Cinta tulus hanya memikirkan tentang saat ini dan masa depan. *** “Katanya kau juga mengundang Dae Hyun,” kata Qeiza. “Kenapa kau malah meninggalkannya?” Chin Hwa tersenyum tipis mendengar pertanyaan Qeiza. Dia baru saja mematikan mesin mobil begitu tiba di pelataran parkir sebuah bangunan teater ternama. “Dia akan segera tiba,” sahutnya. Chin Hwa keluar dari mobil. Dia bergegas melangkah ke sisi lain mobil. Membukakan pintu untuk Qeiza. Dia terus membawa Qeiza hingga ke rooftop bangunan teater tersebut. Qeiza tertegun melihat sepinya pengunjung restoran itu. Hanya tampak segelintir orang duduk berbincang-bincang di beberapa meja. Seorang wanita tergabas bangun dari tempat duduknya ketika melihat Qeiza datang. Ketika jarak mereka sudah semakin dekat, Qeiza segera mengenali wanita itu. “Ae Ri!” seru Nyonya Song. “Aku senang bisa bertemu lagi denganmu.” Nyonya Song memeluk Qeiza. Tak ubahnya seperti seorang ibu yang sangat merindukan anak gadisnya setelah sekian lama berpisah.
Chin Hwa menatap dalam netra hazel Qeiza. Dia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam kantong celana. Dia berlutut di hadapan Qeiza. Tangannya sedikit bergetar ketika membuka kotak itu. “Anin, kaulah cinta pertamaku,” ujar Chin Hwa. “Dan kuharap kau juga akan menjadi cinta terakhirku.” Chin Hwa menelan ludah. Membasahi kerongkongannya yang mendadak terasa kering. “Maukah kau menikah denganku?” Chin Hwa menengadah. Memandangi wajah cantik Qeiza, harap-harap cemas. Suasana hening. Detik demi detik terus berlalu. Qeiza masih membisu. Dia sudah mempertimbangkan masa depan hubungannya dengan Chin Hwa. Akan tetapi, dia tidak menyangka semuanya akan berlangsung secepat ini. “Kau belum mengetahui bagaimana masa laluku,” sahut Qeiza. Matanya sedikit memanas. Jujur, dia terharu dengan niat tulus Chin Hwa untuk mempersunting dirinya. “Cinta tulus tak pernah memandang masa lalu,” balas Chin Hwa. “Aku hanya tahu bahwa kau adalah masa depanku.” Chin Hwa menarik keluar cincin berlian itu dari kot
Hal tersulit dalam mencintai seorang wanita adalah menjaga perasaannya. *** Ansel seperti orang kesetanan. Berulang kali memencet bel pintu apartemen Qeiza. Suaranya meraung kencang hingga terdengar ke apertemen tetangga. Beberapa penghuni membuka pintu apartemen mereka. Sama-sama melongokkan kepala. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi sekaligus jengkel dengan tamu tak tahu adab itu. waktu sudah menunjukkan tengah malam. Tidak seharusnya dia membuat keributan. “Kamu enggak tahu ya caranya menghargai privasi orang lain?” hardik seorang lelaki tua. Dia tampak sangat kesal lantaran tidurnya terganggu. Ansel menoleh sekilas. Dia tidak menanggapi omelan lelaki tersebut. Hati dan pikirannya terlalu kacau untuk bisa bersikap rasional. Dia kembali menekan bel pintu. Detik selanjutnya, dia mendesah kecewa. Pintu di depannya masih terpatri seperti sebuah dinding batu. Orang-orang yang melihat betapa putus asanya Ansel hanya bisa geleng-geleng kepala. Sesama pria yang juga pernah muda
Ansel mendesah. “Ini pertama kalinya aku jatuh cinta,” kata Ansel. Lelaki itu kembali menepuk bahu Ansel. “Manjakan dia dengan perhatian dan hadiah!” sarannya. “Apa itu akan berhasil?” “Kau tidak akan pernah tahu hasilnya sebelum mencoba.” Sejenak tercipta keheningan di antara mereka. Sepertinya mereka sedang terhanyut dalam kisah kegagalan cinta pertama mereka. “Hal tersulit dalam mencintai seorang wanita,” kata lelaki itu. “… adalah menjaga perasaannya.” Ansel tercenung, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Selama ini dia hanya memikirkan perasaannya. “Jangan pernah mengecewakannya!” tambah lelaki itu. “Sekali seorang wanita merasa kecewa, dia akan menganggapmu sudah mati.” Ansel batal menyeruput sisa kopinya. Pernyataan lelaki itu seperti sebuah peluru yang menembus tepat ke jantungnya. Mengerikan sekali. Dia tak bisa bernapas selama beberapa detik. Lelaki itu bangkit dari lantai. Udara semakin dingin. Tulangnya sudah tidak sekuat waktu muda dalam melawan hawa dingin. “Se
Hidup akan bahagia bila hati dipenuhi rasa syukur dan bersih dari sifat iri. *** Lampu toilet berkedip-kedip. Sesekali terdengar bunyi mendesis kala cahaya di toilet itu menggelap, seolah-olah menjadi pertanda hadirnya makhluk astral, mengiring langkah tiga orang wanita yang mendekati Qeiza. Aleta, bersama dua orang anak buahnya, berdiri tiga langkah di hadapan Qeiza. Seringai mengejeknya tampak menyeramkan di bawah keremangan cahaya. Qeiza menengadah pada salah satu lampu yang berhenti berpijar. Keanehan tersebut bertepatan sekali dengan kemunculan tiga wanita beraura jelek itu. Saking buruknya jiwa mereka, lampu pun tak lagi bisa menyala. Qeiza pura-pura tak terpengaruh dengan kehadiran mereka. Dia menyambar tasnya dari atas meja wastafel. “Akh!” Aleta menjerit kesakitan. “Berengsek! Kau sengaja ya melukaiku?” Mata Aleta melotot pada Qeiza. Dia tidak menyangka gadis yang dibencinya itu akan melempar tasnya ke punggung, tepat pada saat dia bermaksud untuk menarik bahunya. “Su
“Nona Kim, Anda ditunggu bos besar di kantornya,” ujar Freud, tergopoh-gopoh menghampiri Qeiza begitu melihat wanita itu hendak mendorong pintu ruang kerjanya. “Bos Song?” tanya Qeiza. Freud mengangguk. “Baiklah. Aku akan segera ke sana,” putus Qeiza. “Bos besar tidak suka menunggu, Nona!” “Iya. Aku hanya mau menaruh tas dulu.” Freud akhirnya berlalu dari hadapan Qeiza. Dari kejauhan, Aleta beserta anak buahnya sayup-sayup juga berhasil menangkap perkataan Freud. “Mampus kau!” kata Aleta. Dia menyeringai senang. “Wah, bos … anda tidak perlu lagi turun tangan,” ujar Cerise. “Esther!” Aleta menggerakkan kepalanya ke arah Qeiza ketika dilihatnya wanita itu sudah meninggalkan ruangannya. “Tapi, bos—” “Mau kupecat?” Ancaman Aleta membungkam mulut Esther. Perutnya masih sedikit nyeri, tetapi dia tidak bisa menolak perintah Aleta. Sekali wanita itu mendepaknya dari anggota tim, dia bisa saja kehilangan pekerjaannya. Esther terus menyeret kakinya yang terasa berat sambil menoleh
Adakalanya apa yang kita rasa hanya tersimpan dalam hati. *** “Bubar! Ini jam kerja,” usir Bos Song. Barisan karyawan tersebut kocar-kacir. Mereka membubarkan diri dan kembali ke ruang kerja masing-masing. “Pengecualian untuk Anda, Nona Aleta!” Bos Song menghentikan langkah Aleta. Aleta ingin menyanggah, tetapi tatapan dingin Bos Song membekukan lidahnya. “I–iya, Bos!” angguknya. Dia melangkah dengan kaki gemetar, mengekori Bos Song ke ruangannya. Dada Aleta berdebar-debar. Dia takut membayangkan kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya. “Aku mau kau mengemasi barang-barangmu sekarang,” kata Bos Song, tembak langsung. “T–tapi, Boss ….” Aleta terperangah. Wajahnya seketika memucat. Dia sudah mengira akan menerima hukuman sebagai konsekuensi atas perbuatan buruknya. Akan tetapi, dia tidak pernah berpikir bahwa Bos Song akan langsung menendangnya dari perusahaan itu. Aleta menjatuhkan diri ke lantai. Dia berlutut di hadapan Bos Song. Kepalanya tertunduk. “Maafkan saya, Bos!”
Qeiza masuk rumah tanpa memencet bel. Pintu rumah Dae Hyun terbuka. Keheranannya pada kebiasaan aneh tersebut terjawab ketika dia tiba di ruang tamu. Qeiza mematung. Ansel duduk dengan kepala tertunduk. Menyadari kedatangan Qeiza, Ansel memberanikan diri mengangkat kepala. Bola matanya bergerak liar. Menghindari bertemu pandang dengan Qeiza. “Dia sudah menunggumu lebih dari dua jam,” beritahu Dae Hyun. Dia duduk dengan bersilang kaki, berhadapan dengan Ansel. Kedua tangannya bersedekap di depan dada. Qeiza melirik sekilas pada Ansel. “Aku capek dan ingin istirahat,” ujarnya. “Tunggu, Qei!” Ansel melompat dari tempat duduknya, memburu Qeiza. Dae Hyun merentangkan tangan kanannya ke samping, mengadang langkah Ansel. “Telingamu masih normal, kan?” Dae Hyun bertanya dengan nada datar. Raut wajahnya juga terlihat dingin. “Tapi, Dae … aku i—” “Ssst!” Dae Hyun menyilangkan jari telunjuk kiri di bibir seraya menggelengkan kepala. Ansel tak meneruskan sanggahannya. Dia menatap punggun