Chin Hwa menggebrak meja kerjanya. “Sial! Mereka lebih licik dari yang kukira,” umpatnya. Matanya nanar menatap artikel yang masih terpampang di layar monitor komputernya. Tak satu pun berita tentang Ansel menyekap seorang perempuan di kamar hotel beredar di dunia maya. Entah bagaimana cara orang-orang Ansel membersihkannya. Kemarin sore, jelas-jelas Ansel ditangkap polisi. Pagi ini, lelaki itu dikabarkan sedang menjalani perawatan kesehatan karena kelelahan. Chin Hwa meraih ponselnya yang tergeletak di sudut kiri meja. Dia menghubungi orang kepercayaannya. “Selidiki kenapa kasusnya bisa bersih secepat ini!” perintahnya tanpa tedeng aling-aling. Setiap kali dia berselancar di dunia maya dan tak menemukan apa yang dicarinya, Chin Hwa mengusap mukanya dengan kasar. Dia merasa frustrasi dengan hilangnya bangkai perilaku busuk Ansel. “Argh!” Chin Hwa menggeram marah. Dia ingin melenyapkan Ansel untuk selamanya. Akan tetapi, akhirnya dia sadar bahwa itu tidak mudah untuk dilakukan.
Setelah tinggal seorang diri di dalam kamar. Ansel menutup rapat kelopak matanya. Kenangan pahitnya kemarin sore berkelebat di dalam ingatannya, seperti sebuah film pendek yang diputar ulang. “Kalian akan menyesal karena telah menangkapku!” Ansel mengutuk petugas polisi yang membawanya. “Anda salah paham, Tuan,” sahut polisi muda yang menjadi sopir, melirik Ansel dari kaca spion tengah. “Kami justru sedang menyelamatkan Anda.” “Dengan membawaku ke penjara?” sindir Ansel. Lelaki itu tersenyum membalas tatapan beringas Ansel melalui kaca spion. “Kami hanya menjalankan perintah Nyonya Alina, Tuan.” Ansel menyipitkan mata. Mereka menangkapnya atas perintah mamanya? Itu artinya dia tidak benar-benar kehilangan reputasinya. “Lalu, kenapa kalian tidak melepaskan borgolku?” Mendengar pertanyaan sindiran dari Ansel, petugas polisi yang duduk di samping Ansel segera sadar akan kelalaiannya. Dia membungkuk. “Harap maafkan saya, Tuan,” ujarnya. “Akan segera saya lepaskan.” Ansel memutar
Cinta tulus hanya memikirkan tentang saat ini dan masa depan. *** “Katanya kau juga mengundang Dae Hyun,” kata Qeiza. “Kenapa kau malah meninggalkannya?” Chin Hwa tersenyum tipis mendengar pertanyaan Qeiza. Dia baru saja mematikan mesin mobil begitu tiba di pelataran parkir sebuah bangunan teater ternama. “Dia akan segera tiba,” sahutnya. Chin Hwa keluar dari mobil. Dia bergegas melangkah ke sisi lain mobil. Membukakan pintu untuk Qeiza. Dia terus membawa Qeiza hingga ke rooftop bangunan teater tersebut. Qeiza tertegun melihat sepinya pengunjung restoran itu. Hanya tampak segelintir orang duduk berbincang-bincang di beberapa meja. Seorang wanita tergabas bangun dari tempat duduknya ketika melihat Qeiza datang. Ketika jarak mereka sudah semakin dekat, Qeiza segera mengenali wanita itu. “Ae Ri!” seru Nyonya Song. “Aku senang bisa bertemu lagi denganmu.” Nyonya Song memeluk Qeiza. Tak ubahnya seperti seorang ibu yang sangat merindukan anak gadisnya setelah sekian lama berpisah.
Chin Hwa menatap dalam netra hazel Qeiza. Dia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam kantong celana. Dia berlutut di hadapan Qeiza. Tangannya sedikit bergetar ketika membuka kotak itu. “Anin, kaulah cinta pertamaku,” ujar Chin Hwa. “Dan kuharap kau juga akan menjadi cinta terakhirku.” Chin Hwa menelan ludah. Membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. “Maukah kau menikah denganku?” Chin Hwa menengadah. Memandangi wajah cantik Qeiza, harap-harap cemas. Suasana hening. Detik demi detik terus berlalu. Qeiza masih membisu. Dia sudah mempertimbangkan masa depan hubungannya dengan Chin Hwa. Akan tetapi, dia tidak menyangka semuanya akan berlangsung secepat ini. “Kau belum mengetahui bagaimana masa laluku,” sahut Qeiza. Matanya sedikit memanas. Jujur, dia terharu dengan niat tulus Chin Hwa untuk mempersunting dirinya. “Cinta tulus tak pernah memandang masa lalu,” balas Chin Hwa. “Aku hanya tahu bahwa kau adalah masa depanku.” Chin Hwa menarik keluar cincin berlian itu dari kot
Hal tersulit dalam mencintai seorang wanita adalah menjaga perasaannya. *** Ansel seperti orang kesetanan. Berulang kali memencet bel pintu apartemen Qeiza. Suaranya meraung kencang hingga terdengar ke apertemen tetangga. Beberapa penghuni membuka pintu apartemen mereka. Sama-sama melongokkan kepala. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi sekaligus jengkel dengan tamu tak tahu adab itu. waktu sudah menunjukkan tengah malam. Tidak seharusnya dia membuat keributan. “Kamu enggak tahu ya caranya menghargai privasi orang lain?” hardik seorang lelaki tua. Dia tampak sangat kesal lantaran tidurnya terganggu. Ansel menoleh sekilas. Dia tidak menanggapi omelan lelaki tersebut. Hati dan pikirannya terlalu kacau untuk bisa bersikap rasional. Dia kembali menekan bel pintu. Detik selanjutnya, dia mendesah kecewa. Pintu di depannya masih terpatri seperti sebuah dinding batu. Orang-orang yang melihat betapa putus asanya Ansel hanya bisa geleng-geleng kepala. Sesama pria yang juga pernah muda
Ansel mendesah. “Ini pertama kalinya aku jatuh cinta,” kata Ansel. Lelaki itu kembali menepuk bahu Ansel. “Manjakan dia dengan perhatian dan hadiah!” sarannya. “Apa itu akan berhasil?” “Kau tidak akan pernah tahu hasilnya sebelum mencoba.” Sejenak tercipta keheningan di antara mereka. Sepertinya mereka sedang terhanyut dalam kisah kegagalan cinta pertama mereka. “Hal tersulit dalam mencintai seorang wanita,” kata lelaki itu. “… adalah menjaga perasaannya.” Ansel tercenung, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Selama ini dia hanya memikirkan perasaannya. “Jangan pernah mengecewakannya!” tambah lelaki itu. “Sekali seorang wanita merasa kecewa, dia akan menganggapmu sudah mati.” Ansel batal menyeruput sisa kopinya. Pernyataan lelaki itu seperti sebuah peluru yang menembus tepat ke jantungnya. Mengerikan sekali. Dia tak bisa bernapas selama beberapa detik. Lelaki itu bangkit dari lantai. Udara semakin dingin. Tulangnya sudah tidak sekuat waktu muda dalam melawan hawa dingin. “Se
Hidup akan bahagia bila hati dipenuhi rasa syukur dan bersih dari sifat iri. *** Lampu toilet berkedip-kedip. Sesekali terdengar bunyi mendesis kala cahaya di toilet itu menggelap, seolah-olah menjadi pertanda hadirnya makhluk astral, mengiring langkah tiga orang wanita yang mendekati Qeiza. Aleta, bersama dua orang anak buahnya, berdiri tiga langkah di hadapan Qeiza. Seringai mengejeknya tampak menyeramkan di bawah keremangan cahaya. Qeiza menengadah pada salah satu lampu yang berhenti berpijar. Keanehan tersebut bertepatan sekali dengan kemunculan tiga wanita beraura jelek itu. Saking buruknya jiwa mereka, lampu pun tak lagi bisa menyala. Qeiza pura-pura tak terpengaruh dengan kehadiran mereka. Dia menyambar tasnya dari atas meja wastafel. “Akh!” Aleta menjerit kesakitan. “Berengsek! Kau sengaja ya melukaiku?” Mata Aleta melotot pada Qeiza. Dia tidak menyangka gadis yang dibencinya itu akan melempar tasnya ke punggung, tepat pada saat dia bermaksud untuk menarik bahunya. “Su
“Nona Kim, Anda ditunggu bos besar di kantornya,” ujar Freud, tergopoh-gopoh menghampiri Qeiza begitu melihat wanita itu hendak mendorong pintu ruang kerjanya. “Bos Song?” tanya Qeiza. Freud mengangguk. “Baiklah. Aku akan segera ke sana,” putus Qeiza. “Bos besar tidak suka menunggu, Nona!” “Iya. Aku hanya mau menaruh tas dulu.” Freud akhirnya berlalu dari hadapan Qeiza. Dari kejauhan, Aleta beserta anak buahnya sayup-sayup juga berhasil menangkap perkataan Freud. “Mampus kau!” kata Aleta. Dia menyeringai senang. “Wah, bos … anda tidak perlu lagi turun tangan,” ujar Cerise. “Esther!” Aleta menggerakkan kepalanya ke arah Qeiza ketika dilihatnya wanita itu sudah meninggalkan ruangannya. “Tapi, bos—” “Mau kupecat?” Ancaman Aleta membungkam mulut Esther. Perutnya masih sedikit nyeri, tetapi dia tidak bisa menolak perintah Aleta. Sekali wanita itu mendepaknya dari anggota tim, dia bisa saja kehilangan pekerjaannya. Esther terus menyeret kakinya yang terasa berat sambil menoleh