Pada saat semua karyawan di sibukkan dengan penyambutan kedatangan presiden direktur, Adisty mendapatkan telepon dari pria idamannya. Namanya Jonathan.
"Hallo, Adisty apa kabar?" kata Jonathan di telepon.
Adisty senang dalam kesibukannya yang super padat mendapatkan telepon dari pria idamannya. Wajahnya langsung cerah ceria bagaikan matahari terbit di pagi hari.
"Eh, kak Jonathan!" jawab Adisty.
"Bisa makan siang sekarang? Ada yang ingin aku katakan," ucap Jonathan.
Adisty tidak percaya jika Jonathan pria yang di idam-idamkannya selama ini menelponnya tiba-tiba.
"Okey, bisa kak. Kirimkan alamatnya sekarang," jawab Adisty.
Setelah menerima pesan telepon dari Jonathan. Adisty menengok kesana- kemari melihat suasana kantor yang sangat sibuk karena mengerjakan laporan akhir tahun membuat wajah mereka tampak tegang. Saat di rasa cukup aman Adisty keluar dari ruangannya. Tapi tiba-tiba atasan managernya menarik tasnya dari belakang.
"Adisty! Mau kemana?!" setengah berteriak.
"Kamu tahu kan, hari ini semua teman-temanmu sibuk mengerjakan laporan akhir tahun. Kau malah enak-enakan mau makan siang!" sentak manager Ken.
"Maaf, Pak. Saya benar-benar ada urusan penting tidak bisa di tunda lagi," kata Adisty seraya memohon.
"Tidak bisa!Jika Bu Kepala tahu ia bisa marah. Apa lagi Pak Direktur yang datang dari luar negri sangat galak dan Bu Kepala juga sangat sensitif jika ada kesalahan dalam pekerjaan!" tolak manager Ken.
"Pak Manager, bunuh saya nanti saja kalau sudah selesai makan siang, ini urgen, Pak," kata Adisty seraya berjalan cepat meninggalkan manager Ken yang tengah marah.
"Kamu!"
Belum sempat manager Ken menarik tangan Adisty gadis itu sudah berhasil kabur dari hadapannya.
"Awas kamu ya, kalau ketahuan Bu Kepala ... baru tahu rasa," kata Pak Manager lirih.
Di dalam lift.
"Ah, akhirnya berhasil kabur juga." Adisty bisa bernafas lega setelah berhasil lepas dari kejaran Pak Manager.
"Hari yang mendebarkan akhirnya tiba," ucap Adisty.
Adisty di ajak Jonathan untuk memilih cincin di toko perhiasan. Mereka menang sudah bersahabat lama tapi Adisty tidak pernah mengatakan jika ia suka pada kakak kelasnya. Ia memendam perasaan itu selama delapan tahun.
"Wah, cantiknya cincinnya," puji Adisty.
"Iya, apa wanita suka saat seorang pria menyatakan perasaannya terus di beri cincin ini?" tanya Jonathan.
"Tentu saja, pasti sangat menyukainya," balas Adisty.
Ia membayangkan Jonathan memberinya seikat buket mawar merah lalu berjongkok di hadapannya ala pangeran menyatakan cinta padanya. Sungguh romantis. Lalu terakhir kalinya Jonathan memberikan cincin itu sebagai hadiah. Memakaikannya di jari manisnya.
'So sweet deh,' batin Adisty.
Tidak menyangka ia akan menyatakannya hari ini. Sudah sekian lama kita berteman bahkan bertahun-tahun. Apa iya, dia hanya menganggapku sebatas teman saja, pikir Adisty.
"Kak Jonathan!" panggil Adisty.
Jonathan sudah menunggu di depan pintu kantornya. Mereka memang satu kantor tapi berbeda ruangan.
"Sudah lama menunggu?" tanya Jonathan.
"Eh, tidak aku juga baru saja datang," ungkap Adisty malu-malu.
"Oh, ya kenalkan ini kekasih baruku
Namanya Cecil," kata Jonathan. Dari balik punggung Jonathan muncul seorang gadis berambut pendek. Jika di lihat seksama sepertinya ia lebih muda."Cecil pegawai baru. Kami jatuh cinta pada pandangan pertama. Iya kan, Cecil," kata Jonathan.
Gadis muda itu tampak tersipu malu. Ia mengulurkan tangannya pada Adisty.
"Cecil."
"Adisty."
"Saya banyak mendengar tentangmu dari kak Jo," ucap Cecil ramah. Tak sengaja mata Adisty melihat cincin yang waktu itu di pilihnya bersama Jo tersemat di jari manis Cecil.
DEGH
'Ternyata cincin itu bukan untukku!' batin Adisty. Rasa kecewa semakin membuat dadanya makin sesak.
Di Restoran GreenVillage
Cecil tampak sibuk melihat-lihat daftar buku menunya. Jonathan memperhatikan pergerakan Cecil.
"Kamu bilang tadi lapar, ayo pesan makanan kesukaanmu," kata Jhonatan pada Cecil.
Adisty ingin sekali meremas buku menu yang di pegangnya. Haruskah ia melihat adegan mesra ini. Menyebalkan.
"Mau pesan apa?" tanya Jonathan lagi.
"Mau pesan ini sama ini, maaf apa terlalu banyak. Habis aku lapar sekali," ucap Cecil malu-malu.
"Oh, tidak masalah. Kalau kebanyakan kita habiskan berdua," ucap Jonathan.
Adisty sudah tidak tahan lagi.
BRAKK
Ia meletakkan buku menu itu agak keras di atas meja. "Kak, Jonathan aku juga lapar! Kenapa hanya Cecil yang di tanyai terus!" kata Adisty berapi-api.
"He ... he ... he."
"Maaf, Adisty ... kupikir biasanya kau tahan lapar,"ucap Jonathan seraya garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Memangnya, aku ini bukan manusia. Aku juga butuh makan!" sentak Adisty.
"Ya, sudah ... maaf kamu pesan apa Adisty?" tanya Jonathan lebih lembut.
Adisty membuka buku menunya lagi.
Huh, harusnya ia tanya dari tadi. Kalau begini kan aku jadi kurang berselera, batin Adisty.
DRRRRRRTZZZ ...
Ponsel Adisty berdering. Ia melihat ada panggilan dari Bu Kepala. Di ponselnya ia beri nama si Killer.
"Sebentar, biar aku angkat teleponnya," kata Adisty. Sial, pipinya tidak sengaja menekan bagian loudspeaker.
"Siang, Bu. Saya sedang keluar makan siang, saya tadi sudah ijin pada pak manajer," kata Adisty ramah.
"Dasar anak gila!"
"Kemana saja kau! Semua sibuk menyiapkan kedatangan direktur, kau malah enak-enakan pergi makan siang!"
Adisty menjauhkan ponselnya. Ia seperti mendengar suara petir menggelegar. Wajahnya berubah menjadi merah karena semua pengunjung restoran memperhatikannya termasuk Cecil dan Jonathan.
"Baik, Bu Kepala. Saya akan segera kembali," jawab Adisty dengan suara rendah. Matilah ia, ketahuan pergi ke luar di saat-saat genting.
"Kau tidak apa-apa Adisty," kata Cecil ikut prihatin.
"Tidak, tidak apa-apa. Belakangan ini kantorku sangat sibuk sekali. Ibu Kepala sangat sensitif, apalagi Presdir akan datang hari ini,"terang Adisty malu.
"Maaf, sepertinya tidak bisa ikut makan bersama kalian. Mungkin lain kali saja hehehe." Adisty membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf.
"Tidak apa-apa Adisty, kami yang seharusnya minta maaf karena mengganggu waktumu," ucap Jonathan.
'Huh, tentu saja aku tidak akan datang kalau tahu begini, aku pikir aku yang akan di beri cincin itu. Memalukan kenapa aku bisa berpikir sampai ke sana,' pikir Adisty dalam hati.
Adisty buru-buru naik taksi dan ke kantor. Baru sampai di depan kantor, Bu Kepala yang terkenal galaknya sudah berdiri di depan pintu utama.
"Adisty! Kemana saja kau!"
"Kau ingin di pecat, ya!" kata bu Kepala yang tubuhnya dua kali lipat dari tubuh Adisty.
"Ma ... maaf, Bu. Adisty takut terkena sakit maagh kalau telat makan, jadi terpaksa saya ijin keluar istirahat terlebih dahulu," kata Adisty gemetaran.
"Alasan saja! Ya ... sudah sana kerja. Selesaikan semua pekerjaanmu hari ini. Aku sudah menyuruh orang menaruh dokumen yang perlu kau kerjakan di atas mejamu!" kata Bu Kepala tegas. Matanya melotot ke arah Adisty, membuat gadis bertubuh ramping itu ketakutan setengah mati.
"Siap, Bu." Adisty buru-buru masuk ke dalam ruangannya.
Dan benar saja, dokumen yang sangat banyak sudah memenuhi meja kerja Adisty.
"Matilah aku ... ." Adisty tepok jidatnya.
"Mulai darimana dulu ... ." Adisty bingung melihat pekerjaannya yang teramat banyak.
Telepon berdering lagi, Adisty melirik ke arah ponselnya. Ternyata telepon dari rumah.
"Iya, Ma," ucap Adisty.
"Obat papamu habis, kalau sudah ada uang tolong belikan obat, ya," ucap Mama.
"Iya, Ma," jawab Adisty lesu.
Ia tahu obat papanya tidak murah, karena papanya sakit yang tidak biasa.
"Semangat Adisty! Uang ... kamu butuh uang!" Adisty berbicara sendiri menyemangati dirinya sendiri.
---Bersambung---
Tepat jam sembilan malam Adisty baru pulang dari kantornya. Ia memerlukan pinjaman uang untuk membelikan obat-obatan papanya. Saat ini yang terpikirkan olehnya adalah Rania sahabat dekatnya. Rania putri konglomerat kaya raya sekaligus teman dekat Adisty. Ketika Adisty terjepit masalah keuangan, Rania yang selalu memberinya bantuan. Di kafe tempat biasa mereka nongkrong saat sepulang kerja, Adisty bertemu dengan Rania. Gadis cantik itu telah menunggunya di kafe seperti yang telah di sepakati sebelumnya. "Huh, jam segini baru pulang kerja," keluh Adisty meneguk minumannya. "Kenapa kau pesan banyak minuman? Kau ingin menyulitkanku?" Rania melihat banyak minuman keras di atas meja. Adisty tampak buruk sekali. "Aku tidak punya uang, bukankah kau punya uang banyak. Tidak ada salahnya jika kau menyenangkan sahabatmu yang sedang patah hati ini," kata Adisty menuangkan sebotol vodka di gelasnya. Rania menyambar gelas Adisty, ia menyuruh pelayan u
"Ini terlalu seksi bajunya,"kata Adisty waktu di salon."Memang pergaulan kelas atas, memakai baju seperti ini. Di tambah sedikit riasan kau akan tampil sempurna." Rania memberi isyarat pada karyawan salon langganannya untuk membereskan masalah riasan pada wajah Adisty."Kau sudah cantik alami, dengan sedikit polesan kecantikanmu akan bertambah naik seratus delapan puluh derajat," imbuh Rania."Aku tidak butuh cantik, kalau tidak ada imbalan uang mana mungkin aku melakukannya,"gerutu Adisty."Terserah apa katamu, tapi kau perlu menurunkan sedikit bra mu agar terlihat lebih montok saat kau mengenakan baju yang aku pilih." terang Rania."Kau tidak sedang menjualku, kan?" Adisty menjadi ragu."Siapa yang menjualmu! Aku hanya ingin penampilanmu terlihat sempurna. Agar terkesan kau anak orang
Tuan, maaf saya tadi terlambat karena sedang bermain-main dengan pria sewaanku,"kata Adisty memulai serangannya.Ayolah, kau tidak jijik dengan wanita nakal sepertiku, batin Adisty."Tidak masalah, aku mengerti kesibukan Anda," jawab Adisty santai."Tapi ... saya tadi habis bermain dengan pria lain, apa Anda tidak jijik?" Adisty menyilangkan kakinya, kulit putih mulus terpampang sempurna."Tidak masalah, Anda bermain dengan laki-laki manapun. Saya sangat menghargai Anda," balas Ricko.Aku tidak pernah bertemu direktur sinting seperti ini. Mana ada laki-laki yang mau pada wanita yang hobinya main ranjang bersama pria lain, pikir Adisty."Saya tidak hanya bermain dengan satu pria tapi dua pria. Kebetulan tadi mantanku juga datang, jadi kita main-main bareng sekalian," jelas Adisty semakin ngelantur
Ricko sedari tadi di sibukkan dengan laptopnya, pandangannya fokus ke layar. Seperti biasa wajahnya minim ekspresi. Hanya Kevin yang berani mengajaknya bicara. Karena mereka sudah kenal sejak kecil. Meskipun begitu Kevin terkadang juga kesulitan menghadapi sikap Ricko yang terlalu kaku. "Pak, apa Anda jadi akan menerima perjodohan dengan Nona Rania?" tanya Asisten Kevin. "Menurutmu?" Ricko tidak melihat ke arah Kevin. Ia masih sibuk memeriksa berkasnya yang lain. "Sepertinya dari penampilan Nona Rania ia suka bermain-main," ungkap Asisten Kevin hati-hati. "Apa Tuan akan melanjutkannya menikah dengan wanita seperti ...," Asisten Kevin tidak berani melanjutkan kalimatnya melihat wajah Bosnya berubah masam. "Maaf, atas kelancangan saya," ucap Kevin kemudian. "Aku akan menikahinya," jawab Alex pendek. Ia menumpuk dokumen di atas mejanya lalu menyingkirkannya agak ke pinggir. Apa! Tentu saja siapa laki-laki yang tidak tergoda dengan
Di sebuah restoran mewah Adisty sudah menunggu dengan wajah cemas. Ia akhirnya setuju untuk bertemu dengan Presdir Ricko, tapi ia memakai wig rambut berwarna pirang. Ia tidak ingin terlihat terlalu kentara.Adisty melihat ke arah jendela seraya duduk sambil menunggu. Dalam hatinya ia juga merasa bersalah jika Rania menikah dengan orang yang tidak di cintainya.Ia memang butuh uang, tapi sebenarnya Adisty datang karena ingin bertanggung jawab atas kesalahannya. Apa yang telah ia bicarakan pada Ricko saat itu sudah kelewat batas yang mengatakan bahwa Rania memiliki kelainan dalam berhubungan seks.Adisty merasa cintanya yang bertepuk sebelah tangan terhadap Jonathan membuat pikirannya sudah tak waras. Ia terpaksa menerima tawaran Rania, untuk menggantikannya dalam acara perjodohannya. Sekarang situasinya malah semakin rumit. Adisty masih saja menyalahkan dirinya.Dulu
Kantor terlihat gelap sepertinya para karyawan sudah pulang. Ia heran kenapa lampu kantor bisa mati lampu. Saat Adisty meraba-raba mencari pegangan.Degh! Tiba-tiba tubuhnya menabrak sesuatu.Lampu tiba-tiba menyala, Adisty mendongakkan wajahnya."Sebentar ... kenapa Nona tampak familiar." Ricko mengernyitkan dahinya."Apa Anda Nona Rania yang datang di perjodohan itu?""Bu ... bukan, anda salah orang," jawab Adisty gugup. Keringat dingin bercucuran."Anda adalah karyawan yang ada di lantai dua itu!" tebak Ricko.Tubuh Adisty tambah menggigil ketakutan.Apa boleh buat, lebih baik aku kabur, batin Adisty.Adisty berlari kencang namun Ricko juga tak mau kalah ia mengejar Adisty hing
"Temui Nona Rania sekarang!" perintah Ricko."Kenapa bukan Anda, tapi saya?" tanya Asisten Kevin."Dia tidak mau menjawab teleponku. Hari ini apa ada jadwal kosong?" tanya Ricko."Tidak, semua jadwal Anda penuh," jawab Asisten Kevin."Bagaimana kalau Anda menyerah saja ... sepertinya dia memang sengaja tidak ingin bertemu dengan Anda," ungkap Asisten Kevin."Menyerah ... mana mungkin aku menyerah waktu itu dia menungguku sampai ketiduran. Berarti dia memang menunggu jodohnya datang," jawab Ricko beralasan.Huh, percaya diri sekali Tuan. Nona Rania pasti menunggu untuk menolak perjodohannya, batin Asisten Kevin."Saya kira Anda di campakkan, karena mungkin Nona Rania tidak berselera dengan Anda," kata Kevin."Kau sudah berani meledekku, apa kau bo
"Ampun kak ... ampun!" Darren berjongkok memohon-mohon pada Adisty."Kakak wanita cantik sedunia!" Darren memperbaiki kata-katanya.Adisty bersedekap, ia memalingkan mukanya pada Darren."Pacar? Apa benar kamu punya pacar?" tanya Papa Adisty."Kenapa kalian sepertinya tidak percaya jika aku punya pacar?" tanya Adisty."Ada pria yang jatuh cinta padaku," imbuh Adisty.Semua menatap aneh ke Adisty, seakan meremehkan jika perkataan Adisty benar atau tidak."Maaf, kak. Sepertinya aku butuh obat malam ini," kata Darren seraya pergi."Tuh, kan. Kalian tidak mempercayaiku!" keluh Adisty.Jonathan menepuk pundak Adisty."Bagaimana kalau kita double date, s
Tiga tahun kemudian.Adisty memejamkan mata kala Ricko mau mendaratkan bibirnya di bibir Adisty.Melihat reaksi istrinya yang seolah membuka pintu untuknya. Ricko melanjutkan aksinya merebahkan Adisty di pembaringan. Kemudian mengecup kelopak mata wanita itu satu persatu. Jari-jari Ricko bergerak turun membuka kancing baju Adisty satu persatu."Tok ... tok ... tok!""Mama ... mama!" teriak Austin dari luar."Oh, sayang milikku sudah menegang haruskah kita berhenti lagi seperti kemarin," keluh Ricko."Iya, Austin di luar sayang. Kasihan dia, kalau lama menunggu. Kamu tahu sendirikan jika dia menangis, susah menenangkannya," sahut Adisty.Adisty membenarkan letak kancingnya lagi dan buru-buru membuka pintu untuk putra kecilnya."Ada sayang?" tanya Adisty."Austin, tidak bisa tidur. Boleh Austin tidur sama mama?" tanya Austin polos."Tidak boleh, Austin harus belajar mandiri tidur di kamar sendiri," ucap Ricko.
"Awas ya, kalau kau sampai meninggalkanku. Ku kejar sampai ujung dunia," balas Ricko. Keduanya tertawa bahagia. Mereka berpandangan satu sama lain, pandangan penuh cinta.Sebuah bunyi telepon mengagetkan keduanya yang sedang bernostalgia."Dari siapa sayang?" tanya Ricko."Kakek," ucap Adisty."Lalu, kenapa wajahmu pucat seperti itu?" tanya Ricko.Adisty tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Berita dari Kakek Fermount mengenai pelaku kejahatan yang mengakibatkan Ricko amnesia kini telah di ketahui siapa pelakunya."Ada apa sayang?" tanya Ricko."Tadi kakek memberitahu jika pelakunya sudah ketemu.""Oh, ya. Siapa pelakunya?" tanya Ricko."Ibu tirimu," jawab Adisty pendek."Sudah kuduga, hanya dia satu-satinya orang di dunia ini yang punya alasan ingin melenyapkanku," kata Ricko."Kata kakek, pihak keamanan telah melihat bukti lewat CCTV kota, orang suruhan itu juga merupakan penjahat yang menjadi buronan se
Setelah melakukan pergumulan semalam, pagi hari Rania mendapati tubuh polosnya tengah di peluk Kevin. Ia terperanjat kaget, melihat laki-laki tampan itu masih memeluknya dengan wajah tak bersalah. Sialnya lagi milik Kevin masih menancap lewat belakang. Rania seakan terjebak, ketika ia bergerak justru benda itu juga ikut bergerak di dalam. Dan Rania tanpa sadar mendesah pelan.Kevin sebenarnya pura-pura tidur, ia sudah bangun dari tadi. Hanya saja ia tidak ingin wanita yang di cintainya segera pergi. Jadi, ia melakukan aksi pura-pura tidur.Lagi-lagi Kevin menghujamkan miliknya dalam keadaan mata terpejam. Rania mendesah hebat, dan Kevin menyukai suara desahan itu. Semakin cepat ia memompa milik Rania, semakin sering ia mendengar desahan wanita itu. Hingga akhirnya mereka melakukan pelepasan lagi.Rania baru sadar jika Kevin pasti tidak tidur. Lelaki itu hanya pura-pura saja. Ia mencubit lengan Kevin dengan kencang."Aww!" teriak Kevin.
"Bagaimana Dok, kondisi suami saya?" tanya Adisty cemas."Kami sudah melakukan pengecekan, setidaknya tidak ada pendarahan di otaknya. Itu sudah merupakan kabar yang bagus," kata dokter."Iya, tapi apakah dia akan koma ... atau_,""Tenanglah, Nyonya. Kami akan berusaha yang terbaik," kata dokter."Iya," jawab Adisty lemah. Ia kembali melihat Ricko di balik kaca. Air matanya mengalir dengan sendirinya. Ia menyalahkan dirinya sendiri kenapa harus memaksa agar ingatan Ricko pulih."Berdoalah Nyonya, suami Anda bisa melewati masa kritisnya malam ini. Jika masa kritis berhasil di lewati, kemungkinan besar ia dapat sembuh," terang dokter.Adisty hanya menjawabnya dengan anggukan. "Kalau begitu, saya permisi dulu Nyonya untuk mengecek pasien lainnya," kata dokter pergi meninggalkan Adisty."Bagaimana keadaan Tuan Ricko?" tanya Kevin yang tiba-tiba muncul bersama Rania."Dia ... aku tidak bisa menjelaskannya. Kalian lihat s
"Tidak usah gugup, biasa saja," kata Adisty. Ricko tersenyum datar. Ia merasa Adisty bisa membaca pikirannya."Aku mandi dulu," kata Ricko untuk menghindari suasana yang canggung.ya," jawab Adisty. Wanita itu merebahkan tubuhnya yang penat karena jalan-jalan di Mall.Terdengar suara gemericik air shower kamar mandi. Adisty memilih memejamkan matanya sambil menunggu Ricko selesai mandi. Ia tiba-tiba terbangun teringat sesuatu. Lalu ia beringsut turun dari ranjang."Ada apa?" tanya Ricko yang baru saja keluar dari kamar mandi.Melihat tubuh Ricko yang hanya berbalut handuk saja sebatas perut dan buliran air menetes di rambutnya yang basah. Membasahi tubuh sixpack pria itu. Adisty menelan salivanya."Eh, tidak apa-apa. Aku hanya mau ambil ini," kata Adisty meraih ponselnya. Padahal sebelumnya ia ingin melihat sesuatu di dalam tasnya yang baru saja di beli di Mall tadi."Ada yang ingin kau telepon?" tanya Ricko mengernyitkan dahiny
Seperti biasa Adisty menunggu Ricko pulang kerja. Kali ini ia menunggu tidak di rumah melainkan di Mall untuk membeli keperluan bayi. Ia merasa bosan jika di rumah terus, apalagi Ricko kerja sampai sore. Malahan terkadang pulang sampai malam. Alhasil, Adisty bosan jika terus-terusan di rumah.Adisty memakai longdres pendek selutut dengan kardigan yang menutupi lengannya. Ia menenteng sebuah tas kecil berwarna putih mengkilap. Tak ada yang tahu jika tas yang di bawanya itu limited edition.Kaki Adisty yang berbalut flat shoes mengingat kehamilannya sudah usia tidak muda lagi. Tentunya ia akan mudah kecapekan tidak seperti dulu. Dua orang pelayan setianya mengikuti pergerakan Adisty kemanapun. Mereka selalu siap sedia jika Adisty menginginkan bantuan.Di telinga Adisty terdengar tawa yang tak begitu asing. Ia melihat dua orang wanita tengah mengobrol di cafe yang tak jauh dari temptanya berdiri. Adisty merasa kenal dengan wanita itu. Mereka adala
Adisty berdiri di depan pintu kamar Ricko menelan kekecewaan. Ia pun berlalu dan kembali ke kamarnya sendiri. Tak terasa air matanya menetes, ia merasa Ricko benar-benar sudah berubah seperti orang lain.Hari berikutnya, Adisty masih melayani kebutuhan Ricko seperti biasanya. Laki-laki itu memilih banyak diam. Meskipun Adisty sudah berusaha ramah padanya, tapi Ricko terlihat cuek. Semakin hari Adisty merasa hidupnya kesepian. Terlebih lagi kandungannya sekarang tambah membesar. Ia butuh perhatian. Jika ia banyak pikiran bisa mengganggu perkembangan janinnya."Bisa kita bicara?" tanya Adisty."Bicara tentang apa?" Ricko balik bertanya."Tentang kita," jawab Adisty.Ricko tersenyum sinis. "Tentang kita, bukankah kau sudah tahu hubungan kita seperti apa. Aku tidak bisa mengingat apapun. Jadi, aku tidak bisa menjadi suami yang kamu mau," ucap Ricko tegas."Ya, aku tahu. Tapi, bayi dalam kandunganku tidak tahu apa-apa. Aku ingin dia l
Adisty tidak berhenti menangis melihat kondisi Ricko yang masih terbaring koma. Darren datang bersama ibunya menjenguk Ricko di rumah sakit. Ricko belum sadarkan diri. Ia masih dalam keadaan koma. Merasa ada yang menepuk pundaknya, Adisty menoleh ke belakang. Ia tersenyum pada Darren dan menyeka air matanya. Adisty memeluk mamanya erat. Ia pun menangis lagi."Ricko, Ma ...," tangis Adisty."Ya, mama tahu. Kamu bersabarlah, ini ujian," kata mama Adisty. Wanita paruh baya itu mengelus rambut putrinya dengan penuh kasih sayang."Yang sabar, sayang. Semua sudah kehendak Yang Mah Kuasa," kata mama Adisty.Adisty masih menangis terisak-isak, menatap Ricko yang masih belum sadarkan diri. Ia semakin takut jika terjadi apa-apa pada Ricko."Kak, yang sabar ya. Kak Ricko sekarang juga sedang berjuang melawan maut," kata Darren menguatkan hati Adisty."Berdoalah kepada Tuhan, agar suamimu segera sembuh," kata mama Adisty.Adisty mengangguk. Ia pu
Rania masih tertidur pulas akibat obat bius yang di suntikkan padanya. Kevin terlihat duduk di samping Rania dengan menggenggam tangan istrinya. Mendengar pintu ruangan ada yang mendorong, Kevin menoleh ke belakang."Rupanya kau sudah di sini," tukas Ricko. Dari belakang punggung Ricko muncul Adisty."Bagaimana keadaannya?" tanya Adisty cemas."Sudah lebih baik," jawab Kevin sembari membuka kacamatanya. Terlihat dari wajahnya, sedih, muram dan kelelahan.Adisty mendekati Rania dan mengusap dahi sahabatnya dengan pandangan prihatin. "Kasihan, dia terus saja menangisi nasibnya," tutur Adisty."Ini salahku, tak seharusnya aku seceroboh itu," sesal Kevin."Ya, kau memang sangat ceroboh. Kau bisa membunuh istrimu sendiri dengan semua keteledoranmu!" ucap Adisty kesal.Kevin menunduk. Ia tidak membantah semua omongan Adisty. Karena ia tahu semua itu benar. Koni yang ia inginkan Rania segera siuman. Ia ingin kembali pada Rania. Meskipun anga