"Apa menikah!" seru Adisty di dalam telepon.
"Iya saya mengajak Nona menikah," kata pria dalam telepon itu. Mendengarnya saja, Adisty seakan tidak percaya. Ia merasa tengah bermimpi di siang bolong.
"Tap ... tapi kita hanya bertemu satu kali," kata Adisty kebingungan. Mata Adisty celingukan mengamati lingkungan sekitarnya. Hingga ada sepasang mata yang melihatnya dengan pandangan tidak suka.
"Ada apa kok ribut sekali," tegur salah seorang karyawan yang berada tak jauh dari ruang kerja Adisty.
Adisty segera menghindar, ia keluar dari ruangannya mencari tempat ruang aman untuk menelepon. Ia merasa tidak enak dengan karyawan lainnya.
Lift adalah tempat yang aman, apalagi di jam kerja seperti ini. Jarang pegawai yang lalu lalang, mereka masih sibuk mengerjakan laporan pekerjaannya. Adisty menekan tombol lift, ia tidak mengingat tombol nomor berapa yang telah di tekannya.
"Maksudnya apa tadi? Menikah?" Adisty bertanya kembali. Pasalnya ia masih tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Iya, apa saya harus mengulanginya lagi kalau saya mengajak Nona menikah?" tanya pria itu.
Adisty malahan tertawa. "Anda jangan bercanda menikah bukanlah hal yang bisa di anggap lelucon. Apalagi Anda melamar saya lewat telepon."
Adisty berusaha bersikap sesantai mungkin padahal saat ini jantungnya seakan melompat naik turun tak tahu arah. Andai saja yang mengajaknya menikah adalah orang yang dicintainya pasti membuatnya bahagia. Ini baru pertama kali bertemu sudah mengajaknya menikah, sungguh tidak masuk akal.
"Maaf, membuat Nona terkejut. Tapi saya serius ingin menikah dengan Nona," ucap pria itu.
"Berapa kali Anda bilang jika ingin menikah denganku, itu sangat mengejutkan buat saya. Tapi, maaf saya tidak percaya dengan ucapan Anda." Adisty tidak habis pikir apa pria itu sudah gila.
"Oh, ... begitu ya," jawabnya.
"Iya, apalagi Anda melamar lewat telepon tidak akan ada yang mempercayainya," jawab Adisty.
"Sepertinya hal semacam ini tidak bisa di bicarakan lewat telepon," imbuh Adisty lagi.
'Dia melamar anak orang seperti pesan barang online saja,' batin Adisty.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita bertemu. Saya akan melamar Anda dengan cara yang pantas menurut Nona," tawar pria itu.
Adisty jadi kebingungan. Ia tidak bermaksud serius, apalagi menikah dengan pria yang baru di kenalnya. Di hatinya masih ada sosok Jonathan yang dicintainya. Meski mereka tidak berpacaran, tapi Adisty sudah menyimpan perasaan itu sejak lama.
"Tentukan hari, tempat, dan jamnya, kapan kita akan bertemu," ucap pria itu tegas.
"Oh, ya ... itu lebih baik."
"Apa bertemu!!" Adisty baru sadar jika ia telah salah bicara. Seharusnya ia menolak pertemuan itu. Kenapa otaknya konslet hari ini tidak bisa di ajak kompromi dengan mulutnya yang berbicara.
"Tidak, perlu. Anda tidak perlu menemui saya. Saya menolak pertemuan ini! Anggap saja saya menolak lamaran Anda. Saya belum berniat ingin menikah," jawab Adisty gugup.
"Kalau begitu, kenapa waktu itu acara Nona datang di acara perjodohan itu?" tanya pria itu lagi.
"Eh ... itu ... saya hanya iseng saja," jawab Adisty asal-asalan.
"Hanya iseng! Anda mempermainkan saya?!" Aura dingin muncul dari suara pria itu. Adisty bisa merasakannya.
"Ma ... maaf, atas ketidaknyamanannya," ucap Adisty. Ia merasa bersalah mengatakannya. Kalau bukan karena ide gila dari temannya pasti ia tidak akan terjebak masalah ini.
"Lagipula Anda tidak mungkin jatuh cinta pada saya," kata Adisty.
Di luar kantor seorang pria tampan turun dari mobil mewah masih menelepon seseorang. Pria itu berdiri di depan kantor Adisty bersama dengan asisten pribadinya yang selalu mendampinginya dimanapun.
Saat masuk ke kantor seluruh karyawan langsung berbaris berjajar rapi berdiri di kanan kiri jalan menyambut kedatangan Presdir.
Mereka membungkuk hormat, sayangnya presdir itu masih asyik menelpon seseorang.Asistennya yang memberikan isyarat pada seluruh karyawan agar menegakkan tubuhnya kembali ketika bos besar mereka sudah lewat.
"Silahkan, Pak Presdir!"
Adisty kaget melihat Presdir Ricko sudah berdiri di depannya. Untung saja ia bergerak cepat langsung bersembunyi di balik dinding.
Presdir Ricko masih sibuk menelepon. "Maka dari itu, bisa kita bertemu besok untuk membicarakannya?" tanya Presdir.
"Apa?Besok!" pekik Adisty.
Presdir Ricko seperti mendengar suara dari balik dinding yang ada di sampingnya. Matanya tertuju melihat ke arah pot bunga yang ada di depannya.
"Ada apa, Pak?" tanya asistennya.
"Tidak, mungkin hanya perasaanku saja," jawab Presdir Ricko.
"Kalau begitu, kita bertemu nanti malam jam delapan. Di tempat yang sama seperti kemarin, untuk memperjelas segalanya."
"Tidak, maksudku aku tidak bisa. Aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Banyak pekerjaan yang menumpuk yang harus aku selesaikan," tolak Adisty.
"Bagaimana kalau liburan akhir pekan?" tanya Presdir Ricko. Ia masih memegang ponselnya.
"Pak sudah saatnya masuk ke dalam ruangan," ucap asistennya. Presdir Ricko tidak menggubris ucapan asistennya.
"Maaf, Pak. Anda tidak usah repot. Bukankah Anda orang yang sangat sibuk," Adisty terus saja menolak ajakan presdirnya dalam telepon.
"Maksud saya, saya tidak berniat menikah dengan siapapun,"ucap Adisty.
"Kita bisa membicarakan masalah keberatan Anda itu jika kita bertemu. Jadi kita bisa temukan solusi terbaiknya, sehingga kita tetap menikah," balas Presdir Ricko setengah memaksakan kehendaknya.
"Maksud saya ...!"
"Saya tidak akan menikah dengan siapapun, karena saya suka sesama jenis!!" kata Adisty asal. Ia kesal karena pria itu masih saja tidak mau menyerah dengan semua alasan yang telah ia kemukakan.
'Whats! Penyuka sesama jenis! Ayolah Adisty, kau merusak reputasimu sendiri,' batin Adisty merutuki kebodohannya.
"Kalau begitu kita akhiri saja pembicaraan ini!" Adisty mematikan ponselnya. Ia rasanya ingin membenturkan kepalanya ke dinding. Menyalahkan kebodohannya kemarin. Kenapa ia memberikan nomor ponselnya yang asli.
Bukankah kemarin di perjodohan aku bilang jika aku adalah penakluk para pria! Bodohnya aku ini. Mau di taruh di mana mukaku ini jika bertemu dengannya! Adisty terus saja menyalahkan dirinya.
Di Ruang Rapat
"Selamat datang, Pak Presdir."
"Silahkan duduk, rapat akan segera di mulai," sambut salah seorang pemegang saham yang duduk di ruangan rapat.
"Maaf, saya agak terlambat. kita mulai saja rapatnya," kata Presdir Ricko lantang.
Semuanya duduk mendengarkan penjelasan dari asisten Kevin. Asisten pribadi Presdir Ricko.
"Okey, yang pertama kita bahas kerjasama ekspor impor dengan perusahaan Jepang," kata Presdir Ricko.
**
Adisty berjalan lesu menuju ruangannya. Ia melamunkan kejadian yang baru saja di alaminya.
'Aku pasti salah minum obat. Atau aku sudah gila akut. Ini benar-benar gawat, bagaimana mungkin aku menipu bosku sendiri dengan datang ke acara perjodohan itu.'
'Rania, gara-gara dirimu aku jadi sial seperti ini. Jika bosku tahu, tidak hanya pekerjaan yang hilang, mungkin aku keluar dari perusahaan ini tanpa pesangon,' batin Adisty.
Ia terbayang dengan nasib keluarganya yang saat ini butuh biaya yang cukup banyak untuk membayar hutang-hutang yang hampir jatuh tempo. Belum lagi wajah adiknya jika putus sekolah karena tidak ada yang membiayai. Papanya yang sakit-sakitan dan tidak memiliki uang untuk berobat. Ibunya yang tidak bisa memberikan makanan terbaik untuk keluarga karena tidak adanya uang belanja. Semua terbayang di benak Adisty. Dan jika hal itu terjadi bayangan foto keluarga Adisty runtuh seperti serpihan kaca.
"Kyaaa ... aaa!" Adisty bergidik ngeri menggelengkan kepalanya menutup matanya. Ia tidak ingin semua itu terjadi. Bagaimanapun juga ia harus bertahan bekerja di perusahaan itu, demi keluarganya.
'Tapi ... kalau sudah rumit bagaimana aku bisa keluar dari masalah ini?' pikir Adisty.
----Bersambung----
Pada saat semua karyawan di sibukkan dengan penyambutan kedatangan presiden direktur, Adisty mendapatkan telepon dari pria idamannya. Namanya Jonathan. "Hallo, Adisty apa kabar?" kata Jonathan di telepon. Adisty senang dalam kesibukannya yang super padat mendapatkan telepon dari pria idamannya. Wajahnya langsung cerah ceria bagaikan matahari terbit di pagi hari. "Eh, kak Jonathan!" jawab Adisty. "Bisa makan siang sekarang? Ada yang ingin aku katakan," ucap Jonathan. Adisty tidak percaya jika Jonathan pria yang di idam-idamkannya selama ini menelponnya tiba-tiba. "Okey, bisa kak. Kirimkan alamatnya sekarang," jawab Adisty. Setelah menerima pesan telepon dari Jonathan. Adisty menengok kesana- kemari melihat suasana kantor yang sangat sibuk karena mengerjakan laporan akhir tahun membuat wajah mereka tampak tegang. Saat di rasa cukup aman Adisty keluar dari ruangannya. Tapi tiba-tiba atasan managernya menarik tasnya dari bela
Tepat jam sembilan malam Adisty baru pulang dari kantornya. Ia memerlukan pinjaman uang untuk membelikan obat-obatan papanya. Saat ini yang terpikirkan olehnya adalah Rania sahabat dekatnya. Rania putri konglomerat kaya raya sekaligus teman dekat Adisty. Ketika Adisty terjepit masalah keuangan, Rania yang selalu memberinya bantuan. Di kafe tempat biasa mereka nongkrong saat sepulang kerja, Adisty bertemu dengan Rania. Gadis cantik itu telah menunggunya di kafe seperti yang telah di sepakati sebelumnya. "Huh, jam segini baru pulang kerja," keluh Adisty meneguk minumannya. "Kenapa kau pesan banyak minuman? Kau ingin menyulitkanku?" Rania melihat banyak minuman keras di atas meja. Adisty tampak buruk sekali. "Aku tidak punya uang, bukankah kau punya uang banyak. Tidak ada salahnya jika kau menyenangkan sahabatmu yang sedang patah hati ini," kata Adisty menuangkan sebotol vodka di gelasnya. Rania menyambar gelas Adisty, ia menyuruh pelayan u
"Ini terlalu seksi bajunya,"kata Adisty waktu di salon."Memang pergaulan kelas atas, memakai baju seperti ini. Di tambah sedikit riasan kau akan tampil sempurna." Rania memberi isyarat pada karyawan salon langganannya untuk membereskan masalah riasan pada wajah Adisty."Kau sudah cantik alami, dengan sedikit polesan kecantikanmu akan bertambah naik seratus delapan puluh derajat," imbuh Rania."Aku tidak butuh cantik, kalau tidak ada imbalan uang mana mungkin aku melakukannya,"gerutu Adisty."Terserah apa katamu, tapi kau perlu menurunkan sedikit bra mu agar terlihat lebih montok saat kau mengenakan baju yang aku pilih." terang Rania."Kau tidak sedang menjualku, kan?" Adisty menjadi ragu."Siapa yang menjualmu! Aku hanya ingin penampilanmu terlihat sempurna. Agar terkesan kau anak orang
Tuan, maaf saya tadi terlambat karena sedang bermain-main dengan pria sewaanku,"kata Adisty memulai serangannya.Ayolah, kau tidak jijik dengan wanita nakal sepertiku, batin Adisty."Tidak masalah, aku mengerti kesibukan Anda," jawab Adisty santai."Tapi ... saya tadi habis bermain dengan pria lain, apa Anda tidak jijik?" Adisty menyilangkan kakinya, kulit putih mulus terpampang sempurna."Tidak masalah, Anda bermain dengan laki-laki manapun. Saya sangat menghargai Anda," balas Ricko.Aku tidak pernah bertemu direktur sinting seperti ini. Mana ada laki-laki yang mau pada wanita yang hobinya main ranjang bersama pria lain, pikir Adisty."Saya tidak hanya bermain dengan satu pria tapi dua pria. Kebetulan tadi mantanku juga datang, jadi kita main-main bareng sekalian," jelas Adisty semakin ngelantur
Ricko sedari tadi di sibukkan dengan laptopnya, pandangannya fokus ke layar. Seperti biasa wajahnya minim ekspresi. Hanya Kevin yang berani mengajaknya bicara. Karena mereka sudah kenal sejak kecil. Meskipun begitu Kevin terkadang juga kesulitan menghadapi sikap Ricko yang terlalu kaku. "Pak, apa Anda jadi akan menerima perjodohan dengan Nona Rania?" tanya Asisten Kevin. "Menurutmu?" Ricko tidak melihat ke arah Kevin. Ia masih sibuk memeriksa berkasnya yang lain. "Sepertinya dari penampilan Nona Rania ia suka bermain-main," ungkap Asisten Kevin hati-hati. "Apa Tuan akan melanjutkannya menikah dengan wanita seperti ...," Asisten Kevin tidak berani melanjutkan kalimatnya melihat wajah Bosnya berubah masam. "Maaf, atas kelancangan saya," ucap Kevin kemudian. "Aku akan menikahinya," jawab Alex pendek. Ia menumpuk dokumen di atas mejanya lalu menyingkirkannya agak ke pinggir. Apa! Tentu saja siapa laki-laki yang tidak tergoda dengan
Di sebuah restoran mewah Adisty sudah menunggu dengan wajah cemas. Ia akhirnya setuju untuk bertemu dengan Presdir Ricko, tapi ia memakai wig rambut berwarna pirang. Ia tidak ingin terlihat terlalu kentara.Adisty melihat ke arah jendela seraya duduk sambil menunggu. Dalam hatinya ia juga merasa bersalah jika Rania menikah dengan orang yang tidak di cintainya.Ia memang butuh uang, tapi sebenarnya Adisty datang karena ingin bertanggung jawab atas kesalahannya. Apa yang telah ia bicarakan pada Ricko saat itu sudah kelewat batas yang mengatakan bahwa Rania memiliki kelainan dalam berhubungan seks.Adisty merasa cintanya yang bertepuk sebelah tangan terhadap Jonathan membuat pikirannya sudah tak waras. Ia terpaksa menerima tawaran Rania, untuk menggantikannya dalam acara perjodohannya. Sekarang situasinya malah semakin rumit. Adisty masih saja menyalahkan dirinya.Dulu
Kantor terlihat gelap sepertinya para karyawan sudah pulang. Ia heran kenapa lampu kantor bisa mati lampu. Saat Adisty meraba-raba mencari pegangan.Degh! Tiba-tiba tubuhnya menabrak sesuatu.Lampu tiba-tiba menyala, Adisty mendongakkan wajahnya."Sebentar ... kenapa Nona tampak familiar." Ricko mengernyitkan dahinya."Apa Anda Nona Rania yang datang di perjodohan itu?""Bu ... bukan, anda salah orang," jawab Adisty gugup. Keringat dingin bercucuran."Anda adalah karyawan yang ada di lantai dua itu!" tebak Ricko.Tubuh Adisty tambah menggigil ketakutan.Apa boleh buat, lebih baik aku kabur, batin Adisty.Adisty berlari kencang namun Ricko juga tak mau kalah ia mengejar Adisty hing
"Temui Nona Rania sekarang!" perintah Ricko."Kenapa bukan Anda, tapi saya?" tanya Asisten Kevin."Dia tidak mau menjawab teleponku. Hari ini apa ada jadwal kosong?" tanya Ricko."Tidak, semua jadwal Anda penuh," jawab Asisten Kevin."Bagaimana kalau Anda menyerah saja ... sepertinya dia memang sengaja tidak ingin bertemu dengan Anda," ungkap Asisten Kevin."Menyerah ... mana mungkin aku menyerah waktu itu dia menungguku sampai ketiduran. Berarti dia memang menunggu jodohnya datang," jawab Ricko beralasan.Huh, percaya diri sekali Tuan. Nona Rania pasti menunggu untuk menolak perjodohannya, batin Asisten Kevin."Saya kira Anda di campakkan, karena mungkin Nona Rania tidak berselera dengan Anda," kata Kevin."Kau sudah berani meledekku, apa kau bo
Tiga tahun kemudian.Adisty memejamkan mata kala Ricko mau mendaratkan bibirnya di bibir Adisty.Melihat reaksi istrinya yang seolah membuka pintu untuknya. Ricko melanjutkan aksinya merebahkan Adisty di pembaringan. Kemudian mengecup kelopak mata wanita itu satu persatu. Jari-jari Ricko bergerak turun membuka kancing baju Adisty satu persatu."Tok ... tok ... tok!""Mama ... mama!" teriak Austin dari luar."Oh, sayang milikku sudah menegang haruskah kita berhenti lagi seperti kemarin," keluh Ricko."Iya, Austin di luar sayang. Kasihan dia, kalau lama menunggu. Kamu tahu sendirikan jika dia menangis, susah menenangkannya," sahut Adisty.Adisty membenarkan letak kancingnya lagi dan buru-buru membuka pintu untuk putra kecilnya."Ada sayang?" tanya Adisty."Austin, tidak bisa tidur. Boleh Austin tidur sama mama?" tanya Austin polos."Tidak boleh, Austin harus belajar mandiri tidur di kamar sendiri," ucap Ricko.
"Awas ya, kalau kau sampai meninggalkanku. Ku kejar sampai ujung dunia," balas Ricko. Keduanya tertawa bahagia. Mereka berpandangan satu sama lain, pandangan penuh cinta.Sebuah bunyi telepon mengagetkan keduanya yang sedang bernostalgia."Dari siapa sayang?" tanya Ricko."Kakek," ucap Adisty."Lalu, kenapa wajahmu pucat seperti itu?" tanya Ricko.Adisty tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Berita dari Kakek Fermount mengenai pelaku kejahatan yang mengakibatkan Ricko amnesia kini telah di ketahui siapa pelakunya."Ada apa sayang?" tanya Ricko."Tadi kakek memberitahu jika pelakunya sudah ketemu.""Oh, ya. Siapa pelakunya?" tanya Ricko."Ibu tirimu," jawab Adisty pendek."Sudah kuduga, hanya dia satu-satinya orang di dunia ini yang punya alasan ingin melenyapkanku," kata Ricko."Kata kakek, pihak keamanan telah melihat bukti lewat CCTV kota, orang suruhan itu juga merupakan penjahat yang menjadi buronan se
Setelah melakukan pergumulan semalam, pagi hari Rania mendapati tubuh polosnya tengah di peluk Kevin. Ia terperanjat kaget, melihat laki-laki tampan itu masih memeluknya dengan wajah tak bersalah. Sialnya lagi milik Kevin masih menancap lewat belakang. Rania seakan terjebak, ketika ia bergerak justru benda itu juga ikut bergerak di dalam. Dan Rania tanpa sadar mendesah pelan.Kevin sebenarnya pura-pura tidur, ia sudah bangun dari tadi. Hanya saja ia tidak ingin wanita yang di cintainya segera pergi. Jadi, ia melakukan aksi pura-pura tidur.Lagi-lagi Kevin menghujamkan miliknya dalam keadaan mata terpejam. Rania mendesah hebat, dan Kevin menyukai suara desahan itu. Semakin cepat ia memompa milik Rania, semakin sering ia mendengar desahan wanita itu. Hingga akhirnya mereka melakukan pelepasan lagi.Rania baru sadar jika Kevin pasti tidak tidur. Lelaki itu hanya pura-pura saja. Ia mencubit lengan Kevin dengan kencang."Aww!" teriak Kevin.
"Bagaimana Dok, kondisi suami saya?" tanya Adisty cemas."Kami sudah melakukan pengecekan, setidaknya tidak ada pendarahan di otaknya. Itu sudah merupakan kabar yang bagus," kata dokter."Iya, tapi apakah dia akan koma ... atau_,""Tenanglah, Nyonya. Kami akan berusaha yang terbaik," kata dokter."Iya," jawab Adisty lemah. Ia kembali melihat Ricko di balik kaca. Air matanya mengalir dengan sendirinya. Ia menyalahkan dirinya sendiri kenapa harus memaksa agar ingatan Ricko pulih."Berdoalah Nyonya, suami Anda bisa melewati masa kritisnya malam ini. Jika masa kritis berhasil di lewati, kemungkinan besar ia dapat sembuh," terang dokter.Adisty hanya menjawabnya dengan anggukan. "Kalau begitu, saya permisi dulu Nyonya untuk mengecek pasien lainnya," kata dokter pergi meninggalkan Adisty."Bagaimana keadaan Tuan Ricko?" tanya Kevin yang tiba-tiba muncul bersama Rania."Dia ... aku tidak bisa menjelaskannya. Kalian lihat s
"Tidak usah gugup, biasa saja," kata Adisty. Ricko tersenyum datar. Ia merasa Adisty bisa membaca pikirannya."Aku mandi dulu," kata Ricko untuk menghindari suasana yang canggung.ya," jawab Adisty. Wanita itu merebahkan tubuhnya yang penat karena jalan-jalan di Mall.Terdengar suara gemericik air shower kamar mandi. Adisty memilih memejamkan matanya sambil menunggu Ricko selesai mandi. Ia tiba-tiba terbangun teringat sesuatu. Lalu ia beringsut turun dari ranjang."Ada apa?" tanya Ricko yang baru saja keluar dari kamar mandi.Melihat tubuh Ricko yang hanya berbalut handuk saja sebatas perut dan buliran air menetes di rambutnya yang basah. Membasahi tubuh sixpack pria itu. Adisty menelan salivanya."Eh, tidak apa-apa. Aku hanya mau ambil ini," kata Adisty meraih ponselnya. Padahal sebelumnya ia ingin melihat sesuatu di dalam tasnya yang baru saja di beli di Mall tadi."Ada yang ingin kau telepon?" tanya Ricko mengernyitkan dahiny
Seperti biasa Adisty menunggu Ricko pulang kerja. Kali ini ia menunggu tidak di rumah melainkan di Mall untuk membeli keperluan bayi. Ia merasa bosan jika di rumah terus, apalagi Ricko kerja sampai sore. Malahan terkadang pulang sampai malam. Alhasil, Adisty bosan jika terus-terusan di rumah.Adisty memakai longdres pendek selutut dengan kardigan yang menutupi lengannya. Ia menenteng sebuah tas kecil berwarna putih mengkilap. Tak ada yang tahu jika tas yang di bawanya itu limited edition.Kaki Adisty yang berbalut flat shoes mengingat kehamilannya sudah usia tidak muda lagi. Tentunya ia akan mudah kecapekan tidak seperti dulu. Dua orang pelayan setianya mengikuti pergerakan Adisty kemanapun. Mereka selalu siap sedia jika Adisty menginginkan bantuan.Di telinga Adisty terdengar tawa yang tak begitu asing. Ia melihat dua orang wanita tengah mengobrol di cafe yang tak jauh dari temptanya berdiri. Adisty merasa kenal dengan wanita itu. Mereka adala
Adisty berdiri di depan pintu kamar Ricko menelan kekecewaan. Ia pun berlalu dan kembali ke kamarnya sendiri. Tak terasa air matanya menetes, ia merasa Ricko benar-benar sudah berubah seperti orang lain.Hari berikutnya, Adisty masih melayani kebutuhan Ricko seperti biasanya. Laki-laki itu memilih banyak diam. Meskipun Adisty sudah berusaha ramah padanya, tapi Ricko terlihat cuek. Semakin hari Adisty merasa hidupnya kesepian. Terlebih lagi kandungannya sekarang tambah membesar. Ia butuh perhatian. Jika ia banyak pikiran bisa mengganggu perkembangan janinnya."Bisa kita bicara?" tanya Adisty."Bicara tentang apa?" Ricko balik bertanya."Tentang kita," jawab Adisty.Ricko tersenyum sinis. "Tentang kita, bukankah kau sudah tahu hubungan kita seperti apa. Aku tidak bisa mengingat apapun. Jadi, aku tidak bisa menjadi suami yang kamu mau," ucap Ricko tegas."Ya, aku tahu. Tapi, bayi dalam kandunganku tidak tahu apa-apa. Aku ingin dia l
Adisty tidak berhenti menangis melihat kondisi Ricko yang masih terbaring koma. Darren datang bersama ibunya menjenguk Ricko di rumah sakit. Ricko belum sadarkan diri. Ia masih dalam keadaan koma. Merasa ada yang menepuk pundaknya, Adisty menoleh ke belakang. Ia tersenyum pada Darren dan menyeka air matanya. Adisty memeluk mamanya erat. Ia pun menangis lagi."Ricko, Ma ...," tangis Adisty."Ya, mama tahu. Kamu bersabarlah, ini ujian," kata mama Adisty. Wanita paruh baya itu mengelus rambut putrinya dengan penuh kasih sayang."Yang sabar, sayang. Semua sudah kehendak Yang Mah Kuasa," kata mama Adisty.Adisty masih menangis terisak-isak, menatap Ricko yang masih belum sadarkan diri. Ia semakin takut jika terjadi apa-apa pada Ricko."Kak, yang sabar ya. Kak Ricko sekarang juga sedang berjuang melawan maut," kata Darren menguatkan hati Adisty."Berdoalah kepada Tuhan, agar suamimu segera sembuh," kata mama Adisty.Adisty mengangguk. Ia pu
Rania masih tertidur pulas akibat obat bius yang di suntikkan padanya. Kevin terlihat duduk di samping Rania dengan menggenggam tangan istrinya. Mendengar pintu ruangan ada yang mendorong, Kevin menoleh ke belakang."Rupanya kau sudah di sini," tukas Ricko. Dari belakang punggung Ricko muncul Adisty."Bagaimana keadaannya?" tanya Adisty cemas."Sudah lebih baik," jawab Kevin sembari membuka kacamatanya. Terlihat dari wajahnya, sedih, muram dan kelelahan.Adisty mendekati Rania dan mengusap dahi sahabatnya dengan pandangan prihatin. "Kasihan, dia terus saja menangisi nasibnya," tutur Adisty."Ini salahku, tak seharusnya aku seceroboh itu," sesal Kevin."Ya, kau memang sangat ceroboh. Kau bisa membunuh istrimu sendiri dengan semua keteledoranmu!" ucap Adisty kesal.Kevin menunduk. Ia tidak membantah semua omongan Adisty. Karena ia tahu semua itu benar. Koni yang ia inginkan Rania segera siuman. Ia ingin kembali pada Rania. Meskipun anga