Ferran memandangi pemandangan rumah orang tuanya, di atas balkon dengan sebatang rokok di tangannya dan juga sebotol sampanye di tangan satunya lagi.
"Bukannya ini terlalu pagi untuk meminum alkohol?"
Tanpa harus menoleh pun Ferran sudah mengetahui siapa pemilik suara itu.
"Kamu bahkan belum menyentuh sarapanmu?" lanjut Aldrich sembari mendudukkan dirinya di kursi lalu mencomot sandwich milik Ferran yang masih utuh di piringnya.
&nbs
"Ferran!!" Shirin berlari menghampiri Ferran dan memeluknya dengan erat. "Aku tidak menyangka kamu akan datang seawal ini, padahal para tamu undangan belum datang." "Lebih cepat lebih baik." Shirin berdecak manja sembari melepaskan pelukannya dari Ferran. "Apa kamu tidak sesabar itu bertunangan denganku?" goda Shirin dengan mengerling.
Ferran menyematkan sebuah cincin bermata berlian berukuran cukup besar di jari manis Shirin. Tepuk tangan para tamu undangan pun menggema. Ferran dan Shirin sama-sama tersenyum dengan mata keduanya yang yang saling bertautan. "Kalian tampak bahagia sekali." Tiba-tiba suara berat dan parau namun cukup keras menyeruak diantara tepukan para tamu undangan. Yang membuat semua orang menoleh pada sumber suara termasuk pasangan tunangan yang terlihat serasi malam ini. Mereka semua tercengang ketika mengetahui siapa pemili
"Untuk apa mereka kemari?" tanya opa Handoko dengan ketus ketika melihat Aldrich dan Axel yang datang ke rumah sakit mengikuti Liam. Nilam yang juga ikut datang, langsung menghampiri Aster, memeluk kakak dari sahabatnya itu. Mereka berdua menangis, menangisi nasib Marie yang tragis. "Saya wakil Direktur rumah sakit ini." kata Axel menimpali sambutan kurang hangat dari opa Handoko. Tanpa menunggu balasan dari opa Handoko, Axel berjalan menghampiri seorang dokter dan suster yang terlihat tergesa menuju ruangan Marie. &nbs
"Maafkan aku...." Ferran semakin memeluk kaki Marie. "Aku.... Bersalah.... Aku mengaku salah padamu.... Aku minta maaf, sayang.... Maaf...." Ferran tidak bisa membendung air matanya. Dia menangis oleh rasa penyesalan terbesarnya karena keegoisannya, kebenciannya, dendamnya, yang mengakibatkan perempuan yang paling dia cintai kini benar-benar menderita. Ini semua benar-benar kesalahannya. 
"Mau apa kalian ke sini?" Opa Handoko menatap tajam pada Aldrich, Abigail dan juga Ferran. Mereka bertiga sedang berada di rumah keluarga Sandjaya. Tujuannya meminta maaf atas segala perbuatan yang telah diperbuat Ferran pada Marie. "Kami datang ke mari untuk meminta maaf atas apa yang telah diperbuat oleh Ferran pada cucu anda, pak Handoko." ucap Aldrich. "Minta maaf? Mudah sekali! Kalian membenci cucuku akibat p
"APA KALIAN SUDAH GILA? KALIAN MELAKUKAN HAL ITU SAMA SAJA DENGAN MEMBUNUH Marie!!" Raung Ferran berapi-api. "Bukannya itu yang kamu inginkan?" Ferran menoleh cepat pada opa Handoko. "Saya terima kalau saya disalahkan atas apa yang terjadi pada Marie! Tapi saya ingin dia tetap hidup! Dia masih bernapas meskipun dengan alat bantu. ITU ARTINYA Marie MASIH BERHAK UNTUK HIDUP!" Ferran menunjuk ke dalam ruangan Marie dengan mata melotot pada opa Handoko. "Ferran tenanglah,-" Axel meraih bahu Ferran yang menatap s
Ferran menutup novel yang tengah dia bacakan untuk Marie, berjudul The Notebook karya Ferran Park. "Bagaimana? Apa kamu suka dengan kisah cinta Noah dan Allie?" Tanya Ferran dengan lembut sembari menggenggam tangan Marie yang masih terkulai tidak berdaya. Ferran tersenyum lebar ketika kelopak matanya bergerak kecil. Itu tandanya Marie menyukai novel yang baru selesai dibacakannya. Akhir-akhir ini Marie mendapat kemajuan yang cukup signifikan, Marie memang belum sadarkan diri dari komanya, tapi gadis itu sedikit demi sedikit memberikan respons, walau hanya dengan mengeluarkan air mata, mengedipkan pelan kelopak matanya, atau menggera
"Aku senang kamu sadar,- aku lega, Jangan lakukan lagi,- Please..., itu membuatku sangat takut. Aku pikir aku tidak akan pernah melihat kamu lagi." Marie hanya menganggukkan kepalanya. Setelah beberapa saat berpelukan, Ferran melepaskan pelukannya dari Marie. Ferran menatap lekat wajah pucat Marie. "Sungguh hari ini adalah hari terbahagia buatku." Ferran mengusap penuh kasih puncak kepala Marie, Marie kembali mengangguk sebagai respons. &nbs