Marie berdiri dengan pasrah di samping Rocka. Kini ia sedang berada di auditorium sekolah untuk melakukan sidang mengenai nasibnya di Pelita Internasional School.
Ketika tiba di sekolah, Marie langsung di panggil oleh kepala sekolah. Dan pak Adnan mengutarakan dengan berat hati mengenai nasibnya yang akan di tentukan hari ini. Tapi entahlah hal itu tidak terlalu penting bagi Marie untuk sekarang. Tadi dia sempat bertanya pada pak Adnan, apa Ferran akan hadir, karena setahu Marie, Pelita masih dibawah tanggung jawab Ferran. Dan Marie langsung semringah ketika pak Adnan menjawab 'iya' Ferran-nya akan hadir. &"ANJING!!" Rocka menendang kursi sampai membentur dinding. Napasnya memburu penuh emosi. Tidak ada yang mengeluarkan suara untuk memprotes tindakan brutal dari Rocka, kecuali isak tangis dari teman-teman perempuan sekelas Marie. Setelah keputusan sidang di lapangan, Marie kembali ke kelas bersama teman-temannya, termasuk genk Rocka yang ikut bergabung. Sementara bu Avi, mengejar pemilik sekolah dan kepala sekolah untuk memohon memberikan kesempatan pada Marie agar tetap bersekolah di Pelita. Marie suda
"Saya Handoko Sandjaya. Wali dari Marie Alexandria mulai dari sekarang!"***** Marie menatap mantan sekolahnya. Ya, sudah jadi mantan. Pak Handoko yang mengaku sebagai walinya Yang baru telah menyelesaikan urusannya dengan sekolah sampai tuntas. Bahkan pria tua itu menolak mentah-mentah bantuan rekomendasi sekolah yang bagus untuk Marie dari pak Adnan, sang kepala sekolah. Pak Handoko adalah ayah dari Estell, mama kandungnya, yang juga merupakan kakek dari Rocka. Dan ini adalah pertemuan pertama Marie dengan opa-nya itu. Selama bersahabat bersama Rocka, opa Handoko tidak pernah memunculkan dirinya di sekolah jika Rocka melaku
Marie berlari menuruni tangga ketika dia mendengar suara ribut di bawah sana. Dan ketika sampai, Marie membekap mulutnya. Dia melihat opa Handoko sedang berlari mengejar Rocka dengan tongkat baseball di tangannya. "Dasar berandalan! Mau jadi apa kamu ini?! Kamu sudah kelas XI dan kamu masih saja jadi pemalas?! Kamu itu satu-satunya laki-laki,-" "Berarti Opa bukan laki-laki?" "DASAR KURANG AJAR!"
"Ini foto kamu ketika baru lahir. Sangat merah. Benar saja, kamu tumbuh menjadi gadis yang berkulit sangat putih sama seperti mama kamu." "Apa mama Nilam yang memberikan semua foto Marie pada om?" Liam mengangguk, "Mama Estell yang memberikan amanat itu pada Nilam untuk memberitahukan setiap tumbuh kembang kamu pada om. Mama kamu tidak ingin kalau om sampai tidak mengenal kamu dan kehilangan moment berharga sebagai orang tua, meskipun om berada di dalam penjara." Marie tersenyum sembari memerhatikan setiap foto-foto yang ada di tangannya dan di atas meja.
Ternyata kini dirinya sedang mengandung buah cintanya dengan Ferran?! Ya Tuhan.... Marie meraba perutnya dan membelainya dengan lembut. Kemudian Marie tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Harapan..... Itulah yang menggelayuti perasaan saat ini. Sebuah harapan untuk bisa k
Marie menatap kosong pemandangan melalui jendela ruang inapnya. Dia sedang berada di rumah sakit setelah mendapatkan perawatan intensif dari Axel. Bukan Axel, tapi lebih tepatnya dari seorang dokter spesialis kandungan. Marie yang tengah terduduk dengan bersandar di kepala ranjang, mengusap perutnya dengan tangan bergetar. Marie menggigit bibir bawahnya dengan sangat kuat sampai darah mengalir di sekitar bibirnya. Air matanya jatuh. Tidak kuasa menahan sakit di hati karena dia tidak bisa mempertahankan janin yang ada di dalam kandungannya.
Ferran memandangi pemandangan rumah orang tuanya, di atas balkon dengan sebatang rokok di tangannya dan juga sebotol sampanye di tangan satunya lagi. "Bukannya ini terlalu pagi untuk meminum alkohol?" Tanpa harus menoleh pun Ferran sudah mengetahui siapa pemilik suara itu. "Kamu bahkan belum menyentuh sarapanmu?" lanjut Aldrich sembari mendudukkan dirinya di kursi lalu mencomot sandwich milik Ferran yang masih utuh di piringnya. &nbs
"Ferran!!" Shirin berlari menghampiri Ferran dan memeluknya dengan erat. "Aku tidak menyangka kamu akan datang seawal ini, padahal para tamu undangan belum datang." "Lebih cepat lebih baik." Shirin berdecak manja sembari melepaskan pelukannya dari Ferran. "Apa kamu tidak sesabar itu bertunangan denganku?" goda Shirin dengan mengerling.