"Ini foto kamu ketika baru lahir. Sangat merah. Benar saja, kamu tumbuh menjadi gadis yang berkulit sangat putih sama seperti mama kamu."
"Apa mama Nilam yang memberikan semua foto Marie pada om?"
Liam mengangguk, "Mama Estell yang memberikan amanat itu pada Nilam untuk memberitahukan setiap tumbuh kembang kamu pada om. Mama kamu tidak ingin kalau om sampai tidak mengenal kamu dan kehilangan moment berharga sebagai orang tua, meskipun om berada di dalam penjara."
Marie tersenyum sembari memerhatikan setiap foto-foto yang ada di tangannya dan di atas meja.
Ternyata kini dirinya sedang mengandung buah cintanya dengan Ferran?! Ya Tuhan.... Marie meraba perutnya dan membelainya dengan lembut. Kemudian Marie tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Harapan..... Itulah yang menggelayuti perasaan saat ini. Sebuah harapan untuk bisa k
Marie menatap kosong pemandangan melalui jendela ruang inapnya. Dia sedang berada di rumah sakit setelah mendapatkan perawatan intensif dari Axel. Bukan Axel, tapi lebih tepatnya dari seorang dokter spesialis kandungan. Marie yang tengah terduduk dengan bersandar di kepala ranjang, mengusap perutnya dengan tangan bergetar. Marie menggigit bibir bawahnya dengan sangat kuat sampai darah mengalir di sekitar bibirnya. Air matanya jatuh. Tidak kuasa menahan sakit di hati karena dia tidak bisa mempertahankan janin yang ada di dalam kandungannya.
Ferran memandangi pemandangan rumah orang tuanya, di atas balkon dengan sebatang rokok di tangannya dan juga sebotol sampanye di tangan satunya lagi. "Bukannya ini terlalu pagi untuk meminum alkohol?" Tanpa harus menoleh pun Ferran sudah mengetahui siapa pemilik suara itu. "Kamu bahkan belum menyentuh sarapanmu?" lanjut Aldrich sembari mendudukkan dirinya di kursi lalu mencomot sandwich milik Ferran yang masih utuh di piringnya. &nbs
"Ferran!!" Shirin berlari menghampiri Ferran dan memeluknya dengan erat. "Aku tidak menyangka kamu akan datang seawal ini, padahal para tamu undangan belum datang." "Lebih cepat lebih baik." Shirin berdecak manja sembari melepaskan pelukannya dari Ferran. "Apa kamu tidak sesabar itu bertunangan denganku?" goda Shirin dengan mengerling.
Ferran menyematkan sebuah cincin bermata berlian berukuran cukup besar di jari manis Shirin. Tepuk tangan para tamu undangan pun menggema. Ferran dan Shirin sama-sama tersenyum dengan mata keduanya yang yang saling bertautan. "Kalian tampak bahagia sekali." Tiba-tiba suara berat dan parau namun cukup keras menyeruak diantara tepukan para tamu undangan. Yang membuat semua orang menoleh pada sumber suara termasuk pasangan tunangan yang terlihat serasi malam ini. Mereka semua tercengang ketika mengetahui siapa pemili
"Untuk apa mereka kemari?" tanya opa Handoko dengan ketus ketika melihat Aldrich dan Axel yang datang ke rumah sakit mengikuti Liam. Nilam yang juga ikut datang, langsung menghampiri Aster, memeluk kakak dari sahabatnya itu. Mereka berdua menangis, menangisi nasib Marie yang tragis. "Saya wakil Direktur rumah sakit ini." kata Axel menimpali sambutan kurang hangat dari opa Handoko. Tanpa menunggu balasan dari opa Handoko, Axel berjalan menghampiri seorang dokter dan suster yang terlihat tergesa menuju ruangan Marie. &nbs
"Maafkan aku...." Ferran semakin memeluk kaki Marie. "Aku.... Bersalah.... Aku mengaku salah padamu.... Aku minta maaf, sayang.... Maaf...." Ferran tidak bisa membendung air matanya. Dia menangis oleh rasa penyesalan terbesarnya karena keegoisannya, kebenciannya, dendamnya, yang mengakibatkan perempuan yang paling dia cintai kini benar-benar menderita. Ini semua benar-benar kesalahannya. 
"Mau apa kalian ke sini?" Opa Handoko menatap tajam pada Aldrich, Abigail dan juga Ferran. Mereka bertiga sedang berada di rumah keluarga Sandjaya. Tujuannya meminta maaf atas segala perbuatan yang telah diperbuat Ferran pada Marie. "Kami datang ke mari untuk meminta maaf atas apa yang telah diperbuat oleh Ferran pada cucu anda, pak Handoko." ucap Aldrich. "Minta maaf? Mudah sekali! Kalian membenci cucuku akibat p
"Kondisi Marie semakin memburuk. Kita bisa kehilangan dia kapan saja. Aku benar-benar turut menyesal, Ferran." "Apa yang harus kulakukan untuknya?! Aku tidak ingin kehilangan dia, Kak." "Bahagiakan Marie di sisa waktunya. Hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang." Ferran menaikan dasinya sampai terpasang rapi di leher kemejanya. Mengambil sebotol minyak wangi favoritnya, lalu menyemprotkan ke sekitar jasnya barunya. Tidak hanya jas, semua pakaian dan sepatu yang dikenakannya hari ini semua baru. Setelah dirasa penampilannya sudah sangat rapi, Ferran memutar tubuh, berjalan keluar dari kamarnya.  
"Papa,-" Liam menengadahkan wajahnya ke atas, mencegah air matanya agar tidak turun. Menarik napas dalam sebelum menimpali ucapan lemah dari putrinya yang sudah siuman setelah beberapa hari tidak sadarkan diri pasca operasi. "Papa kamu baik-baik saja. Operasinya berhasil. Kamu berhasil menyelamatkan Papa Dion." Liam mencoba menampilkan senyum bersahajanya pada Marie. "Syukurlah..." bisik Marie. "Badan Marie sakit semua," keluh Marie dengan kedua sudut mata mengeluarkan air matanya.
Ferran memandangi pemandangan di depannya, di rooftop rumah sakit. Ia tengah menunggu. Menunggu Marie yang sedang melakukan operasi transplantasi hati pada Dion. Operasi sudah berlangsung selama hampir 5 jam, Axel mengatakan operasi yang di lakukan Marie dan Dion bisa berlangsung selama 6 sampai 12 jam. Ferran tidak perduli berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk operasi antara Marie dan Dion, yang ia butuhkan kabar kalau operasi berhasil dan Marie-nya baik-baik saja. "Aku mencari kamu ke mana-mana,"
Ferran memperhatikan dengan seksama orang suruhannya yang sedang berbincang dengan Liam di depan pintu kamar inap milik Marie. Tak lama kemudian Liam pergi bersama dokter gadungan suruhannya itu. Ferran cukup bersyukur malam ini Marie hanya di jaga oleh Liam. Liam cukup pengertian, meskipun Ferran tau lelaki paruh baya itu sedang di kecoh oleh dirinya. Ferran keluar dari persembunyiannya setelah Liam sudah menghilang dari pandangannya. Dia pun berjalan dengan cukup tenang menuju kamar inap Marie. Ferran membuka pintu secara perlahan. Menutupnya dan menguncinya dari dalam. Bahkan Ferran mencuri kunci cadangan ruang inap Marie t
Ferran terus menghisap rokok di tangannya dengan pikiran yang tidak menentu. Entah sudah berapa batang rokok yang dia hisap, sampai asbak di depannya penuh. Ferran tersedak asap rokoknya sendiri. Dia terbatuk dengan memegangi dadanya. Kemudian tiba-tiba ada yang menyodorkan segelas air padanya. Ferran tidak langsung menerimanya, dia melirikan matanya pada si pelaku. Axel. Ferran pun menerima gelas tersebut lalu meminumnya. Axel mendudukkan dirinya di seberang Ferran.
"Hallo," "Kamu di mana? Sudah berjam-jam aku menunggu kamu pulang, Marie." todong Samuel begitu Marie mengangkat telepon darinya. "Marie masih sama Ferran,-" aku Marie dengan jujur. Dia melirikan matanya pada Ferran yang terlihat fokus menyetir. Tidak terpengaruh oleh Marie yang tengah menerima telepon dari Samuel. "Sebentar lagi Marie pulang kok. Maaf ya Kak..." Marie mendengar Samuel menghela napasnya dengan berat. &nb
Sampe segitunya lo nyari perhatian papa sama kakak angkat lo? Sampe-sampe lo mamfaatin Pak Ferran?" Marie tersenyum kecil. Namun tanpa ke empat gadis itu sadari, Ferran berada di belakang mereka. Ferran tersenyum kecut, kemudian dia berbalik, mengurungkan niatnya untuk makan bersama Marie dan teman-temannya di kantin. ____________________________________________________________________________________ Marie menggeleng, "Marie emang manfaatin Ferran buat mancing marahnya kak Shirin sama papa Dion,- tapi Marie
"Kamu masih belum ingin bicara padaku?" Ferran menoleh pada Marie yang berada di sampingnya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil Ferran. Pagi-pagi sekali Ferran menjemputnya dengan membawa sekantong roti dan susu untuk opa Handoko. Dan kakek tua itu langsung melempar paper bagnya karena menurutnya Ferran membawa makanan untuk orang sakit, dan sama saja mendoakan dirinya cepat mati. Namun Ferran tidak menghiraukan sikap kakek tua itu atau menyanggah semua omongan opa Handoko. Ferran sedang malas berdebat, lebih memilih menyambar tangan Marie lalu menyeretnya ke dalam mobil. Marie tidak menyahut. Gadis itu memang masih ma
68Ferran, Shirin, Evan dan teman-temannya sedang berada di sebuah Club malam untuk merayakan ulang tahun salah satu teman mereka yang berprofesi sebagai model. "Cho, Nicholla gak dateng?" Tanya Erick salah satu temannya. "Udah tobat ke tempat ginian dia." jawab Ferran dengan asal sembari merogoh ponsel di saku celananya. Yang pasti, Nicholla tidak datang karena adiknya itu memang jarang bersosialisasi, dan hanya akan datang ke pesta yang menurutnya mewah. Ketika Ferran dan Evan mengajak Nicho