisa seyakin itu, Xander melangkah masuk ke kamar Ansel tanpa menunggu dipersilakan. Dia duduk dengan bersilang kaki di tepi ranjang.Melihat ekspresi polos Xander, Ansel meneleng sembari menaikkan s
Tak ada rahasia yang dapat tetap tersimpan untuk selamanya. *** Qeiza mematung di tengah pintu apartemennya. Dia baru saja hendak berangkat kerja dan melihat pemandangan aneh tidak jauh dari sana. Ansel tidur meringkuk sambil memeluk kedua lututnya seperti anak kucing yang kedinginan di sisi kiri pintu. Perlahan Qeiza berjinjit mendekati Ansel, memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Dia tidak habis pikir bagaimana Ansel bisa berakhir dengan tidur di atas lantai di luar apartemennya. “Dia benar-benar gila!” pikir Qeiza. Mau-maunya seorang Ansel yang selalu menjunjung tinggi harga dirinya menyambangi kediaman mantan istrinya dan bermalam di sana seperti seekor anjing penjaga. Qeiza mendesah seraya menggeleng. Sejenak dia menimbang-nimbang apakah dia harus membangunkan Ansel atau tidak. Dia mengedarkan pandangan berkeliling. Lorong apartemen itu kosong. “Ah, biar sajalah!” Qeiza akhirnya memutuskan untuk tetap membiarkan Ansel di sana. Dia balik badan dan berniat hendak pergi dar
Ansel berharap teriakannya dapat menghentikan langkah Qeiza sehingga dia punya kesempatan untuk menyusulnya. Sayangnya, impian itu tidak pernah menjadi nyata. Qeiza sama sekali tak terpengaruh dengan jeritan nyaringnya.Qeiza terus melangkah hingga duduk manis di samping Chin Hwa tanpa menunggu lelaki itu untuk membukakan pintu mobil untuknya.Mengetahui suasana hati Qeiza sedang tidak baik, Chin Hwa langsung memacu kendaraannya. Sesekali dia melirik pada Qeiza dengan setumpuk tanya yang menjejali pikirannya.“Kau tak perlu menceritakannya kalau memang tidak ingin berbagi sekarang.”Chin Hwa melihat kegelisahan yang terpancar pada wajah Qeiza. Gadis itu juga masih terlihat ragu untuk mulai menceritakan kisah yang sebenarnya.Qeiza menghela napas panjang. “Sekarang ataupun nanti, aku tetap harus menceritakannya kan? Jadi apa bedanya?”Chin Hwa tersenyum tipis. “Aku bisa sabar menunggu sampai kau benar-benar siap untuk bercerita.”“Aku akan merasa lebih lega jika kau lebih cepat mengetah
Pada dasarnya, wanita adalah makhluk yang sangat pemaaf walaupun sering kali disakiti. Hanya saja, jika perasaan kecewa telah melampaui batas toleransi dan membuatnya pergi, maka jangan pernah berharap dia akan kembali walau tangismu adalah air mata darah.***Pagi itu cuaca lebih dingin dari biasanya. Suhu di luar ruangan berada pada titik terendah di musim gugur, lima derajat Celsius. Qeiza merasakan tulang-tulangnya menggigil sehingga dia mempercepat langkahnya untuk masuk ke ruang kerjanya.Dia sangat mendambakan penghangat ruangan. Helaan napas leganya mengudara ketika suhu hangat membelai permukaan kulitnya saat dia melepas mantel dan menggantungnya pada tiang yang tersedia di pojok ruang kerjanya.Qeiza menggosokkan telapak tangannya agar hawa dingin yang terasa membekukan itu lebih cepat berlalu.“Kopinya, Nona!”Seorang office boy datang di waktu yang sangat tepat. Dia menghidangkan secangkir mochachino.“Terima kasih.”Qeiza tersenyum ramah. Menikmati perpaduan susu, cokelat,
Qeiza duduk dengan posisi kaki saling tumpah tindih. Dia bolak-balik melirik ke arah pintu masuk, berharap Adnan akan segera muncul dari sana.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Seharusnya lelaki itu sudah tiba sepuluh menit yang lalu.“Kenapa dia belum muncul?”Qeiza mulai dihinggapi perasaan gelisah. Tidak biasanya Adnan datang terlambat. Lelaki itu adalah tipikal orang yang selalu menepati janji dan tepat waktu.“Apa dia lupa?” Qeiza terus berbicara pada dirinya sendiri.Untuk mengusir kebosanan, Qeiza akhirnya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku coat. Dia mulai membuka aplikasi untuk membaca novel kesukaannya. Terbuai oleh alunan kata-kata puitis bernada romantis yang dibacanya, Qeiza jadi lupa akan keterlambatan Adnan.“Qeiza?” tegur seorang pria. “Kamu kenapa duduk sendiri di sini?”Qeiza mengangkat kepala. Matanya langsung tertumbuk pada sosok Ansel yang sedang celingukan ke segala arah seperti tengah mencari-cari sesuatu atau mungkin juga seseorang.Menyadari yang berd
Seorang lelaki akan melakukan segala cara untuk mendapatkan wanita yang dicintainya. *** Raja siang telah terlelap di pengujung senja. Dewi malam sigap mengambil alih tugasnya untuk menyinari semesta. Seorang petugas keamanan sedang berpatroli di pelataran parkir. Entakan sepatunya bergema menakutkan. Tangan lelaki itu memegang sebuah senter. Dia menyorot setiap sudut yang dikuasai kegelapan, memastikan semuanya aman dan terkendali. “Siapa di sana?” Dia bertanya pada diri sendiri ketika cahaya senternya menampilkan siluet seorang lelaki dengan kepala bertumpu pada roda kemudi. Dia terus berjalan mendatangi lelaki itu. Cahaya yang mendarat pada kelopak matanya menyebabkan Adnan tersadar. Dia menyipitkan matanya yang masih lamur, lalu mengadang cahaya itu dengan lengan kirinya. “Anda baik-baik saja, Tuan?” tanya sang petugas keamanan pada Adnan setelah mengetuk kaca jendela mobilnya. Adnan yang belum berhasil mengumpulkan segenap kesadarannya mengangkat kepala. Dia masih merasa s