Marie berlari menuruni tangga ketika dia mendengar suara ribut di bawah sana.
Dan ketika sampai, Marie membekap mulutnya. Dia melihat opa Handoko sedang berlari mengejar Rocka dengan tongkat baseball di tangannya. "Dasar berandalan! Mau jadi apa kamu ini?! Kamu sudah kelas XI dan kamu masih saja jadi pemalas?! Kamu itu satu-satunya laki-laki,-" "Berarti Opa bukan laki-laki?" "DASAR KURANG AJAR!""Ini foto kamu ketika baru lahir. Sangat merah. Benar saja, kamu tumbuh menjadi gadis yang berkulit sangat putih sama seperti mama kamu." "Apa mama Nilam yang memberikan semua foto Marie pada om?" Liam mengangguk, "Mama Estell yang memberikan amanat itu pada Nilam untuk memberitahukan setiap tumbuh kembang kamu pada om. Mama kamu tidak ingin kalau om sampai tidak mengenal kamu dan kehilangan moment berharga sebagai orang tua, meskipun om berada di dalam penjara." Marie tersenyum sembari memerhatikan setiap foto-foto yang ada di tangannya dan di atas meja.
Ternyata kini dirinya sedang mengandung buah cintanya dengan Ferran?! Ya Tuhan.... Marie meraba perutnya dan membelainya dengan lembut. Kemudian Marie tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Harapan..... Itulah yang menggelayuti perasaan saat ini. Sebuah harapan untuk bisa k
Marie menatap kosong pemandangan melalui jendela ruang inapnya. Dia sedang berada di rumah sakit setelah mendapatkan perawatan intensif dari Axel. Bukan Axel, tapi lebih tepatnya dari seorang dokter spesialis kandungan. Marie yang tengah terduduk dengan bersandar di kepala ranjang, mengusap perutnya dengan tangan bergetar. Marie menggigit bibir bawahnya dengan sangat kuat sampai darah mengalir di sekitar bibirnya. Air matanya jatuh. Tidak kuasa menahan sakit di hati karena dia tidak bisa mempertahankan janin yang ada di dalam kandungannya.
Ferran memandangi pemandangan rumah orang tuanya, di atas balkon dengan sebatang rokok di tangannya dan juga sebotol sampanye di tangan satunya lagi. "Bukannya ini terlalu pagi untuk meminum alkohol?" Tanpa harus menoleh pun Ferran sudah mengetahui siapa pemilik suara itu. "Kamu bahkan belum menyentuh sarapanmu?" lanjut Aldrich sembari mendudukkan dirinya di kursi lalu mencomot sandwich milik Ferran yang masih utuh di piringnya. &nbs
"Ferran!!" Shirin berlari menghampiri Ferran dan memeluknya dengan erat. "Aku tidak menyangka kamu akan datang seawal ini, padahal para tamu undangan belum datang." "Lebih cepat lebih baik." Shirin berdecak manja sembari melepaskan pelukannya dari Ferran. "Apa kamu tidak sesabar itu bertunangan denganku?" goda Shirin dengan mengerling.
Ferran menyematkan sebuah cincin bermata berlian berukuran cukup besar di jari manis Shirin. Tepuk tangan para tamu undangan pun menggema. Ferran dan Shirin sama-sama tersenyum dengan mata keduanya yang yang saling bertautan. "Kalian tampak bahagia sekali." Tiba-tiba suara berat dan parau namun cukup keras menyeruak diantara tepukan para tamu undangan. Yang membuat semua orang menoleh pada sumber suara termasuk pasangan tunangan yang terlihat serasi malam ini. Mereka semua tercengang ketika mengetahui siapa pemili
"Untuk apa mereka kemari?" tanya opa Handoko dengan ketus ketika melihat Aldrich dan Axel yang datang ke rumah sakit mengikuti Liam. Nilam yang juga ikut datang, langsung menghampiri Aster, memeluk kakak dari sahabatnya itu. Mereka berdua menangis, menangisi nasib Marie yang tragis. "Saya wakil Direktur rumah sakit ini." kata Axel menimpali sambutan kurang hangat dari opa Handoko. Tanpa menunggu balasan dari opa Handoko, Axel berjalan menghampiri seorang dokter dan suster yang terlihat tergesa menuju ruangan Marie. &nbs
"Maafkan aku...." Ferran semakin memeluk kaki Marie. "Aku.... Bersalah.... Aku mengaku salah padamu.... Aku minta maaf, sayang.... Maaf...." Ferran tidak bisa membendung air matanya. Dia menangis oleh rasa penyesalan terbesarnya karena keegoisannya, kebenciannya, dendamnya, yang mengakibatkan perempuan yang paling dia cintai kini benar-benar menderita. Ini semua benar-benar kesalahannya.