"Untuk apa mereka kemari?" tanya opa Handoko dengan ketus ketika melihat Aldrich dan Axel yang datang ke rumah sakit mengikuti Liam.
Nilam yang juga ikut datang, langsung menghampiri Aster, memeluk kakak dari sahabatnya itu. Mereka berdua menangis, menangisi nasib Marie yang tragis. "Saya wakil Direktur rumah sakit ini." kata Axel menimpali sambutan kurang hangat dari opa Handoko. Tanpa menunggu balasan dari opa Handoko, Axel berjalan menghampiri seorang dokter dan suster yang terlihat tergesa menuju ruangan Marie. &nbs"Maafkan aku...." Ferran semakin memeluk kaki Marie. "Aku.... Bersalah.... Aku mengaku salah padamu.... Aku minta maaf, sayang.... Maaf...." Ferran tidak bisa membendung air matanya. Dia menangis oleh rasa penyesalan terbesarnya karena keegoisannya, kebenciannya, dendamnya, yang mengakibatkan perempuan yang paling dia cintai kini benar-benar menderita. Ini semua benar-benar kesalahannya. 
"Mau apa kalian ke sini?" Opa Handoko menatap tajam pada Aldrich, Abigail dan juga Ferran. Mereka bertiga sedang berada di rumah keluarga Sandjaya. Tujuannya meminta maaf atas segala perbuatan yang telah diperbuat Ferran pada Marie. "Kami datang ke mari untuk meminta maaf atas apa yang telah diperbuat oleh Ferran pada cucu anda, pak Handoko." ucap Aldrich. "Minta maaf? Mudah sekali! Kalian membenci cucuku akibat p
"APA KALIAN SUDAH GILA? KALIAN MELAKUKAN HAL ITU SAMA SAJA DENGAN MEMBUNUH Marie!!" Raung Ferran berapi-api. "Bukannya itu yang kamu inginkan?" Ferran menoleh cepat pada opa Handoko. "Saya terima kalau saya disalahkan atas apa yang terjadi pada Marie! Tapi saya ingin dia tetap hidup! Dia masih bernapas meskipun dengan alat bantu. ITU ARTINYA Marie MASIH BERHAK UNTUK HIDUP!" Ferran menunjuk ke dalam ruangan Marie dengan mata melotot pada opa Handoko. "Ferran tenanglah,-" Axel meraih bahu Ferran yang menatap s
Ferran menutup novel yang tengah dia bacakan untuk Marie, berjudul The Notebook karya Ferran Park. "Bagaimana? Apa kamu suka dengan kisah cinta Noah dan Allie?" Tanya Ferran dengan lembut sembari menggenggam tangan Marie yang masih terkulai tidak berdaya. Ferran tersenyum lebar ketika kelopak matanya bergerak kecil. Itu tandanya Marie menyukai novel yang baru selesai dibacakannya. Akhir-akhir ini Marie mendapat kemajuan yang cukup signifikan, Marie memang belum sadarkan diri dari komanya, tapi gadis itu sedikit demi sedikit memberikan respons, walau hanya dengan mengeluarkan air mata, mengedipkan pelan kelopak matanya, atau menggera
"Aku senang kamu sadar,- aku lega, Jangan lakukan lagi,- Please..., itu membuatku sangat takut. Aku pikir aku tidak akan pernah melihat kamu lagi." Marie hanya menganggukkan kepalanya. Setelah beberapa saat berpelukan, Ferran melepaskan pelukannya dari Marie. Ferran menatap lekat wajah pucat Marie. "Sungguh hari ini adalah hari terbahagia buatku." Ferran mengusap penuh kasih puncak kepala Marie, Marie kembali mengangguk sebagai respons. &nbs
BUGH! BUGH! BUGH! "Al hentikan!" Abigail menarik pinggang Aldrich yang terus memukuli Ferran tanpa henti, di tengah isak tangisnya. "Al hentikan kumohon! Jangan pukuli putra kita lagi... Dia sudah tidak berdaya." Ferran memang sudah tidak berdaya, darah mengucur di sekit
68Ferran, Shirin, Evan dan teman-temannya sedang berada di sebuah Club malam untuk merayakan ulang tahun salah satu teman mereka yang berprofesi sebagai model. "Cho, Nicholla gak dateng?" Tanya Erick salah satu temannya. "Udah tobat ke tempat ginian dia." jawab Ferran dengan asal sembari merogoh ponsel di saku celananya. Yang pasti, Nicholla tidak datang karena adiknya itu memang jarang bersosialisasi, dan hanya akan datang ke pesta yang menurutnya mewah. Ketika Ferran dan Evan mengajak Nicho
"Kamu masih belum ingin bicara padaku?" Ferran menoleh pada Marie yang berada di sampingnya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil Ferran. Pagi-pagi sekali Ferran menjemputnya dengan membawa sekantong roti dan susu untuk opa Handoko. Dan kakek tua itu langsung melempar paper bagnya karena menurutnya Ferran membawa makanan untuk orang sakit, dan sama saja mendoakan dirinya cepat mati. Namun Ferran tidak menghiraukan sikap kakek tua itu atau menyanggah semua omongan opa Handoko. Ferran sedang malas berdebat, lebih memilih menyambar tangan Marie lalu menyeretnya ke dalam mobil. Marie tidak menyahut. Gadis itu memang masih ma